Showing posts with label Maritime Security. Show all posts
Showing posts with label Maritime Security. Show all posts

Thursday, July 28, 2011

Southeast Asia Navy Chiefs Meet Amid Tensions

Southeast Asia navy chiefs meet amid tensions

Malaysia's naval chief urged Beijing on Wednesday to respect the sovereignty of other claimants in disputed South China Sea waters as he and other Southeast Asian navy commanders discussed security after recent run-ins with China.

The gathering in Vietnam comes a week after a regional security meeting, where the Association of Southeast Asian Nations agreed to a preliminary plan with China to peacefully resolve disputes over contested territory claimed all or in part by several Asian nations.

Vietnam's navy chief Nguyen Van Hien said during the opening remarks that the meeting comes as "security in the East Sea is extremely complicated," referring to the South China Sea by its Vietnamese name.

Vietnam and the Philippines have recently sparred with China, accusing it of interfering with their oil exploration activities in disputed waters. Beijing denies the allegations.

China says it has historical claims to the entire, potentially resource-rich sea, home to vital shipping lanes.

In the past, Beijing has pushed to handle disputes with its neighbors individually, but ASEAN has been trying to gain more leverage by getting the powerful Asian neighbor to address issues with all 10 members of the bloc. Taiwan, Malaysia and Brunei have also laid claim to overlapping areas in the South China Sea.

"China is free to do anything," Malaysia's navy chief Tan Sri Abdul Aziz said on the meeting's sidelines. "But I would urge China to respect the sovereignty and integrity of the littoral states."

During the regional security meeting last wee in Indonesia, US Secretary of State Hillary Rodham Clinton laid out specific guidelines for the peaceful settlement of competing territorial claims in the South China Sea. She said the recent spats with China are threatening the security that has driven the region's economic growth.

Saturday, April 2, 2011

Kerjasama Militer ASEAN Bukan Pakta Militer

leonard seven - Sejumlah Panglima Angkatan Bersenjata negara anggota ASEAN berkumpul di Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (31/3) pagi, untuk menghadiri pertemuan informal. Menteri Pertahanan, Purnomo Yusgiantoro mengatakan, pertemuan para petinggi militer ASEAN itu tidak akan membahas sesuatu yang terkait dengan operasi bersenjata. "Pertemuan panglima-panglima angkatan bersenjata ASEAN pagi ini sebenarnya pertemuan informal," katanya sebelum mengikuti pertemuan tersebut. Pertemuan informal itu, kata Purnomo, sekaligus menegaskan komitmen Indonesia untuk tidak membentuk pakta militer di kawasan ASEAN. Purnomo menegaskan, kerja sama militer bukan hanya dalam bentuk perang. "Kerja sama itu bisa untuk operasi militer selain perang," kata Purnomo. Kerja sama selain perang itu, antara lain, penanggulangan bencana, misi perdamaian, penanggulangan teror, dan pengamanan wilayah maritim. ASEAN merupakan corner stone politik luar negeri RI karena mempunyai arti yang strategis menjaga perdamaian dan stabilitas kawasan (promote peace and stability in the region). Secara eksternal ASEAN harus menjadi the driving seat dalam pengaturan keseimbangan regional

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dijadwalkan hadir dalam pertemuan informal panglima angkatan bersenjata se-ASEAN yang bertajuk ASEAN Chiefs of Defense Forces Informal Meeting (ACDFIN) itu. Pertemuan informal kedelapan itu juga akan diisi dengan acara santap pagi bersama. Pertemuan tertutup yang berlangsung sejak pukul 07.30 WIB itu akan diisi dengan sambutan Panglima TNI Laksamana TNI Agus Suhartono dan sambutan perwakilan ASEAN Chief of Defense Forces, Royal Thai Armed Forces, General Songkitti Jaggabatara. Presiden Yudhoyono juga akan memberikan arahan dalam acara yang dihadiri 50 undangan

Militer negara-negara ASEAN juga melakukan kerja sama intelijen untuk pemberantasan teroris. Mereka akan melakukan pertukaran data analisis intelijen.  Panglima TNI Laksamana Agus Suhartono mengungkapkan kerja sama ini meliputi pertukaran data analisa intelijen. "Kerja sama ini meliputi negara-negara ASEAN untuk antisipasi kondisi keamanan ASEAN," ujarnya dalam jumpa pers penutupan ACDFIM. Ia menyatakan kerjasama ini penting untuk deteksi dini atas aksi terorisme di kawasan ASEAN. 10 negara yang mengikuti pertemuan ini menyadari bahwa ancaman terorisme merupakan musuh bersama. Masing-masing negara akan melakukan pertukaran atas data intelijen yang sudah dianalisa. Sehingga detil informasi intelijen dapat memberikan arah penanggulangan dini. "Analisa intelijen ini termasuk analisa terkait informasi terorisme," lanjutnya.

Pertemuan ACDFIM ke 8 sendiri menghasilkan beberapa kerjasama yakni meliputi penguatan forum kerja ASEAN pada 2013-2014, penguatan dalam hal bantuan kemanusiaan dan pemulihan bencana, pertukaran analisis intelijen untuk mengantisipasi aksi teror, penanggulangan isu-isu  keamanan maritim

Kerjasama dalam penanggulangan bencana alam yang merupakan usulan Indonesia telah disahkan dengan Roadmap on the use of ASEAN Military Asset and Capacities. Disamping itu kegiatan terkait kerjasama masyarakat madani dengan institusi pertahanan dalam penanggulangan masalah keamanan non-tradisional yang digagas oleh Thailand.serta  ASEAN  selalu berupaya mempromosikan potensi ASEAN dalam kebutuhan alat-alat pertahanan mandiri.

