Showing posts with label Legal Issues. Show all posts
Showing posts with label Legal Issues. Show all posts

Thursday, February 19, 2015

No Free For Lunch No Barter For Death

Perdana Menteri (PM) Australia Tonny Abbott menyatakan eksekusi mati terhadap warganya merupakan tindakan "barbar". Tak puas disitu Tony bersikap "childish" seperti barter mainan ungkit Bantuan Tsunami dengan Gembong Bali Nine, Andrew Chan dan Myuran Sukumaran, ini bermakna jelas "there is no free lunch". Puncaknya kemarin pagi tanggal 18 Februari 2015 berlangsung demo besar-besaran di pusat kota Melbourne oleh ratusan praktisi hukum antara lain dihadiri hakim agung negara bagian Victoria, Lex Lasry, yang dalam tiga pekan terakhir menemui Chan dan Sukumaran di LP Kerobokan. Demo juga akan diteruskan di berbagai kota hingga malam hari. Selain itu, Sekjen PBB Ban Ki-moon juga meminta pemerintah Indonesia membatalkan pelaksanaan eksekusi mati para terpidana kasus narkotika tersebut.
Tampaknya kehebohan ini sebenarnya wajar dan harus dilihat biasa biasa saja meskipun disana Australia sudah berteriak SOS tetapi Indonesia sebaliknya mempunyai integritas hukum dan kedaulatan yang tidak bisa diintervensi oleh siapapun termasuk oleh Sekjen PBB. Alasan Jokowi Indonesia dalam keadaan Darurat Narkoba jangan dipandang enteng itu adalah sinyal terkuat tahun 2015 dari seorang Pemimpin Dunia yang justru seharusnya diikuti seluruh pemimpin dunia lainnya, seperti halnya Obama menjadikan terorisme menjadi musuh utama dunia lainnya! Lalu mengapa mereka tak bereaksi keras dalam pemberantasan terorisme yang sama juga menghukum mati pelakunya. Apa bedanya dengan hukuman mati terhadap Gembong Narkoba? Bedanya tipis hanya soal formalistik tetapi hasilnya sama juga yaitu "aksi mencabut nyawa". Bahkan US mengenal Hukuman Mati. Dahulu mungkin Tony Abbot bisa bermain mata dengan kewenangan Grasi Presiden SBY dan Menkumham dimotori wakilnya Denny Indrayana untuk mengakali Hukum Positif yang berlaku di Indonesia. Tapi dunia kini harus tahu Jokowi berbeda, profilnya memang tak meyakinkan tapi nyali dan tindakannya sangat menggetarkan maka tidak mengherankan pada waktunya nanti sudah seharusnya semua menjadi follower Jokowi dalam pemberantasan Narkoba secara Internasional!
Di dalam negeri kita pasti berpendapat gencarnya Koalisi Anti Hukuman Mati di Indonesia dinilai aneh juga. Mereka mendesak Pemerintah untuk menyetop hukuman mati tetapi sementara dasar legitimasi hukum positif kita sangatlah kuat. Dan mereka lupa Menlu RI Retno sangat memahami bahwa dalam case ini Hukum Internasional hanyalah sub-ordinary dari Hukum Nasional sebab HI tidak mempunyai Law Body Making atas Hukuman Mati yang diterapkan oleh hukum nasional suatu negara. Namun tak bijaksana juga bila kita tidak melongok apa sih yang melatarbelakangi gerakan koalisi anti hukuman mati di Indonesia?
VERSI KOALISI HRWG
Di Tanah air gayung bersambut Koalisi Anti Hukuman Mati yang tergabung di dalam Human Right Working Grup (HRWG), Imparsial, Setara Institute, ICJR (Institute for Criminal Justice Reform), LBH, Kontras dan ELSAM menolak keras hukuman mati di Indonesia dan mengecam pernyataan Menlu RI Retno Marsudi bahwa hukuman mati sesuai dengan Hukum Internasional. Koalisi inipun merelease alasan penolakan mereka atas hukuman mati gelombang II. Khususnya menolak Putusan MK 21 Oktober 2008 karena dianggap terjebak positivisme hukum formal. Seperti kita ketahui Putusan MK 2008 itu menegaskan bahwa tata cara pelaksanaan hukuman mati di Indonesia adalah menurut UU No.2/Pnps/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hukuman Mati yang merupakan lex specialis yang menegasikan pasal 11 KUHAP. Lebih lanjut, MK menyatakan UU No. 2/Pnps/1964 tentang Tata Cara Pelakasaan Hukuman Mati yang dijatuhkan oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer tidak bertentangan dengan Pasal 28I ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Direktur Eksekutif Elsam, Indriaswati Dyah Saptaningrum, mengatakan Putusan MK ini secara nyata telah mengabaikan perkembangan ilmu pengetahuan hukum dan peraturan perundang-undangan di Indonesia yang telah mengalami perubahan paradigma sebagaimana terlihat dalam RUU KUHP yang sudah menempatkan hukuman mati sebagai pidana yang bersifat khusus dan diancamkan secara alternatif. Pidana mati dapat dijatuhkan secara bersyarat, dengan memberikan masa percobaan, sehingga dalam tenggang waktu masa percobaan tersebut terpidana diharapkan dapat memperbaiki diri sehingga pidana mati tidak perlu dilaksanakan. Demikian juga dengan Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional (Rome Statute of the International Criminal Court, 1998) yang rencananya akan diratifikasi Pemerintah Indonesia sama sekali tidak mengatur mengenai ancaman pidana mati. Hukuman dalam mekanisme International Criminal Court juga hanya berupa hukuman penjara yang terdiri dari hukuman penjara seumur hidup untuk kejahatan yang sangat serius dan hukuman penjara maksimum 30 tahun.
Disamping itu menurut Koalisi ini, penerapan hukuman mati bertentangan dengan ketentuan hukum hak asasi manusia Internasional yang secara tegas menyatakan hukuman mati bertentangan dengan prinsip-prinsip yang diatur di dalam konvenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (International in Civil and Political Rigts-ICCPR.). Hak untuk hidup (rights to life) - yaitu pada bagian III Pasal 6 (1) - menyatakan bahwa setiap manusia berhak atas hak untuk hidup dan mendapatkan perlindungan hukum dan tiada yang dapat mencabut hak itu. Perlu diingat bahwa prinsip-prinsip yang diatur dalam ICCPR telah menjadi bagian dari hukum nasional Indonesia, melalui UU No.12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik. Pertimbangan lain, menurutnya, adalah perkembangan mutakhir dalam konteks pemidanaan bagi terpidana. "Kalau dulu praktek pemidanaan berdasarkan pada restributive justice. Jadi orang dihukum sebagai sebuah tindakan balasan atas ketidakadilan yang dilakukan atau kejahatan yang dilakukan. Kalau zaman purba, kan, mata ganti mata, nyawa ganti nyawa. Lalu berkembang lagi tapi masih dengan prinsip yang sama kalau mata seseorang tidak bisa diambil dia lalu dipenjara saja! Benarkah Demikian?
SUMMARY
Secara ideologi prinsip HAM, maka gerakan Koalisi ini sangat baik dan dapat diterima secara umum namun mereka tengah berhadapan dengan integritas hukum dan kedaulatan negara RI. Hukum HAM Internasional memang melarang (tetapi tidak absolut) hukuman mati. Namun dalam kasus tertentu HI sebaliknya menyerahkan sepenuhnya pelaksanaannya kepada Hukum Nasional. Aksi protes pemimpin dunia memang cukup keras tetapi sedikit mengundang kelucuan karena itu sebenarnya dilakukan semata mata pencitraan politik dalam negeri-nya. Lihatlah nanti apakah mereka juga ngambek menolak hadir memenuhi undangan Jokowi dalam Asian African Commemoration Indonesia ke 60? Meski masih berupa riak riak ternyata akibat datangnya kecaman bertubi-tubi dari Brazil, Perancis, dan aksi heroik PM Australia Tony Abbot justru malah memancing spontanitas nasionalisme bagi publik dan rakyat Indonesia! Tony! don't judge our path if you never path our journey as a nation, so it's okay no free for lunch but no barter for death sir!!

