Thursday, February 19, 2015

No Free For Lunch No Barter For Death

Perdana Menteri (PM) Australia Tonny Abbott menyatakan eksekusi mati terhadap warganya merupakan tindakan "barbar". Tak puas disitu Tony bersikap "childish" seperti barter mainan ungkit Bantuan Tsunami dengan Gembong Bali Nine, Andrew Chan dan Myuran Sukumaran, ini bermakna jelas "there is no free lunch". Puncaknya kemarin pagi tanggal 18 Februari 2015 berlangsung demo besar-besaran di pusat kota Melbourne oleh ratusan praktisi hukum antara lain dihadiri hakim agung negara bagian Victoria, Lex Lasry, yang dalam tiga pekan terakhir menemui Chan dan Sukumaran di LP Kerobokan. Demo juga akan diteruskan di berbagai kota hingga malam hari. Selain itu, Sekjen PBB Ban Ki-moon juga meminta pemerintah Indonesia membatalkan pelaksanaan eksekusi mati para terpidana kasus narkotika tersebut.
Tampaknya kehebohan ini sebenarnya wajar dan harus dilihat biasa biasa saja meskipun disana Australia sudah berteriak SOS tetapi Indonesia sebaliknya mempunyai integritas hukum dan kedaulatan yang tidak bisa diintervensi oleh siapapun termasuk oleh Sekjen PBB. Alasan Jokowi Indonesia dalam keadaan Darurat Narkoba jangan dipandang enteng itu adalah sinyal terkuat tahun 2015 dari seorang Pemimpin Dunia yang justru seharusnya diikuti seluruh pemimpin dunia lainnya, seperti halnya Obama menjadikan terorisme menjadi musuh utama dunia lainnya! Lalu mengapa mereka tak bereaksi keras dalam pemberantasan terorisme yang sama juga menghukum mati pelakunya. Apa bedanya dengan hukuman mati terhadap Gembong Narkoba? Bedanya tipis hanya soal formalistik tetapi hasilnya sama juga yaitu "aksi mencabut nyawa". Bahkan US mengenal Hukuman Mati. Dahulu mungkin Tony Abbot bisa bermain mata dengan kewenangan Grasi Presiden SBY dan Menkumham dimotori wakilnya Denny Indrayana untuk mengakali Hukum Positif yang berlaku di Indonesia. Tapi dunia kini harus tahu Jokowi berbeda, profilnya memang tak meyakinkan tapi nyali dan tindakannya sangat menggetarkan maka tidak mengherankan pada waktunya nanti sudah seharusnya semua menjadi follower Jokowi dalam pemberantasan Narkoba secara Internasional!
Di dalam negeri kita pasti berpendapat gencarnya Koalisi Anti Hukuman Mati di Indonesia dinilai aneh juga. Mereka mendesak Pemerintah untuk menyetop hukuman mati tetapi sementara dasar legitimasi hukum positif kita sangatlah kuat. Dan mereka lupa Menlu RI Retno sangat memahami bahwa dalam case ini Hukum Internasional hanyalah sub-ordinary dari Hukum Nasional sebab HI tidak mempunyai Law Body Making atas Hukuman Mati yang diterapkan oleh hukum nasional suatu negara. Namun tak bijaksana juga bila kita tidak melongok apa sih yang melatarbelakangi gerakan koalisi anti hukuman mati di Indonesia?
VERSI KOALISI HRWG
Di Tanah air gayung bersambut Koalisi Anti Hukuman Mati yang tergabung di dalam Human Right Working Grup (HRWG), Imparsial, Setara Institute, ICJR (Institute for Criminal Justice Reform), LBH, Kontras dan ELSAM menolak keras hukuman mati di Indonesia dan mengecam pernyataan Menlu RI Retno Marsudi bahwa hukuman mati sesuai dengan Hukum Internasional. Koalisi inipun merelease alasan penolakan mereka atas hukuman mati gelombang II. Khususnya menolak Putusan MK 21 Oktober 2008 karena dianggap terjebak positivisme hukum formal. Seperti kita ketahui Putusan MK 2008 itu menegaskan bahwa tata cara pelaksanaan hukuman mati di Indonesia adalah menurut UU No.2/Pnps/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hukuman Mati yang merupakan lex specialis yang menegasikan pasal 11 KUHAP. Lebih