Friday, July 10, 2009

Meretas Keamanan Maritim di Asia Tenggara


Wilayah perairan Asia Tenggara memiliki peranan sangat penting karena merupakan penghubung antara dua samudera besar, Pasifik dan Hindia. Selat-selat di perairan kawasan ini merupakan jalur SLOC (Sea Lanes of Communication) perdagangan dunia yang sekaligus menjadi choke points strategis bagi proyeksi armada angkatan laut negara maritim besar dalam rangka forward presence ke seluruh penjuru dunia. Jalur SLOC yang terpadat adalah Selat Malaka, dimana dilewati oleh 72 % tanker yang melintas dari Samudera Hindia ke Pasifik, dan hanya 28 % yang lewat selat Lombok, selat Makassar dan laut Sulawesi. Selat Malaka sebagai jalur padat perdagangan dunia dan selalu menjadi perhatian masyarakat maritim internasional.

Perdagangan lewat laut ini sebagian besar melalui perairan Indonesia, karena memang semua SLOC berada di perairan Indonesia. Dari kondisi tersebut dapatlah dimengerti apabila keamanan laut di perairan Indonesia terganggu, maka akan berdampak kepada terganggunya aktivitas perdagangan lewat laut, sehingga akan merugikan banyak negara pengguna, khususnya negara-negara yang volume perdagangannya lewat laut sangat besar. Oleh sebab itu sangat wajar dan cukup rasional, apabila masalah tersebut menjadi pemikiran kita bersama, bukan hanya bagi negara-negara yang memiliki SLOC, seperti Indonesia, melainkan juga bagi negara-negara pengguna yang memperoleh manfaat besar dari terjaminnya keamanan di SLOC tersebut.

Namun demikian, keberadaan alur-alur pelayaran yang ramai serta bernilai penting bagi kesejahteraan berbagai bangsa tersebut juga membawa konsekwensi tidak ringan bagi Indonesia, di mana perhatian dunia internasional terhadap masalah keamanan perairan Indonesia menjadi semakin tajam. Isu perompakan bersenjata di laut, terorisme maritim serta bentuk kejahatan maritim lainnya menjadi semakin mengemuka, terutama di perairan-perairan ramai seperti Selat Malaka dan Selat Singapura. Untuk mengatasi pembajakan dan perompakan di kedua selat tersebut, Indonesia telah berupaya maksimal dengan membentuk satuan tugas anti pembajakan/ perompakan serta meningkatkan patroli TNI AL baik secara mandiri maupun terkoordinasi dengan negara-negara lain.

Setelah Konvensi PBB tentang Hukum Laut tahun 1982 (UNCLOS 1982) diratifikasi oleh Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 dan konvensi tersebut diberlakukan sebagai hukum positif sejak tanggal 16 Nopember 1994, maka status Indonesia sebagai negara kepulauan (Archipelagic State) diakui oleh dunia. Pengakuan dunia dalam hukum internasional tersebut mengesahkan “a defined territory” negara Indonesia, sehingga Indonesia memiliki legalitas hukum terhadap wilayah nasionalnya yang meliputi wilayah darat, laut dan udara di atasnya. Demikian pula Indonesia mempunyai kedaulatan dan kewenangan untuk menjaga dan mempertahankan integritas wilayah lautnya, termasuk mengelola dan mengatur orang dan barang yang ada di dalam wilayah kelautan tersebut, namun hal ini tidak berarti meniadakan hak negara lain sesuai dengan ketentuan dalam konvensi tersebut.

Secara legal formal Indonesia terikat dengan ketentuan-ketentuan dalam hukum internasional tersebut, termasuk kewajiban Indonesia untuk menjamin keamanan wilayah kelautan, khususnya di Sea Lines Of Communication. Bila kewajiban ini diabaikan, dalam arti bahwa kapal-kapal niaga negara pengguna terancam keamanannya bila melintas di perairan Indonesia, maka hal itu dapat menjadi alasan untuk menghadirkan kekuatan angkatan lautnya. Berkaitan dengan hal ini diperlukan kesamaan persepsi tentang keamanan laut, khususnya bagi komponen bangsa yang memiliki tugas, fungsi dan wewenang di laut, agar “action plan” yang akan dilaksanakan dapat tepat pada sasaran, terarah dan terpadu.