Friday, February 11, 2011

Hedonism Accelerates Corruption

“Nature has placed mankind under the governance of two sovereign masters, pain and pleasure. It is for them alone to point out what we ought to do, as well as to determine what we shall do” (Jeremy Bentham).
Corruption in Indonesia today is rampant and dismantling most living elements of the society. Serious endeavors to eradicate corruption have been launched since the Sukarno era.
The famous and powerful Corruption Eradication Commission (KPK) was established under the administration of president Megawati Soekarnoputri. Corruption or abuse of power can be traced to many factors, one of them being the adoration of hedonism. Referencing philosophical concepts from the Ancient Greek era developed by icons such as Aristotle, Plato, Epicurus and Democritus, hedonism (hedone) means “pleasure” and is a philosophical foundation that underlines gratification as the cardinal aspect of life. The core idea of hedonism is that pleasure is good and desperately needed by human beings.
Hedonism is generally divided into three major categories: psychological hedonism, ethical hedonism and rational hedonism. Psychological hedonism states that one vital element in human life is to find pleasure and minimize pain. Ethical hedonism is the way people establish their own methods to achieve pleasure by adopting any means necessary. Rational hedonism is set up with certain standards to meet pleasure.
Hedonism as a set ideology was further developed under the influence of two historic philosophers: Jeremy Bentham (1748-1832) and John Stuart Mill (1806-1873). The 19th century philosophers Bentham and Mill laid down their ideas of hedonism through the ethical theory of Utilitarianism. In Bentham’s view, hedonism is “a pleasure that could be understood by multiplying its intensity and duration”.
The density and duration are more important than its numbers. Most known by “quantitative concepts”, Bentham introduced six indicators to identify what pleasure is all about: certainty, uncertainty, duration, intensity, remoteness, fecundity and purity (Bentham, J. 1789, An Introduction to the Principles of Morals and Legislation). Bentham and Mill prescribed that “Utilitarian value stands as a precursor to hedonistic values in all that action should achieve great amounts of happiness”.
Mill proclaimed his “qualitative approach” to understanding pleasure. In Mill’s words, “there are different levels of pleasure, and that pleasure of a higher quality has more value than pleasure of a lower value”.
Taking Indonesia as a nation that claims itself to be a “religious” society, very often pleasure is used to justify misconduct. This is a misleading perception to put God in the center of argument. But bad behavior evolving through the history of the nation proves that what we are doing is quite different from God’s wishes. This sort of ideology develops through human civilization. It subsequently comes out with contradictory paradigms.
Advocates of hedonism adore consumerism as a strong token of social achievement. Therefore, any effort to gain more consumer goods is highly demanded and respected. On the contrary, those who gain less are classified as misfortunate. These stereotypes penetrate deeply within Indonesian society, where, respect for others is basically measured by the amount of luxury goods possessed.
Amid uncertainty over attempts to cripple down corruption, some social scholars pose ideas to introduce what is named as “shame culture”. Shame culture refers mainly to a common awareness not to disparage values and norms operating in a society. Simultaneously, fellow citizens are obligated “to oversee” how others behave, either in the public or in bureaucratic realms. This mode of social control will not receive support because it intercepts basic human rights of citizens. From a judicial point of view, efforts to eradicate corruption here are still basically going nowhere. The reason for this is the growing skepticism in society on moral standards for people and institutions involved in the corruption eradication drive.
Wandering around in the crossroads, the war on corruption then prompts efforts to promote religious teachings for children as well as adults. Both moral and religious enforcements are a failure compared with the people’s demands for corruption eradication. Pleasure is nothing to be hidden, but the way material goods are gained has led to corruption with perpetrators breaking laws and stealing things they are not entitled to.
Seemingly law enforcement is not the right weapon to torpedo widespread corruption. Hedonism in the minds of Bentham, Mill, Plato and other philosophers was not conceptualized to be adopted mistakenly. Not to put blame simply on hedonism as a push factor to engage in corrupt acts, but to a certain extent, misperceptions on hedonism is accelerating corrupt conduct in the community at large.
Hedonism is permitted by any religious or philosophical standpoint, but misusing hedonism to paralyze moral and religious obligations is certainly to be judged as a crime against humanity.
Unfortunately, corrupt people are not aware that corruption and hedonism are two sides of one coin
Adopted from John Haba, Jakarta | Thu, 02/10/2011 10:42 AM | Opinion 

Tuesday, January 25, 2011

Seribu Satu Gayus

PPATK menemukan transaksi mencurigakan di rekening ratusan pejabat Pajak, ada yang Rp27 M.


