Thursday, February 19, 2015

Belajar Dari Konflik KPK Versus Polri

Dari kilas balik perseteruan KPK Versus Polri banyak pelajaran yang bisa kita petik untuk bersikap dan memandang arah yang tepat. Lebih penting peristiwa ini seharusnya jadi tonggak sejarah bagi "decision maker" dalam manajemen konflik. Media sebagai corong-pun tak luput pontang panting memosisikan diri apakah imparsial atau berpihak kepada kebenaran apa dan untuk siapa?

Jokowi tanggal 18 Februari 2015, sehari sebelum Imlek telah menunjukkan kelas-nya. Konferensi Pers Jokowi dengan tegas tidak melantik Budi Gunawan sebagai Kapolri sekaligus menonaktifkan Abraham Samad dan Bambang Widjoyanto selanjutnya menunjuk 3 orang Plt KPK yaitu Mantan Ketua KPK Taufiqurahman Ruqi, Indryanto Seno Adjie dan Johan Budi. Banyak yang menilai keputusan Jokowi hari itu sangat jenius. Jokowi benar benar mengejutkan banyak pihak, tak terkecuali pasar taruhan yang jauh meleset prediksinya pasca putusan Praperadilan (haqul yakin BG dilantik). Penantian kita pada hari itu  akhirnya terjawab. Kesan publik kepada Jokowi "buying time" mengulur waktu terbukti karena kasus ini memang rumit bertumpuk tumpuk baik faksi-faksi yang bertubrukan maupun dimensi politik dan hukum yang saling bergesekan sehingga Jokowi harus menunggu amunisi dan unsur pendukungnya lengkap.

Tampaknya Jokowi berusaha menggunakan timbangan untuk memberi rasa adil bagi semua. Bagi pihak yang benci BG akan terpuaskan sedangkan bagi pihak yang muak dengan AS bisa bernafas lega.Tapi seperti lazimnya sebuah keputusan pasti ada pihak yang tak puas senang. Jokowi sudah bersikap ambil keputusan dengan segala risiko-nya tetapi tetap saja direspon negatif oleh dua pihak yang terbelah karena perbedaan kepentingan.
Pihak pertama sudah pasti para aktivis dan lawan politik yang selalu sinis bercampur sirik bilang keputusan Jokowi sangat terlambat sedangkan pihak kedua adalah segelintir politisi PDIP yang kecewa dan menyesalkan.
Pihak pertama ini memang voters yang harus disentuh dan direbut hatinya oleh Jokowi, mereka orang orang yang idealis tapi labil sehingga perlu diajak partisipasinya untuk membangun negeri. Sedangkan pihak kedua segelintir politisi PDIP yang dekat dengan BG seperti Trimedya, Masinton Pasaribu, Effendi Simbolon dan Junimart Girsang yang ditamengi oleh Pramono Anung dan Ahmad Basarah. Blok kedua segelintir elite PDIP inilah Brutus teriak Brutus yang sebenarnya. Politisi PDIP yang bersikap aneh tak henti hentinya merusak sendiri warna merah dan membengkokkan mulut si moncong putih. Ada kecurigaan kelompok inilah yang selalu merecoki kabinet Jokowi dan berintrik mengadu domba Mega dengan Jokowi demi target-target tertentu. Bagi yang mengenal Ketum PDIP itu secara dekat haqul yakin Mega sudah tak punya ambisi pribadi apapun karena semua pencapaian tertinggi di Republik ini sudah dia raih. The Truly Brutus inilah yang selalu berkampanye istilah "petugas partai" yang sangat rentan bercitra negatif. Mereka harus segera dijauhkan dari Megawati dan khususnya Puan. Untung PDIP masih punya pentolan abadi seperti Sidarto Danusubroto, Tjahyo Kumolo, Maruarar Sirait, Teras Narang, Ganjar Pranowo, Budiman Sujatmiko, Rieke Diah Pitaloka, Aria Bima, Hasto Kristianto dan Eva Sundari yang mulai sekarang harus ekstra hati hati membuat jembatan hubungan Presiden dgn PDIP agar jeruk tak makan jeruk. Yang patut diapresiasi justru sikap dingin dan kesetiaan Seskab Andi Widjayanto yang dituduh brutus, padahal Ia adalah anak kandung darah pendiri PDIP Jenderal Theo Syafie. Jokowi sangat jeli memilih dan beruntung diback-up anak muda ini yang diakui sangat tajam intuisi intelijennya juga jago soal Keamanan Nasional.