lanjut, MK menyatakan UU No. 2/Pnps/1964 tentang Tata Cara Pelakasaan Hukuman Mati yang dijatuhkan oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer tidak bertentangan dengan Pasal 28I ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Direktur Eksekutif Elsam, Indriaswati Dyah Saptaningrum, mengatakan Putusan MK ini secara nyata telah mengabaikan perkembangan ilmu pengetahuan hukum dan peraturan perundang-undangan di Indonesia yang telah mengalami perubahan paradigma sebagaimana terlihat dalam RUU KUHP yang sudah menempatkan hukuman mati sebagai pidana yang bersifat khusus dan diancamkan secara alternatif. Pidana mati dapat dijatuhkan secara bersyarat, dengan memberikan masa percobaan, sehingga dalam tenggang waktu masa percobaan tersebut terpidana diharapkan dapat memperbaiki diri sehingga pidana mati tidak perlu dilaksanakan. Demikian juga dengan Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional (Rome Statute of the International Criminal Court, 1998) yang rencananya akan diratifikasi Pemerintah Indonesia sama sekali tidak mengatur mengenai ancaman pidana mati. Hukuman dalam mekanisme International Criminal Court juga hanya berupa hukuman penjara yang terdiri dari hukuman penjara seumur hidup untuk kejahatan yang sangat serius dan hukuman penjara maksimum 30 tahun.
Disamping itu menurut Koalisi ini, penerapan hukuman mati bertentangan dengan ketentuan hukum hak asasi manusia Internasional yang secara tegas menyatakan hukuman mati bertentangan dengan prinsip-prinsip yang diatur di dalam konvenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (International in Civil and Political Rigts-ICCPR.). Hak untuk hidup (rights to life) - yaitu pada bagian III Pasal 6 (1) - menyatakan bahwa setiap manusia berhak atas hak untuk hidup dan mendapatkan perlindungan hukum dan tiada yang dapat mencabut hak itu. Perlu diingat bahwa prinsip-prinsip yang diatur dalam ICCPR telah menjadi bagian dari hukum nasional Indonesia, melalui UU No.12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik. Pertimbangan lain, menurutnya, adalah perkembangan mutakhir dalam konteks pemidanaan bagi terpidana. "Kalau dulu praktek pemidanaan berdasarkan pada restributive justice. Jadi orang dihukum sebagai sebuah tindakan balasan atas ketidakadilan yang dilakukan atau kejahatan yang dilakukan. Kalau zaman purba, kan, mata ganti mata, nyawa ganti nyawa. Lalu berkembang lagi tapi masih dengan prinsip yang sama kalau mata seseorang tidak bisa diambil dia lalu dipenjara saja! Benarkah Demikian?
SUMMARY
Secara ideologi prinsip HAM, maka gerakan Koalisi ini sangat baik dan dapat diterima secara umum namun mereka tengah berhadapan dengan integritas hukum dan kedaulatan negara RI. Hukum HAM Internasional memang melarang (tetapi tidak absolut) hukuman mati. Namun dalam kasus tertentu HI sebaliknya menyerahkan sepenuhnya pelaksanaannya kepada Hukum Nasional. Aksi protes pemimpin dunia memang cukup keras tetapi sedikit mengundang kelucuan karena itu sebenarnya dilakukan semata mata pencitraan politik dalam negeri-nya. Lihatlah nanti apakah mereka juga ngambek menolak hadir memenuhi undangan Jokowi dalam Asian African Commemoration Indonesia ke 60? Meski masih berupa riak riak ternyata akibat datangnya kecaman bertubi-tubi dari Brazil, Perancis, dan aksi heroik PM Australia Tony Abbot justru malah memancing spontanitas nasionalisme bagi publik dan rakyat Indonesia! Tony! don't judge our path if you never path our journey as a nation, so it's okay no free for lunch but no barter for death sir!!

No comments:

Post a Comment