Showing posts with label Opini. Show all posts
Showing posts with label Opini. Show all posts

Saturday, March 5, 2011

Revolusi Tak Bisa Difotokopi

Senin, 21 Februari 2011
Revolusi tak bisa difotokopi. Revolusi tak bisa dipesan. Mungkin ini kesimpulan sejak revolusi pertama dalam sejarah modern.


Pada usia 20, Lafayette, aristokrat dari Auvergne, Prancis Selatan, itu berangkat ke Amerika. Ini tahun 1777, ketika belum ada harapan bagi perjuangan orang Amerika untuk membebaskan diri dari penjajahan Inggris. Saat itu Raja Prancis tak mengizinkan siapa pun bergabung dengan revolusi di ”benua baru” itu. Tapi Lafayette punya kenekatan, ambisi, dan cita-cita luhur. Hatinya berkobar dengan keyakinan yang disuratkan Deklarasi Kemerdekaan Amerika. Ia pun berangkat dari pantai Spanyol dengan menyamar sebagai seorang perempuan.


Akhirnya—setelah menyatakan diri tak hendak menerima bayaran sepeser pun—ia diterima bergabung dengan tentara pembebasan yang dipimpin George Washington. Di antara pasukannya yang berpakaian berantakan, Jenderal Amerika itu menyambut pemuda Prancis yang kurus itu dengan hormat: ”Kami harus merasa malu, mempertontonkan diri di depan seorang perwira yang baru saja meninggalkan pasukan Prancis.” Lafayette menjawab: ”Untuk belajar, dan bukan mengajar, saya datang kemari.”

Dan Lafayette memang belajar banyak, melalui perang, luka, intrik politik—dengan gairah yang tak kunjung menciut. Ia kembali ke Prancis setelah empat tahun bertempur. Beberapa tahun kemudian ia terlibat langsung dengan Revolusi Prancis.


Pada 11 Juli 1789, dialah—yang darah birunya berasal dari kelas bangsawan lama—yang pertama kali mengajukan rancangan ”Deklarasi Hak-hak Manusia dan Warga Negara”: ”Manusia dilahirkan sama-rata dalam hak-haknya, dan tetap demikian adanya….” Dalam dokumen Prancis itu, terasa gema Deklarasi Kemerdekaan Amerika yang ditulis 13 tahun sebelumnya—gema sesuatu yang kemudian terbukti universal.

Tapi kita tahu, Revolusi Prancis berakhir tak sama dengan Revolusi Amerika. Bung Karno pernah mengatakan, tak ada model revolusi yang ”ready-for-use”. Masyarakat bisa diubah dengan satu desain, tapi tak akan bisa sepenuhnya terpenuhi. Sejarah dan geografi yang berbeda-beda tak mudah diutak-atik. ”Manusia memang membuat sejarah,” demikian kata-kata Marx yang terkenal dari tahun 1851, ”tapi di bawah kondisi yang bukan dipilihnya sendiri.”


Maka Rusia, dengan cita-cita pembebasan universal, tak bisa menyamakan kondisi Cina untuk melihat lahirnya sebuah revolusi sosialis. Jalan Mao berbeda dengan jalan Stalin. Bahkan pada akhirnya keduanya bertentangan. Rusia, Cina, Yugoslavia, Korea Utara, Kuba, dan lain-lain: revolusi tak bisa difotokopi.

Tapi ia bisa menjalar. Di abad ke-20 ia menjalar ke Asia, Afrika, Amerika Latin. Kini, di awal abad ke-21, tampak ia berjangkit dari Tunisia, Mesir, Aljazair, Bahrain, Libya….

Mengapa? Menulis tentang gemuruh yang terjadi di Alun-alun Tahrir, Kairo, bulan ini, Slavoj Žižek menyimpulkan: pemberontakan ini universal. Seperti Lafayette tergerak Revolusi Amerika, ”Semua kita di seluruh dunia dengan segera tak mustahil menyamakan diri dengannya.”