Beberapa minggu sebelumnya memang telah terjadi pergerakan situasi yang sangat sulit diprediksi, kocar kacir bagai berada di persimpangan gang sempit yang saling berpotongan, sebelum akhirnya terbelah dalam dua kubu yang terkonsentrasi berhadap-hadapan serta publik yang bingung sebagai penontonnya. Kita bisa amati bagaimana sejumlah media online mainstreem seperti Detik, Tempo, Kompas, Berita-Satu, tampaknya tidak ada satupun yg berpihak kepada Polri  justru sebaliknya membabibuta membela KPK! Mengapa ini bisa terjadi, apakah karena puja-puji yang menempel ditubuh KPK adalah magnet yang sangat penting untuk diselamatkan ataukah karena terlanjur antipati kepada Polri? Atau betulkah pemihakan ini benar benar natural berasal dari gerakan bawah (tanah?) yang bergerak,  bukan karena settingan yang bersifat pesanan (order) untuk menembus target oplosan plus oplahan para NGO dan kapitalis pemilik modal?
Entah apa yang sedang berseliweran dibenak para aktivis dan  media pendukung KPK, meskipun misalnya segudang bukti AS telah dibeberkan, mereka tetap gigih berapologi, tidak menggubris, menyepelekan malah menuduh itu dicari-cari, direkayasa utk menghancurkan KPK, sebesar itukah cinta mereka kepada KPK sehingga apriori satu paket harus pula mencintai cela yang dimiliki Ketuanya? Tidakkah lebih adil memberi saja ruang bagi komite etik untuk obyektif menguliti kasusnya? Banyak orang yang penasaran ingin tahu apa yangg terjadi jika ujungnya, AS secara telak terbukti transaksi jual beli kepentingan politik dgn hukum, gratifikasi pistol, kasus pemalsuan dan asusila, maka tetapkah media pewarta dan orang-orang itu mati-matian membela AS dan KPKnya?

Sebaliknya pendukung Budi Gunawan juga memberikan warna yang berbeda namun tampak sudah dikelola sangat rapi, mulai dari demo bayaran sampai anggota parlemen yang ngotot atas alasan konstitusional mendesak Presiden RI agar segera melantik Budi Gunawan. Meskipun permohonan Budi Gunawan dikabulkan dengan Putusan yang sangat baik, namun Media segera menentangnya dengan menampung semua hujatan kepada Hakim Sarpin Rizaldi dan Kuasa Hukum Budi Gunawan.

Mungkin benar apa kata seorang pengamat intelijen yg menyimpulkan KPK telah memenangkan "asymetric warfare" dan sukses besar menggiring opini publik!! Kalau sampai disitu asumsinya dapat diterima, maka ini adalah pertarungan kepentingan disatu pihak investor-pemilik modal raksasa yg paksa Indonesia superkilat benar benar harus jadi negara "clear dan clean" melawan negara dan pemerintah RI dipihak lain yg dicap lamban karena mengutamakan harmoni multi-faktor mulai dari kultur budaya, politik, ketatanegaraan, ekonomi, tata nilai dan sistem kemasyarakatan sampai kepada mental bangsa. Kita tahu KPK corak dan model-nya presis berkiblat ke Amerika, saat ini sdh diterapkan dan cukup berhasil di beberapa negara Asia Timur seperti China, Hongkong, Korea. Bagaimana Indonesia? Tentu perlu waktu yg cukup!

Sepertinya bila diasumsikan secara jernih pertarungan ini dimenangkan dengan skor 2-0 oleh Polri dengan hasil kalkulasi Polri tidak kehilangan apa apa, karena Budi Gunawan memang belum berstatus Kapolri dan Ia mendapatkan kembali untuk sementara Status bukan tersangka sementara KPK justru kehilangan 2 orang Komisionernya bahkan menjadi tersangka pesakitan yang tidak bisa diprediksi kapan berakhir penyelesaian kasusnya. Sampai disini media-pun terdiam tak mampu berbuat apa apa karena tenggelam oleh ketegasan sikap Jokowi yang semula selalu diremehkan.

Baru kali ini kekuatan media baik cetak, online maupun elektronik ternyata gagal total menciptakan gelombang perubahan bagi kemenangan "civil society". Media sebagai corong masyarakat sipil sebulan ini kompak bersatupadu (kecuali MetroTV dan TVOne netral = tumben mesra) untuk merebut opini, sungguh luarbiasa tak henti membombardir Polri dan sebaliknya mati matian membela KPK. Apa sebab kegagalan ini terjadi? Paling tidak ada beberapa hipotesis penyebab kegagalan media tersebut yaitu;
1. Yang dibela mati-matian yaitu KPK plus Komisioner ternyata kotor juga bahkan disinyalir bermental politisi..
2. Ada nafsu berlebihan media untuk membunuh Institusi Polri yang justru berbalik membangunkan simpatisan Polri dan empati esprit de corps yang menjalar kuat bagi seluruh anggota Polri yang memiliki Doktrin Prajurit Bhayangkara
3. Tidak jelas "common enemy"-nya siapa, Media ragu ragu untuk menentukan apakah Jokowi atau BG/Polri. Media menampung hujatan publik kepada Jokowi, media selalu memojokkan Jokowi sampai lupa sasaran utamanya adalah BG. Akibatnya berbalik, relawan Jokowi serentak bangkit dan siap pasang badan bagi Jokowi.
4. Media melupakan kode etik jurnalistik, perburuan berita miskin klarifikasi, gunakan pelintiran headline dan berani menularkan cerita bohong dan rekaan semata.

Dari cuplikan di atas semoga bisa menjadi pelajaran untuk memupuk kedewasaan kita dalam memahami segala persoalan konflik sesulit apapun itu, Memberantas Korupsi harus dimulai dari sudut pandang yang lebih jernih agar dapat meminimalkan sifat "selfish" memaksakan benar sendiri, menang sendiri. Cukuplah sekali kasus seperti ini terjadi semoga kedepannya semua pihak selalu cepat tanggap beresolusi untuk menyelesaikan konflik secara damai (peacefull settlement).

No comments:

Post a Comment