Gayus Tambunan, mantan pegawai Ditjen Pajak (VIVAnews/Nurcholis Anhari Lubis)
VIVAnews – Mengenakan setelan jas lengkap, sekitar 400 pejabat Direktorat Jenderal Pajak dari seluruh Indonesia berkumpul di Jakarta pada Senin-Rabu, 17-19 Januari lalu. Dari seluruh pelosok Nusantara, mereka sengaja didatangkan guna mengikuti rapat pimpinan istimewa selama tiga hari di Gedung Danaphala, Kementerian Keuangan RI.

Agendanya, sangat strategis. Pertemuan itu membahas rencana penerimaan pajak dengan target besar, Rp850 triliun tahun ini. Pemberi wejangan juga tidak main-main. Di sana, ada Menteri Keuangan Agus Martowardojo, Ketua Komisi Pemberantas Korupsi Busyro Muqoddas, Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Hadi Poernomo, Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Yunus Husein, dan Danang Widoyoko dari Indonesia Coruption Watch.

Namun, keributan mendadak pecah saat Ketua PPATK Yunus Husein tampil ke podium di hari Selasa. Selama dua jam, dia membeberkan sejumlah temuan mengejutkan. “Mendengar presentasi Pak Yunus, pegawai pajak langsung pada ribut,” kata seorang pejabat yang hadir di acara itu.

Apa yang bikin ribut itu?

Menurut dokumen yang dipelajari VIVAnews.com, pemaparan Yunus terkait dengan hasil penelusuran sementara PPATK terhadap rekening pegawai Ditjen Pajak dan Bea Cukai—yang oleh sejumlah survei kerap didudukkan sebagai dua lembaga yang paling korup di negeri ini.

PPATK rupanya sedang menyelidiki rekening pejabat di dua lembaga itu, mulai dari Kepala Seksi sampai Direktur Jenderal. Di lingkungan Ditjen Pajak, yang sedang ditelisik adalah rekening milik 3.616 pejabat dan 12.089 anggota keluarga mereka. Di Bea Cukai, akun punya 1.245 pejabat dan 3.408 famili mereka. Penyelidikan dilakukan setelah mencuatnya kasus Gayus Tambunan pada tahun lalu.

Penelusuran diarahkan untuk mendeteksi dua hal. Pertama, transaksi tunai senilai Rp500 juta atau lebih dan transaksi yang dinilai mencurigakan--misalnya karena tidak sesuai dengan profil dan pendapatan wajar mereka sebagai pegawai negeri.

Dan hasilnya sungguh mengejutkan. PPATK menemukan indikasi bahwa rupanya memang ada 'seribu satu Gayus' di dua instansi ini.

Dokumen itu menyatakan PPATK mendapati ada banyak pejabat Ditjen Pajak yang melakukan transaksi tunai dalam jumlah teramat besar, dalam kisaran Rp500 juta hingga Rp27 miliar per pejabat; baik melalui rekening pribadi mereka maupun istri atau anak mereka “tanpa didukung adanya dasar transaksi yang memadai.”

Yang lebih gawat, temuan ini tersebar di berbagai wilayah maupun jenjang kepangkatan, mulai dari Kepala Seksi, Kepala Kantor Pratama, hingga pejabat eselon di atasnya.

Temuan soal rekening pejabat Bea Cukai tak kurang mengkhawatirkan.

PPATK juga memergoki banyak transaksi tunai pejabat Bea Cukai yang mencurigakan, baik atas nama pribadi, istri, maupun putra-putri mereka. Kisarannya juga tak kalah dahsyat, antara Rp500 juta sampai Rp35 miliar per pejabat. Keganjilan ini ditemukan tersebar di berbagai kantor daerah, mulai dari Kepala Seksi, Kepala Kantor Wilayah, dan pejabat Bea Cukai di tingkat pusat.

“Kami meyakini potensi temuan dalam skala lebih besar yang mencakup jabatan lebih luas serta lebih tinggi,” PPATK menyimpulkan hasil penelusuran terhadap ribuan rekening pejabat di kedua instansi itu. "Sampai sekarang, yang dicurigai jumlahnya mencapai ratusan pejabat," kata sumber VIVAnews.com.

Sejumlah modus
Saat dikonfirmasi soal itu, Yunus Husein membenarkan data di atas. "Kami temukan transaksi mencurigakan di semua Direktorat Jenderal di Kementerian Keuangan. Yang paling dominan di Ditjen Pajak. Pokoknya ada kasus Gayus-Gayus lain. Silakan tanya polisi," kata Yunus kepada VIVANews.com di DPR. 

Menurut Yunus, yang ditelisik PPATK adalah transaksi yang terentang dari tahun 2004 hingga 2010. Yang terindikasi pidana, mereka serahkan ke penegak hukum, selain juga kepada Dirjen Pajak atau Irjen Kementerian Keuangan untuk ditelusuri, dan diberi sanksi administrasi jika terbukti.

Yunus membeberkan sejumlah modus transaksi mencurigakan yang terjadi di ratusan rekening pejabat itu. Pertama, transaksi dalam nilai nauzubillah menggunakan akun anak dan istri mereka. Kedua, mereka dipergoki memiliki simpanan seperti deposito dalam jumlah besar. Ketiga, mereka kerap memanfaatkan berbagai instrumen investasi termasuk unit link, gabungan antara asuransi jiwa dan investasi seperti reksadana, saham, atau lainnya. Keempat, bisa juga mereka menyimpan uang tunai, surat berharga, dan perhiasan di safe deposit box.

"Kalau transaksi lewat anak istri, kami bisa mendeteksi penyimpangannya," ujar Yunus. "Misalnya, seorang anggota keluarga pejabat pajak punya  pendapatan Rp12 juta, tetapi dia kerap melakukan transaksi di atas Rp20 juta. Transaksi itu tentu mencurigakan."

