Thursday, June 18, 2009

Pro Kontra ALKI Timur-Barat


PRO KONTRA ALKI TIMUR - BARAT

Ketika kapal induk AS melewati perairan Indonesia, sebagaimana Normal Mode dari suatu kapal induk pastilah ia dikawal oleh kapal-kapal kombatan lain dan dilindungi pesawat terbang sebagai unsur pengintai, namun demikian kejadian melintasnya kapal induk tersebut dengan menerbangkan unsur pengintai di wilayah perairan dan udara Indonesia yang akhirnya ter-intercept oleh pesawat TNI AU telah menimbulkan polemik yang berkepanjangan di kalangan pemerintah Indonesia, meski berakhir dengan koordinasi positif antar pejabat.

Berdasarkan kejadian saat itu sesungguhnya patut dipastikan dimanakah persisnya penerbangan F-18 tersebut terjadi, letak kejadian ini sangat penting karena adanya hak Archipelagic Sea Lanes Passage (ASLP) sesuai dengan pasal 53 ayat 2 Konvensi Hukum Laut yang berbunyi “All ships and aircraft enjoy the right of archipelagic sea lanes passage in such sea lanes and air routes” hak ini berlaku pula bagi kapal-kapal perang dan kapal-kapal terbang militer untuk berlayar dan terbang melalui dan diatas alur laut kepulauan di perairan nusantara

Merujuk pada kejadian tersebut, sebenarnya pada gugus tugas armada AS tersebut berlaku hak ASLP ataukah Innocent Passage, mengingat jalur yang dilalui adalah dari ALKI I kemudian melintas Laut Jawa dilanjutkan ke ALKI II, Kajian singkat ini bermaksud untuk memberikan gambaran dan masukan kepada pemimpin TNI AL tentang kemungkinan ditetapkannya / tidak ditetapkannya ALKI Timur – Barat ditinjau dari aspek Hubungan Internasional sehingga diharapkan berkurangnya tekanan pihak luar terhadap Indonesia.

ALKI serta peraturan perundangannya.

Pemerintah Indonesia sejak tahun 1995 telah mengajukan proposal ALKI kepada IMO, yang memutuskan pada sidang terakhir tanggal 19 Mei 1998 Working Group Maritime Safety Comitte - 69 yaitu diterimanya proposal ALKI Indonesia dan secara resmi diadopsi dan diterima oleh IMO, maka pengajuan ketiga ALKI Utara - Selatan oleh Indonesia merupakan ALKI pertama di dunia yang tentunya memberikan jalan yang lapang bagi negara-negara kepulauan yang lain untuk segera dapat menetapkan Alur Laut Kepulauan masing-masing negara.

Untuk itu salah satu tindak lanjut dari keputusan ini adalah dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 61 tahun 1998 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-titik Pangkal dan Garis Pangkal Kepulauan Indonesia di Laut Natuna sebagai garis pangkal baru serta Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 2002 tentang Hak dan Kewajiban Kapal dan Pesawat Udara Asing dalam melaksanakan hak lintas Alur Laut Kepulauan melalui alur yang telah ditetapkan yang dikeluarkan pada tanggal 28 Juni 2002, enam bulan setelah tanggal penyerahan PP ini ke IMO, maka ALKI berlaku sah secara formal untuk digunakan secara internasional

Perairan Kepulauan Sebelum 1982

Rejim Alur Laut Kepulauan bermula pada pengertian yang terdapat dalam Pasal 53 UNCLOS '82 tentang hak lintas alur laut kepulauan, meski konsep Negara Kepulauan (Archipelagic State) saat itu sudah diterapkan dan berkembang pada saat aturan UNCLOS sedang dinegosiasikan, tetapi belum ada aturan yang jelas tentang bagaimana berlayar melewati Alur Laut Kepulauan sampai setelah diadopsinya UNCLOS yang resmi dideklarasikan pada bulan Desember 1982. Sebelum negosiasi Hukum Laut Internasional, negara-negara maritim menginterpretasikan hak melintas antara pulau-pulau di tengah-tengah kepulauan didasarkan atas :

1. Setiap pulau mempunyai laut territorial sendiri-sendiri dan kapal-kapal asing yang melewati perairan yang menghubungkan pulau (Interconnecting waters) secara tradisional mempunyai hak Innocent Passage
2. Apabila laut territorial dari suatu pulau overlapped dengan yang lain maka diterapkan rejim selat dan innocent passage bagi kapal-kapal asing
3. Diluar laut territorial dari setiap pulau adalah merupakan laut bebas yang berarti bahwa kapal-kapal asing bebas berlayar dan terbang melalui perairan-perairan tersebut

Di dalam aturan domestik serta pada saat pelaksanaan UNCLOS I dan II, negara kepulauan seperti Indonesia dan Phipilipina mengadopsi suatu pandangan/aturan dimana bagi kapal-kapal asing yang melintasi perairan kepulauan berlaku innocent passage dan khusus untuk kapal perang harus memberitahukan terlebih dahulu kepada negara pantai.