Salah satu contoh kerjasama militer yang digelar dalam waktu dekat adalah Gelar Patroli Bersama Angkatan Laut Empat Negara ASEAN  Sebagaimana dilansir dalam berbagai informasi diketahui aksi perompakan kini mulai bergeser dari Selat Malaka ke wilayah Laut China Selatan. Mengantisipasi itu, empat Angkatan Laut empat negara ASEAN sepakat melakukan patroli bersama.Menurut Panglima, saat ini keamanan Selat Malaka cukup terjaga setelah dikawal Angkatan Laut Indonesia, Singapura, Malaysia, dan Thailand. Aksi perompakan yang terjadi di Selat Malaka semakin menurun.Selat Malaka saat ini dijaga empat negara dan hal itu bisa menurunkan tingkat kejahatan di Malaka. Saat ini di Malaka sudah hampir zero accident," jelas Panglima TNI Laksamana Agus Suhartono.Namun, menurut Panglima TNI semakin ketatnya pengamanan di Selat Malaka, aksi kejahatan pun berpindah ke Laut China Selatan sehingga patroli laut bersama pun mulai diperluas. "Tapi kejahatan berubah, yang asalnya di Malaka sekarang ke Laut China Selatan, seperti di Somalia kejahatan beralih ke laut yang lebih luas. Kita harus mewaspadai jangan sampai kejahatan dari Malaka pindah ke Laut China Selatan," kata Agus. Lebih lanjut Agus menjelaskan patroli laut bersama di Laut China Selatan sangat dibutuhkan karena akan berpengaruh pada jalur lalu lintas perdagangan laut. (leonard-seven)

Saturday, January 22, 2011

Kisah Heroik Ala Angkatan Laut Malaysia - Penyelamatan MT Bunga


VIVAnews -- Aparat Malaysia menangkap tujuh bajak laut Somalia, setelah menggagalkan upaya pembajakan tanker berisi bahan kimia di Teluk Aden.

Angkatan Laut Kerajaan Malaysia mengatakan, pasukan komandonya melukai tiga bajak laut dalam baku tembak dan berhasil menyelamatkan 23 kru kapal berbendera Malaysia, MT Bunga dari bajak laut yang menyerbu kapal dengan senjata pistol dan senapan.

Drama penyelamatan tersebut melibatkan kapal dan helikopter angkatan laut yang bersiaga 22 kilometer dari Kapal MT Bunga. Penyerbuan dilakukan setelah para kru mengunci diri di sebuah ruangan dan mengaktifkan panggilan darurat.

Kisah heroik itu sudah didengar Perdana Menteri Malaysia, Najib Razak. Kata dia, Pihak berwenang sedang mempertimbangkan apakah mereka akan dibawa ke Malaysia untuk diproses secara hukum.

"Saya sangat bangga dengan angkatan laut yang bertindak penuh efisiensi dan mendemonstrasikan tindakan berani," kata Najib, seperti dilansir kantor berita AP, Sabtu 22 Januari 2011.

Keberadaan Angkatan Laut Malaysia di Teluk Aden berfungsi untuk mengawal kapal yang berkaitan dengan kepentingan negeri jiran.

Serangan itu terjadi hanya dua jam setelah angkatan laut meninggalkan MT  Bunga usai mengawal kapal itu ke wilayah yang dianggap relatif aman di perairan Teluk Aden, sekitar 500 kilometer di lepas pantai timur Oman.

Angkatan laut tidak memberikan rincian kebangsaan para awak kapal. Perwakilan dari Malaysia International Shipping Corporation, yang mengoperasikan MT Bunga, belum dimintai konfirmasi.

Cara seperti yang ditempuh Malaysia menyelamatkan kapalnya bukan hal baru. Sejumlah pasukan khusus negara lain juga melakukan penyelamatan dengan prosedur sama: memastikan kru terkunci di ruang aman atau 'benteng', dan balik menyerbu kapal untuk menyelamatkan para kru.

Salah satu usaha penyelamatan yang berhasil namun berisiko tinggi dilakukan Angkatan Laut Korea Selatan, yang berhasil membebaskan kapal pengangkut barang yang disandera di Laut Arab yang telah dibajak seminggu sebelumnya.

Delapan bajak laut Somalia tewas, sementara 21 kru kapal termasuk dua Warga Negara Indonesia (WNI) berhasil selamat. (AP)

Wednesday, November 24, 2010

Insiden Yeonpyeong Titik Nyala Perang Korea?

Dua Korea kembali bergejolak, ditandai dengan serangan artileri Korea Utara (Korut) ke Pulau Yeonpyeong di Korea Selatan (Korsel), Selasa 23 November 2010. Korsel pun membalas dengan tembakan artileri dan serangan udara.Kantor berita Associated Press mencatat, hingga Selasa malam, dua tentara Korsel tewas dan 16 lainnya terluka akibat baku tembak itu. Belum ada keterangan apakah ada korban jatuh dari pihak Korut.Kedua Korea saling tuduh mengenai siapa penyulut gejolak kali ini. Korsel, seperti dikutip kantor berita Yonhap, menuding Korut sebagai pihak pertama pemantik konflik. Sebaliknya, kantor berita Korut KCNA, menyebutkan Korsel pertama kali melontarkan tembakan. Tampaknya tuduhan itu merujuk kepada latihan militer yang dilakukan Korsel di perairan dekat Yeonpyeong.

Bermula dari latihan militer






















Ketegangan itu dimulai saat Korut memberi peringatan kepada Korsel agar tidak menggelar latihan militer di perairan dekat Pulau Yeonpyeong. Wilayah di Laut Kuning itu masih dalam sengketa antar kedua negara.Sejak akhir Perang Korea 1950-1953, Korut tak mengakui batas maritim wilayah Barat, yang dianggap ditetapkan sepihak oleh Perserikatan Bangsa-bangsa, saat mengatur gencatan senjata kedua negara.
Peringatan Korut itu tak digubris oleh Korsel, yang merasa berhak menggunakan perairan itu untuk latihan perang. Maka, tak lama setelah latihan militer Korsel dimulai, terdengar gemuruh tembakan artileri dari Korut. Masalahnya, tembakan itu tak mengarah ke lokasi latihan militer, tapi ke Pulau Yeonpyeong, yang dihuni warga sipil dan militer.“Kami sedang melakukan latihan angkatan laut, darat dan udara di wilayah ini. Mereka sepertinya keberatan,” ujar seorang tentara kepada stasiun berita YTN seperti dilansir dari laman Telegraph.Serangan artileri Korut ke sasaran sipil Korsel, Selasa 23 November 2010, itu dinilai sebagai terparah dalam 20 tahun terakhir. Harian The Telegraph mengingatkan serangan Korut sebelumnya adalah pengeboman pesawat Korean Air pada 1987. Itu adalah serangan Korut pertama atas Korsel sejak akhir Perang Korea 1950-1953. Sekitar 104 penumpang, dan 11 awak pesawat itu tewas dalam aksi yang dilakukan agen intelijen Korut.