Contoh lainnya, mereka melakukan transaksi dalam jumlah besar, kemudian 'mencucinya' dengan cara memutar-mutarnya. Misalnya, menarik uang Rp2 miliar, kemudian dipindahkan, lalu ditarik lagi. "Sekali tarik, minimal Rp500 juta," Yunus memaparkan. 

Seorang mantan pegawai PPATK bercerita sebenarnya transaksi mencurigakan aparat pajak sudah lama terdeteksi. Bahkan, transaksi janggal sudah diketahui sebelum ada permintaan dari Kementerian Keuangan untuk memeriksa rekening 3.000-an aparat pajak pada tahun lalu.
“Dari transaksi-transaksi mencurigakan setelah ditelusuri ternyata diketahui banyak yang terkait aparat pajak. Gayus hanya puncak gunung es,” katanya.  

Temuan (tak) mengagetkan PPATK itu rupanya juga sudah sampai di meja pejabat Kementerian Keuangan. Setidaknya, itu diakui oleh Plt. Irjen Kementerian Keuangan Hadi Rujito--sebelum diganti pejabat baru pada Jumat, 21 Januari. Dia mengaku kerap menerima laporan PPATK soal berbagai transaksi ganjil pegawai Kementerian Keuangan, khususnya aparat Ditjen Pajak atau Bea Cukai.

"Laporannya tertulis rahasia, biasanya 2-4 halaman berisi transaksi mencurigakan dengan nilai ratusan juta hingga puluhan miliar rupiah," kata Hadi kepada VIVAnews.com.

Tim Inspektorat Jendral lantas menelusurinya. Beberapa terbukti melanggar karena terjadi saat si aparat sedang memeriksa wajib pajak. Temuan gratifikasi, kata Hadi, rata-rata tidaklah terlalu besar, ada yang mencapai Rp250 juta dari wajib pajak badan. "Itu yang memberi perusahaan yang tidak terlalu besar."

Namun, beberapa transaksi lain rupanya terkait jual beli properti, tanah atau warisan. Untuk transaksi seperti ini, Hadi menyatakan tak bisa menindaklanjutinya karena tidak memiliki kewenangan penyidikan. Karena itulah, laporan PPATK lebih banyak langsung dikirimkan ke polisi.

Mantan Dirjen Pajak Tjiptardjo juga mengaku telah menerima banyak laporan PPATK. Dia juga mengaku sudah menindaklanjutinya. “Yang terbukti melanggar sudah ditindak, tetapi kalau transaksi mencurigakan terkait warisan, kami tidak bisa berbuat apa-apa,” dia beralasan.

Tsunami Gayus
Tak bisa dipungkiri, temuan PPATK jelas makin membuka tabir sindikat aparat pajak yang telah menggurita di negeri ini. Sebelumnya, sudah banyak terungkap berbagai kasus pidana. Di antaranya, tuduhan suap pajak First Media yang melibatkan komplotan Yudi Hermawan, kasus rekening puluhan miliar rupiah milik pejabat kantor pajak Jakarta, Bahasyim Assafi'ie; kasus penggelapan ratusan arsip pajak di Bandung oleh Andri Harduka, hingga mafia pajak Surabaya.

Itu belum termasuk yang terbongkar terakhir: komplotan Gayus Tambunan. Usai pembacaan vonis di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, 19 Januari 2011 lalu, Gayus secara terang-terangan mengungkapkan jaringan mafia pajaknya yang, menurut dia, melibatkan pejabat setingkat direktur hingga direktur jenderal. “Kenapa itu tidak dibongkar?” Gayus menggugat.

Dalam persidangan, Gayus antara lain kerap menyebut keterlibatan Darmin Nasution, Dirjen Pajak ketika itu dan sekarang Gubernur Bank Indonesia, dalam kasus dikabulkannya keberatan pajak PT Surya Alam Tunggal Sidoarjo; yang belakangan dinyatakan merugikan negara Rp570 juta. Bahkan, dalam pertimbangan putusannya, ketua majelis hakim menyebut bahwa sepak terjang Gayus tak mungkin dilakukan tanpa persetujuan atasannya secara berjenjang.

Jaringan Gayus juga disebutkan secara eksplisit dalam percakapan via BlackBerry Messenger antara Gayus dengan Sekretaris Satgas Mafia Hukum, Denny Indrayana, pada 29 Maret 2010. Dalam transkrip yang dibagikan Satgas itu, Gayus secara terang menyebut anggota jaringannya di Ditjen Pajak, yakni: Johnny Marihot Tobing selaku Kasubdit Pengurangan & Keberatan Pajak, serta Bambang Heru Ismiarso, Direktur Keberatan dan Banding. 

Saat dimintai konfirmasi soal pernyataan Gayus tersebut, Darmin Nasution menolak berkomentar. "Kalau soal Gayus, saya nggak mau komentar," kata Darmin di Istana Kepresidenan, Kamis, 20 Januari 2011.
Soal atasan Gayus yang lain, Dirjen Pajak pengganti Darmin, Moch. Tjiptardjo, menyatakan mereka tetap akan diproses secara hukum.  “Itu masih ditangani oleh polisi,” katanya.

Menurut dia, Ditjen Pajak sudah menindak banyak aparatnya, termasuk yang bersumber dari temuan  PPATK. Pada 2010, misalnya, sudah ada 640 orang pegawai pajak yang dikenai sanksi, dari yang ringan hingga berat, termasuk diberhentikan. “Sudah puluhan orang diberhentikan tidak hormat karena rekening mencurigakan, dari level rendah hingga eselon II,” katanya.

Toh demikian, Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Humas Ditjen Pajak Iqbal Alamsjah mengakui kasus Gayus telah menghantam kredibilitas korps pajak dalam skala luar biasa. Kata dia, “Tak bisa dipungkiri Gayus adalah Tsunami bagi Ditjen Pajak.” (kd)
• VIVAnews

Friday, October 22, 2010

Peluru Tajam Dan Prosedur Tetap

Jum'at, 22 Oktober 2010 | 00:38 WIB
Kepolisian Republik Indonesia mulai berlebihan dalam menghadapi demonstrasi. Tak cukup dengan pentungan dan gas air mata, kini mereka menggunakan senjata api. Langkah gegabah yang bersembunyi di balik prosedur tetap kepolisian yang baru ini membahayakan demokrasi.