Penerapan perairan kepulauan sejak 1982

Sejak tahun 1982 dan diratifikasinya UNCLOS oleh negara-negara pantai maka negara kepulauan mempunyai kedaulatan untuk mengontrol perairan diantara pulau-pulaunya dan menjamin ketidakterganggunya pengguna-penguna laut dimana dahulunya merupakan laut bebas.
Asal usul ALKI adalah berdasarkan suatu konsep dalam UNCLOS “routes normally used for international navigation” yang melalui atau melintasi perairan kepulauan mulai dari titik masuk hingga titik keluar dari batas luar laut teritorial suatu negara pantai yang diukur dari baselinenya. Harus pula dicatat bahwa Rejim ASLP berwujud “hak dan Kewajiban”. Ini berarti bahwa secara jelas negara pantai mempunyai hak berdaulat terhadap perairan kepulauannya, dan dari hak ini akan memunculkan kewajiban’ . Kewajiban ini merupakan jaminan terhadap hak pengguna laut negara lain yang melalui ASLP. Hak tersebut berupa akses untuk melintas yang bersifat damai, bertujuan baik, menghindari sikap mengancam dan menggunakan kekerasan terhadap kedaulatan, integritas atau kemerdekaan negara pantai (UNCLOS pasal 39(2) )

Polemik ALKI Timur - Barat

Pada saat diresmikannya ALKI I, II, dan III yang notabenenya adalah Utara – Selatan oleh IMO, masih muncul ketidakpuasan negara-negara lain yang berkepentingan melewati wilayah Indonesia khususnya negara-negara maritim besar, wilayah yang dulu sebelum diratifikasinya UNCLOS 82, merupakan laut bebas, kini berubah menjadi perairan kepulauan (Archipelagic Waters). Dan bahkan ada pasal dalam PP No. 37/2002 yang dinilai bertentangan dengan Konvensi HLI serta kesepakatan yang dicapai, misalnya pasal 15 yang menyatakan “Enam bulan setelah PP ini mulai berlaku, kapal dan pesawat udara asing dapat melaksanakan Hak Lintas Alur Laut kepulauan hanya melalui alur laut kepulauan sebagaimana ditetapkan dalam PP ini”, bunyi pasal tersebut jelas bertentangan dengan Pasal 53 (12) yang berbunyi ‘Apabila suatu negara kepulauan tidak menentukan alur laut atau rute penerbangan, maka hak lintas alur laut kepulauan dapat dilaksanakan melalui rute yang biasanya digunakan untuk pelayaran internasional’ serta bertentangan dengan kesepakatan awal yang terdapat pada ‘Rules of The Indonesian Archipelagic Sea Lanes’ aturan 19 yang berbunyi “Sebelum ditetapkan alur-alur kepulauan lainnya di bagian-bagian lain perairan kepulauan Indonesia, hak lintas alur laut kepulauan dapat dilaksanakan di perairan kepulauan yang relevan sesuai dengan Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982”

Indonesia pada saat itu memberikan alibi yang mungkin dipandang untuk saat ini kurang kuat yaitu pembuatan ALKI Timur – Barat sementara ditangguhkan mengingat belum dipelajari dan dilaksanakannya survey Hidro Oseanografi yang focus dan intensif di wilayah tersebut dalam rangka pembuatan jalur ALKI, artinya Indonesia menyatakan sementara baru menetapkan tiga ALKI (Partial Decision). Dan menyadari masih ada rute lain yang sudah dipakai dalam pelayaran internasional sejak berabad-abad lampau tetapi belum termasuk didalam jalur ALKI tersebut khususnya yang melalui Laut Jawa

