Saturday, November 22, 2014

Menguji Kebisingan Politik Dari Jualan Investasi Ke Kebijakan Alih Subsidi

Seperti diduga Jokowi dengan keberaniannya yang  tiada tara pada tanggal 17 Oktober 2014 mengeluarkan keputusan yang tak urung mencengangkan banyak orang yaitu menaikkan harga BBM dengan menyebutnya sebagai pengalihan subsidi dari sektor konsumtif ke sektor sektor produktif.  Tepat satu hari sebelumnya Tim Pemberantasan Mafia Migas dipimpin ekonom Faisal Basri telah terbentuk dan juga seminggu sebelumnya Jokowi dengan kabinet kerjanya telah tancap gas launching program Kartu Saktinya seakan mengirim sinyal akan segera menaikkan BBM setelah Jokowi kembali ke tanah air dari tiga konferensi internasional. Terang saja keputusan ini segera direspon pro kontra, demo anarkis yang meluas, mahasiswa, buruh dan Organda silih berganti membisingkan kondisi negeri dan semakin lengkap koalisi oposisi bertepuk tangan bak menangkap celah peluang dan amunisi untuk menggoyang pemerintahan. Salah satu argumen Mahasiswa dan Parlemen hampir sama bahwa Jokowi tidak punya alasan menaikkan harga BBM disaat harga minyak dunia turun. Jokowi dianggap memilih jalan pintas tanpa peduli kondisi rakyat. Hari hari ini nafsu oposisi klimaks ingin menginterpelasi Pemerintah.Tapi bukan Jokowi namanya kalau gentar atau bergeming tidak tenang,  Jokowi menjawab semua cacimaki dengan senyum dan hati yang dingin menusuk hati seakan akan menantang kebangkitan nafsu oposannya di Parlemen.
Benarkah Jokowi zalim dan telah menjadi pembunuh bagi rakyatnya yang telah memilihnya? Agak sulit membenarkan tuduhan subyektif ini bila tidak ada kesempatan waktu yang cukup diberikan kepada pemerintah untuk membuktikan keampuhan keputusannya ini.  Apa sebenarnya yang menjadi  sumber petaka ini sehingga Jokowi sangat yakin ingin membuka jalan baru mengubah mindset negara untuk segera move on dan merevolusi mental manja membakar bakar uang negara memboroskan sehingga APBN defisit. Salah satu faktor utama adalah soal klasik ketahanan energi. Ada cukup banyak pertanda kita mengalami fenomena resources curse. Banyak orang tidak tahubila Indonesia menjadi pengimpor bensin dan solar terbesar di dunia. Produksi minyak mentah rerata Januari-September 2014 tinggal 792 ribu barel sehari, mengalami penurunan secara persisten dari tingkat tertingginya sekitar 1,6 juta barel per hari pada 1981. Sebaliknya, konsumsi minyak meroket dari hanya 396 ribu barel sehari di 1980 menjadi lebih dari 1,6 juta barel di 2013 (Faisal Basri; Memaknai Tim Pemberantasan Mafia Migas, MetroTVnews.com)
Sudah 20 tahun Indonesia tidak membangun kilang baru. Kilang yang ada sudah uzur, bahkan masih ada yang merupakan peninggalan pemerintah kolonial. Akibatnya impor bahan bakar minyak (BBM) kian menggerogoti devisa negara. Di 2013 impor BBM mencapai USD28,6 miliar. Padahal pada 2001 baru USD2,6 miliar. Berarti hanya dalam waktu 12 tahun impor BBM naik sebelas kali lipat. Tekanan semakin berat karena sejak tahun 2013 Indonesia sudah mengalami defisit minyak mentah.

Ketahanan energi kita terkikis. Sepuluh tahun lalu kapasitas tangki penyimpanan BBM bisa untuk memenuhi kebutuhan 30 hari, sedangkan sekarang hanya 18 hari. Kita sama sekali tidak memiliki cadangan strategis. Kita memang tidak sekaya negara-negara Timur Tengah, Rusia, dan Amerika Serikat. Namun, di antara negara ASEAN, Indonesia terbilang paling kaya walaupun cadangan terbukti hanya sekitar 3,6 miliar barel. Dengan tingkat produksi sekarang, cadangan itu bakal habis dalam 13 tahun. Jika tidak ada eksplorasi, cadangan potensial sebanyak 3,7 miliar barel tidak akan menjelma sebagai cadangan terbukti (proven reserves).

Migas bukan sekadar sumber energi, melainkan juga sebagai pundi-pundi penerimaan negara atau penopang APBN. Ironisnya, subsidi BBM sudah jauh melampaui penerimaan negara dari bagi hasil minyak dan pajak keuntungan perusahaan minyak. Subsidi BBMlah yang membuat primary balance dalam APBN sudah mengalami defisit sejak 2012. Lebih ironis lagi, dalam sepuluh tahun terakhir, sembilan tahun terjadi subsidi BBM lebih besar dari defisit APBN. Secara tak langsung bisa dikatakan sebagian subsidi BBM sudah dibiayai dengan utang pemerintah.

Salah urus pengelolaan migas berimbas pula terhadap kemampuan industri. Karena tidak membangun kilang selama puluhan tahun, Indonesia kehilangan kesempatan menghasilkan produk ikutan dari BBM, yakni konsensat yang merupakan bahan baku utama industri petrokimia. Industri ini merupakan salah satu pilar utama industrialisasi. Tak heran kalau selama satu dasawarsa terakhir pertumbuhan industri manufaktur hampir selalu lebih rendah dari pertumbuhan PDB. Akibat lainnya, impor plastik dan barang dari plastik dan produk kimia organik relatif besar, masing-masing terbesar keempat dan kelima. Sudah saatnya kita menata ulang sektor migas. Kondisi yang kian memburuk berkelamaan terutama disebabkan oleh menyemutnya berbagai kelompok kepentingan (vested interest) yang melakukan praktisi pemburuan rente (rent seeking).

Hanya dengan penguatan institusi agar para elit tidak leluasa merampok kekayaan negara kita bisa mewujudkan cita-cita sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang Dasar 1945. Tugas sejarah kita mentransformasikan dari exclusive conomic and political institutions menjadi inclusive political and economic institutions. Semoga kekayaan alam kita menjadi berkah, bukan kutukan, bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat. Itulah barangkali makna dari penugasan Tim Pemberantasan Mafia Migas. Kesempatan emas untuk menata sektor migas secara total. 
Lalu apa kaitannya problem alih subsidi ini dengan jualan Jokowi mengajak CEO-investor kakap dunia untuk datang ke Indonesia secara besar-besaran. Jokowi seakan ingin mengatakan sebentar lagi Pemerintah akan menyetop inefesiensi pemborosan pararel untuk menciptakan iklim investasi bagi kemajuan baru Indonesia. Apakah Jokowi ingin mengikuti jejak Tiongkok, Vietnam dan Myanmar yang maju pesat setelah jor-joran membuka kran investasi? Seperti yang kita ketahui, iklim investasi di Indonesia akhir-akhir ini nyata mengalami penurunan akibat gejolak politik yang terjadi di Indonesia. Indeks harga saham gabungan (IHSG) sempat mengalami penurunan seiring dengan kekhawatiran para investor bahwa pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla tidak akan mendapatkan dukungan dari parlemen karena dikuasainya DPR oleh Koalisi Merah Putih. Namun, secercah harapan muncul seiring dengan kebijakan Presiden terpilih Joko Widodo yang mengundang investor asing ke Indonesia. Hal ini diungkapkan Presiden Jokowi pada pidato perdananya di hadapan para CEO dunia pada forum KTT APEC yang berlangsung di Beijing pada 10 November 2014.

Di awal pidato, Presiden Jokowi memberikan gambaran tentang Indonesia yang memiliki 17.000 pulau dengan jumlah penduduk sekitar 240 juta jiwa, namun konektivitas antarpulau belum terbangun dengan baik sehingga ada kesenjangan harga komoditas barang antara pulau yang satu dengan yang lain. Ia mencontohkan harga semen di Papua 25 kali lipat dibandingkan dengan harga semen di Pulau Jawa. Oleh sebab itu, sektor yang dipromosikan adalah kemaritiman dengan membangun tol laut untuk menekan biaya transportasi.

Presiden Jokowi juga memaparkan sejumlah peluang yang ada di Indonesia. Ia menginginkan investasi yang besar dalam membangun transportasi logistik, membangun bandar udara dan memperluas 24 pelabuhan, transportasi masal kereta api, serta pembangkit tenaga listrik 35.000 MW. Pembangunan industrial zone di beberapa lokasi akan dilakukan agar industri di Indonesia berkembang.

Selain itu, Presiden Jokowi juga memaparkan bahwa kondisi pasar di Indonesia lebih kompetitif untuk membawa industri Indonesia ke arah perkembangan yang lebih baik. Khusus untuk raw material, Presiden Jokowi menjelaskan bahwa barang yang keluar dari Indonesia adalah barang setengah jadi dan barang jadi, hal ini dilakukan agar nilai tambah barang tersebut ada di Indonesia.

Selain memaparkan peluang yang ada, Presiden Jokowi mengungkapkan adanya sejumlah masalah yang menghambat pembangunan di Indonesia, misalnya masalah perizinan dan pembebasan lahan. Untuk mempermudah perizinan, semua kementerian yang berurusan dengan investasi akan berada dalam satu gedung dan membangun kantor perizinan. Sedangkan dalam upaya menyelesaikan pembebasan lahan, Presiden Jokowi akan melibatkan Menteri, Gubernur, dan Walikota untuk ikut serta membantu pembebasan lahan pada proyek-proyek yang sejalan dengan kebijakan Pemerintah dan sesuai dengan hukum yang berlaku.

Presiden Jokowi juga memaparkan pembenahan masalah impor di bidang perminyakan agar lifting produksi dapat segera naik sehingga impor dapat ditekan. Pengalihan subsidi BBM akan dialihkan kepada hal-hal yang produktif, antara lain benih dan pupuk untuk petani, irigasi untuk desa, pembangunan waduk, pembangunan infrastruktur, dan mesin untuk kapal untuk nelayan. Namun, Presiden Jokowi berusaha menyakinkan kalangan usaha di Asia Pasifik, persoalan-persoalan tersebut akan menjadi fokus pembenahan dari pemerintahannya. Mengakhiri pidatonya, Presiden Jokowi mengundang kalangan usaha di forum APEC untuk berinvestasi dalam pembangunan di Indonesia.

Pidato Presiden Jokowi tersebut banyak menuai pujian dan dinilai beberapa kalangan pebisnis internasional membawa harapan yang cerah dalam berinvestasi di Indonesia. Selain itu, Pidato Presiden Jokowi digambarkan secara sederhana, padat, kongkrit, dan realistis dalam mencapai kemakmuran Indonesia dan tentu saja kemudahan investasi bagi warga dunia. Tanggapan positif juga datang dari beberapa Kepala Negara/Pemerintahan, Presiden Vietnam, Perdana Menteri Jepang, Presiden Rusia, Presiden AS, dan Presiden Tiongkok.

Presiden Vietnam menganggap Indonesia sebagai sahabat dan akan berkomitmen untuk mendorong kerja sama kedua negara. Perdana Menteri Jepang menyebut  Indonesia sebagai mitra strategis Jepang, dan sebagai negara maritim, kedua pihak harus berkontribusi demi kedamaian dan keadilan. Melalui investasi Jepang ke Indonesia, Pemerintah Jepang ingin berkontribusi di bidang industri dan pembangunan sumber daya manusia melalui berbagai kerja sama di bidang industri kreatif dan pertukaran pelajar.

Sedangkan Presiden Rusia berkeyakinan hubungan kedua negara sebagai mitra strategis akan semakin baik pada masa yang akan datang. Presiden Tiongkok, Xi Jinping mengatakan kedua negara akan menjalin persahabatan yang sangat dalam dengan saling menghormati sebagai negara tetangga dan sahabat lama. Tanggapan serupa juga datang dari Presiden AS, Barack Obama, yang merasa senang bertemu dengan Presiden Jokowi dan berharap bisa memperkuat kerja sama.

Peningkatan daya saing global Indonesia yang terjadi di tengah masa transisi pemerintahan merupakan modal kuat bagi pemerintahan baru untuk menentukan arah perekonomian Indonesia ke depan. Berdasarkan laporan Forum Ekonomi Dunia (WEF) bertajuk Global Competitiveness Report 2014, daya saing ekonomi Indonesia berada di peringkat 34 dari 144 negara, naik empat tingkat dari posisi sebelumnya di level 38. Dengan demikian, dalam upaya peningkatan daya saing global Indonesia diperlukan jaminan kepastian hukum bagi para investor.

Kepastian hukum merupakan kunci penting yang harus diperhatikan Pemerintah untuk menciptakan iklim investasi yang baik, misalnya dalam hal ketentuan perundang-undangan masih terdapat sejumlah peraturan perundang-undangan yang jauh dari kepastian hukum, saling tumpang tindih sehingga membebani investor. Adanya jaminan kepastian hukum di Indonesia bagi para investor akan berdampak meningkatnya nilai investasi di dalam negeri. Di samping itu, perlu adanya jaminan proses penegakan hukum yang dilakukan tanpa pandang bulu. Kualitas dan penegakan hukum adalah faktor dominan dan saling mempengaruhi. Sebaliknya, lemahnya penegakan hukum dan kepastian hukum mempengaruhi minimnya kepercayaan publik, dan berujung pada iklim investasi dan penurunan penerimaan negara.

Melalui pidato tersebut, mungkin Jokowi ingin menyiratkan banyak dampak positif yang akan dirasakan bagi Indonesia, antara lain peningkatan hubungan bilateral, baik tingkat regional maupun internasional, khususnya pengembangan kerja sama di bidang-bidang yang menjadi prioritas Kabinet Kerja. Di antaranya adalah pembangunan infrastruktur serta peningkatan ekonomi, perdagangan, dan investasi, termasuk di bidang maritim, yang akan memberikan manfaat langsung kepada peningkatan kesejahteraan rakyat Indonesia. Hal-hal yang disampaikan Presiden Jokowi di pertemuan APEC ini sejalan dengan kepentingan nasional dan diharapkan dapat meningkatkan perkembangan ekonomi Indonesia ke arah yang lebih baik. Semoga.