Yang menarik, Žižek melihat kontras pemberontakan di Mesir dengan ”revolusi Khomeini” di Iran. Di sana, kaum kiri harus ”menyelundupkan pesan mereka ke dalam kerangka yang paling kuat, yakni Islam.” Sebaliknya, di Alun-alun Tahrir, ”kerangka itu jelas merupakan satu seruan sekuler yang universal untuk kebebasan dan keadilan.” Justru Ikhwanul Muslimin, kata Žižek, ”menggunakan bahasa tuntutan sekuler.”

Kata ”sekuler” di sini tampaknya sama dengan ”tak didominasi pandangan agama apa pun” dan sebab itu ”universal”, menyentuh siapa saja, di mana saja. Tapi mampukah sebuah revolusi berhasil tanpa seruan yang universal?

Žižek salah. Di Iran, sebenarnya kerangka Islam itu juga punya sifat-sifat universal. Kita menemukannya dalam pemikiran Ali Shariati dan Mehdi Bazargan. Yang tragis ialah bahwa bersama tenggelamnya peran pemikiran Ali Shariati dan tersisihnya orang seperti Bazargan, kian terputus pula pertalian peninggalan Khomeini dengan yang universal: ”Islam” menjadi hanya ”kami”, tak lagi ”kita”.

Tapi apa boleh buat: revolusi bukan sekadar penjelmaan ”ide yang abadi” (kata-kata Žižek) tentang kemerdekaan dan keadilan. Revolusi meletus dari kehidupan yang tak terkait dengan langit. ”Hak untuk mempunyai hak” tak diberikan satu kekuasaan yang ada dari luar sejarah. Hak itu ditegakkan atau direbut mereka yang merasa terjepit.

Itu sebabnya revolusi tak bisa dipesan. Seperti puisi, revolusi punya saatnya sendiri untuk lahir. Ia buah yang panas dari kemarahan yang otentik dan antagonisme yang mendalam.

Tapi selalu jadi cacat dalam tambo manusia: dalam proses itu, pergeseran dari ”kita” ke ”kami” tak terelakkan. Revolusi harus mengukuhkan batas antara ”kami” dan ”mereka”—dan di situ, ”kita” ditiadakan.

Dengan kata lain, ada pembungkaman yang terjadi, ketika yang universal—kemerdekaan, keadilan, harga diri—dilembagakan dalam program partai, ideologi negara, atau hukum. Kaum revolusioner akan harus menentukan siapa yang masuk kemerdekaan, keadilan, dan harga diri itu dan siapa yang harus dikeluarkan.

Akan demikian jugakah gemuruh di Alun-alun Tahrir itu?

Karim, seorang demonstran muda, menyebut lapangan itu sebuah ”utopia kecil”. Tapi utopia, dalam arti harfiahnya, terdiri atas kata ou dan topos, ”bukan + tempat”. Ia jejak dari satu kejadian yang akan segera hilang. Mereka yang cemas perlu mengerahkan kesetiaan yang besar untuk selalu merebut kembali yang hilang itu.

Maka Lafayette tak berhenti di satu sisi Lautan Atlantik—dan namanya tak tenggelam hanya sampai di abad ke-18. Revolusi tak bisa difotokopi, tapi ia tak pernah selesai. (Shared by Goenawan Muhammad)


Sunday, February 13, 2011

Demokrasi Daun Kelor

Membesarkan mulut dunia hanya sekelor dedaunan, membonsai pohon raksasa, mengkerdilkan puncak gunung es, mendramatisasi, mengalihkan isu, isu diutakatik, menjungkirkan akal sehat, membengkokkan yang lurus ekuivalen dengan  meluruskan yang bengkok. Simak bahasa verbal dari seorang mandor  yang sedang bersinar karirnya,  naik daun kelor tengah berorasi kepada komunitasnya

"nah kawan kawan para kroniawan kroniwati sekalian, berhubung adanya gangguan kecil tapi skalanya cukup serius dari org-org dan anasir yang masih dicari sumbernya, pemicunya dimana akhir akhir ini tindakannya sudah sungguh keterlaluan dan lancang, tidak menghargai nilai nilai demokrasi, supremasi hukum dan fatsun or unggah-ungguh alam demokrasi yang berdasarkan analisis para ahli katanya dapat berakibat instabilitas dan merusak kepercayaan masyarakat maka oleh sebab itu ayo kita bikin isu baru, masalah baru, ayo kita ciptakan konflik, sudah menjadi komitmen bersama kita harus terdepan disegala lini, kita harus intip secara detail  kelemahan lawan dan sebaliknya meminimalkan atau mengeleminasi kesalahan kita sekecil apapun".