Suksesi di Korut?


Menurut kalangan pengamat, serangan di Yeonpyeong itu diduga sebagai upaya Korut mencari perhatian dunia atas rencana suksesi dari kepemimpinan Kim Jong-il kepada putranya, Kim Jong-un. Jong-un telah diperkenalkan kepada publik Korut dalam suatu parade militer Oktober lalu.Kalangan pengamat menilai suksesi kepemimpinan akan ditandai oleh serangkaian upaya provokatif untuk menunjukkan kekuatan militer Korut. Selain itu, pada pekan ini juga, Korut mengungkapkan pengayaan uraniumnya yang ditakutkan akan digunakan untuk membuat senjata nuklir.Profesor Chu Shulong, pengamat dari Universitas Tsinghua di Beijing, China, menilai Korut dari dulu selalu membuat gara-gara untuk mencari perhatian internasional. "Setelah mendapat perhatian, mereka akan memulai putaran perundingan dan mendapat bantuan dari negara-negara lain. Itulah yang mereka lakukan dalam 20 tahun terakhir," kata Chu seperti dikutip harian The Guardian. Mantan menteri luar negeri Korsel, Han Seung-joo, menilai aksi Korut itu tampaknya cenderung sebagai pesan kepada publik domestik ketimbang pihak luar. Ini untuk menggalang solidaritas di dalam negeri, bahwa mereka masih bisa unjuk kekuatan kepada musuh-musuh kapitalis, yang diwakili oleh Korsel dan sekutunya, Amerika Serikat.

Siaga perang sejak 1953


Pada tahun ini, tercatat telah dua kali militer dua Korea terlibat kontak fisik dengan korban jiwa. Pada Maret lalu, satu kapal patroli Korsel ditorpedo oleh kapal selam Korut. Sekitar 46 pelaut Korsel tewas. Korsel sudah memperlihatkan bukti, namun Korut membantah penyerangan itu.Kini muncul serangan artileri dari Korut ke Yeonpyeong, pulau milik Korsel yang letaknya sekitar 120 km dari sebelah barat Ibukota Seoul. Yeonpyeong hanya berjarak sekitar 80 km dari Kota Incheon, yang menjadi lokasi bandar udara internasional terbesar Korsel.Serangan artileri ini, bila tetap terjadi, diperkirakan mengancam keselamatan penerbangan komersil. Bandara Incheon adalah salah satu pusat layanan penerbangan internasional di Asia. Serangan itu juga berpengaruh pada turunnya harga-harga saham di Korsel.  Kedua Korea sebenarnya masih dalam keadaan siaga perang karena Perang 1950-1953 hanya diakhiri oleh gencatan senjata dan bukan oleh perjanjian damai. Itulah sebabnya kedua negara itu terus bersengketa secara fisik walau beberapa kali muncul upaya rekonsiliasi dalam kurun lebih dari 50 tahun terakhir.

Zona panas Yeonpyeong

Klaim batas maritim di bagian barat Semenanjung Korea adalah salah satu biang konflik Kedua Korea. Kebetulan, Pulau Yeonpyeong berada di tengah zona panas itu.Berpenduduk sekitar 1.600 jiwa, Yeonpyong pada 1970an juga pernah diklaim Korut sebagai wilayahnya. Sebagian besar warga sipil di pulau itu adalah nelayan. Di Yeonpyeong juga didirikan markas militer, dan ditempati 1.000 tentara Korsel.
Penduduk di pulau ini sudah terbiasa dengan agresi militer. Pada Juni lalu, Korut menembakkan 130 peluru artileri ke arah pulau Yeonpyeong sebagai bentuk protes atas latihan gabungan Korsel dan AS di Laut Kuning. Beruntung, hanya sekitar 10 peluru yang melewati perbatasan dan kesemuanya jatuh di laut.
Delapan tahun lalu, 13 tentara angkatan laut Korut dan empat angkatan laut Korsel terbunuh saat kedua tentara kedua pihak berbalas tembak di perbatasan Korut. Itu sebabnya, warga pulau itu selalu bersiap untuk keadaan perang.Di Yeonpyeong, misalnya, terdapat 19 tempat penyimpanan bom. Setiap bulan penduduk setempat melakukan latihan antisipasi serangan udara dari Korut. Untuk persiapan, penduduk juga selalu menyimpan topeng gas di rumah.
•leonard-seven. Disarikan dari VIVAnews

Friday, July 10, 2009

Meretas Keamanan Maritim di Asia Tenggara


Wilayah perairan Asia Tenggara memiliki peranan sangat penting karena merupakan penghubung antara dua samudera besar, Pasifik dan Hindia. Selat-selat di perairan kawasan ini merupakan jalur SLOC (Sea Lanes of Communication) perdagangan dunia yang sekaligus menjadi choke points strategis bagi proyeksi armada angkatan laut negara maritim besar dalam rangka forward presence ke seluruh penjuru dunia. Jalur SLOC yang terpadat adalah Selat Malaka, dimana dilewati oleh 72 % tanker yang melintas dari Samudera Hindia ke Pasifik, dan hanya 28 % yang lewat selat Lombok, selat Makassar dan laut Sulawesi. Selat Malaka sebagai jalur padat perdagangan dunia dan selalu menjadi perhatian masyarakat maritim internasional.

Perdagangan lewat laut ini sebagian besar melalui perairan Indonesia, karena memang semua SLOC berada di perairan Indonesia. Dari kondisi tersebut dapatlah dimengerti apabila keamanan laut di perairan Indonesia terganggu, maka akan berdampak kepada terganggunya aktivitas perdagangan lewat laut, sehingga akan merugikan banyak negara pengguna, khususnya negara-negara yang volume perdagangannya lewat laut sangat besar. Oleh sebab itu sangat wajar dan cukup rasional, apabila masalah tersebut menjadi pemikiran kita bersama, bukan hanya bagi negara-negara yang memiliki SLOC, seperti Indonesia, melainkan juga bagi negara-negara pengguna yang memperoleh manfaat besar dari terjaminnya keamanan di SLOC tersebut.