Tindakan yang berpotensi melanggar hak asasi manusia itu diperlihatkan dalam menghalau demonstrasi di Ibu Kota belum lama ini. Ratusan mahasiswa yang beraksi di Jalan Diponegoro disambut dengan tembakan oleh polisi. Akibatnya, seorang mahasiswa Universitas Bung Karno tertembak kakinya dan harus dioperasi. Hasil visum Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo menyebutkan, pelor yang mengenai korban adalah peluru tajam.

Harus diakui, ulah demonstran yang mengecam kinerja setahun pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono itu agak keterlaluan. Mereka menutup jalan protokol secara sepihak. Sangat disayangkan pula, beberapa demonstran melempar batu ke arah aparat yang berusaha membuka ruas jalan tersebut. Tapi kericuhan ini tetap saja tidak bisa dijadikan alasan bagi polisi untuk menembakkan senjata api.

Dari tayangan televisi terlihat bahwa tak ada situasi yang benar-benar membahayakan polisi. Tak ada petugas yang terancam jiwanya oleh kenekatan mahasiswa. Lalu kenapa polisi tak meredam kemarahan massa dengan cara yang lebih manusiawi? Meredakan amarah demonstran menggunakan pentungan atau gas air mata jelas lebih aman. Dalam keadaan amat terpaksa, polisi bisa pula melepaskan tembakan dengan peluru karet, dan bukan peluru tajam.

Sejumlah polisi memang kini tengah diperiksa Divisi Profesi dan Pengamanan Polda Metro Jaya. Tapi mestinya kasus penembakan ini bukan hanya menjadi tanggung jawab pelaku di lapangan, tapi juga petinggi kepolisian.

Kasus ini juga semakin jelas membuktikan bahwa prosedur baru dalam menghadapi aksi anarkistis perlu segera dievaluasi. Prosedur tetap yang dikeluarkan Kepala Polri Jenderal Bambang Hendarso Danuri ini bertujuan agar aparat lebih sigap mencegah dan mengatasi kerusuhan. Di situ disebutkan bahwa pada situasi yang mendesak, polisi dibolehkan menggunakan senjata api. Masalahnya, polisi bisa salah menafsirkan situasi darurat yang memungkinkan ia mengeluarkan tembakan.

Kesalahan seperti itulah yang terjadi di Jalan Diponegoro. Sericuh-ricuhnya demonstrasi mahasiswa tentu berbeda dengan aksi anarkistis orang-orang yang bersenjata tajam dan pistol seperti yang terjadi di Jalan Ampera, Jakarta Selatan, beberapa waktu lalu. Situasi dalam unjuk rasa mahasiswa itu tidaklah darurat. Mahasiswa hanya melempar batu, tapi kenapa harus ditembaki dengan peluru tajam?

Insiden yang melukai mahasiswa itu jelas harus diusut tuntas. Tapi lebih dari itu, prosedur tetap yang telanjur ditandatangani itu mesti dicabut, atau setidaknya direvisi. Prosedur ini mendorong polisi bertindak represif sekaligus menebar teror bagi warga negara yang menyampaikan aspirasi lewat demonstrasi.

Saturday, October 9, 2010

Mengusik KPK Secara Asimetris

Sabtu, 09 Oktober 2010 | 00:33 WIB
Ditolaknya peninjauan kembali kasus Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah adalah kabar buruk bagi Komisi Pemberantasan Korupsi. Nasib dua anggota pimpinan Komisi yang berstatus sebagai tersangka ini tetap terombang-ambing. Inilah kemenangan bagi kalangan yang selama ini berupaya mengerdilkan Komisi.
Mahkamah Agung tentu memiliki alasan yuridis untuk menampik upaya hukum yang diajukan kejaksaan itu. Sesuai dengan undang-undang, perkara praperadilan sudah memiliki kekuatan hukum tetap jika telah diputuskan oleh pengadilan banding. Alasan ini pula yang digunakan oleh Mahkamah untuk menolak peninjauan kembali kasus Bibit-Chandra. Menurut MA, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004, pengadilan tertinggi ini tidak bisa menangani perkara praperadilan.
Konsekuensi penolakan adalah Bibit-Chandra terancam diseret ke pengadilan dengan tuduhan menyalahgunakan wewenang, bahkan menerima suap. Kendati tuduhan ini penuh rekayasa, tahun lalu polisi melimpahkan kasus ini ke kejaksaan. Setelah diprotes publik, Kejaksaan Agung menyetop kasus ini dengan surat ketetapan penghentian penuntutan (SKPP). Surat inilah yang digugat lewat praperadilan oleh Anggodo Widjojo, pihak yang mengaku telah berusaha menyuap dua petinggi KPK itu.
Harus diakui, SKPP itu penuh kelemahan. Kejaksaan terkesan setengah hati menyetop kasus ini. Pertimbangan Bibit-Chandra tidak dibawa ke pengadilan bukan karena tidak lengkapnya bukti, melainkan lebih karena alasan sosiologis. Inilah yang membuat pengadilan negeri maupun banding membatalkan SKPP, putusan yang kemudian diperkarakan oleh kejaksaan lewat peninjauan kembali..Bagaimana mungkin seorang Anggodo dibantu para lawyers penganut fanatik process of law mengusik KPK  lewat segala cara asimetris. 

