Friday, March 25, 2011

Indonesia Dukung Resolusi PBB di Libya Dengan Syarat

Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa mengatakan pemerintah mendukung pelaksanaan resolusi PBB dalam penyelesaian konflik internal di Libya. Namun, menurutnya, resolusi yang dijalankan tidak boleh menimbulkan penderitaan yang berlebihan dari warga sipil di Libya.
foto
Dua poin itu sudah disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam suratnya kepada Sekretaris Jenderal PBB. "Kekerasan tidak menyelesaikan permasalahan, siapapun juga," kata Marty di Kantor Presiden, Kamis (24/3).

Saat ini, kata Marty, Indonesia sedang memikirkan peran yang bisa dilakukan dalam menyelesaikan konflik di Libya. Hari ini, Presiden bertemu utusan khusus Raja Arab Saudi dan Sekretaris Jenderal Organisasi Konferensi Islam di sela-sela Rapat Kabinet Paripurna. "Bagaimana negara seperti Indonesia bisa berikan kontribusi. Kita tidak berpangku tangan, diam," katanya.
Indonesia berharap terciptanya situasi kondusif agar masyarakat Libya bisa menentukan nasib mandiri tanpa intervensi pihak manapun juga. "Jadi proses politik dan perlindungan warga sipil," katanya.

Staf Khusus Presiden bidang Hubungan Internasional Teuku Faizasyah mengatakan pertemuan dengan utusan Raja Arab Saudi itu dilakukan untuk menjelaskan perkembangan di Timur Tengah, misalnya di Libya dan khususnya di kondisi terakhir Bahrain. "Secara jelas disampaikan pada utusan Arab harus dicarikan pemecahan langgeng sehingga kondisi Timur Tengah membaik," katanya.

Namun, kata Faizasyah, bentuknya masih dipertimbangkan. Setidaknya, mereka sudah dapatkan pemahaman bahwa indonesia melihat perlu ada pemecahan secara tuntas. Esensi resolusi untuk menghindarkan jatuhnya masyarakat sipil. "Implementasi resolusi harus perhatikan nasib warga sipil," katanya. (Tempo Interaktif)

Thursday, March 10, 2011

Penyelesaian Konflik: Rekonsiliasi Versus Resolusi (Sebuah Pendekatan Teologi)

"Dari manakah datangnya sengketa dan perselisihan diantara kamu? Kamu menginginkan sesuatu tetapi tidak memperolehnya, kamu tidak memperoleh apa apa, lalu kamu menyalahkan orang lain sebagai penyebabnya, karena kamu sebenarnya mengharapkan mereka selalu mengikuti dan memenuhi keinginan dan kehendakmu, kamu mengharapkan kondisi itu selalu membawa kebahagiaan karena hak dan milikmu tidak diganggu, tetapi kamu lupa bahwa keinginan orang lainpun seingkali sama, lalu kamu marah karena terganggu dan gagal mendapatkannya"  (Diadopsi dari Surat Rasul Yakobus) 

 Membawa damai bukanlah menghindari konflik.Lari dari masalah, berpura-pura masalah itu tidak ada atau takut membicarakannya sebenarnya adalah sikap pengecut. Jika anda ingin menjadi juru damai maka anda jangan sekalipun pernah takut akan Konflik. Anda dalam banyak hal tidak boleh menyerah. Demi kebaikan semua orang anda perlu memancing konflik, menghindari konflik dan menciptakannya agar penyelesaiannya  bersifat menyeluruh dan tuntas. Ada beberapa langkah dasar penyelesaian konflik:

Pertama, Selalu Mengambil Inisiatif, basis pertama yang sangat menentukan adalah jangan menunggu pihak lain, hampirilah mereka terlebih dulu. Jangan menunda membuat dalih atau berjanji " aku akan mengurusnya suatu saat nanti" sesegera mungkin tetapkan sebuah pertemuan, penundaan hanya memperdalam rasa dendam dan menciptakan segalanya lebih buruk. Dalam konflik waktu tidak menyembuhkan apapun, waktu menyebabkan luka makin bernanah. Bertindak dengan cepat akan mengurangi kerusakan yang lebih parah.

Kedua, Simpati dan Empati, sebelum mencoba menyelesaikan suatu perselisihan gunakanlah telinga anda lebih banyak dari mulut anda untuk menjenguk dan mendengarkan perasaan perasaan orang. Pusatkan perhatian kepada perasaan bukan kepada fakta, mulailah dengan simpati empati jangan potong kompas kepada kesimpulan solusi, jangan tergesa-gesa mencoba membujuk orang untuk menceritakan apa yang mereka rasakan. Dengarkan saja dan biarkan mereka mengeluarkan isi hati secara emosional tanpa bersikap membela atau menyalahkan. Mengangguklah bahwa anda paham walaupun anda tidak setuju. Perasaan tidaklah selalu benar atau masuk akal dan orang tidak peduli dengan apa yang kita ketahui sampai mereka tahu bahwa anda benar benar tulus dan peduli.

Ketiga, Pengakuan Kelemahan Anda, suatu referensi teologi  mengatakan "keluarkanlah dahulu balok dari matamu, maka engkau akan melihat dengan jelas untuk mengeluarkan selumbar itu dari mata saudaramu, jika kita berkata bahwa kita tidak berdosa maka kita menipu diri sendiriKarena tiap orang  memiliki kelemahan maka anda berdamailah agar orang tersebut percaya sepenunyaa pada anda dan sukarela meminta anda untuk mengevaluasi tindakan-tindakannya dan bersedia mendamaikan perselisihan mereka.


Keempat. Seranglah Masalahnya Bukan Orangnya, anda tidak mungkin membereskan masalah jika anda sibuk mencari siapa yang bertanggung jawab  Kata bijak mengajarkan" jawaban yang lemah lembut meredakan kegeraman, tetapi perkataan yang pedas membangkitkan amarah" Anda tidak akan pernah menjelaskan pikiran anda dengan marah. Ketika memecahkan konflik cara anda berbicara sama pentingnya dengan apa yang anda katakan. Jika anda mengatannya dengan cara menyerang akan menimbulkan pembelaan diri dan penolakan karena orang yang bijak hati dan berbicara elegan lebih dapat meyakinkan. Hindarilah kata kata mengutuk, meremehkan, mencap, mengejek, arogan dan kasar.

Kelima. Bekerjasama Sebanyak Mungkin. Kooperatif dan akomodatif adalah kunci langkah ini karena damai selalu memiliki label harga. Kadangkala damai itu harganya adalah sebesar kesombongan dan keegoisan kita. Demi konsesnsus berusahalah sejauh mungkin berkompromi mendekatkan kesamaan pandang dalam situasi dan item yang sesulit apapun. Sebuah parafrase  mengatakan bahwa kamu akan berhasil bila anda menunjukkan contoh kecil bagaimana bersikap kooperatif dan bukannya bersaing atau berkelahi


Keenam, Utamakan Rekonsiliasi Bukan Resolusi, suatu hal yang tidak masuk akal dan realistis bila kita mengharapkan semua orang setuju dengan segala sesuatu. Rekonsiliasi mengutamakan suatu hubungan (partnership), sedangkan resolusi mengutamakan masalah. Bila kita mengutamakan rekonsiliasi masalah akan kehilanhan maknanya dan seringkali menjadi tidak relevan. Kita dapat membangun kembali hubungan meskipun kita tidak mampu menyelesaikan perbedaan perbedaan yang timbul. Permata dan berlian yang sama akan tampak berbeda dari sudut yang pberbeda. Yang diutamakan adalah kesatuan bukan keseragaman, kita tidak dapat hidup bergandengan tangan tanpa kesepakatan atas masalah yang diakui bersama. Bukan berarti kita berhenti mencari penyelesaian masalah , kita tetap membutuhkan dialektika, berdebat dan berdiskusi dengan sehat namun lakukanlah dalam semangat keharmonisan. Rekonsiliasi berarti anda melupakan perbedaan pendapat itu namun tetap mengingat masalah yang terutama untuk memulihkan tensi dan hubungan kearah yang lebih baik.



Saturday, March 5, 2011

Revolusi Tak Bisa Difotokopi

Senin, 21 Februari 2011
Revolusi tak bisa difotokopi. Revolusi tak bisa dipesan. Mungkin ini kesimpulan sejak revolusi pertama dalam sejarah modern.


Pada usia 20, Lafayette, aristokrat dari Auvergne, Prancis Selatan, itu berangkat ke Amerika. Ini tahun 1777, ketika belum ada harapan bagi perjuangan orang Amerika untuk membebaskan diri dari penjajahan Inggris. Saat itu Raja Prancis tak mengizinkan siapa pun bergabung dengan revolusi di ”benua baru” itu. Tapi Lafayette punya kenekatan, ambisi, dan cita-cita luhur. Hatinya berkobar dengan keyakinan yang disuratkan Deklarasi Kemerdekaan Amerika. Ia pun berangkat dari pantai Spanyol dengan menyamar sebagai seorang perempuan.


Akhirnya—setelah menyatakan diri tak hendak menerima bayaran sepeser pun—ia diterima bergabung dengan tentara pembebasan yang dipimpin George Washington. Di antara pasukannya yang berpakaian berantakan, Jenderal Amerika itu menyambut pemuda Prancis yang kurus itu dengan hormat: ”Kami harus merasa malu, mempertontonkan diri di depan seorang perwira yang baru saja meninggalkan pasukan Prancis.” Lafayette menjawab: ”Untuk belajar, dan bukan mengajar, saya datang kemari.”

Dan Lafayette memang belajar banyak, melalui perang, luka, intrik politik—dengan gairah yang tak kunjung menciut. Ia kembali ke Prancis setelah empat tahun bertempur. Beberapa tahun kemudian ia terlibat langsung dengan Revolusi Prancis.


Pada 11 Juli 1789, dialah—yang darah birunya berasal dari kelas bangsawan lama—yang pertama kali mengajukan rancangan ”Deklarasi Hak-hak Manusia dan Warga Negara”: ”Manusia dilahirkan sama-rata dalam hak-haknya, dan tetap demikian adanya….” Dalam dokumen Prancis itu, terasa gema Deklarasi Kemerdekaan Amerika yang ditulis 13 tahun sebelumnya—gema sesuatu yang kemudian terbukti universal.

Tapi kita tahu, Revolusi Prancis berakhir tak sama dengan Revolusi Amerika. Bung Karno pernah mengatakan, tak ada model revolusi yang ”ready-for-use”. Masyarakat bisa diubah dengan satu desain, tapi tak akan bisa sepenuhnya terpenuhi. Sejarah dan geografi yang berbeda-beda tak mudah diutak-atik. ”Manusia memang membuat sejarah,” demikian kata-kata Marx yang terkenal dari tahun 1851, ”tapi di bawah kondisi yang bukan dipilihnya sendiri.”


Maka Rusia, dengan cita-cita pembebasan universal, tak bisa menyamakan kondisi Cina untuk melihat lahirnya sebuah revolusi sosialis. Jalan Mao berbeda dengan jalan Stalin. Bahkan pada akhirnya keduanya bertentangan. Rusia, Cina, Yugoslavia, Korea Utara, Kuba, dan lain-lain: revolusi tak bisa difotokopi.

Tapi ia bisa menjalar. Di abad ke-20 ia menjalar ke Asia, Afrika, Amerika Latin. Kini, di awal abad ke-21, tampak ia berjangkit dari Tunisia, Mesir, Aljazair, Bahrain, Libya….

Mengapa? Menulis tentang gemuruh yang terjadi di Alun-alun Tahrir, Kairo, bulan ini, Slavoj Žižek menyimpulkan: pemberontakan ini universal. Seperti Lafayette tergerak Revolusi Amerika, ”Semua kita di seluruh dunia dengan segera tak mustahil menyamakan diri dengannya.”

Yang menarik, Žižek melihat kontras pemberontakan di Mesir dengan ”revolusi Khomeini” di Iran. Di sana, kaum kiri harus ”menyelundupkan pesan mereka ke dalam kerangka yang paling kuat, yakni Islam.” Sebaliknya, di Alun-alun Tahrir, ”kerangka itu jelas merupakan satu seruan sekuler yang universal untuk kebebasan dan keadilan.” Justru Ikhwanul Muslimin, kata Žižek, ”menggunakan bahasa tuntutan sekuler.”

Kata ”sekuler” di sini tampaknya sama dengan ”tak didominasi pandangan agama apa pun” dan sebab itu ”universal”, menyentuh siapa saja, di mana saja. Tapi mampukah sebuah revolusi berhasil tanpa seruan yang universal?

Žižek salah. Di Iran, sebenarnya kerangka Islam itu juga punya sifat-sifat universal. Kita menemukannya dalam pemikiran Ali Shariati dan Mehdi Bazargan. Yang tragis ialah bahwa bersama tenggelamnya peran pemikiran Ali Shariati dan tersisihnya orang seperti Bazargan, kian terputus pula pertalian peninggalan Khomeini dengan yang universal: ”Islam” menjadi hanya ”kami”, tak lagi ”kita”.

Tapi apa boleh buat: revolusi bukan sekadar penjelmaan ”ide yang abadi” (kata-kata Žižek) tentang kemerdekaan dan keadilan. Revolusi meletus dari kehidupan yang tak terkait dengan langit. ”Hak untuk mempunyai hak” tak diberikan satu kekuasaan yang ada dari luar sejarah. Hak itu ditegakkan atau direbut mereka yang merasa terjepit.

Itu sebabnya revolusi tak bisa dipesan. Seperti puisi, revolusi punya saatnya sendiri untuk lahir. Ia buah yang panas dari kemarahan yang otentik dan antagonisme yang mendalam.

Tapi selalu jadi cacat dalam tambo manusia: dalam proses itu, pergeseran dari ”kita” ke ”kami” tak terelakkan. Revolusi harus mengukuhkan batas antara ”kami” dan ”mereka”—dan di situ, ”kita” ditiadakan.

Dengan kata lain, ada pembungkaman yang terjadi, ketika yang universal—kemerdekaan, keadilan, harga diri—dilembagakan dalam program partai, ideologi negara, atau hukum. Kaum revolusioner akan harus menentukan siapa yang masuk kemerdekaan, keadilan, dan harga diri itu dan siapa yang harus dikeluarkan.

Akan demikian jugakah gemuruh di Alun-alun Tahrir itu?

Karim, seorang demonstran muda, menyebut lapangan itu sebuah ”utopia kecil”. Tapi utopia, dalam arti harfiahnya, terdiri atas kata ou dan topos, ”bukan + tempat”. Ia jejak dari satu kejadian yang akan segera hilang. Mereka yang cemas perlu mengerahkan kesetiaan yang besar untuk selalu merebut kembali yang hilang itu.

Maka Lafayette tak berhenti di satu sisi Lautan Atlantik—dan namanya tak tenggelam hanya sampai di abad ke-18. Revolusi tak bisa difotokopi, tapi ia tak pernah selesai. (Shared by Goenawan Muhammad)