Namun demikian, keberadaan alur-alur pelayaran yang ramai serta bernilai penting bagi kesejahteraan berbagai bangsa tersebut juga membawa konsekwensi tidak ringan bagi Indonesia, di mana perhatian dunia internasional terhadap masalah keamanan perairan Indonesia menjadi semakin tajam. Isu perompakan bersenjata di laut, terorisme maritim serta bentuk kejahatan maritim lainnya menjadi semakin mengemuka, terutama di perairan-perairan ramai seperti Selat Malaka dan Selat Singapura. Untuk mengatasi pembajakan dan perompakan di kedua selat tersebut, Indonesia telah berupaya maksimal dengan membentuk satuan tugas anti pembajakan/ perompakan serta meningkatkan patroli TNI AL baik secara mandiri maupun terkoordinasi dengan negara-negara lain.

Setelah Konvensi PBB tentang Hukum Laut tahun 1982 (UNCLOS 1982) diratifikasi oleh Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 dan konvensi tersebut diberlakukan sebagai hukum positif sejak tanggal 16 Nopember 1994, maka status Indonesia sebagai negara kepulauan (Archipelagic State) diakui oleh dunia. Pengakuan dunia dalam hukum internasional tersebut mengesahkan “a defined territory” negara Indonesia, sehingga Indonesia memiliki legalitas hukum terhadap wilayah nasionalnya yang meliputi wilayah darat, laut dan udara di atasnya. Demikian pula Indonesia mempunyai kedaulatan dan kewenangan untuk menjaga dan mempertahankan integritas wilayah lautnya, termasuk mengelola dan mengatur orang dan barang yang ada di dalam wilayah kelautan tersebut, namun hal ini tidak berarti meniadakan hak negara lain sesuai dengan ketentuan dalam konvensi tersebut.

Secara legal formal Indonesia terikat dengan ketentuan-ketentuan dalam hukum internasional tersebut, termasuk kewajiban Indonesia untuk menjamin keamanan wilayah kelautan, khususnya di Sea Lines Of Communication. Bila kewajiban ini diabaikan, dalam arti bahwa kapal-kapal niaga negara pengguna terancam keamanannya bila melintas di perairan Indonesia, maka hal itu dapat menjadi alasan untuk menghadirkan kekuatan angkatan lautnya. Berkaitan dengan hal ini diperlukan kesamaan persepsi tentang keamanan laut, khususnya bagi komponen bangsa yang memiliki tugas, fungsi dan wewenang di laut, agar “action plan” yang akan dilaksanakan dapat tepat pada sasaran, terarah dan terpadu.

Perlu dipahami bahwa keamanan laut bukan hanya penegakan hukum di laut, lebih tegasnya lagi keamanan laut tidak sama dengan penegakan hukum di laut. Keamanan laut mengandung pengertian bahwa laut aman digunakan oleh pengguna, dan bebas dari ancaman atau gangguan terhadap aktifitas penggunaan atau pemanfaatan laut, yaitu :

Laut bebas dari ancaman kekerasan, yaitu ancaman dengan menggunakan kekuatan bersenjata yang terorganisir dan memiliki kemampuan untuk mengganggu dan membahayakan personel atau negara. Ancaman tersebut dapat berupa pembajakan, perompakan, sabotase obyek vital, peranjauan, dan aksi teror bersenjata.
Laut bebas dari ancaman navigasi, yaitu ancaman yang ditimbulkan oleh kondisi geografi dan hidrografi serta kurang memadainya sarana bantu navigasi, seperti suar, bouy dan lain-lain, sehingga dapat membahayakan keselamatan pelayaran.
Laut bebas dari ancaman terhadap lingkungan dan sumber daya laut, berupa pencemaran dan perusakan ekosistem laut, eksploitasi yang berlebihan serta konflik pengelolaan sumber daya laut. Fakta menunjukkan bahwa konflik pengelolaan sumber daya laut memiliki kecenderungan mudah dipolitisasi dan selanjutnya akan diikuti dengan penggelaran kekuatan militer.
Laut bebas dari ancaman pelanggaran hukum, yaitu tidak dipatuhinya hukum nasional maupun internasional yang berlaku di perairan, seperti illegal fishing, illegal logging, illegal migrant, penyelundupan dan lain-lain.

Bertitik tolak dari persepsi tersebut sangatlah jelas bahwa keamanan laut memiliki lingkup yang cukup luas, sehingga memerlukan organisasi, manajemen, serta sarana dan prasarana yang memadai. Dilihat dari sisi ini akan menyadarkan kita semua, bahwa masalah keamanan di laut merupakan masalah yang kompleks. Kekompleksannya semakin bertambah karena di laut bertemu dua kepentingan yang saling mengikat, yaitu kepentingan nasional dan internasional. Oleh karenanya penindakan terhadap ancaman-ancaman tersebut perlu didukung oleh perangkat peraturan perundang-undangan, baik nasional maupun internasional.

Gangguan Keamanan di Selat Malaka.


Sea Armed Robbery


Selat Malaka selama ini dipandang selalu menjadi pusat perhatian publik utamanya terkait dengan berita tentang meningkatnya gangguan keamanan terhadap kapal-kapal dagang dan tanker yang melintasi selat ini. Gencarnya publikasi tentang perairan Indonesia khususnya keamanan Selat Malaka yang di juluki sebagai "the most piracy-prone in the world" dikhawatirkan akan tercipta opini masyarakat internasional bahwa memang seperti itulah adanya. Dampak dari pemberitaan ini menyebabkan meningkatnya premi asuransi pelayaran dari dan ke Indonesia yang pada akhirnya akan mempengaruhi kepentingan ekonomi Indonesia.

Konteks pengertian dari Piracy dan Robbery/Armed Robbery juga belum terdefinisi dengan baik dan diterima oleh semua pihak, sehingga sampai saat ini pengertian kedua kata tersebut masih bias dengan konotasi arti yang berbeda-beda. Laporan-laporan tentang Selat Malaka yang dikeluarkan oleh suatu lembaga Non Pemerintah yaitu International Maritime Bureau (IMB) dengan menggunakan definisi "Piracy/Pembajakan" secara sepihak tanpa memperhatikan kaidah hukum-hukum internasional, sangat merugikan Indonesia.

Dalam pasal 100 UNCLOS 1982 dinyatakan bahwa Piracy merupakan tindakan ilegal "dilaksanakan di laut bebas atau di tempat di luar yurisdiksi suatu negara" kemudian pada Pasal 101 UNCLOS 1982 secara tegas mengatur dan membedakan "piracy" dan "armed robbery at sea" berdasarkan "Locus Delicti", dimana piracy merupakan tindakan kejahatan yang dilakukan di laut Lepas (High Seas) atau dilakukan di luar wilayah yurisdiksi nasional suatu negara. Dari definisi ini, dapat disimpulkan bahwa di Selat Malaka tidak terdapat tindakan "piracy". International Maritime Bureau (IMB) justru menciptakan definisi "piracy" sendiri. Yang menyatakan bahwa piracy adalah segala tindakan kejahatan baik yang dilakukan di laut teritorial maupun perairan kepulauan suatu negara atau bahkan dalam suatu pelabuhan di suatu negara, sebagai contoh adanya awak kapal yang mengalami kecopetan di pelabuhan, perompakan pada kapal-kapal yang sedang berlabuh jangkar di pelabuhan serta perbuatan kriminal lain (petty cash criminal) sudah dianggap “piracy”. Dan Indonesia jelas menolak definisi ini.

Pembajakan (piracy), perompakan bersenjata di laut (armed robbery against ships) dan kemungkinan serangan teroris pada jalur pelayaran telah menjadi ancaman yang serius bagi keamanan maritim kawasan Asia Pasifik serta mengganggu stabilitas perdagangan global. Masalah keamanan maritim merupakan hal yang mendasar dan sangat diperlukan dalam menciptakan kesejahteraan dan keamanan di kawasan negara-negara khususnya di Asia Tenggara. Dalam hal ini dibutuhkan upaya kerja sama regional secara menyeluruh bukan saja untuk memerangi pembajakan dan perompakan, namun juga untuk memerangi kejahatan internasional yang terorganisasi (transnational organised crime, TOC).

Terorisme Maritim


Dewasa ini tengah beredar suatu pandangan bahwa teroris dapat bekerjasama dengan para perompak di Selat Malaka dan melakukan serangan dengan merusak salah satu jalur perdagangan terbesar di dunia. Analisa apapun di era globalisasi ini sah dan legal, tapi yang terpenting adalah kewaspadaan dan kesiagaan terhadap segala kemungkinan adalah sangat penting, terlebih bagi negara seperti Indonesia yang juga menjadi korban terorisme. Hingga saat ini, serangan teroris yang langsung diarahkan ke ‘sasaran’ di Laut dapat dikatakan sangat jarang terjadi. Padahal kalau kita cermati, kejadian terorisme maritim masih sangat kecil dan gaung atau akibat kejadiannya tidak semencekam terorisme di darat mengingat tujuan utama terorisme adalah dampak ketakutan yang sangat hebat terhadap masyarakat.

Bagaimana dengan issue terorisme maritim yang dihembuskan negara-negara besar akan terjadi di perairan Selat Malaka dan Selat Singapore ? bayangan sebagian masyarakat umum khususnya dunia pelayaran adalah hadirnya teroris dengan menggunakan boat kecil berisi bahan peledak yang sedang mengintai dan menunggu dirinya di kapal tangker atau kapal kontainer yang sedang melalui Selat Malaka. Atau mungkin dengan cara melaksanakan bom bunuh diri (Suicide Bomb). Bisakah itu terjadi ?

Ancaman lain berupa penyebaran ranjau merupakan bentuk serangan teroris yang paling berbahaya. Telah diketahui bahwa ranjau merupakan senjata yang murah dan sederhana tetapi dapat menimbulkan dampak yang sangat strategis. Hanya dengan menyebarkan senjata tersebut di wilayah perairan maka dapat mengancam keamanan SLOC (Sea Lines Of Communication). Kalau sebuah Tanker/Kapal meledak karena ranjau, maka seluruh kegiatan pelayaran akan terhenti dalam waktu yang cukup lama, sampai xxsemua jalur di perairan tersebut betul-betul bebas/tidak ada ranjau dan para pengguna laut merasa aman dan tidak ragu-ragu lagi apabila melintasi perairan ini, sehingga dibutuhkan waktu yang lama dan dana yang besar untuk melakukan survey pencarian dan pembersihan Alur (channel) sekaligus melaksanakan penyelamatan dan pengangkatan kapal (salvage) yang menjadi korban ranjau.

Hal ini akan berbeda dengan meledaknya kapal yang disebabkan oleh teroris dimana tidak akan menghentikan kegiatan lalu lintas pelayaran (shipping traffic). Tetapi dengan sifat ranjau yang murah dan sederhana ini, akan mampu menimbulkan efek yang sangat besar, sehingga sangat mungkin senjata ini akan dipergunakan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab, di mana dampaknya dapat menimbulkan ketakutan dari para pengguna laut sehingga mengganggu dan mengancam kestabilan ekonomi negara-negara kawasan yang akhirnya berakibat terhadap kestabilan ekonomi dunia.

Semua negara dapat menggunakan Sea Lines Of Communication yang melalui perairan Indonesia termasuk Selat Malaka dan Selat Singapura untuk perlintasan kapal-kapal mereka. Tetapi untuk melancarkan suatu operasi, dengan dalih memerangi terorisme maritim, harus mendapat persetujuan dari negara-negara pantai yang bersangkutan. Oleh karena itu masalah Terorisme Maritim ini bukan hanya urusan negara pantai, melainkan kepentingan bersama, sehingga negara-negara pengguna juga harus memiliki kepedulian yang tinggi dan ikut terlibat aktif dalam penanganannya, bukan dalam bentuk menghadirkan kekuatan Angkatan Lautnya, namun membantu meningkatkan kemampuan negara-negara pantai (Capacity Building), antara lain dalam kerjasama pertukaran informasi intellijen (Sharing Intellijen) diantara negara pantai serta antara negara pantai dan pengguna dengan membangun sistem informasi yang terintegrasi. Dengan demikian terjalin hubungan yang harmonis antara negara pantai dan pengguna sesuai kaidah Hukum Laut Internasional.

Dalam konteks ini seringkali masyarakat internasional, khususnya negara-negara pengguna Selat Malaka dan Selat Singapura menyalahkan Indonesia, atas tingginya frekuensi pembajakan dan perompakan di kedua Selat tersebut. Hal ini sepertinya kurang fair, karena dengan keterbatasan yang ada Indonesia bersama kedua neara pantai, yaitu Malaysai dan Singapura telah berupaya maksimal untuk mengatasinya.

Keamanan Maritim Kawasan khususnya di Selat Malaka dan Selat Singapore sebagai selat yang digunakan untuk pelayaran internasional sesuai dengan Hukum Laut internasional merupakan tanggung jawab negara pantai, yaitu Indonesia, Malaysia dan Singapore. Jaminan keamanan ini sangat penting, mengingat faktor keamanan di kawasan ini dapat menjadi isu yang krusial bagi kehidupan banyak bangsa. Negara pantai paling bertanggung jawab terhadap keamanan di perairannya untuk itu kehadiran pasukan asing selain ketiga negara pantai tersebut dalam konteks mengamankan SLOC di kawasan ini adalah tidak benar. Kehadiran pasukan lain dibenarkan apabila memang diminta oleh negara pantai. Hal ini sangat penting dipahami, mengingat hal tersebut menyangkut kedaulatan nasional negara pantai.

Semua negara dapat menggunakan jalur pelayaran khususnya Selat Malaka dan Selat Singapore untuk kepentingan perlintasan kapal-kapal mereka termasuk kapal-kapal perang. Tetapi untuk melancarkan suatu operasi, dengan dalih apapun, harus mendapat persetujuan dari negara-negara pantai yang bersangkutan. Oleh karena itu masalah pembajakan dan perompakan di SLOC seperti Selat Malaka dan Selat Singapore bukan hanya urusan negara pantai, melainkan kepentingan bersama, sehingga sangat diperlukan kerja sama dengan negara-negara lain dalam mewujudkan keamanan laut di wilayah tersebut. Negara-negara pengguna juga harus memiliki kepedulian yang tinggi dan ikut terlibat aktif dalam penanganannya, bukan dalam bentuk menghadirkan kekuatan Angkatan Lautnya, namun membantu meningkatkan kemampuan negara-negara pantai.
Sebagai negara yang sedang berkembang dimana faktor ekonomi dan keuangan merupakan kendala yang sangat utama, bantuan-bantuan diatas sangat diperlukan oleh Indonesia. Secara ekonomis pengalokasian anggaran melalui APBN (Anggaran pendapatan dan Belanja Negara) bagi pengamanan Selat Malaka yang memerlukan beaya yang cukup besar, sementara itu kegiatan pelayaran Indonesia belum signifikan dibandingkan pelayaran asing, dan tidak memberikan keuntungan secara langsung bagi Indonesia, kecuali secara tidak langsung yaitu perdagangan eksport dan import.

Friday, June 19, 2009

Navy Roles dan Konsep National Security


Dewasa ini di Indonesia terdapat polarisasi pendapat diantara para ahli dan pemerhati tentang apa yang disebut dengan Keamanan Nasional. Bagi negara Indonesia yang sedang berada dalam transisi demokrasi akan lebih banyak dihadapkan pada munculnya masalah-masalah baru menyangkut Keamanan Nasional baik aspek pertahanan maupun aspek keamanan. Banyak contoh masalah-masalah baru yang mempengaruhi keamanan nasional tersebut, mulai dari perpindahan penduduk, pencucian uang (money laundering), perdagangan obat bius (drug trafficking), kejahatan komputer, terorisme internasional, hingga kejahatan yang bersifat transnasional yang terjadi di dan lewat laut seperti terorisme maritim (maritime terrorism), bajak laut (piracy), pelanggaran wilayah dan penjarahan hasil laut illegal secara besar-besaran. Atas dasar itu, minimal ada tiga pertimbangan yang menjadi dasar pemikiran dibutuhkannya kebijakan tentang keamanan nasional.
Pertama, dari kerangka legal, diperlukan kebijakan untuk menutup ketidak konsistenan dan kekosongan hukum yang terjadi antara UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dan UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara Republik Indonesia. Kedua UU tersebut tidak secara rinci mengatur tataran kewenangan keamanan nasional dalam wilayah irisan antara aspek pertahanan dan aspek ketertiban umum serta penegakan hukum. Kelemahan ini juga menunjukan tidak adanya pengaturan yang komprehensif dan integratif tentang keamanan nasional.
Kedua, dari pertimbangan politik, kebutuhan mendesak untuk mengatur kembali peran dan posisi institusi-institusi yang bertanggung jawab untuk mewujudkan keamanan nasional, khususnya tentang keamanan nasional yang mencerminkan kepentingan aktor-aktor (stakeholders) yang lebih luas.
Ketiga, dari pertimbangan strategis, keharusan menempatkan keamanan nasional sebagai suatu konsep yang merangkum berbagai subyek, dimensi ancaman serta modalitas untuk mempertahanankannya. Pemahaman atas konsep keamanan nasional perlu diperluas untuk menjangkau bukan hanya keamanan negara sebagai entitas politik yang sah dan berdaulat tetapi juga memperhatikan perlindungan hak-hak warga negara. Modalitas untuk melindungi keamanan nasional dalam pengertian seperti itu perlu disusun dengan memperhatikan kapasitas politik nasional, dinamika hubungan anatar negara di kawasan tertentu maupun global, demokrasi, hak-hak asasi manusia serta norma, kaidah dan hukum-hukum internasional.

Mencermati bahwa Indonesia adalah negara kepulauan maka pemerintah memerlukan suatu kebijakan keamanan nasional di laut dalam rangka penegakan kedaulatan dan hukum.di laut. Kebijakan keamanan nasional tersebut sangat dipengaruhi oleh filosofi status negara kepulauan dan aspek laut sebagai bagian dari Wilayah RI. Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945, berdasarkan kenyataan sejarah, geografis kewilayahan adalah negara kepulauan yang berlandaskan wawasan nusantara (dikenal dengan Deklarasi Djuanda tanggal 13 Desember 1957) .Deklarasi tersebut diberi landasan bentuk hukum dengan UU no 4 Prp tahun 1960 tentang Perairan Indonesia. Pada perkembangannya dengan diratifikasinya UNCLOS 1982 dengan UU No. 17 tahun 1985 maka UU Perairan Indonesia diganti dengan UU No 6 tahun 1996 . Hal ini membuktikan bahwa status negara RI sebagai negara kepulauan telah diterima dan diakui dunia internasional dengan segala konsekwensinya. Saat ini posisi Indonesia ini semakin mantap dengan telah diterbitkannya UU Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara.

