Friday, October 29, 2010

Sang Perestroika: Nato Pasti Keok

MIKHAIL GORBACHEV
NATO Sudah Pasti Keok
Rabu, 27 Oktober 2010 | 16:31 WIB
KOMPAS.com — Para petinggi NATO hendaknya makin sering mendengar petuah Mikhail Gorbachev. Mantan orang nomor satu di Uni Soviet itu sudah mewanti-wanti kalau pasukan militer di bawah NATO bakal keok alias kalah total dalam peperangan di Afganistan.
Sudah barang tentu, omongan Gorbachev yang sohor dengan perestroika dan glasnost itu bukan pepesan kosong. Soalnya, Uni Soviet pun pernah jeblok di Afganistan hingga akhirnya memilih hengkang dari Negeri Mullah.
"Hal yang bisa dilakukan kini adalah membantu Afganistan pulih dari kondisi pascaperang," katanya sebagaimana warta media AP dan AFP pada Rabu (27/10/2010).
Gorbachev memuji keputusan Presiden Amerika Serikat Barack Obama yang mulai menarik mundur pasukan AS pada musim panas tahun depan. Namun, selain memuji, Gorbachev melontarkan kritik terhadap keterlibatan Amerika di Afganistan pada dua dekade lalu.
"Dengan bantuan keuangan dari Arab Saudi, Amerika melatih kelompok-kelompok militan yang kini meneror Afganistan dan terlebih lagi Pakistan," kata Gorbachev.
"Dengan kondisi itu, Amerika akan lebih sulit keluar dari masalah ini. Tapi adakah alternatif lain? Vietnam yang lain? Mengirim setengah juta pasukan? Itu tidak akan menyelesaikan masalah," tambah Gorbachev.
Sejauh ini, jumlah pasukan NATO di Afganistan mencapai 150.000 personel. Dari jumlah itu, 90.000 personel adalah pasukan asal Amerika Serikat.
Sejak invasi ke Afganistan pada 2001, lebih dari 2.000 prajurit NATO tewas. Dari jumlah itu, 1.350 orang adalah pasukan Amerika Serikat.

Friday, October 22, 2010

Peluru Tajam Dan Prosedur Tetap

Jum'at, 22 Oktober 2010 | 00:38 WIB
Kepolisian Republik Indonesia mulai berlebihan dalam menghadapi demonstrasi. Tak cukup dengan pentungan dan gas air mata, kini mereka menggunakan senjata api. Langkah gegabah yang bersembunyi di balik prosedur tetap kepolisian yang baru ini membahayakan demokrasi.

Tindakan yang berpotensi melanggar hak asasi manusia itu diperlihatkan dalam menghalau demonstrasi di Ibu Kota belum lama ini. Ratusan mahasiswa yang beraksi di Jalan Diponegoro disambut dengan tembakan oleh polisi. Akibatnya, seorang mahasiswa Universitas Bung Karno tertembak kakinya dan harus dioperasi. Hasil visum Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo menyebutkan, pelor yang mengenai korban adalah peluru tajam.

Harus diakui, ulah demonstran yang mengecam kinerja setahun pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono itu agak keterlaluan. Mereka menutup jalan protokol secara sepihak. Sangat disayangkan pula, beberapa demonstran melempar batu ke arah aparat yang berusaha membuka ruas jalan tersebut. Tapi kericuhan ini tetap saja tidak bisa dijadikan alasan bagi polisi untuk menembakkan senjata api.

Dari tayangan televisi terlihat bahwa tak ada situasi yang benar-benar membahayakan polisi. Tak ada petugas yang terancam jiwanya oleh kenekatan mahasiswa. Lalu kenapa polisi tak meredam kemarahan massa dengan cara yang lebih manusiawi? Meredakan amarah demonstran menggunakan pentungan atau gas air mata jelas lebih aman. Dalam keadaan amat terpaksa, polisi bisa pula melepaskan tembakan dengan peluru karet, dan bukan peluru tajam.

Sejumlah polisi memang kini tengah diperiksa Divisi Profesi dan Pengamanan Polda Metro Jaya. Tapi mestinya kasus penembakan ini bukan hanya menjadi tanggung jawab pelaku di lapangan, tapi juga petinggi kepolisian.

Kasus ini juga semakin jelas membuktikan bahwa prosedur baru dalam menghadapi aksi anarkistis perlu segera dievaluasi. Prosedur tetap yang dikeluarkan Kepala Polri Jenderal Bambang Hendarso Danuri ini bertujuan agar aparat lebih sigap mencegah dan mengatasi kerusuhan. Di situ disebutkan bahwa pada situasi yang mendesak, polisi dibolehkan menggunakan senjata api. Masalahnya, polisi bisa salah menafsirkan situasi darurat yang memungkinkan ia mengeluarkan tembakan.

