Thursday, February 19, 2015

Belajar Dari Konflik KPK Versus Polri

Dari kilas balik perseteruan KPK Versus Polri banyak pelajaran yang bisa kita petik untuk bersikap dan memandang arah yang tepat. Lebih penting peristiwa ini seharusnya jadi tonggak sejarah bagi "decision maker" dalam manajemen konflik. Media sebagai corong-pun tak luput pontang panting memosisikan diri apakah imparsial atau berpihak kepada kebenaran apa dan untuk siapa?

Jokowi tanggal 18 Februari 2015, sehari sebelum Imlek telah menunjukkan kelas-nya. Konferensi Pers Jokowi dengan tegas tidak melantik Budi Gunawan sebagai Kapolri sekaligus menonaktifkan Abraham Samad dan Bambang Widjoyanto selanjutnya menunjuk 3 orang Plt KPK yaitu Mantan Ketua KPK Taufiqurahman Ruqi, Indryanto Seno Adjie dan Johan Budi. Banyak yang menilai keputusan Jokowi hari itu sangat jenius. Jokowi benar benar mengejutkan banyak pihak, tak terkecuali pasar taruhan yang jauh meleset prediksinya pasca putusan Praperadilan (haqul yakin BG dilantik). Penantian kita pada hari itu  akhirnya terjawab. Kesan publik kepada Jokowi "buying time" mengulur waktu terbukti karena kasus ini memang rumit bertumpuk tumpuk baik faksi-faksi yang bertubrukan maupun dimensi politik dan hukum yang saling bergesekan sehingga Jokowi harus menunggu amunisi dan unsur pendukungnya lengkap.

Tampaknya Jokowi berusaha menggunakan timbangan untuk memberi rasa adil bagi semua. Bagi pihak yang benci BG akan terpuaskan sedangkan bagi pihak yang muak dengan AS bisa bernafas lega.Tapi seperti lazimnya sebuah keputusan pasti ada pihak yang tak puas senang. Jokowi sudah bersikap ambil keputusan dengan segala risiko-nya tetapi tetap saja direspon negatif oleh dua pihak yang terbelah karena perbedaan kepentingan.
Pihak pertama sudah pasti para aktivis dan lawan politik yang selalu sinis bercampur sirik bilang keputusan Jokowi sangat terlambat sedangkan pihak kedua adalah segelintir politisi PDIP yang kecewa dan menyesalkan.
Pihak pertama ini memang voters yang harus disentuh dan direbut hatinya oleh Jokowi, mereka orang orang yang idealis tapi labil sehingga perlu diajak partisipasinya untuk membangun negeri. Sedangkan pihak kedua segelintir politisi PDIP yang dekat dengan BG seperti Trimedya, Masinton Pasaribu, Effendi Simbolon dan Junimart Girsang yang ditamengi oleh Pramono Anung dan Ahmad Basarah. Blok kedua segelintir elite PDIP inilah Brutus teriak Brutus yang sebenarnya. Politisi PDIP yang bersikap aneh tak henti hentinya merusak sendiri warna merah dan membengkokkan mulut si moncong putih. Ada kecurigaan kelompok inilah yang selalu merecoki kabinet Jokowi dan berintrik mengadu domba Mega dengan Jokowi demi target-target tertentu. Bagi yang mengenal Ketum PDIP itu secara dekat haqul yakin Mega sudah tak punya ambisi pribadi apapun karena semua pencapaian tertinggi di Republik ini sudah dia raih. The Truly Brutus inilah yang selalu berkampanye istilah "petugas partai" yang sangat rentan bercitra negatif. Mereka harus segera dijauhkan dari Megawati dan khususnya Puan. Untung PDIP masih punya pentolan abadi seperti Sidarto Danusubroto, Tjahyo Kumolo, Maruarar Sirait, Teras Narang, Ganjar Pranowo, Budiman Sujatmiko, Rieke Diah Pitaloka, Aria Bima, Hasto Kristianto dan Eva Sundari yang mulai sekarang harus ekstra hati hati membuat jembatan hubungan Presiden dgn PDIP agar jeruk tak makan jeruk. Yang patut diapresiasi justru sikap dingin dan kesetiaan Seskab Andi Widjayanto yang dituduh brutus, padahal Ia adalah anak kandung darah pendiri PDIP Jenderal Theo Syafie. Jokowi sangat jeli memilih dan beruntung diback-up anak muda ini yang diakui sangat tajam intuisi intelijennya juga jago soal Keamanan Nasional.