LAUT SEBAGAI BAGIAN DARI WILAYAH RI
Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang. Rumusan tersebut menunjukkan wilayah negara (state territory) dimana NKRI berdaulat adalah sebuah wilayah lautan dan pulau-pulau didalamnya, kedaulatn negara atas laut meliputi hak bagi negara untuk melakukan penguasaan, pengelolaan atas laut serta melindungi wilayah laut itu dengan melaksanakan penegakan kedaulatan dan penegakan hukum

PERSEPSI KEAMANAN NASIONAL.
Keamanan Nasional merupakan elemen yang melekat dari tujuan penyelenggaraan negara. Secara kontekstual Keamanan Nasional (National Security) harus dipahami dalam dimensi yang lebih luas yaitu meliputi keamanan manusia (human security), dan kedaulatan negara (sovereignty). Implementasi dua dimensi dari keamanan nasional itu dapat dilakukan dengan cara penegakan hukum dan penegakan kedaulatan.
Tujuan pelaksanaan keamanan Nasional tersebut sendiri adalah untuk mengatasi kompleksitas jenis dan sumber ancaman baik militer/non-militer, konvensional/non-konvensional maupun internal/eksternal. Hakikat Ancaman terhadap keamanan nasional dapat meliputi ancaman fisik dan non-fisik, berasal dari luar maupun dari dalam tapal batas wilayah negara yang menyebar secara langsung atau tidak langsung.
Ruang lingkup keamanan nasional perlu diperjelas untuk memberikan kepastian tentang subyek dan prinsip dasar yang akan dilindungi dari suatu ancaman tertentu. Pandangan umum terhadap keamanan nasional mencakup aspek pertahanan dan keamanan. Oleh karena, perlu ada suatu mekanisme untuk menentukan fokus dari keamanan nasional serta menetapkan kebijakan nasional tentang keamanan nasional yang menjadi pedoman penyelenggaraan negara.
Kebijakan Keamanan Nasional di laut dalam menghadapi ancaman itu harus memperhatikan konteks filosofis, geografis dan yuridis. Ketiga konteks itu bagi Indonesia sebagai negara maritim akan lebih banyak dihadapkan pada munculnya masalah-masalah baru yang bersifat transnasional yang tidak bisa hanya diatasi oleh instrumen sipil tetapi juga harus dibendung dengan kekuatan Angkatan Laut yang selama ini telah memperoleh legitimasi yang sangat kuat berdasarkan hukum nasional dan hukum internasional.

LAW ENFORCEMENT AT SEA
Kedaulatan negara menurut pasal 4 UU No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia adalah kedaulatan negara RI di Perairan Indonesia meliputi laut territorial, perairan kepulauan, perairan pedalaman dan ruang udara diatasnya serta dasar laut dan tanah dibawahnya termasuk sumber daya kekayaan alam yang terkandung didalamnya.
Rumusan itu menunjukkan peran TNI AL dalam penegakan kedaulatan negara di laut harus ditafsirkan tegaknya hukum di laut yang diartikan dilaksanakan dan ditaatinya berbagai ketentuan dan peraturan serta kebijakan negara. Dengan demikian maka Penegakan hukum di Perairan Indonesia tersebut berdasarkan penjelasan pasal 24 UU No. 6 Tahun 1996 dilaksanakan oleh TNI AL.dan institusi lain sesuai ketentuan UU.

HUBUNGAN PERAN TNI AL DAN POLRI
Pengaturan peran TNI dalam hal ini TNI AL dan Polri oleh Amandemen UUD 1945 secara yuridis telah dijabarkan dalam UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI dan dalam UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan. Dalam pasal 10 UU No. 3 Tahun 2002 disebutkan TNI berperan sebagai alat pertahanan negara yang bertugas mempertahankan kedaulatan negara dan keutuhan wilayah. Selanjutnya dalam pasal 7 UU No. 3 Tahun 2002 mendefenisikan ancaman terhadap kedaulatan negara dan keutuhan wilayah tersebut dapat bersifat ancaman militer antara lain agresi, pelanggaran wilayah, spionase, sabotase, aksi terror, pemberontakan bersenjata, perang saudara. Ancaman militer tersebut telah berkembang sangat kompleks (fisik dan non fisik) dan bersifat transnasional yang terkait dengan kejahatan internasional antara lain terorisme, imigran gelap, narkotika, pengambilan sumber daya alam laut secara illegal, bajak laut, dan perusakan lingkungan. Dalam konteks secara yuridis tidak dikenal penggolongan ancaman militer maupun nir-militer (Buku Putih Dephan)
Dengan demikian TNI AL khususnya “war ship” mempunyai peran yang melekat secara universal yaitu “constabulary function” dalam rangka menjaga kedaulatan negara sekaligus menegakan hukum terhadap ancaman militer dan non militer sesuai hukum nasional dan hukum internasional. Tugas penegakan hukum oleh Polri sesuai penjelasan pasal 14 huruf g UU No.2 tahun 2002 telah ditentukan tetap memperhatikan dan tidak mengurangi kewenangan yang dimiliki oleh penyidik lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukumnya masing-masing. Berdasarkan penjelasan pasal 14 huruf g UU No.2 tahun 2002, dapat diartikan bahwa penegakan hukum di bidang penyidikan tidak dikehendaki dilaksanakan oleh Polri sebagai otoritas tunggal apalagi luas wilayah laut di Indonesia tidak mungkin ditangani hanya satu instansi saja mengingat keterbatasan sarana dan prasarana yang ada.

PENEGAKAN HUKUM OLEH TNI AL BERLAKU SECARA UNIVERSAL
Kewenangan TNI AL selaku penyidik tindak pidana tertentu di laut diatur secara tegas dalam Perundangan RI meliputi 8 (delapan) UU yang secara material menyebutkan peran TNI AL selaku penyidik yaitu TZMKO, UU No. 5 Tahun 1983 tentang ZEEI, UU No. 9 Tahun 1985 tentang Perikanan, UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, UU No. 5 Tahun 1992 tentang Pengangkatan Benda Cagar Budaya, UU No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia, UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Dasar hukum acara (formil) pelaksanaan kewenangan TNI AL adalah pasal 284 ayat (2) KUHAP tentang ketentuan peralihan yang mengenal ketentuan khusus acara pidana dan pasal 17 PP 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP yang secara tegas mengatur tentang wewenang penyidikan tindak pidana tertentu dan secara eksplisit menegaskan penyidikan di Perairan Indonesia, zona tambahan, landas kontinen dan ZEEI oleh TNI AL. Kewenangan TNI AL tersebut ditegaskan lebih lanjut dalam SE Mahkamah Agung No. 3 Tahun 1990 tentang Penyidik dalam Perairan Indonesia , Surat jaksa Agung RI Nomor R-671/F/F Py.4/8/1989 tentang Penegasan kewenangan penyidik serta ketentuan-ketentuan kewenangan pemaksaan pentaatan dalam UNCLOS 1982 yang telah diratifikasi dengan UU Nomor 17 tahun 1985, diatur dalam Pasal 29, Pasal 73, Pasal107, Pasal 110, Pasal 111 UNCLOS 1982 dan pada intinya menyatakan bahwa TNI AL (Kapal Perang) mempunyai kewenangan untuk menegakkan kedaulatan dan hukum di laut dalam rangka mempertahankan keamanan dan kepentingan nasionalnya.

Tanggung jawab TNI AL dalam penegakan hukum tersebut bukanlah sesuatu yang asing, karena sebenarnya dalam jaman modern dan demokrasi terdapat beberapa negara seperti Kanada, Inggris, Venezuela, Malaysia dan Filipina menetapkan AL (Government Naval Vessel) berperan dalam penegakan hukum. Dalam Section 124 The Philippines Fisheries Code of 1998 atau Pasal 2 Ordonan Perkapalan Dagang 1952 dan Pasal 2 Akta Perikanan 1985 (Act 317) Malaysia secara tegas menyebutkan Naval Vessel mempunyai otoritas dalam penegakan hukum.

TINJAUAN PERAN TNI AL SEBAGAI PENYIDIK DI LAUT
Penegakan hukum oleh TNI AL berdasarkan faktor geografis disebabkan ciri khas Indonesia sebagai negara kepulauan, yang luas lautnya 2/3 dari wilayah RI. Berdasarkan pertimbangan historis sejak adanya pemindahan kekuaasaan dari Commandant der Zee Match kepada Kasal sesuai UU No. 2 Drt 1949 dan sejak Zaman Netherland Indie, Angkatan Laut adalah penyidik di laut berdasarkan TZMKO Stbl 1939 No.442, Penyidik Perikanan berdasarkan Stbl 1927 No 144 dan Penyidik Pelayaran berdasarkan Stbl 1936 No.700.
Sedangkan dari faktor filosofis, TNI AL mempunyai peran universal yang selalu melekat dalam diplomacy role, military role dan constabulary role yaitu menegakkan kedaulatan dan hukum di laut yang sangat didukung infrastruktur berupa Skill dan SDM, kapal-kapal dari berbagai tipe yang mampu melaksanakan coverage seluruh perairan yurisdiksi nasional dengan menggelar operasi laut sepanjang tahun. Berdasarkan faktor-faktor tersebut dapat digarisbawahi bahwa anggapan Peran TNI AL hanya meliputi pertahanan saja tidak tepat dan menyesatkan karena Pasal 30 ayat (3) Amandemen UUD 1945 mengamanatkan penegakan kedaulatan negara bukan dalam terminologi Pertahanan.
Berdasarkan tinjauan yang komprehensif atas hubungan TNI AL dan Polri dalam Keamanan Nasional maka Pemisahan kelembagaan dan Peran TNI AL dan POLRI oleh TAP MPR No. VI/MPR 2000 dan No. VII/MPR/2000, titik berat kedudukan TNI sebagai alat negara yang berperan sebagai alat pertahanan negara sedangkan Polri adalah alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan penegakan hukum. Kedua TAP MPR tersebut harus ditafsirkan sejalan dengan pasal 30 Amandemen UUD 1945 yang tidak membuat dikotomi antara Pertahanan dan Keamanan karena dalam pasal 30 ayat (3) dan (4) terkandung makna yang lebih integral yaitu Keamanan Nasional. Istilah Keamanan Nasional (National Security) bermakna lebih luas dibandingkan istilah pertahanan, oleh karena itu keamanan nasional menjadi tanggungjawab seluruh komponen bangsa termasuk TNI. Persepsi TNI berperan melaksanakan penegakan kedaulatan dan hukum negara pada dasarnya sejalan dengan pokok pikiran yang terkandung dalam pasal 30 Amandemen UUD 1945, oleh karena itu pemisahan kelembagaan dan peran antara TNI dan POLRI tidak dipandang secara sempit dengan meggunakan alasan yang kurang bijaksana dengan membenturkan dikotomi sipil-militer atau secara sektoral memisahkan istilah Pertahanan dan Keamanan. Dengan demikian perlu adanya studi dan pengkajian kembali lebih mendalam oleh Komisi Konstitusi dengan melibatkan Lembaga atau Instansi yang berkompeten, untuk secara prosedural dapat diajukan dalam Sidang MPR dengan agenda khusus pembahasan rumusan pasal 30 ayat (3), ayat (4) UUD 1945 dan sekaligus peninjauan Tap MPR No. VI/2000 dan TAP MPR No.VII /2000 tentang Pemisahan Kelembagaan dan Peran TNI dan POLRI karena kenyataannya dalam pelaksanaannya ditemukan banyak kendala dan permasalahan yang bersifat prinsipiil, oleh karena itu, hal ini perlu diatur secara limitatif bahwa TNI tidak dapat dilepaskan dalam mengemban fungsi keamanan semata-mata demi kepentingan nasional.