Sang mandor melihat para kadernya manggut manggut dan tepuk tangan semakin bersemangat. "saudara- saudara yang saya cintai dan pasti saya banggakan, 'upayakan kita benar benar bersih, beli alat pel yang paling canggih agar kotoran yang paling bandel sekalipun dapat dengan mudah disingkirkan, mari rame rame kita bungkam semua kritikus dan dengan memblow up celanya sementara kita bangun citra sendiri karena para pemimpin kita telah dengan sangat tegas  memerintahkan ayo kita rebut piala citra itu, semua kader harus punya kualifikasi  tangkas beretorika, tapi harus hati hati sejauh mungkin hindari perilaku yang melanggar hukum terutama yang kita buat sendiri, hukum oranglain silahkan saja ditabrak karena kita tidak terikat dengan kesepakatan mereka, tapi harap maklum sebenarnya hukum itu tidak pernah ada ceritanya memihak orang yg lemah atau yang benar-benar bisa jadi panglima, sehingga hukum itu jangan mengatur kita tapi kita yang mengolah hukum karena harus dicamkan bahwa sejatinya kita adalah hukum itu sendiri, jangan takut kepada hukum karena kita punya banyak kru bayangan kita bisa bentuk tandingan birokrasi, satgas satgas ormas ormas bimsalabim, gak peduli apakah mereka intoleran atau sektarian  karena birokrasi yang ada selama ini terlalu mapan dan kronis, semua korup benar benar payah untuk disembuhkan karena sudah karakter yang berkarat apalagi para raja-raja kecil di daerah susah diatur hampir nyaris semua kepala daerah masuk bui jadi kita jangan ikut  hanyut capek ngurusin mereka, malah ini kesempatan yg amat baik untuk menempatkan wakil wakil kita untuk menguasai lahan, kalau anda mau sedikit berpikir itu sangat mudah diakali dan dipermak, kita harus kreatif  karena kita telah lebih dulu menguasai "centre of gravity" dan akses kita kepada lembaga lembaga penegak hukum harus dibuka seluas luasnya dan terus menerus dikomunikasikan secara rahasia namun ingat harus dapat dipertanggungjawabkan secara yuridis, kita jangan suka suka intervensi, cukup monitor saja, untuk menajamkan isu itu agar dapat menggelinding dengan baik kita tinggal cetak stempel pinggir jalan dan sebarkan spanduk ditempat tempat strategis lalu panggil para-para mulai  paramedia baik e-media or cetak, sokongan paranormal, infiltrasi parasitoris, paranaturalisasi, dan pelibatan juru-juru, juru ketik jurutulis, jurumudi, jurukunci, juruukir yang semuanya kesohor, mau wajah dan gambar yang seperti apa gampang dibikin sedangkan alat dan pengawaknya jangan repot repot kita punya power punya duit tak terbatas dan uang kita tak punya nomor seri, nah silahkan kita kalkulasi serta  silahkan memobilisasi  para mahasiswa, dalang punakawan, alimulama, konsultan, cerdik pandai sebagai makelar, tukang parkir dengan jurubicara yang vokalnya lantang berapi api, dan pada akhirnya mereka sekaligus berevolusi sebagai sel, jaringan serta barisan kekuatan penyelamat yg amat dahsyat tak tertandingi oleh kelompok penyeimbang manapun, kita juga jgn terlalu ego sektoral kita harus rangkul semua kalangan segenap lapisan tanpa memandang kelas, kita juga gak perlu terlalu popular dan overacting, kita dibelakang layar saja, biarlah cukup Ariel dan Luna yg paling popular dan menghebohkan jadi jgn ragu ragu mari kita manej konflik dan isu dengan cerdas, ayo kita kerja cerdas, cepat  dan tuntas, jangan pertengkarkan due of process cuma memboroskan waktu, cara dan sarana itu hanya masalah teknis semata yang penting hasilnya bisa dirasakan bermanfaat bagi orang kebanyakan dan doa orang kecil itu sangat mujarab yang penting mari kita langgengkan kenyamanan ini mari kita nikmati eforia ini, enak tho! dan so pasti cocok sekali bukan? memang terbukti model demokrasi seperti ini, ini adalah model demokrasi terbaik di dunia, ayo kita pertahankan sampai titik darah yang terakhir, jangan rubah lagi jangan amandemen lagi kita harus benar-benar melaksanakannya secara murni dan konsekuen".