Banyak pihak seolah berperan untuk menyudutkan dua petinggi KPK itu. Polisi nekat menetapkan mereka sebagai tersangka kendati buktinya lemah. Kejaksaan pun tidak secara tegas mengoreksi kesalahan ini. Adapun kalangan yudikatif, dari hakim pengadilan negeri hingga hakim agung, hanya melihat kasus ini dari sisi teknis yuridis sekaligus mengabaikan rasa keadilan.
Walau SKPP itu mengandung kelemahan, sebenarnya kejaksaan telah berusaha mengoreksinya. Dalam pengajuan banding dan peninjauan kembali, alasan bahwa kasus ini tidak memiliki bukti yang kuat juga disampaikan. Tapi tetap saja para hakim lebih melihat alasan yang tertulis dalam SKPP. Hakim agung pun hanya memandang kasus ini dari segi prosedur hukum, yang di sisi lain justru menunjukkan tidak konsistennya MA. Sebab, sebelumnya lembaga ini pernah mengabulkan permohonan peninjauan kembali untuk putusan praperadilan.
Mestinya kejaksaan bertanggung jawab atas amburadulnya penanganan kasus ini. SKPP baru dengan alasan yang lebih kuat bisa diterbitkan sehingga Bibit-Chandra tidak perlu dibawa ke pengadilan. Pilihan lain, mengesampingkan perkara ini lewat deponering, kendati tidak mudah karena harus dengan pertimbangan lembaga lain, seperti parlemen
.
Kalaupun kemungkinan terburuk yang terjadi, Bibit-Chandra pun tak perlu takut. Menghadapi pengadilan memang membuat mereka harus nonaktif dari KPK. Tapi, dengan cara ini, keduanya bisa membuktikan diri tidak bersalah dan mendapatkan putusan hukum yang final. Kemungkinan ini jauh lebih baik dibanding menjadi bulan-bulanan pihak yang selama ini berusaha mengusik KPK lewat kasus ini.

Monday, September 27, 2010

fiat justicia roat coelum-tegakkan hukum meski langit runtuh." lempar batu sekeras-kerasnya sembunyi tangan secepat-cepatnya, bagai membuang air liur tertelan ludah sendiri, bagai mendulang air terpercik muka sendiri, tiada maling yang pernah mengaku kecuali maling teriak maling"...


by Leonard Marpaung on Friday, September 24, 2010 at 6:29pm
Peribahasa "lempar batu sekeras-kerasnya sembunyi tangan secepat-cepatnya, bagai membuang air liur tertelan ludah sendiri, bagai mendulang air terpercik muka sendiri, tiada maling yang pernah mengaku kecuali maling teriak maling"... banyak langgam bahasa yang bisa merepresentasikan fenomena kasus- kasus hukum di Indonesia belakangan ini. Tak salah dulu Machiaveli bernadar bahwa kamu adalah "serigala bagi sesamamu"

Kondisi kronis wajah buram hukum di negeri ini semakin menjadi-jadi, agaknya kita belum sanggup menuntaskan kerisauan dan kegalauan seluruh anak negeri yang sebetulnya sangat sederhana, sekadar cuma mendamba keadilan dan kepastian hukum.

Saat ini kembali digunakan senjata lama "cipta kondisi"  rekayasa aneh bin ajaib untuk kepongahan dan arogansi atas nama hukum dan UU yang sangat miskin pertanggungjawaban akademik dan nilai konseptual-nya sehingga justru telah menikam ke sembilu demokrasi kita yang harus kita akui sangatlah rentan bahkan hukum nyaris bukan lagi berfungsi untuk melindungi tetapi telah berubah garang menjadi senjata ampuh untuk menakut-nakuti siapa saja, pengalihan isu diatas isu-pun kini menjadi trend, org berlomba-lomba dan sibuk dengan pembelaannya sendiri-sendiri tanpa mau tau tegoran dari hati nurani untuk jujur dan adil serta selalu jernih berpandangan bahwa semua orang itu sama di mata hukum (equality before the law)...dapat dibayangkan dengan realitas seperti itu adagium "fiat justicia roat coelum, tegakkan hukum meski langit runtuh" cuma utopis yang menghiasi kamus-kamus hukum kuno.

Thursday, June 18, 2009

Seputar Ambalat - Sekadar Tak Melupakan

Posisi Malaysia dalam kasus ini jelas sebagai pihak yang memegang pelatuk, yang memicu kegeraman yang amat sangat sekaligus pihak yang menyalakan api sehingga asapnya menyeruak kemana-mana sampai jauh ke dalam relung sensitifitas rakyat Indonesia. Kita dapat secara gamblang membeberkan lelucon yang tidak lucu ini karena teman tetangga kita itu bermain-main di atas kedaulatan suatu negara yang selalu mereka anggap serumpun. Kita coba tengok lebih jernih..bahwa klaim Malaysia tersebut didasarkan pada klaim wilayah Malaysia yang dicantumkan dalam peta yang dikeluarkan pada tahun 1979, dalam peta tersebut Malaysia sudah mencantumkan Pulau Sipadan dan Ligitan sebagai wilayah Malaysia, sehingga penarikan garis batas perairan di daerah itu dengan berdasarkan penarikan garis batas dari Pulau Sipadan dan Ligitan. Malaysia beranggapan bahwa wilayah yang diberikan konsensi kepada Perusahaan Minyak Shell (Inggeris dan Belanda) merupakan perairan Malaysia dan dikenal sebagai wilayah Y (ND6) dan Z (ND7). Malaysia telah melakukan beberapa pelanggaran wilayah di daerah tersebut antara lain melakukan survei seismik di daerah tersebut pada tahun 2003, melakukan latihan militer (penembakan) di wilayah Indonesia pada tahun 2004 dan Malaysia melakukan hot pursuit sampai wilayah Indonesia pada tahun 2005 dan pada pertengahan tahun 2009 ini telah menginjak-injak politik dan diplomasi “Soft Power” Indonesia dengan puluhan pelanggaran dengan dalik yang mengada-ada.
Posisi Indonesia dalam kasus ini sepertinya terlalu defensif. Basis Indonesia di dasarkan asumsi yang terlalu formil yaitu bahwa Putusan Mahkamah Internasional pada tanggal 17 Desember 2002 hanya mengenai kepemilikan pulau Sipadan dan Ligitan tidak termasuk perairan yang ada di wilayah tersebut. Bagi Indonesia Penentuan batas maritim di wilayah tersebut harus didasarkan pada persetujuan kedua pihak dan tidak dapat di klaim secara unilateral sebagaimana dicantumkan dalam peta tahun 1979 serta pemberian konsensi kepada Perusahaan Shell tersebut sebagai alasan penentuan batas maritim. Indonesia telah memberikan konsensi minyak kepada berbagai perusahaan minyak di Kawasan Kalimantan Timur termasuk di daerah yang diklaim Malaysia. Pemberian konsensi tersebut telah dilakukan oleh Indonesia sejak tahun 1966 dan tidak ada protes atau penolakan Malaysia. Konsensi di East Ambalat (yang diklaim Malaysia) telah di berikan kepada Unocal (Amerika Serikat) pada tahun 2004.
Benang merah dari kedua fakta diatas telah memberi sebab mengenai klaim tumpang tindih atas penguasaan wilayah antara Indonesia dan Malaysia disebabkan adanya perbedaan kepentingan dan belum selesainya batas maritim kedua negara. Salah satu yang mengemuka dan yang menjadi alasan dan biang keladi adalah juga faktor ekonomi yaitu setelah perusahaan minyak Malaysia Petronas memberikan konsensi kepada Perusahaan Minyak Shell di daerah yang sejak dahulu merupakan wilayah konsensi minyak Indonesia.

IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH INTERNASIONAL TAHUN 2002
Putusan Mahkamah Internasional tahun 2002 hanya menyangkut masalah kepemilikan Pulau Sipadan dan Ligitan (wilayah daratan) serta tidak menyangkut kepemilikan wilayah laut. Hal ini sesuai dengan pertimbangan Hakim Oda (Hakim Jepang yang ikut memutuskan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan dan Ligitan) yang memberikan pertimbangan dalam Putusan Mahkamah Internasional pada tahun 2002 tersebut. Untuk itu masing-masing negara tidak dapat menentukan secara sepihak batas maritim di kawasan tersebut. Persyaratan ini sesuai dengan Keputusan Mahkamah Internasional pada tahun 1951 yang menegaskan bahwa penentuan batas laut memiliki aspek internasional, tidak hanya tergantung pada kehendak satu negara, sedangkan keabsahan garis batas harus didasarkan pada hukum internasional. Untuk itu dalam menetapkan batas maritim di daerah tersebut harus dilakukan melalui perjanjian antara kedua negara dengan menerapkan asas-asas umum hukum internasional dalam menyelesaikan batas maritim tersebut. Selain itu Malaysia tidak dapat melakukan klaim berdasarkan peta tahun 1979 karena peta tersebut tidak dapat sebagai justifikasi penerapan putusan Mahkamah Internasional tahun 2002.
PETA BATAS MARITIM MALAYSIA TAHUN 1979.
Malaysia mendasarkan klaim wilayah lautnya pada peta yang dikeluarkan pada tahun 1979. Peta tersebut dikeluarkan secara sepihak (unilateral), sehingga tidak mempunyai implikasi hukum (legal) akan tetapi mempunyai implikasi politis. Dalam peta tahun 1979 tersebut telah tergambar klaim Malaysia termasuk batas maritim dengan negara-negara tetangga Malaysia (Indonesia, Thailand, Vietnam, Singapura, Brunei, dan Philipina). Semua negara yang berbatasan dengan Malaysia tersebut telah mengajukan protes terhadap penerbitan peta tersebut, demikian pula Indonesia sejak tahun 1980 telah mengajukan protes terhadap batas maritim yang ada dalam Peta tahun 1979 tersebut. Implikasi juridis terhadap peta dapat dikatakan tidak ada disebabkan batas maritim yang tergambar dalam peta tahun 1979 tidak dilaksanakan sesuai dengan hukum internasional (melalui perjanjian). Berkaitan dengan implikasi juridis yang tidak ada terhadap peta tahun 1979 tersebut, hal yang perlu diperhatikan adalah implikasi politis dari peta tersebut.
Berdasarkan garis batas landas kontinen yang diklaim oleh Malaysia tersebut terlihat bahwa Malaysia mencoba membagi wilayah perairan dengan cara median line (garis tengah). Akan tetapi dalam penarikan garis tengah tersebut Malaysia menentukan titik dasar dan menarik garis pangkal berdasarkan cara penarikan garis pangkal kepulauan. Hal ini terlihat bahwa Malaysia menarik garis pangkal dari karang-karang, pulau-pulau terluar, sedangkan dalam Pasal 7 Konvensi diatur bahwa negara pantai dapat menarik garis pangkal lurus jika memenuhi beberapa kriteria, antara lain adanya “deep indentation”, ada “fringe of islands” ada “unstable coast” contohnya delta yang selalu bergerak serta adanya adanya “low tide elevation” yang telah ada bangunan permanen contohnya mercusuar. Jika ada 4 kriteria di atas masih harus memenuhi persyaratan “tidak menyimpang terlalu jauh dari arah umum dari pada pantai, serta tidak memotong laut teritorial negara lain. Praktek yang dilakukan Malaysia dalam Peta tahun 1979 tidak terlihat adanya jabaran sebagaimana uraian di atas. Oleh karena itu cara penentuan batas klaim landas kontinen yang dilakukan oleh Malaysia merupakan cara yang tidak ada dasar hukumnya, atau setidaknya tidak didasarkan pada Konvensi. Oleh karena itu reaksi yang muncul setelah peta tahun 1979 dikeluarkan yaitu adanya penolakan dari negara-negara tetangga Malaysia (Indonesia, Thailand, Vietnam, Singapura, Brunei, dan Philipina). Demikian pula Indonesia sejak tahun 1980 telah mengajukan protes terhadap batas maritim yang ada dalam Peta tahun 1979 tersebut.

KONSENSI MINYAK YANG DIBERIKAN INDONESIA.