Kesalahan seperti itulah yang terjadi di Jalan Diponegoro. Sericuh-ricuhnya demonstrasi mahasiswa tentu berbeda dengan aksi anarkistis orang-orang yang bersenjata tajam dan pistol seperti yang terjadi di Jalan Ampera, Jakarta Selatan, beberapa waktu lalu. Situasi dalam unjuk rasa mahasiswa itu tidaklah darurat. Mahasiswa hanya melempar batu, tapi kenapa harus ditembaki dengan peluru tajam?

Insiden yang melukai mahasiswa itu jelas harus diusut tuntas. Tapi lebih dari itu, prosedur tetap yang telanjur ditandatangani itu mesti dicabut, atau setidaknya direvisi. Prosedur ini mendorong polisi bertindak represif sekaligus menebar teror bagi warga negara yang menyampaikan aspirasi lewat demonstrasi.

Saturday, October 9, 2010

Jakarta Menagih Janji

Jum'at, 08 Oktober 2010 | 01:14 WIB
Ini kisah tentang harapan yang pupus. Tiga tahun lalu, Fauzi Bowo maju dalam pemilihan Gubernur DKI Jakarta dengan slogan "Serahkan pada ahlinya". Saat itu banyak orang percaya bahwa ia mampu membereskan segala centang-perenang Ibu Kota. Alasannya masuk akal: Fauzi adalah seorang ahli tata kota lulusan Jerman dan sudah 30 tahun bergelut dengan sejuta problem Jakarta. Ia jauh di atas lawannya, Adang Daradjatun, seorang jenderal polisi. Dan dengan dukungan partai-partai besar, jadilah Fauzi Bowo memimpin Jakarta.
Kenyataannya kini sungguh berbeda. Masyarakat justru merasakan banjir kian merata di Jakarta, kemacetan makin menjadi-jadi, infrastruktur transportasi nyaris tak bertambah, dan lahan terbuka hijau kian sempit. Deretan masalah ini hanya sebagian dari banyak problem yang dihadapi Jakarta. Selama tiga tahun pemerintahan Fauzi Bowo, berbagai persoalan ini bukannya terselesaikan, tapi malah makin ruwet. Kami kecewa karena Fauzi bukanlah orang baru. Ia pasti sudah mengenal Jakarta dengan baik, termasuk semua masalahnya.
Sehari-hari warga Jakarta mengalami siksaan yang semakin lama di jalan karena kemacetan yang makin parah. Berbagai upaya pembatasan kendaraan belum juga dijalankan. Rencana menjadikan Sudirman-Thamrin sebagai jalan berbayar, penerapan sistem pelat nomor ganjil-genap, pelarangan sepeda motor masuk jalan protokol, atau perluasan kawasan three-in-one barulah dalam tahap pembicaraan.
Tak ada gebrakan yang berarti pula dalam pembangunan angkutan massal. Orang tidak mendengar lagi perkembangan rencana proyek kereta bawah tanah. Proyek monorel pun mandek. Fauzi juga menyia-nyiakan dua koridor busway yang sudah dibangun dengan biaya ratusan miliar rupiah. Sebagian jalan dan infrastrukturnya kini malah sudah rusak.
Upaya mengatasi banjir juga kurang berhasil. Proyek Kanal Banjir Timur memang sudah selesai akhir tahun lalu, sehingga banjir di Jakarta Utara dan Jakarta Timur berkurang. Namun masalah banjir tidak hilang dari Ibu Kota, melainkan cuma bergeser. Jakarta Selatan kini seperti hendak tenggelam. Daerah-daerah banjir mulai meluas. Gandaria, misalnya, selama ini jarang dilanda banjir, tapi kini selalu terendam bila hujan. Bahkan air hujan juga sering menggenangi jalan-jalan protokol, seperti Thamrin dan Sudirman.
Kini semakin disadari, Jakarta membutuhkan pemimpin yang bukan sekadar ahli, tapi juga pemberani. Ia harus berani bertindak tegas agar perencanaan bisa berjalan dan penyimpangan tidak terjadi. Publik jelas bertanya, kenapa Ibu Kota semakin semrawut. Mal-mal, misalnya, tumbuh bak cendawan di musim hujan. Sebaliknya, lahan terbuka hijau terus berkurang. Perubahan rencana umum tata ruang dengan jelas menunjukkan betapa Jakarta makin mengabaikan lingkungan hidup.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono belakangan ini bahkan menggulirkan wacana pemindahan Ibu Kota ke Kalimantan Tengah karena Jakarta sudah tidak layak lagi. Pemikiran ini seharusnya membuat Fauzi Bowo malu. Apalagi persoalan transportasi kini diambil alih Kantor Wakil Presiden.
Hanya tersisa sedikit waktu bagi Fauzi Bowo untuk membuktikan bahwa ia seorang pemimpin yang tak sekadar mengetahui problem yang melilit Jakarta, tapi juga mampu mengatasinya.

Mengusik KPK Secara Asimetris

Sabtu, 09 Oktober 2010 | 00:33 WIB
Ditolaknya peninjauan kembali kasus Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah adalah kabar buruk bagi Komisi Pemberantasan Korupsi. Nasib dua anggota pimpinan Komisi yang berstatus sebagai tersangka ini tetap terombang-ambing. Inilah kemenangan bagi kalangan yang selama ini berupaya mengerdilkan Komisi.
Mahkamah Agung tentu memiliki alasan yuridis untuk menampik upaya hukum yang diajukan kejaksaan itu. Sesuai dengan undang-undang, perkara praperadilan sudah memiliki kekuatan hukum tetap jika telah diputuskan oleh pengadilan banding. Alasan ini pula yang digunakan oleh Mahkamah untuk menolak peninjauan kembali kasus Bibit-Chandra. Menurut MA, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004, pengadilan tertinggi ini tidak bisa menangani perkara praperadilan.
Konsekuensi penolakan adalah Bibit-Chandra terancam diseret ke pengadilan dengan tuduhan menyalahgunakan wewenang, bahkan menerima suap. Kendati tuduhan ini penuh rekayasa, tahun lalu polisi melimpahkan kasus ini ke kejaksaan. Setelah diprotes publik, Kejaksaan Agung menyetop kasus ini dengan surat ketetapan penghentian penuntutan (SKPP). Surat inilah yang digugat lewat praperadilan oleh Anggodo Widjojo, pihak yang mengaku telah berusaha menyuap dua petinggi KPK itu.
Harus diakui, SKPP itu penuh kelemahan. Kejaksaan terkesan setengah hati menyetop kasus ini. Pertimbangan Bibit-Chandra tidak dibawa ke pengadilan bukan karena tidak lengkapnya bukti, melainkan lebih karena alasan sosiologis. Inilah yang membuat pengadilan negeri maupun banding membatalkan SKPP, putusan yang kemudian diperkarakan oleh kejaksaan lewat peninjauan kembali..Bagaimana mungkin seorang Anggodo dibantu para lawyers penganut fanatik process of law mengusik KPK  lewat segala cara asimetris. 

Banyak pihak seolah berperan untuk menyudutkan dua petinggi KPK itu. Polisi nekat menetapkan mereka sebagai tersangka kendati buktinya lemah. Kejaksaan pun tidak secara tegas mengoreksi kesalahan ini. Adapun kalangan yudikatif, dari hakim pengadilan negeri hingga hakim agung, hanya melihat kasus ini dari sisi teknis yuridis sekaligus mengabaikan rasa keadilan.
Walau SKPP itu mengandung kelemahan, sebenarnya kejaksaan telah berusaha mengoreksinya. Dalam pengajuan banding dan peninjauan kembali, alasan bahwa kasus ini tidak memiliki bukti yang kuat juga disampaikan. Tapi tetap saja para hakim lebih melihat alasan yang tertulis dalam SKPP. Hakim agung pun hanya memandang kasus ini dari segi prosedur hukum, yang di sisi lain justru menunjukkan tidak konsistennya MA. Sebab, sebelumnya lembaga ini pernah mengabulkan permohonan peninjauan kembali untuk putusan praperadilan.
Mestinya kejaksaan bertanggung jawab atas amburadulnya penanganan kasus ini. SKPP baru dengan alasan yang lebih kuat bisa diterbitkan sehingga Bibit-Chandra tidak perlu dibawa ke pengadilan. Pilihan lain, mengesampingkan perkara ini lewat deponering, kendati tidak mudah karena harus dengan pertimbangan lembaga lain, seperti parlemen
.
Kalaupun kemungkinan terburuk yang terjadi, Bibit-Chandra pun tak perlu takut. Menghadapi pengadilan memang membuat mereka harus nonaktif dari KPK. Tapi, dengan cara ini, keduanya bisa membuktikan diri tidak bersalah dan mendapatkan putusan hukum yang final. Kemungkinan ini jauh lebih baik dibanding menjadi bulan-bulanan pihak yang selama ini berusaha mengusik KPK lewat kasus ini.