Akibat terlalu bersemangat mulut sang mandor menjadi kering tercekat dan sudah mulai kehabisan kata kata sehingga jeda menurunkan intonasinya "wah ngemeng eh ngomong-ngomong apa anda tidak mendengar tragedi di Mesir yang akhirnya rakyatnya dapat menumbangkan rezim 30 tahun Mubarak?? itulah, karena mereka tidak mau dengar nasehat kita, jauh jauh hari sudah ada teorinya bahwa  jadi pemimpin itu jangan lama lama, bakal bosan orang lihat suara dan wajah kita, karena analoginya makanan itu juga kalau bakso terus kan pasti bosan dan bisa berakibat nek muak kawan dan lawan so mari kita bermain cantik yang penting rakyat senang, setuju???/?/ setuju!! sanggup?? sanggup!! .. jelas??  jelass bos!! tapi tiba-tiba salah seorang kader yang masih lugu bertanya "ada satu yang mengganjal pak bagaimana dengan nasib rakyat yang telah memilih kita???  dengan tangkas karena jam terbang sudah tinggi sang mandor menjawab dengan wajah dibuat tersenyum "sabar sabar nanti ada waktunya kita kan belum BIP (break even point) sesuai petunjuk pimpinan kita minimal pulmod (pulang modal) dulu, barulah kita bisa berpikir ke arah sana, sekarang colling down dulu dan nikmati saja  keadaan ini, karena hal ini sangat susah diraih, masih ada pertanyaan?? kalau tidak ada sudah jangan dipaksakan "okaylah  kalau begitu sudah sudah ayo kita makan lagi sekenyang kenyangnya dan habis itu tidur lagi, "trus kapan kerjanya \?? "ahh sudahlah kerjanya besok besok aja! (LM)

Pewaris Serigala Machiavellian

by Leonard Marpaung on Saturday, February 12 Februari 2011

Panitia khusus, panitia & hak angket, hak budget, interpelasi, mosi tak percaya yang bergulir selama ini  ternyata hanya hiasan bunga bunga yang tak indah warnanya dan tidak semerbak harumnya;  century, kasus pajak, rekening gendut, cek perjalanan, gembar gembor clean and good governance hanya trik-trik yang hilir mudik dan permainan kata kata semata, gaya dan vokal yang nyaring cuma personifikasi tong kosong.

Sebuah renungan yang amat menyedihkan, kita ini bagai orang kerdil yang mengaku kaum terpelajar tapi tidak sekalipun mempunyai hati nurani yang menjerit melihat ketidakadilan dan kepalsuan, sungguh tak terbayang kita akan mewariskan kepada generasi muda berikutnya, anak anak kita, mesin yang bobrok,kerusakan sistemik dan utang politik yang sangat rumit karena  yang terpaksa lahir dari hasil kumpulan persekongkolan serigala serigala machiavelian.

Seorang Freis Ermessen telah meramalkan bahwa kebijakan "beschikking" atau "decree" yang dibuat secara serampangan (detournement de pouvoir) oleh para pembuat atau pendahulu niscaya akan menciptakan kepanikan dan kerusakan sistemik bagi pewarisnya. (LM)

Regulasi Keimanan, Produk Sektarian Intoleran

Regulasi keimanan, produk sektarian-intoleran yg terlalu jauh memasukii hak privat, terbukti menjadi sumber pemicu utama or justifikasi timbulnya arogansi, ketidakadilan, kerusuhan sosial sekaligus melegitimasi secara eksplisit kesewenang-wenangan, pembunuhan karakter dan hak sosial, individual, politik & sosbud yang dimiliki sebagian  warganegara Indonesia tercinta yang kebetulan kurang beruntung. Meski diklaim oleh para ahli yang mazhab alirannya berasal dari segelintir golongan  bhw kita bukan negara sekuler, namun mau tidak mau harus diakui faktanya produk perundang-undangan kita yg tertinggi yg termaktub secara eksplisit dlm Konstitusi dan UU (inc. konvensi yg diratifikasi), mengandung pengaturan yang sangat sekuler bahkan sedikit liberal yang intinya bermakna adanya "jaminan" dari negara terhadap hak privat warganegara meskipun tidak diatur secara tegas mengenai pemisahan hubungan antara negara dan agama. Yang menjadi sorotan saat ini adalah mengapa pada tataran regulasi dibawahnya muncul regulasi keimanan yang jauh menyimpang dari konstitusi or UU yang nilai yuridisnya tentu sangat lemah untuk mengikat warganegara (justisiabel) agar tunduk dan patuh, timbul keheranan yang luarbiasa mengapa  regulasi keimanan berupa  SKB-SKB, pasal penistaaan agama, pendirian rumah ibadah  itu bisa muncul tanpa ada filter dan judicial review, mengapa dibiarkan lahir dengan label keadilan bagi kelompok tertentu saja namun sebaliknya menjadi bencana dan tsunami bagi kelompok warganegara lainnya yang kebetulan berbeda keyakinannya, kini yang menjadi pertanyaan besar adalah untuk kepentingan siapa regulasi yangi ternyata sangat abu abu sangat diskriminatif plus intoleran ini dibuat?? sebuah tesis yang berisiko sangat paradoksal dan memprihatinkan bagi seluruh anak negeri yg amat  bangga mencintai bangsanya & memilih tetap berdiam berlindung di tanah air tempat tumpah darah!!

Sepakterjang dan Infiltrasi Jurus Mabuk Ideologi

by Leonard Marpaung on Wednesday, February 9, 2011 at 8:34pm
awal 2000-an  mereka tak lebih cuma segelintir orang-orang putusasa yg termarjinalkan akibat kejamnya hidup, yang akhirnya mencari jatidiri dalam kedok ideologi yang kemudian secara perlahan dan pasti, berevolusi dan berafiliasi secara global, regional dan domestik dalam sel-sel bawah tanah berkolaborasi dengan sayap dan alumnus internasional kelompok radikal. Di Indonesia  rentannya ketahanan nasional akibat situasi transisi demokrasi memberikan peluang dan kans mereka untuk menancapkan kuku ke berbagai sendi sosial kehidupan rakyat bahkan terkadang mereka acapkali mampu bermetamorfosis ke  jantung kekuasaan baik lokal maupun pusat.

Sebenarnya mereka telah gagal dengan cara-cara teror konvensional menggunakan media Bom dan kerusuhan di Ambon, Malut, Poso.  Namun 9/11 merupakan titik balik agresivitas mereka, kini mereka hadir dengan kemasan baru namun tetap secara egaliter mampu membuat siapapun terkaget-kaget, panik ketakutan,  atau  bahkan sebaliknya mendapat simpati karena terpesona.  Menyoroti aksi menonjolkan identitas agama yang belakangan kian kasar, dan cenderung anarkistis, tampaknya dpengaruhi momentum perkembangan lingkungan strategis di berbagai belahan dunia yang cenderung berubah-ubah, mengakibatkan adanya kecenderungan osteoporosis ideologi, yang  terstruktur melemah tampak dari  jurus mabuk yang merugikan citra garis perjuangan mereka sendiri, Coba tengok kini mereka tidak pilih pilih lagi kalau Ahmadiyah pasti, pendirian gereja, penistaan agama wajib, tapi sekarangpun mereka juga mengusik pertunjukan wayang kulit. Di Sukoharjo, Jawa Tengah, dimana sekelompok orang bersorban menghampiri kerumunan orang yang tengah asyik menonton pertunjukan wayang yang digelar di pekarangan rumah seorang warga Desa Sembung Wetan. Selain melempari penonton, sebagian dari mereka mengacung-acungkan pedang sambil bertakbir.  Siapa pun tahu--kelompok penyerang seharusnya juga tahu--bahwa wayang justru dijadikan medium efektif oleh Sunan Kalijaga untuk menyebarkan Islam. Para penyerang itu telah berusaha membuang elemen budaya lokal yang sesungguhnya merupakan buah kreativitas Wali Sanga dalam berdakwah.

Bila timbul sebuah aksi teror dan kekerasan maka mereka sangat tangkas dan mau diajak berdialog secara intelektual namun tekanan dan intonasi keras selalu mewarnai sikap dan pernyataannya, dan selanjutnya pasti berkelit mengingkari tudingan bahwa kelompok mereka di balik itu  dan beralibi kekerasan itu datangnya dari ulah intelijen Amerika atau dari kaum liberal semata. Belakangan ini tampaknya mereka sedikit putusasa dan kurang sabar ketika bilamana kehendaknya tidak diakomodasi oleh penguasa, sehingga akhirnya  lebih memilih  jalan kekerasan. Kasatmata  mulai terungkap adanya perubahan strategi mereka menjadi lebih asimetrik dan saintifik, tentu perubahan ini  akan menyulitkan bagi intelijen mengurai motif dan bukti.

Makna syiar dan nahi munkar, atau mencegah perbuatan buruk, yang disalahpahami, saat ini malah berubah menjadi aksi memaksakan kehendak yang meresahkan--meski dalam skala lebih kecil. Kelompok penekan yang telah aktif memaksakan pendapatnya ini sebetulnya telah cukup berhasil mendesakkan berbagai kesepakatan bersama dengan otoritas pemerintahan dan aparat keamanan bahkan mereka mendapat angin (seruan agar sejumlah ormas garis keras dirangkul). Keputusan ini jelas mencederai keadilan dan toleransi beragama di negeri ini. Yang patut kita sesalkan, semua petinggi  dilanda ketakutan jika aspirasi semu itu tak dipenuhi. Mereka seperti lupa bahwa kita sedang berada di negara berdasar Pancasila dengan konstitusi yang tegas menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan tanpa boleh ada gangguan serta ancaman dari siapa pun.

Agresivitas kelompok radikal yang meningkat belakangan ini harus dihentikan. Mereka tak boleh lagi menyerang aset dan pemeluk kelompok keyakinan apapun, menurunkan paksa patung dengan dalih apa pun, menyerang  pendirian gereja, membubarkan seminar dan pertemuan silahturahmi berbagai kelompok masyarakat, mencampuri peradilan yang bebas merdeka, bahkan membubarkan pertunjukan wayang kulit. Terhadap tindakan brutal atas nama agama ini, tumpuan akhirnya tertuju pada pihak keamanan. Aparat harus bertindak lebih tegas demi menimbulkan efek jera permanen. Syukurlah Presiden kita telah dapat memetakan persoalan ini lebih komprehensif sehinngga tidak hanya sekadar mengecam dan akhirnya secara tegas hari ini memerintahkan dicari upaya legal untuk membubarkan ormas garis keras tersebut dan hal ini telah direspon positip oleh Mendagri. Namun kata pepatah apalah arti sebuah baju dan lambang yang dikultuskan, yang penting tujuan dan manfaatnya dapat tercapai, artinya bagaimanapun caranya tujuan kita untuk mencegah kekerasan dapat tercipta, bukan sebaliknya justru tujuan mereka yang berhasil membuat ketakutan dan kerusuhan di negeri ini. (LM)