Beberapa minggu sebelumnya memang telah terjadi pergerakan situasi yang sangat sulit diprediksi, kocar kacir bagai berada di persimpangan gang sempit yang saling berpotongan, sebelum akhirnya terbelah dalam dua kubu yang terkonsentrasi berhadap-hadapan serta publik yang bingung sebagai penontonnya. Kita bisa amati bagaimana sejumlah media online mainstreem seperti Detik, Tempo, Kompas, Berita-Satu, tampaknya tidak ada satupun yg berpihak kepada Polri  justru sebaliknya membabibuta membela KPK! Mengapa ini bisa terjadi, apakah karena puja-puji yang menempel ditubuh KPK adalah magnet yang sangat penting untuk diselamatkan ataukah karena terlanjur antipati kepada Polri? Atau betulkah pemihakan ini benar benar natural berasal dari gerakan bawah (tanah?) yang bergerak,  bukan karena settingan yang bersifat pesanan (order) untuk menembus target oplosan plus oplahan para NGO dan kapitalis pemilik modal?
Entah apa yang sedang berseliweran dibenak para aktivis dan  media pendukung KPK, meskipun misalnya segudang bukti AS telah dibeberkan, mereka tetap gigih berapologi, tidak menggubris, menyepelekan malah menuduh itu dicari-cari, direkayasa utk menghancurkan KPK, sebesar itukah cinta mereka kepada KPK sehingga apriori satu paket harus pula mencintai cela yang dimiliki Ketuanya? Tidakkah lebih adil memberi saja ruang bagi komite etik untuk obyektif menguliti kasusnya? Banyak orang yang penasaran ingin tahu apa yangg terjadi jika ujungnya, AS secara telak terbukti transaksi jual beli kepentingan politik dgn hukum, gratifikasi pistol, kasus pemalsuan dan asusila, maka tetapkah media pewarta dan orang-orang itu mati-matian membela AS dan KPKnya?

Sebaliknya pendukung Budi Gunawan juga memberikan warna yang berbeda namun tampak sudah dikelola sangat rapi, mulai dari demo bayaran sampai anggota parlemen yang ngotot atas alasan konstitusional mendesak Presiden RI agar segera melantik Budi Gunawan. Meskipun permohonan Budi Gunawan dikabulkan dengan Putusan yang sangat baik, namun Media segera menentangnya dengan menampung semua hujatan kepada Hakim Sarpin Rizaldi dan Kuasa Hukum Budi Gunawan.

Mungkin benar apa kata seorang pengamat intelijen yg menyimpulkan KPK telah memenangkan "asymetric warfare" dan sukses besar menggiring opini publik!! Kalau sampai disitu asumsinya dapat diterima, maka ini adalah pertarungan kepentingan disatu pihak investor-pemilik modal raksasa yg paksa Indonesia superkilat benar benar harus jadi negara "clear dan clean" melawan negara dan pemerintah RI dipihak lain yg dicap lamban karena mengutamakan harmoni multi-faktor mulai dari kultur budaya, politik, ketatanegaraan, ekonomi, tata nilai dan sistem kemasyarakatan sampai kepada mental bangsa. Kita tahu KPK corak dan model-nya presis berkiblat ke Amerika, saat ini sdh diterapkan dan cukup berhasil di beberapa negara Asia Timur seperti China, Hongkong, Korea. Bagaimana Indonesia? Tentu perlu waktu yg cukup!

Sepertinya bila diasumsikan secara jernih pertarungan ini dimenangkan dengan skor 2-0 oleh Polri dengan hasil kalkulasi Polri tidak kehilangan apa apa, karena Budi Gunawan memang belum berstatus Kapolri dan Ia mendapatkan kembali untuk sementara Status bukan tersangka sementara KPK justru kehilangan 2 orang Komisionernya bahkan menjadi tersangka pesakitan yang tidak bisa diprediksi kapan berakhir penyelesaian kasusnya. Sampai disini media-pun terdiam tak mampu berbuat apa apa karena tenggelam oleh ketegasan sikap Jokowi yang semula selalu diremehkan.

Baru kali ini kekuatan media baik cetak, online maupun elektronik ternyata gagal total menciptakan gelombang perubahan bagi kemenangan "civil society". Media sebagai corong masyarakat sipil sebulan ini kompak bersatupadu (kecuali MetroTV dan TVOne netral = tumben mesra) untuk merebut opini, sungguh luarbiasa tak henti membombardir Polri dan sebaliknya mati matian membela KPK. Apa sebab kegagalan ini terjadi? Paling tidak ada beberapa hipotesis penyebab kegagalan media tersebut yaitu;
1. Yang dibela mati-matian yaitu KPK plus Komisioner ternyata kotor juga bahkan disinyalir bermental politisi..
2. Ada nafsu berlebihan media untuk membunuh Institusi Polri yang justru berbalik membangunkan simpatisan Polri dan empati esprit de corps yang menjalar kuat bagi seluruh anggota Polri yang memiliki Doktrin Prajurit Bhayangkara
3. Tidak jelas "common enemy"-nya siapa, Media ragu ragu untuk menentukan apakah Jokowi atau BG/Polri. Media menampung hujatan publik kepada Jokowi, media selalu memojokkan Jokowi sampai lupa sasaran utamanya adalah BG. Akibatnya berbalik, relawan Jokowi serentak bangkit dan siap pasang badan bagi Jokowi.
4. Media melupakan kode etik jurnalistik, perburuan berita miskin klarifikasi, gunakan pelintiran headline dan berani menularkan cerita bohong dan rekaan semata.

Dari cuplikan di atas semoga bisa menjadi pelajaran untuk memupuk kedewasaan kita dalam memahami segala persoalan konflik sesulit apapun itu, Memberantas Korupsi harus dimulai dari sudut pandang yang lebih jernih agar dapat meminimalkan sifat "selfish" memaksakan benar sendiri, menang sendiri. Cukuplah sekali kasus seperti ini terjadi semoga kedepannya semua pihak selalu cepat tanggap beresolusi untuk menyelesaikan konflik secara damai (peacefull settlement).

Otonomi Hakim Yang Tersohor

Setelah membaca secara lengkap Amar Putusan Praperadilan Hakim Sarpin Rizaldi, aku menjadi terpesona sekaligus heran, tak disangka Hakim setingkat PN mempunyai daya jelajah melampaui pakar hukum Indonesia yang saat ini sangat monoton dan miskin interpretasi dan penemuan hukum-nya.
Ternyata Putusan model Hakim Sarpin ini, pernah sangat tersohor menggetarkan dunia hukum Belanda pada Perkara Lindenbaum-Cohen HogeRaad 1919 yang intinya munculnya kebebasan Hakim melawan keterikatan pembentuk UU dan menyempurnakan UU itu sendiri. Inilah yang mengilhami otonomi dan motivasi Hakim seluruh dunia yang menganut Civil Law termasuk Indonesia. Akibat Putusan HR 1919 ini pembentuk UU tidak pernah khawatir dgn keterbatasan UU yang dihasilkannya, bahkan justru Hakim akan lebih mudah dan leluasa menjaga UU itu berjalan sejajar dengan perkembangan masyarakat yang cepat berubah.
Hal yang tak terbayangkan akibat HR 1919 itu maka logika hukum yang terdiri dari kumpulan fakta dan premis menjadi Ilmu yang sangat penting. Apakah Metode ini kebablasan dan bisa menimbulkan ketidakpastian? Yang jelas konsep ini tidak menabrak doktrin sens-clair (jika kata kata dalam UU sudah cukup jelas maka tidak boleh ditafsirkan).
Putusan Hakim jelas tidak akan pernah memuaskan semua pihak. Hal ini disebabkan semua Putusan itu tidak dapat dijamin selalu "apokditis" (yang tidak dapat dibantah) atau yang "plausible" (yang dapat dipercaya). Dalam metode ini Hakim selalu berusaha meningkatkan kemungkinan menjadi kepastian. Hakim selalu berusaha mencari keputusan "topis" (yang diakui dapat diterima).
Dari otonomi dan motivasi Hakim Sarpin sarat dengan terhubungnya rangkaian gambar bagaimana beberapa kemungkinan yang dimiliki Hakim untuk bisa keluar dari belenggu Pasal 77 KUHAP mengenai syarat obyek Praperadilan. Tak terbendung, dalam Putusan ini otonomi Hakim Sarpin mampu menjelajah berbagai aturan hukum yang relevan untuk menyelesaikan suatu kejadian konkrit. Sangat jernih, ke 5 butir amar putusannya hampir pasti memuat alasan keputusan dan menyebutkan fakta yang memberikan alasan yang melahirkan keputusan itu. Jelas tak terbantahkan adanya fakta "tidak sahnya penyidikan" maka mutatis mutandis mengakibatkan"tidak sahnya penetapan tersangka".
Setelah tersohor seabad yang lalu di Belanda, apakah Putusan Praperadilan Hakim Sarpin ini bisa memicu Para Hakim di Indonesia untuk lebih meningkatkan daya jelajahnya, otonomi dan motivasinya semata mata demi hukum dan keadilan!!

Dosa Mencuri Makanan Raja

Melongok dibalik nukilan kisah sejarah Raja Raja bersama para pembantunya dan orang-orang yang melingkarinya dengan cover story "rakyat" sungguhlah sarat dengan segudang intrik, siasat, pengelabuan, jebakan dan teror. Namun selalu tergambar betapa dalamnya sebuah pengetahuan akan kebijaksanaan yang tersembunyi.Teater Gandrik misalnya bisa menjadi cermin betapa kuatnya unsur dramaturginya, adegan teatrikalnya bisa menguatkan peran 'sumir" sebagai korban kekuasaan.
Raja Inggris (Sir John) dalam rangka melindungi kekuasaannya dari pemberontakan Ia harus menyatukan faksi faksi yang bertikai dalam lingkar kekuasaannya maka Ia berkata jujur bercerita kepada para menteri dan orang-orang Istana, sewaktu kecil ia pernah mencuri makanan Sang Raja (ayahnya) dan ayahnya malah menghukum pelayan lain. Ayahnya pun berpesan padanya bahwa ia sebenarnya sudah tahu hal itu, namun kehormatan keluarga harus terjaga. Itulah dasar mempertahankan kerajaan. Jangan sampai hal kecil memperburuk kerajaan dan Putra Mahkota harus dianggap jujur.
Cerita Raja yang menggunakan taktik dalam kebijaksanaannya mencari hukum dan keadilan bahkan juga terjadi dalam Kitab Suci. Dalam Kisah Raja Yusuf bahkan diriwayatkan Ia mendapatkan strategi dari Allah untuk menjaga keselamatan adiknya Benyamin dengan siasat "mencuri Piala Bejana minuman raja". Allah memberikan kemudahan bagi Yûsuf untuk mengatur segala sarana dan taktiknya dengan seksama penuh hati-hati. Itu semua adalah sebagian karunia Allah untuk meninggikan derajat ilmu kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Dan di atas orang yang berilmu selalu ada yang Lebih Besar dan Lebih Berilmu. Selalu ada saja yang lebih tahu. Ditemukannya Piala dari tas Benyamin, membuat malu saudara- saudara Yûsuf yang lain. Mereka pun mencari-cari alasan untuk membebaskan diri dari pencurian yang dilakukan oleh Benyamin. Sebuah alasan yang menohok Benyamin dan Yûsuf , mengisyaratkan bahwa mencuri adalah watak yang mereka berdua warisi dari ibunya. Mereka mengatakan, "Tidak aneh kalau ia mencuri, sebab saudara kandungnya pun pernah melakukan hal yang sama sebelumnya!" Yûsuf merasakan dalamnya dan pedihnya tuduhan tersembunyi itu, tetapi ia menyimpan perasaan itu dalam dalam, yang kalau diutarakan akan berbunyi, "Derajat kalian lebih rendah dan hina. Allah lebih tahu dengan benar tentang apa yang kalian katakan mengenai tindakan mencuri yang dilakukan Benyamin itu"
Alkisah dinegeri antah berantah, terkenal legenda cerita tentang seorang yang tertangkap mencuri makanan Raja yang diperintahkan dihukum gantung. Sebelum digantung Raja memberikan si Pencuri kesempatan untuk berbicara untuk terakhir kalinya. Pencuri menjawab ''ketahuilah Baginda saya dapat menanam satu biji apel yang bisa bertumbuh dan berbuah dalam satu malam. Itulah rahasia yang diajarkan oleh ayahku dan saya berpikir sayang sekali bila pengetahuan dan rahasia ini mati bersama saya". Akhirnya Raja menunda hukum gantung itu dan si Pencuri pun menggali lubang dan mengatakan " biji ini hanya dapat ditanam oleh orang yang tidak pernah mencuri atau mengambil milik orang lain, tentunya saya tidak dapat melakukan ini". Lalu Raja memerintahkan Perdana Menteri untuk menanamnya tetapi Ia ragu ragu dan menampiknya karena ternyata sewaktu muda Perdana Menteri pernah menympan barang yang bukan miliknya. Ketika Bendahara diminta menanam biji itu memohon maaf karena Ia pernah menipu untuk memiliki sejumlah uang. Akhirnya Raja-pun menghela nafas dan mengaku Ia juga tak dapat menanamnya karena sewaktu kecil Ia suka mengambil barang berharga milik ayahnya. Sang pencuri berpaling kepada mereka " Tuan Tuan adalah orang terhormat dan berkuasa tidak menginginkan sesuatu lagi, tetapi tidak dapat menanam biji apel ini. Tetapi saya yang mencuri makanan sedikitpun yang kebetulan makanan Raja untuk dapat bertahan hidup, harus digantung" Sang Raja tersenyum, senang dan puas dengan perumpamaan dan kebijaksanaan si pencuri dan segera mengampuni membebaskannya.
Dari cuplikan "cover story" di atas semoga bisa menjadi inspirasi untuk memupuk kedewasaan kita dalam memahami segala persoalan konflik sesulit apapun itu, dari sudut pandang yang lebih positif dengan pendekatan kebijaksanaan yang adil menenangkan hati sekaligus juga dapat meminimalkan aura negatif dan ketamakan diri sendiri untuk selalu "selfish" memaksakan benar sendiri, menang sendiri. Bagi kita yang belum pernah jadi Raja ataupun jadi Presiden RI dengan petikan hikmah cerita di atas dapat menumbuhkan kesadaran empati kita yang mendamaikan hati!!

No Free For Lunch No Barter For Death

Perdana Menteri (PM) Australia Tonny Abbott menyatakan eksekusi mati terhadap warganya merupakan tindakan "barbar". Tak puas disitu Tony bersikap "childish" seperti barter mainan ungkit Bantuan Tsunami dengan Gembong Bali Nine, Andrew Chan dan Myuran Sukumaran, ini bermakna jelas "there is no free lunch". Puncaknya kemarin pagi tanggal 18 Februari 2015 berlangsung demo besar-besaran di pusat kota Melbourne oleh ratusan praktisi hukum antara lain dihadiri hakim agung negara bagian Victoria, Lex Lasry, yang dalam tiga pekan terakhir menemui Chan dan Sukumaran di LP Kerobokan. Demo juga akan diteruskan di berbagai kota hingga malam hari. Selain itu, Sekjen PBB Ban Ki-moon juga meminta pemerintah Indonesia membatalkan pelaksanaan eksekusi mati para terpidana kasus narkotika tersebut.
Tampaknya kehebohan ini sebenarnya wajar dan harus dilihat biasa biasa saja meskipun disana Australia sudah berteriak SOS tetapi Indonesia sebaliknya mempunyai integritas hukum dan kedaulatan yang tidak bisa diintervensi oleh siapapun termasuk oleh Sekjen PBB. Alasan Jokowi Indonesia dalam keadaan Darurat Narkoba jangan dipandang enteng itu adalah sinyal terkuat tahun 2015 dari seorang Pemimpin Dunia yang justru seharusnya diikuti seluruh pemimpin dunia lainnya, seperti halnya Obama menjadikan terorisme menjadi musuh utama dunia lainnya! Lalu mengapa mereka tak bereaksi keras dalam pemberantasan terorisme yang sama juga menghukum mati pelakunya. Apa bedanya dengan hukuman mati terhadap Gembong Narkoba? Bedanya tipis hanya soal formalistik tetapi hasilnya sama juga yaitu "aksi mencabut nyawa". Bahkan US mengenal Hukuman Mati. Dahulu mungkin Tony Abbot bisa bermain mata dengan kewenangan Grasi Presiden SBY dan Menkumham dimotori wakilnya Denny Indrayana untuk mengakali Hukum Positif yang berlaku di Indonesia. Tapi dunia kini harus tahu Jokowi berbeda, profilnya memang tak meyakinkan tapi nyali dan tindakannya sangat menggetarkan maka tidak mengherankan pada waktunya nanti sudah seharusnya semua menjadi follower Jokowi dalam pemberantasan Narkoba secara Internasional!
Di dalam negeri kita pasti berpendapat gencarnya Koalisi Anti Hukuman Mati di Indonesia dinilai aneh juga. Mereka mendesak Pemerintah untuk menyetop hukuman mati tetapi sementara dasar legitimasi hukum positif kita sangatlah kuat. Dan mereka lupa Menlu RI Retno sangat memahami bahwa dalam case ini Hukum Internasional hanyalah sub-ordinary dari Hukum Nasional sebab HI tidak mempunyai Law Body Making atas Hukuman Mati yang diterapkan oleh hukum nasional suatu negara. Namun tak bijaksana juga bila kita tidak melongok apa sih yang melatarbelakangi gerakan koalisi anti hukuman mati di Indonesia?
VERSI KOALISI HRWG
Di Tanah air gayung bersambut Koalisi Anti Hukuman Mati yang tergabung di dalam Human Right Working Grup (HRWG), Imparsial, Setara Institute, ICJR (Institute for Criminal Justice Reform), LBH, Kontras dan ELSAM menolak keras hukuman mati di Indonesia dan mengecam pernyataan Menlu RI Retno Marsudi bahwa hukuman mati sesuai dengan Hukum Internasional. Koalisi inipun merelease alasan penolakan mereka atas hukuman mati gelombang II. Khususnya menolak Putusan MK 21 Oktober 2008 karena dianggap terjebak positivisme hukum formal. Seperti kita ketahui Putusan MK 2008 itu menegaskan bahwa tata cara pelaksanaan hukuman mati di Indonesia adalah menurut UU No.2/Pnps/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hukuman Mati yang merupakan lex specialis yang menegasikan pasal 11 KUHAP. Lebih lanjut, MK menyatakan UU No. 2/Pnps/1964 tentang Tata Cara Pelakasaan Hukuman Mati yang dijatuhkan oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer tidak bertentangan dengan Pasal 28I ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Direktur Eksekutif Elsam, Indriaswati Dyah Saptaningrum, mengatakan Putusan MK ini secara nyata telah mengabaikan perkembangan ilmu pengetahuan hukum dan peraturan perundang-undangan di Indonesia yang telah mengalami perubahan paradigma sebagaimana terlihat dalam RUU KUHP yang sudah menempatkan hukuman mati sebagai pidana yang bersifat khusus dan diancamkan secara alternatif. Pidana mati dapat dijatuhkan secara bersyarat, dengan memberikan masa percobaan, sehingga dalam tenggang waktu masa percobaan tersebut terpidana diharapkan dapat memperbaiki diri sehingga pidana mati tidak perlu dilaksanakan. Demikian juga dengan Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional (Rome Statute of the International Criminal Court, 1998) yang rencananya akan diratifikasi Pemerintah Indonesia sama sekali tidak mengatur mengenai ancaman pidana mati. Hukuman dalam mekanisme International Criminal Court juga hanya berupa hukuman penjara yang terdiri dari hukuman penjara seumur hidup untuk kejahatan yang sangat serius dan hukuman penjara maksimum 30 tahun.
Disamping itu menurut Koalisi ini, penerapan hukuman mati bertentangan dengan ketentuan hukum hak asasi manusia Internasional yang secara tegas menyatakan hukuman mati bertentangan dengan prinsip-prinsip yang diatur di dalam konvenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (International in Civil and Political Rigts-ICCPR.). Hak untuk hidup (rights to life) - yaitu pada bagian III Pasal 6 (1) - menyatakan bahwa setiap manusia berhak atas hak untuk hidup dan mendapatkan perlindungan hukum dan tiada yang dapat mencabut hak itu. Perlu diingat bahwa prinsip-prinsip yang diatur dalam ICCPR telah menjadi bagian dari hukum nasional Indonesia, melalui UU No.12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik. Pertimbangan lain, menurutnya, adalah perkembangan mutakhir dalam konteks pemidanaan bagi terpidana. "Kalau dulu praktek pemidanaan berdasarkan pada restributive justice. Jadi orang dihukum sebagai sebuah tindakan balasan atas ketidakadilan yang dilakukan atau kejahatan yang dilakukan. Kalau zaman purba, kan, mata ganti mata, nyawa ganti nyawa. Lalu berkembang lagi tapi masih dengan prinsip yang sama kalau mata seseorang tidak bisa diambil dia lalu dipenjara saja! Benarkah Demikian?
SUMMARY
Secara ideologi prinsip HAM, maka gerakan Koalisi ini sangat baik dan dapat diterima secara umum namun mereka tengah berhadapan dengan integritas hukum dan kedaulatan negara RI. Hukum HAM Internasional memang melarang (tetapi tidak absolut) hukuman mati. Namun dalam kasus tertentu HI sebaliknya menyerahkan sepenuhnya pelaksanaannya kepada Hukum Nasional. Aksi protes pemimpin dunia memang cukup keras tetapi sedikit mengundang kelucuan karena itu sebenarnya dilakukan semata mata pencitraan politik dalam negeri-nya. Lihatlah nanti apakah mereka juga ngambek menolak hadir memenuhi undangan Jokowi dalam Asian African Commemoration Indonesia ke 60? Meski masih berupa riak riak ternyata akibat datangnya kecaman bertubi-tubi dari Brazil, Perancis, dan aksi heroik PM Australia Tony Abbot justru malah memancing spontanitas nasionalisme bagi publik dan rakyat Indonesia! Tony! don't judge our path if you never path our journey as a nation, so it's okay no free for lunch but no barter for death sir!!