Desakan negara-negara maritim besar agar Indonesia menetapkan ALKI Timur – Barat seharusnya saat ini secara arief harus kita sikapi dengan baik dan dengan pikiran yang jernih, pada saat akhir sidang MSC (Maritime Safety Comitte) ke-67 pada Desember 1996 di London yang membahas tentang ALKI ini ada statemen yang secara implisit merupakan tuntutan dari negara-negara maritim besar yang berkepentingan melewati perairan Indonesia yaitu apabila Indonesia belum dapat menetapkan semua ALKI terutama Timur - Barat, maka harus ada komitmen yang jelas dari Republik Indonesia bahwa Indonesia akan menetapkan ALKI-ALKI tersebut dengan time frame yang jelas, dan bahwa selama ALKI-ALKI tersebut belum ditetapkan maka dibagian laut tersebut harus berlaku ketentuan “Archipelagic Sea Lines Passage” sebagaimana ditetapkan dalam UNCLOS pasal 53(12), dan bukan ketentuan hukum “Innocent Passage”

Seperti diketahui perbedaan antara ‘Innocent Passage’ dan “Archipelagic Sea Lines Passage’ antara lain adalah :

1. ‘Innocent Passage’ boleh ditangguhkan setiap saat oleh Indonesia dan oleh karena itu perairan yang bersangkutan setiap saat bisa ditutup oleh Indonesia, sedangkan Archipelagic Sea Lanes (ASL) tidak boleh ditangguhkan. Karena itu negara-negara maritim besar menentang diberlakukanya ‘innocent passage’ di perairan-perairan yang biasa dipakai untuk pelayaran internasional dimana ALKI belum ditetapkan
2. Dalam innocent passage tidak ada hak terbang, sedangkan dalam ASL ada hak terbang diatas ASL
3. Dalam Innocent Passage kapal selam harus berlayar di permukaan laut dan harus memperlihatkan benderanya, sedangkan di ASL kapal selam dapat berlayar ‘in the normal mode’, dalam arti bahwa boleh berlayar dibawah permukaan air
4. Berbagai negara menetapkan bahwa dalam ‘innocent passage’ kapal perang diwajibkan meminta ijin lebih dahulu kepada negara pantai sedangkan dalam ASL , tidak perlu meminta ijin

Dengan belum diakuinya ALKI I, II, III oleh negara-negara maritim besar (baca ; Amerika, Inggris, Australia) timbul pertanyaan ; apakah fenomena ini mengisyaratkan menunggunya mereka terhadap sikap Indonesia sesuai alasan Indonesia saat mengajukan ALKI Utara – Selatan yaitu belum disurveinya wilayah ALKI Timur - Barat, ataukah ada tendensi lain (?)

Peristiwa melintasnya Kapal Induk Amerika USS Carl Vincent dengan menerbangkan F-18nya tanpa ijin (meski diklaim sudah minta ijin tapi terlambat) jika itu kaji apakah tindakan ini bukan merupakan tindakan mencari-cari perang (Font War) kita ingat beberapa tahun lalu Amerika melaksanakan latihan perang dekat perbatasan Libya, atau tertabraknya (atau sengaja ditabrakkan) pesawat intai AS oleh pesawat tempur Cina di wilayah udara Cina

Hingga saat ini setelah 5 tahun diakuinya ALKI Utara-Selatan oleh IMO dan dunia Internasional, meski negara maritim besar belum mengakuinya, tetapi dasar tidak dibuatnya ALKI Timur - Barat oleh Indonesia yaitu belum disurvei, sampai kapankah kita akan bertahan dengan alibi itu, dan dasar hukum apakah yang akan kita gunakan untuk mempertahankan alibi kita (?), dari sisi kedaulatan dan keamanan nasional memang kita memegang teguh untuk tetap bertahan tidak dibuatkan ALKI Timur - Barat tapi secara hukum dan hubungan internasional belum lagi dikaitkan dengan komitmen awal delegasi Indonesia dengan negara-negara maritim saat sidang akhir IMO, sampai dimanakah dan sampai kapankah kita bertahan untuk mengambangkan realisasi ALKI Timur - Barat, ataukah kita tetap keukeuh tidak membuat ALKI Timur – Barat, sementara bangsa lain yang jelas militernya lebih kuat dengan arogan tidak mengindahkan ALKI yang telah dibuat dengan alasan bahwa mereka masih menganggap bahwa jalur yang dilewati adalah jalur internasional ?

Secara historis ALKI Timur – Barat sudah ada sejak jaman baheula dan sudah merupakan jalur internasional, dikhawatirkan apabila Indonesia bersikeras tetap mengambangkan status ALKI Timur – Barat atau bahkan mengatakan tidak, maka Indonesia dianggap tidak realistis karena menyalahi komitmen awalnya dan bisa dipastikan tidak diterima di dunia internasional dan hal ini sama halnya Indonesia membuka ALKI-ALKI lain yang liar tanpa pengaturan, sementara dengan adanya pengaturan maka Indonesia telah membuka jalur yang jelas dan mudah dikontrol .