Indonesia sejak tahun 1966, sebagai tindak lanjut Konvensi Hukum Laut Jenewa tahun 1958, telah membagi beberapa lokasi cadangan minyak yang ada di darat maupun di laut. Khususnya cadangan minyak yang ada di Kalimantan Timur termasuk wilayah laut disebelah timurnya, Indonesia telah memberikan konsensi minyak kepada beberapa perusahaan minyak asing antara lain Japex (Jepang), ENI (Italia), Unocal (Amerika Serikat) termasuk juga kepada perusahaan Shell. Dalam pemberian konsensi minyak tersebut, khususnya di daerah perbatasan laut Indonesia membagi dalam wilayah konsensi Ambalat, Bukat dan Unarang. Khususnya untuk daerah Ambalat konsensi minyak telah diberikan kepada Perusahaan minyak ENI sejak tahun 1999, sedangkan untuk East Ambalat diberikan kepada Unocal pada tanggal 13 Desember 2004.
Peta konsensi minyak yang dikeluarkan Pertamina tersebut telah diketahui oleh Malaysia dan dikenal sebagai “Exercise of Indonesia’ Rights to Continental Shelf” atau pelaksanaan hak Indonesia di landas kontinen. Sejak mengeluarkan konsensi di daerah tersebut tidak ada klaim/protes oleh Malaysia. Sejarah pemberian konsensi ini dan tidak adanya protes dari pihak Malaysia dapat digunakan sebagai pelaksanaan hak berdaulat di daerah tersebut dan dapat ditafsirkan bahwa Indonesia yang mempunyai wilayah tersebut. Kondisi ini memperkuat posisi Indonesia bahwa secara de facto, daerah di timur Perairan Kalimantan Timur telah di “kuasai/milik” Indonesia.

KONSENSI MINYAK YANG DIBERIKAN MALAYSIA.

Berdasarkan klaim batas landas kontinen Malaysia yang tercantum dalam peta tahun 1979, Malaysia membagi 2 blok konsensi minyak yaitu Blok Y (ND 6) dan Blok Z (ND 7). Adapun luas kedua blok tersebut ± 15235 Km 2. Blok Y (ND 6) adalah blok yang tumpang tindih dengan wilayah konsensi minyak yang diklaim oleh Indonesia, sedangkan Blok Z (ND 7) adalah blok yang tumpang tindih dengan wilayah konsensi yang diklaim Phillipina.
Malaysia memberikan konsensi minyak di Blok Y dan Blok Z kepada perusahaan minyak Shell (Inggeris dan Belanda) pada tanggal 16 Pebruari 2005. Pihak perusahaan Shell sepertinya mengetahui bahwa di daerah konsensi yang ditawarkan merupakan daerah yang masih dipersengketakan antara Indonesia dengan Malaysia. Hal ini disebabkan perusahaan Shell tersebut pernah mendapat konsensi minyak di Kalimantan Timur.Pemberian konsensi minyak pada dasarnya merupakan hak suatu negara karena konsensi minyak tersebut merupakan sumber daya alam yang dimiliki oleh negara tersebut dengan pembatasan bahwa wilayah konsensi tersebut benar-benar ada dalam wilayah sah negara tersebut, akan tetapi jika klaim wilayah maritim (dhi. landas kontinen) belum jelas kepemilikanya maka pemberian konsensi minyak akan memicu konflik di daerah perbatasan.
Pelanggaran wilayah tersebut seharusnya dapat diantisipasi dengan melakukan tindakan pencegahan dan tindakan protes secara terbuka kepada Malaysia. Presiden ini dapat menunjukkan bahwa Malaysia melakukan upaya penegakan hukum di wilayah dan mempunyai hak untuk melakukan tindakan tersebut. Untuk itu diperlukan tindakan konkret dengan melakukan patroli satuan-satuan TNI di daerah tersebut. Selain itu jika unsur TNI AL di lapangan dalam melakukan patroli menjumpai kapal Malaysia yang melakukan pelanggaran wilayah, maka unsur TNI AL dapat membuat berita acara adanya pelanggaran tersebut termasuk tindakan-tindakan yang dilakukan untuk mencegah/menghalau kapal Malaysia tersebut.

STATUS KARANG UNARANG DAN PEMASANGAN MERCUSUAR.

Karang Unarang (040 00’ 40” LU- 1180 04’ 00’ BT) merupakan karang yang terletak antara Pulau Sebatik dan Pulau Sipadan ( ± 9 mil laut dari Pulau Sebatik). Karang tersebut sudah di survey oleh Dephub dan Dishidros pada Bulan Nopember 2004 – Januari 2005 dan direkomendasikan dapat dibangun mercusuar. Berdasarkan Pasal 47 Konvensi Hukum Laut 1982 karang/elevasi surut yang ada bangunan (Mercusuar) dapat dijadikan sebagai titik dasar (base point) untuk penarikan garis pangkal (base line) kepulauan. Sehingga jika karang ini sudah di bangun mercusuar dan dijadikan titik dasar maka penarikan garis pangkal akan semakin ke timur (bergeser) yang akan menguntungkan batas laut teritorial, zona tambahan, ZEE dan landas kontinen Indonesia. Untuk itu pembangunan mercusuar tersebut dapat dijadikan prioritas untuk dikerjakan. Jika karang Unarang tersebut berhasil dibangun dan dapat dipertahankan dari segi keamanan, politis dan hukum serta tidak ada klaim dari Malaysia, maka klaim landas kontinen Malaysia pada peta tahun 1979, akan gugur dan Malaysia dapat dipaksa untuk merundingkan posisi batas landas kontinen yang baru.
Status kepemilikan karang Unarang pada saat ini diklaim oleh Indonesia dengan Malaysia. Malaysia mendasarkan pada peta tahun 1979, sedangkan Indonesia berdasarkan pendekatan sejarah, geografis dan praktek negara. Berdasarkan pendekatan sejarah karang Unarang sejak jaman dahulu masuk dalam daerah kekuasaan kesultanan Bulungan yang merupakan kesulatanan dalam wilayah Indonesia. Sedangkan untuk pendekatan geografis karang Unarang terletak hanya 9 mil laut yang secara geografis lebih dekat ke pulau utama Indonesia (main island) dari pada ke wilayah Malaysia. Selanjutnya dilihat dari praktek negara, karang Unarang masuk dalam daerah konsensi yang sejak tahun 1960 dikelola oleh Indonesia. Oleh karena itu berdasarkan pengalaman proses putusan Sipadan dan Ligitan, maka prinsip effectivity dalam pengakuan suatu wilayah sangat menentukan klaim suatu negara terhadap wilayah tertentu. Bentuk efektivitas pemerintah terhadap suatu wilayah dapat dilakukan melalui proses peraturan perundang-undangan yang dapat berupa: