Showing posts with label International. Show all posts
Showing posts with label International. Show all posts

Thursday, September 1, 2011

Perdamaian Transisi Paska Qadhafi


Nasib dan keberadaan Muammar Qadhafi belum jelas, hampir pasti kekuasaan yang demikian mengangkat namanya dan pangkat kolonelnya selama 42 tahun telah runtuh. Sebuah kisah negeri monarkhi suku buatan Qadhadi telah usai. Jatuhnya Bab al-Aziziyah, kompleks kediaman Qadhafi di Tripoli yang menjadi simbol kekuasaan diktator itu, menegaskan bahwa transisi kekuasaan di Libya sudah di depan mata. Persoalannya, transisi seperti dan model apa?

Libya jelas bukanlah Mesir atau Tunisia, dua negara yang mengalami kejatuhan pemimpinnya oleh gerakan rakyat. Demokratisasi ini disimbolkan sebagai Arab Spring, yaitu kebangkitan kekuatan antidiktator di negara-negara Arab. Membangun demokrasi di Libya jauh lebih sulit dibanding di Tunisia atau Mesir. Di bawah kekuasaan Qadhafi selama 42 tahun, Libya sama sekali tak memiliki partai atau institusi modern negara. Libya lebih mirip sebuah negara kumpulan puluhan suku, dengan sebagian suku mendukung kekuasaan Qadhafi.

Konfigurasi seperti itu menunjukkan bahwa persoalan utama bagi Libya jika Qadhafi jatuh adalah menyatukan puluhan suku. Masalah ini mirip yang dihadapi Irak setelah rezim Saddam Hussein dijatuhkan oleh pasukan Sekutu. Pasukan Amerika, sebagai komandan utama Sekutu, mencoba membangun Irak dengan melucuti semua kekuatan bersenjata pro-Saddam. Kesatuan polisi dibentuk untuk mengatasi keadaan, namun mereka tak berdaya karena gerilya perlawanan terhadap Amerika, juga konflik antarkelompok, tetap meledak.

Yang membedakan Libya dengan Irak adalah, pasukan NATO yang menggempur kekuatan Qadhafi tidak dibekali mandat untuk mengambil alih kekuasaan. Saat menggempur Saddam, pasukan koalisi--meski mandat mereka dipersoalkan--langsung mengambil alih kekuasaan dengan membentuk pemerintahan transisi. Di Libya, Dewan Transisi Nasional, yang terdiri atas perwakilan suku anti-Qadhafi dan kaum oposisi, dibentuk sebelum Qadhafi jatuh.

Perbedaan itu membawa implikasi besar. Setelah Qadhafi jatuh, Dewan Transisi Nasional Libya harus mampu mendapatkan legitimasi yang kuat. Legitimasi tidak hanya dari dalam, namun juga dari luar negeri. Dari dalam negeri, salah satu tantangan bagi Dewan Transisi adalah bagaimana mereka mampu menciptakan ketertiban sosial agar institusi negara bisa berjalan. Ini bukan soal kecil, karena Libya sekarang sudah menjelma menjadi negara dengan ribuan milisi bersenjata. Para milisi ini tentu mengklaim imbalan atas perjuangan yang mereka lakukan.

Dari luar negeri, Dewan Transisi memerlukan dukungan kuat komunitas internasional. NATO sudah menjalankan tugasnya menjatuhkan rezim Qadhafi. Namun kejatuhan ini justru merupakan awal perjuangan baru bagi bangsa Libya. Hancurnya infrastruktur, runtuhnya institusi negara, harus dipulihkan segera. Dukungan luar negeri, minimal dalam bentuk pengakuan legitimasi, mutlak diperlukan oleh Dewan Transisi.

Dewan Transisi juga harus mampu membangun infrastruktur demokrasi. Ini tak hanya diwujudkan dengan menggelar pemilu bebas, tapi perlu pula ada distribusi ekonomi yang lebih adil. Libya, sebagai negara besar dan kaya minyak, harus mampu mengelola kekayaan untuk kesejahteraan seluruh rakyatnya. Tanpa perubahan ini, “Arab Spring”, musim semi demokrasi di Arab, tak kan terwujud di Libya.

Friday, March 25, 2011

Indonesia Dukung Resolusi PBB di Libya Dengan Syarat

Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa mengatakan pemerintah mendukung pelaksanaan resolusi PBB dalam penyelesaian konflik internal di Libya. Namun, menurutnya, resolusi yang dijalankan tidak boleh menimbulkan penderitaan yang berlebihan dari warga sipil di Libya.
foto
Dua poin itu sudah disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam suratnya kepada Sekretaris Jenderal PBB. "Kekerasan tidak menyelesaikan permasalahan, siapapun juga," kata Marty di Kantor Presiden, Kamis (24/3).

Saat ini, kata Marty, Indonesia sedang memikirkan peran yang bisa dilakukan dalam menyelesaikan konflik di Libya. Hari ini, Presiden bertemu utusan khusus Raja Arab Saudi dan Sekretaris Jenderal Organisasi Konferensi Islam di sela-sela Rapat Kabinet Paripurna. "Bagaimana negara seperti Indonesia bisa berikan kontribusi. Kita tidak berpangku tangan, diam," katanya.
Indonesia berharap terciptanya situasi kondusif agar masyarakat Libya bisa menentukan nasib mandiri tanpa intervensi pihak manapun juga. "Jadi proses politik dan perlindungan warga sipil," katanya.

Staf Khusus Presiden bidang Hubungan Internasional Teuku Faizasyah mengatakan pertemuan dengan utusan Raja Arab Saudi itu dilakukan untuk menjelaskan perkembangan di Timur Tengah, misalnya di Libya dan khususnya di kondisi terakhir Bahrain. "Secara jelas disampaikan pada utusan Arab harus dicarikan pemecahan langgeng sehingga kondisi Timur Tengah membaik," katanya.

Namun, kata Faizasyah, bentuknya masih dipertimbangkan. Setidaknya, mereka sudah dapatkan pemahaman bahwa indonesia melihat perlu ada pemecahan secara tuntas. Esensi resolusi untuk menghindarkan jatuhnya masyarakat sipil. "Implementasi resolusi harus perhatikan nasib warga sipil," katanya. (Tempo Interaktif)

Saturday, February 12, 2011

Profile Dewan Militer Mesir

Hussein Tantawi (en.wikipedia.org)

Dewan Militer akan memimpin Mesir untuk sementara seusai turunnya Hosni Mubarak dari kursi presiden. Sebelum meninggalkan Kairo bersama keluarganya, Mubarak melimpahkan kekuasaan kepada Dewan Militer. Jenderal Omar Suleiman, Wakil Presiden yang juga mantan pejabat intelijen, juga memberikan mandat kepada Dewan Militer ini.

Dewan ini dipimpin Menteri Pertahanan Mohammed Hussein Tantawi, bersama Kepala Staf AD Letnan Jenderal Sami Anan, dan Menteri Penerbangan Ahmed Shafiq. Berikut profil mereka.
Hussein Tantawi
Field Marshal Tantawi menjadi menteri pertahanan dan Panglima Angkatan Bersenjata Mesir sejak 1991. Tantawi menjadi tentara Mesir pertama yang berpangkat Field Marshal sejak 1989. Tantawi disebut-sebut akan menjadi penantang serius dalam pemilu presiden September nanti. Selama demonstrasi 2011, dia dipromosikan sebagai Wakil Perdana Menteri.

Tantawi menjadi wakil pemerintah pertama yang mengunjungi Tahrir Square pada 4 Februari 2011. Ia membawa beberapa pejabat militer dalam kunjungan singkatnya itu.

Reda Mahmoud Hafez Mohamed
Air Marshal Reda Mahmoud Hafez Mohamed yang juga Kepala Staf AU Mesir menjadi komandan AU wilayah Timur, lalu wilayah Selatan, sejak 2005. Pada 1 Juli 2007, ia menjadi Kepala Operasional dan di akhir tahun itu ditunjuk menjadi Kepala Staf AU. Ia dicopot dan digantikan oleh Magdy Galal Sharawi pada 20 Maret 2008.

Sami Hafez Anan
Letnan Jenderal Sami Anan adalah pemimpin tertinggi 468 ribu tentara Mesir. Ia berperan krusial dalam mengkoordinasikan kondisi interim pemerintahan Mesir.
Anan masih berada di Washington saat demontrasi terjadi. Ia memperpendek kunjungan dan pulang ke negerinya. Dilaporkan, pihak AS meminta Anan sebagai kunci proses mediasi. Anan juga disebut-sebut merupakan figur penting untuk menjalankan roda pemerintahan yang ditinggalkan Mubarak.

Beberapa anggota Dewan Militer yang lain adalah: Komandan Pertahana Udara Letnan Jenderal Abd. El Aziz Seif-Eldeen dan salah satu pemimpin Angkatan Laut, Vice Admiral Mohab Mamish.
• VIVAnews

Rezim 30 Tahun Mubarak Tumbang

Di antara protes dan demonstrasi tak kunjung henti, Hosni Mubarak akhirnya mundur setelah berkuasa selama 30 tahun di Mesir.

Stabilitas keamanan selalu menjadi fokus Mobarak di era kepresidenannya. Ia memberlakukan Undang-undang Darurat yang melarang pertemuan lebih dari 5 orang. Dan itu sukses dijalankan selama 30 tahun di negara berpenduduk terbesar di Timur Tengah itu.

Tapi pada Januari 2011, diinspirasi oleh revolusi di Tunisia, Mesir dilanda protes dan demonstrasi besar-besaran. Demonstran yang berpusat di Lapangan Tahrir mulai muak dengan menurunnya kemakmuran, korupsi, pengangguran serta
autokritik pemerintah.

Dalam siaran di televisi, 1 Februari lalu, Mubarak mengumumkan takkan mencalonkan diri lagi pada pemilu September.  Tapi, demonstran sudah tak sabar menunggu mundurnya pemimpin terlama di Arab itu. Dan akhirnya, Mubarak menyerah pada Jumat malam waktu setempat, 11 Februari 2011.

Karena Israel

Muhammad Hosni Sayyid Mubarak lahir pada 4 Mei 1928 di sebuah desa kecil di Delta Sungai Nil. Meski berasal dari latar belakang miskin, ia mampu lulus dari Akademi Militer Mesir pada 1949. Ia bertugas di Angkatan Udara sejak 1950.

Nama Mubarak mulai melejit saat menjabat sebagai komandan AU dan Deputi Menteri Pertahanan Mesir sekaligus. Ia memimpin penyerangan ke pasukan Israel yang menginvasi semenanjung Sinai pada perang Yom Kippur 1973.

Sukses Mubarak melejitkannya ke posisi orang nomor 2 Mesir. Dua tahun setelah Perang itu, Presiden Sadat mengangkat Mubarak sebagai Wakil Presiden.

Mubarak naik menjadi Presiden ke-4 Mesir seusai terbunuhnya Anwar Sadat pada 6 Oktober 1981. Saat itu, tak banyak pengamat yang memperkirakan Mubarak yang baru saja naik menjadi Wapres akan bertahan lama di kursi Presiden Mesir.

Sekutu AS

Meski kurang populer saat itu, Mubarak pintar mengolah isu pembunuhan Sadat untuk berdamai dengan Israel. Itulah momen dimana ia mulai membangun reputasi di dunia internasional.

Sebelumnya, Mubarak memang terlibat dalam perjanjian damai Camp David dengan Israel yang ditandangani oleh Presiden Sadat dan Perdana Menteri Israel, Menachem Begin pada 1979.

Mubarak pun mulai dekat dengan Amerika Serikat. Diiringi bantuan Negeri Paman Sam senilai miliaran dolar AS kepada militer Mesir.

Mubarak dan Mesir juga selalu menjadi moderator bagi negara-negara Barat atas konflik Israel-Palestina. Sayangnya, posisi itu justru memperburuk citra Mubarak di kalangan fundamentalis Muslim. Ia menjadi target pembunuhan.

Mubarak tercatat enam kali lolos dari percobaan pembunuhan. Kali terakhir terjadi pada 1995 saat mobil limousin yang ditumpanginya diserang di Ibukota Ethiopia, Addis Ababa. Saat itu, ia akan menghadiri Konferensi Afrika.

Beberapa insiden itu memaksa Mubarak memenjarakan beberapa lawan politiknya. Intelijen Mesir pun menjadi sangat rajin membersihkan semua musuh Mubarak.
Diktator
Usaha Mubarak mengendalikan stabilitas negara bukan hanya menjadikan dirinya diktator. Ia juga memonopoli sektor ekonomi Mesir.

Tapi dalam beberapa tahun terakhir, ia mulai merasakan tekanan demokrasi. Baik dari dalam negeri maupun dari AS. Setelah protes dan demonstrasi dalam beberapa pekan terakhir, tekanan itu tak tertahan.

Dukungan dari militer semakin berkurang. Beberapa komandan militer pun pilih meninggalkan posisinya. Sejak 10 Februari lalu, kabar bahwa Mubarak akan segera lengser menyebar ke seantero Mesir dan dunia.

Di siaran televisi, Mubarak yang frustrasi sempat berpidato akan mempertahankan kursinya sampai Pemilu September. Tapi, kurang dari 24 jam berikutnya, Mubarak meninggalkan Kairo bersama keluarganya.

Wakil Presiden Omar Suleiman berpidato di televisi bahwa Sang Presiden resmi mundur. Kabar ini menjadi kegembiraan warga yang merayakannya di seluruh jalanan Kairo, Alexandria dan beberapa kota besar Mesir lainnya.
• Diadopsi dari VIVAnews

Friday, February 11, 2011

Country Risk Assessments-Southeast Asia

Sentinel Country Risk Assessments - Southeast Asia

Know where your risks and opportunities are

Jane's Sentinel Country Risk Assessments provide you with in-depth, up-to-date and accurate data and analysis on the latest events and trends in political, security and economic affairs. They provide a comprehensive one-stop information source covering 190 states and 30 territories. Jane's worldwide intelligence network of over 120 expert contributors delivers incisive and impartial analysis to help you protect your economic, strategic and political interests.

The new Security file allows prompt and reliable analysis on every country's security, primarily in the areas of terrorism and insurgency
  • state stability
  • international relations
  • organised crime
  • proliferation and procurement


Political files provide overviews of the political system, political actors and parties, cabinet lists, civil society and internal history. External files detail all relevant bilateral and multilateral relations and history. Defence files offer profound analysis of, and information on, all services of a country's military, its size, capabilities, requirements, weaknesses, strengths and orders of battle.

Benefits of online version
An online subscription gives you:
  • daily content updates
  • additional analysis available only to online subscribers
  • the facility to print complete country reports
  • quick and easy navigation to your specific areas of interest
  • simple and advanced search tools
  • active interlinking and navigating


The world's most comprehensive and reliable source on national and international security.

Managing Editor: Christian Le Miére

Southeast Asian countries:
  • Brunei
  • Cambodia
  • East Timor
  • Indonesia (including separate sections on Aceh, Papua, The Moluccas and Kalimantan)
  • Laos
  • Malaysia
  • Myanmar
  • Philippines
  • Singapore
  • Thailand
  • Vietnam

Friday, October 29, 2010

Sang Perestroika: Nato Pasti Keok

MIKHAIL GORBACHEV
NATO Sudah Pasti Keok
Rabu, 27 Oktober 2010 | 16:31 WIB
KOMPAS.com — Para petinggi NATO hendaknya makin sering mendengar petuah Mikhail Gorbachev. Mantan orang nomor satu di Uni Soviet itu sudah mewanti-wanti kalau pasukan militer di bawah NATO bakal keok alias kalah total dalam peperangan di Afganistan.
Sudah barang tentu, omongan Gorbachev yang sohor dengan perestroika dan glasnost itu bukan pepesan kosong. Soalnya, Uni Soviet pun pernah jeblok di Afganistan hingga akhirnya memilih hengkang dari Negeri Mullah.
"Hal yang bisa dilakukan kini adalah membantu Afganistan pulih dari kondisi pascaperang," katanya sebagaimana warta media AP dan AFP pada Rabu (27/10/2010).
Gorbachev memuji keputusan Presiden Amerika Serikat Barack Obama yang mulai menarik mundur pasukan AS pada musim panas tahun depan. Namun, selain memuji, Gorbachev melontarkan kritik terhadap keterlibatan Amerika di Afganistan pada dua dekade lalu.
"Dengan bantuan keuangan dari Arab Saudi, Amerika melatih kelompok-kelompok militan yang kini meneror Afganistan dan terlebih lagi Pakistan," kata Gorbachev.
"Dengan kondisi itu, Amerika akan lebih sulit keluar dari masalah ini. Tapi adakah alternatif lain? Vietnam yang lain? Mengirim setengah juta pasukan? Itu tidak akan menyelesaikan masalah," tambah Gorbachev.
Sejauh ini, jumlah pasukan NATO di Afganistan mencapai 150.000 personel. Dari jumlah itu, 90.000 personel adalah pasukan asal Amerika Serikat.
Sejak invasi ke Afganistan pada 2001, lebih dari 2.000 prajurit NATO tewas. Dari jumlah itu, 1.350 orang adalah pasukan Amerika Serikat.