Perlu dipahami bahwa keamanan laut bukan hanya penegakan hukum di laut, lebih tegasnya lagi keamanan laut tidak sama dengan penegakan hukum di laut. Keamanan laut mengandung pengertian bahwa laut aman digunakan oleh pengguna, dan bebas dari ancaman atau gangguan terhadap aktifitas penggunaan atau pemanfaatan laut, yaitu :

Laut bebas dari ancaman kekerasan, yaitu ancaman dengan menggunakan kekuatan bersenjata yang terorganisir dan memiliki kemampuan untuk mengganggu dan membahayakan personel atau negara. Ancaman tersebut dapat berupa pembajakan, perompakan, sabotase obyek vital, peranjauan, dan aksi teror bersenjata.
Laut bebas dari ancaman navigasi, yaitu ancaman yang ditimbulkan oleh kondisi geografi dan hidrografi serta kurang memadainya sarana bantu navigasi, seperti suar, bouy dan lain-lain, sehingga dapat membahayakan keselamatan pelayaran.
Laut bebas dari ancaman terhadap lingkungan dan sumber daya laut, berupa pencemaran dan perusakan ekosistem laut, eksploitasi yang berlebihan serta konflik pengelolaan sumber daya laut. Fakta menunjukkan bahwa konflik pengelolaan sumber daya laut memiliki kecenderungan mudah dipolitisasi dan selanjutnya akan diikuti dengan penggelaran kekuatan militer.
Laut bebas dari ancaman pelanggaran hukum, yaitu tidak dipatuhinya hukum nasional maupun internasional yang berlaku di perairan, seperti illegal fishing, illegal logging, illegal migrant, penyelundupan dan lain-lain.

Bertitik tolak dari persepsi tersebut sangatlah jelas bahwa keamanan laut memiliki lingkup yang cukup luas, sehingga memerlukan organisasi, manajemen, serta sarana dan prasarana yang memadai. Dilihat dari sisi ini akan menyadarkan kita semua, bahwa masalah keamanan di laut merupakan masalah yang kompleks. Kekompleksannya semakin bertambah karena di laut bertemu dua kepentingan yang saling mengikat, yaitu kepentingan nasional dan internasional. Oleh karenanya penindakan terhadap ancaman-ancaman tersebut perlu didukung oleh perangkat peraturan perundang-undangan, baik nasional maupun internasional.

Gangguan Keamanan di Selat Malaka.


Sea Armed Robbery


Selat Malaka selama ini dipandang selalu menjadi pusat perhatian publik utamanya terkait dengan berita tentang meningkatnya gangguan keamanan terhadap kapal-kapal dagang dan tanker yang melintasi selat ini. Gencarnya publikasi tentang perairan Indonesia khususnya keamanan Selat Malaka yang di juluki sebagai "the most piracy-prone in the world" dikhawatirkan akan tercipta opini masyarakat internasional bahwa memang seperti itulah adanya. Dampak dari pemberitaan ini menyebabkan meningkatnya premi asuransi pelayaran dari dan ke Indonesia yang pada akhirnya akan mempengaruhi kepentingan ekonomi Indonesia.

Konteks pengertian dari Piracy dan Robbery/Armed Robbery juga belum terdefinisi dengan baik dan diterima oleh semua pihak, sehingga sampai saat ini pengertian kedua kata tersebut masih bias dengan konotasi arti yang berbeda-beda. Laporan-laporan tentang Selat Malaka yang dikeluarkan oleh suatu lembaga Non Pemerintah yaitu International Maritime Bureau (IMB) dengan menggunakan definisi "Piracy/Pembajakan" secara sepihak tanpa memperhatikan kaidah hukum-hukum internasional, sangat merugikan Indonesia.

Dalam pasal 100 UNCLOS 1982 dinyatakan bahwa Piracy merupakan tindakan ilegal "dilaksanakan di laut bebas atau di tempat di luar yurisdiksi suatu negara" kemudian pada Pasal 101 UNCLOS 1982 secara tegas mengatur dan membedakan "piracy" dan "armed robbery at sea" berdasarkan "Locus Delicti", dimana piracy merupakan tindakan kejahatan yang dilakukan di laut Lepas (High Seas) atau dilakukan di luar wilayah yurisdiksi nasional suatu negara. Dari definisi ini, dapat disimpulkan bahwa di Selat Malaka tidak terdapat tindakan "piracy". International Maritime Bureau (IMB) justru menciptakan definisi "piracy" sendiri. Yang menyatakan bahwa piracy adalah segala tindakan kejahatan baik yang dilakukan di laut teritorial maupun perairan kepulauan suatu negara atau bahkan dalam suatu pelabuhan di suatu negara, sebagai contoh adanya awak kapal yang mengalami kecopetan di pelabuhan, perompakan pada kapal-kapal yang sedang berlabuh jangkar di pelabuhan serta perbuatan kriminal lain (petty cash criminal) sudah dianggap “piracy”. Dan Indonesia jelas menolak definisi ini.

Pembajakan (piracy), perompakan bersenjata di laut (armed robbery against ships) dan kemungkinan serangan teroris pada jalur pelayaran telah menjadi ancaman yang serius bagi keamanan maritim kawasan Asia Pasifik serta mengganggu stabilitas perdagangan global. Masalah keamanan maritim merupakan hal yang mendasar dan sangat diperlukan dalam menciptakan kesejahteraan dan keamanan di kawasan negara-negara khususnya di Asia Tenggara. Dalam hal ini dibutuhkan upaya kerja sama regional secara menyeluruh bukan saja untuk memerangi pembajakan dan perompakan, namun juga untuk memerangi kejahatan internasional yang terorganisasi (transnational organised crime, TOC).

Terorisme Maritim


Dewasa ini tengah beredar suatu pandangan bahwa teroris dapat bekerjasama dengan para perompak di Selat Malaka dan melakukan serangan dengan merusak salah satu jalur perdagangan terbesar di dunia. Analisa apapun di era globalisasi ini sah dan legal, tapi yang terpenting adalah kewaspadaan dan kesiagaan terhadap segala kemungkinan adalah sangat penting, terlebih bagi negara seperti Indonesia yang juga menjadi korban terorisme. Hingga saat ini, serangan teroris yang langsung diarahkan ke ‘sasaran’ di Laut dapat dikatakan sangat jarang terjadi. Padahal kalau kita cermati, kejadian terorisme maritim masih sangat kecil dan gaung atau akibat kejadiannya tidak semencekam terorisme di darat mengingat tujuan utama terorisme adalah dampak ketakutan yang sangat hebat terhadap masyarakat.

Bagaimana dengan issue terorisme maritim yang dihembuskan negara-negara besar akan terjadi di perairan Selat Malaka dan Selat Singapore ? bayangan sebagian masyarakat umum khususnya dunia pelayaran adalah hadirnya teroris dengan menggunakan boat kecil berisi bahan peledak yang sedang mengintai dan menunggu dirinya di kapal tangker atau kapal kontainer yang sedang melalui Selat Malaka. Atau mungkin dengan cara melaksanakan bom bunuh diri (Suicide Bomb). Bisakah itu terjadi ?

Ancaman lain berupa penyebaran ranjau merupakan bentuk serangan teroris yang paling berbahaya. Telah diketahui bahwa ranjau merupakan senjata yang murah dan sederhana tetapi dapat menimbulkan dampak yang sangat strategis. Hanya dengan menyebarkan senjata tersebut di wilayah perairan maka dapat mengancam keamanan SLOC (Sea Lines Of Communication). Kalau sebuah Tanker/Kapal meledak karena ranjau, maka seluruh kegiatan pelayaran akan terhenti dalam waktu yang cukup lama, sampai xxsemua jalur di perairan tersebut betul-betul bebas/tidak ada ranjau dan para pengguna laut merasa aman dan tidak ragu-ragu lagi apabila melintasi perairan ini, sehingga dibutuhkan waktu yang lama dan dana yang besar untuk melakukan survey pencarian dan pembersihan Alur (channel) sekaligus melaksanakan penyelamatan dan pengangkatan kapal (salvage) yang menjadi korban ranjau.

Hal ini akan berbeda dengan meledaknya kapal yang disebabkan oleh teroris dimana tidak akan menghentikan kegiatan lalu lintas pelayaran (shipping traffic). Tetapi dengan sifat ranjau yang murah dan sederhana ini, akan mampu menimbulkan efek yang sangat besar, sehingga sangat mungkin senjata ini akan dipergunakan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab, di mana dampaknya dapat menimbulkan ketakutan dari para pengguna laut sehingga mengganggu dan mengancam kestabilan ekonomi negara-negara kawasan yang akhirnya berakibat terhadap kestabilan ekonomi dunia.

Semua negara dapat menggunakan Sea Lines Of Communication yang melalui perairan Indonesia termasuk Selat Malaka dan Selat Singapura untuk perlintasan kapal-kapal mereka. Tetapi untuk melancarkan suatu operasi, dengan dalih memerangi terorisme maritim, harus mendapat persetujuan dari negara-negara pantai yang bersangkutan. Oleh karena itu masalah Terorisme Maritim ini bukan hanya urusan negara pantai, melainkan kepentingan bersama, sehingga negara-negara pengguna juga harus memiliki kepedulian yang tinggi dan ikut terlibat aktif dalam penanganannya, bukan dalam bentuk menghadirkan kekuatan Angkatan Lautnya, namun membantu meningkatkan kemampuan negara-negara pantai (Capacity Building), antara lain dalam kerjasama pertukaran informasi intellijen (Sharing Intellijen) diantara negara pantai serta antara negara pantai dan pengguna dengan membangun sistem informasi yang terintegrasi. Dengan demikian terjalin hubungan yang harmonis antara negara pantai dan pengguna sesuai kaidah Hukum Laut Internasional.

Dalam konteks ini seringkali masyarakat internasional, khususnya negara-negara pengguna Selat Malaka dan Selat Singapura menyalahkan Indonesia, atas tingginya frekuensi pembajakan dan perompakan di kedua Selat tersebut. Hal ini sepertinya kurang fair, karena dengan keterbatasan yang ada Indonesia bersama kedua neara pantai, yaitu Malaysai dan Singapura telah berupaya maksimal untuk mengatasinya.

Keamanan Maritim Kawasan khususnya di Selat Malaka dan Selat Singapore sebagai selat yang digunakan untuk pelayaran internasional sesuai dengan Hukum Laut internasional merupakan tanggung jawab negara pantai, yaitu Indonesia, Malaysia dan Singapore. Jaminan keamanan ini sangat penting, mengingat faktor keamanan di kawasan ini dapat menjadi isu yang krusial bagi kehidupan banyak bangsa. Negara pantai paling bertanggung jawab terhadap keamanan di perairannya untuk itu kehadiran pasukan asing selain ketiga negara pantai tersebut dalam konteks mengamankan SLOC di kawasan ini adalah tidak benar. Kehadiran pasukan lain dibenarkan apabila memang diminta oleh negara pantai. Hal ini sangat penting dipahami, mengingat hal tersebut menyangkut kedaulatan nasional negara pantai.

Semua negara dapat menggunakan jalur pelayaran khususnya Selat Malaka dan Selat Singapore untuk kepentingan perlintasan kapal-kapal mereka termasuk kapal-kapal perang. Tetapi untuk melancarkan suatu operasi, dengan dalih apapun, harus mendapat persetujuan dari negara-negara pantai yang bersangkutan. Oleh karena itu masalah pembajakan dan perompakan di SLOC seperti Selat Malaka dan Selat Singapore bukan hanya urusan negara pantai, melainkan kepentingan bersama, sehingga sangat diperlukan kerja sama dengan negara-negara lain dalam mewujudkan keamanan laut di wilayah tersebut. Negara-negara pengguna juga harus memiliki kepedulian yang tinggi dan ikut terlibat aktif dalam penanganannya, bukan dalam bentuk menghadirkan kekuatan Angkatan Lautnya, namun membantu meningkatkan kemampuan negara-negara pantai.
Sebagai negara yang sedang berkembang dimana faktor ekonomi dan keuangan merupakan kendala yang sangat utama, bantuan-bantuan diatas sangat diperlukan oleh Indonesia. Secara ekonomis pengalokasian anggaran melalui APBN (Anggaran pendapatan dan Belanja Negara) bagi pengamanan Selat Malaka yang memerlukan beaya yang cukup besar, sementara itu kegiatan pelayaran Indonesia belum signifikan dibandingkan pelayaran asing, dan tidak memberikan keuntungan secara langsung bagi Indonesia, kecuali secara tidak langsung yaitu perdagangan eksport dan import.