Dengan tidak adanya ketetapan mengenai ALKI Timur – Barat di Laut Jawa maka yang menjadi persoalan adalah apakah kapal-kapal perang asing tersebut maka implikasinya adalah tidak boleh lewat perairan tersebut atau boleh lewat namun tetap berdasar prinsip innocent passage serta atau boleh lewat wilayah tersebut berdasarkan prinsip-prinsip ASLP

Dari ketiga alternatif tersebut diatas yang paling mungkin dilakukan adalah alternatif ketiga, tapi alternatif ini jelas kurang baik bagi Indonesia mengingat kapal-kapal militer asing akan susah ditebak dimana mereka akan lewat, selama bertahun-tahun Indonesia memperjuangkan diterimanya ALKI justru agar bisa melokalisasi tempat lewat kapal perang dan pesawat udara militer asing, agar mudah diawasi dan dikontrol.

Sisi positif ditetapkan ALKI T-B

Setiap suatu keputusan yang diambil pastilah akan terdapat efek positif maupun negatifnya, tetapi yang terpenting adalah bagaimana kita menempatkan kedaulatan bangsa ini diatas segalagalanya dengan mengindahkan aspek legalitas hukum baik nasional maupun internasional. Apabila ALKI Timur – Barat ditetapkan maka akan berimplikasi positif antara lain Indonesia dapat melokalisir dalam arti memberikan jalan bagi kapal asing yang melewati perairan kepulauan, sehingga bagi negara-negara maritim besar tidak sewenang-wenang melewati wilayah perairan kita sesuai kehendak mereka; Indonesia dapat melaksanakan klaim apabila terdapat kapal asing / kapal militer asing yang berlayar tidak sesuai dengan ketentuan; Paling tidak, Indonesia tidak menyalahi komitmen awal saat diterimanya ALKI Utara – Selatan; Indonesia mempunyai Bargaining Position dengan membuat ALKI Timur – Barat ini yaitu dengan mengajukan bantuan kepada pihak lain khususnya negara-negara maritim besar baik berupa kerjasam survei, hard ware peralatan surveillance, monitoring dan controlling serta berupa educational programme untuk peningkatan sumber daya pengawaknya;Harus mampu meyakinkan negara-negara maritim besar bahwa tuntutan ALKI Timur Barat adalah ALKI terakhir yang disediakan, dengan perundingan intensif yang tidak mengarah ke tuntutan jalur ALKI lain.

Sisi negatif ditetapkan ALKI Timur - Barat

Disamping sisi positif diatas terdapat pula sisi negatif yang perlu dicermati, antara lain perlu pengawasan yang extra ketat khususnya jalur yang berdekatan dengan obyek-obyek vital, rawan terhadap high tech intelligence, menyadari akan kelemahan teknologi kita terutama dalam bidang monitoring tanpa didukung perangkat teknologi yang moderen maka dengan mudah kapal militer asing melaksanakan kegiatan survei dan intelejen dengan mengatasnamakan lintas ASLP serta Jalur tersebut akan semakin ramai dilewati baik oleh kapal niaga maupun kapal militer asing

Demikian kajian singkat ini dibuat dengan kesimpulan bahwa sebenarnya ALKI dibuat bukanlah merupakan hadiah dari bangsa Indonesia kepada dunia internasional, dengan memberikan jalan bagi lalu lintas internasional melewati wilayah Indonesia, namun merupakan perwujudan dari hak Indonesia untuk melakukan pengaturan dan pengawasan dalam arti kata jika kita tidak mau terganggu maka jalur yang dilewati harus dilokalisir dengan ALKI.Ditinjau dari sisi historisnya ALKI Timur – Barat sebelum 1982 adalah merupakan jalur internasional sehingga disarankan searief mungkin kita harus pula mewadahi kepentingan internasional tanpa mengorbankan kepentingan dan kedaulatan bangsa, tentu saja dibarengi dengan deal dan bargain yang positif dengan negara-negara maritim besar yang sering melalui wilayah tersebut, disamping itu juga dilaksanakan penyempurnaan pada PP 37 / 2002 agar tidak terjadi perbedaan aturan dan pengertian khususnya dengan UNCLOS ’82

No comments:

Post a Comment