Sunday, February 13, 2011

Pewaris Serigala Machiavellian

by Leonard Marpaung on Saturday, February 12 Februari 2011

Panitia khusus, panitia & hak angket, hak budget, interpelasi, mosi tak percaya yang bergulir selama ini  ternyata hanya hiasan bunga bunga yang tak indah warnanya dan tidak semerbak harumnya;  century, kasus pajak, rekening gendut, cek perjalanan, gembar gembor clean and good governance hanya trik-trik yang hilir mudik dan permainan kata kata semata, gaya dan vokal yang nyaring cuma personifikasi tong kosong.

Sebuah renungan yang amat menyedihkan, kita ini bagai orang kerdil yang mengaku kaum terpelajar tapi tidak sekalipun mempunyai hati nurani yang menjerit melihat ketidakadilan dan kepalsuan, sungguh tak terbayang kita akan mewariskan kepada generasi muda berikutnya, anak anak kita, mesin yang bobrok,kerusakan sistemik dan utang politik yang sangat rumit karena  yang terpaksa lahir dari hasil kumpulan persekongkolan serigala serigala machiavelian.

Seorang Freis Ermessen telah meramalkan bahwa kebijakan "beschikking" atau "decree" yang dibuat secara serampangan (detournement de pouvoir) oleh para pembuat atau pendahulu niscaya akan menciptakan kepanikan dan kerusakan sistemik bagi pewarisnya. (LM)

Regulasi Keimanan, Produk Sektarian Intoleran

Regulasi keimanan, produk sektarian-intoleran yg terlalu jauh memasukii hak privat, terbukti menjadi sumber pemicu utama or justifikasi timbulnya arogansi, ketidakadilan, kerusuhan sosial sekaligus melegitimasi secara eksplisit kesewenang-wenangan, pembunuhan karakter dan hak sosial, individual, politik & sosbud yang dimiliki sebagian  warganegara Indonesia tercinta yang kebetulan kurang beruntung. Meski diklaim oleh para ahli yang mazhab alirannya berasal dari segelintir golongan  bhw kita bukan negara sekuler, namun mau tidak mau harus diakui faktanya produk perundang-undangan kita yg tertinggi yg termaktub secara eksplisit dlm Konstitusi dan UU (inc. konvensi yg diratifikasi), mengandung pengaturan yang sangat sekuler bahkan sedikit liberal yang intinya bermakna adanya "jaminan" dari negara terhadap hak privat warganegara meskipun tidak diatur secara tegas mengenai pemisahan hubungan antara negara dan agama. Yang menjadi sorotan saat ini adalah mengapa pada tataran regulasi dibawahnya muncul regulasi keimanan yang jauh menyimpang dari konstitusi or UU yang nilai yuridisnya tentu sangat lemah untuk mengikat warganegara (justisiabel) agar tunduk dan patuh, timbul keheranan yang luarbiasa mengapa  regulasi keimanan berupa  SKB-SKB, pasal penistaaan agama, pendirian rumah ibadah  itu bisa muncul tanpa ada filter dan judicial review, mengapa dibiarkan lahir dengan label keadilan bagi kelompok tertentu saja namun sebaliknya menjadi bencana dan tsunami bagi kelompok warganegara lainnya yang kebetulan berbeda keyakinannya, kini yang menjadi pertanyaan besar adalah untuk kepentingan siapa regulasi yangi ternyata sangat abu abu sangat diskriminatif plus intoleran ini dibuat?? sebuah tesis yang berisiko sangat paradoksal dan memprihatinkan bagi seluruh anak negeri yg amat  bangga mencintai bangsanya & memilih tetap berdiam berlindung di tanah air tempat tumpah darah!!

Sepakterjang dan Infiltrasi Jurus Mabuk Ideologi

by Leonard Marpaung on Wednesday, February 9, 2011 at 8:34pm
awal 2000-an  mereka tak lebih cuma segelintir orang-orang putusasa yg termarjinalkan akibat kejamnya hidup, yang akhirnya mencari jatidiri dalam kedok ideologi yang kemudian secara perlahan dan pasti, berevolusi dan berafiliasi secara global, regional dan domestik dalam sel-sel bawah tanah berkolaborasi dengan sayap dan alumnus internasional kelompok radikal. Di Indonesia  rentannya ketahanan nasional akibat situasi transisi demokrasi memberikan peluang dan kans mereka untuk menancapkan kuku ke berbagai sendi sosial kehidupan rakyat bahkan terkadang mereka acapkali mampu bermetamorfosis ke  jantung kekuasaan baik lokal maupun pusat.

Sebenarnya mereka telah gagal dengan cara-cara teror konvensional menggunakan media Bom dan kerusuhan di Ambon, Malut, Poso.  Namun 9/11 merupakan titik balik agresivitas mereka, kini mereka hadir dengan kemasan baru namun tetap secara egaliter mampu membuat siapapun terkaget-kaget, panik ketakutan,  atau  bahkan sebaliknya mendapat simpati karena terpesona.  Menyoroti aksi menonjolkan identitas agama yang belakangan kian kasar, dan cenderung anarkistis, tampaknya dpengaruhi momentum perkembangan lingkungan strategis di berbagai belahan dunia yang cenderung berubah-ubah, mengakibatkan adanya kecenderungan osteoporosis ideologi, yang  terstruktur melemah tampak dari  jurus mabuk yang merugikan citra garis perjuangan mereka sendiri, Coba tengok kini mereka tidak pilih pilih lagi kalau Ahmadiyah pasti, pendirian gereja, penistaan agama wajib, tapi sekarangpun mereka juga mengusik pertunjukan wayang kulit. Di Sukoharjo, Jawa Tengah, dimana sekelompok orang bersorban menghampiri kerumunan orang yang tengah asyik menonton pertunjukan wayang yang digelar di pekarangan rumah seorang warga Desa Sembung Wetan. Selain melempari penonton, sebagian dari mereka mengacung-acungkan pedang sambil bertakbir.  Siapa pun tahu--kelompok penyerang seharusnya juga tahu--bahwa wayang justru dijadikan medium efektif oleh Sunan Kalijaga untuk menyebarkan Islam. Para penyerang itu telah berusaha membuang elemen budaya lokal yang sesungguhnya merupakan buah kreativitas Wali Sanga dalam berdakwah.

Bila timbul sebuah aksi teror dan kekerasan maka mereka sangat tangkas dan mau diajak berdialog secara intelektual namun tekanan dan intonasi keras selalu mewarnai sikap dan pernyataannya, dan selanjutnya pasti berkelit mengingkari tudingan bahwa kelompok mereka di balik itu  dan beralibi kekerasan itu datangnya dari ulah intelijen Amerika atau dari kaum liberal semata. Belakangan ini tampaknya mereka sedikit putusasa dan kurang sabar ketika bilamana kehendaknya tidak diakomodasi oleh penguasa, sehingga akhirnya  lebih memilih  jalan kekerasan. Kasatmata  mulai terungkap adanya perubahan strategi mereka menjadi lebih asimetrik dan saintifik, tentu perubahan ini  akan menyulitkan bagi intelijen mengurai motif dan bukti.

Makna syiar dan nahi munkar, atau mencegah perbuatan buruk, yang disalahpahami, saat ini malah berubah menjadi aksi memaksakan kehendak yang meresahkan--meski dalam skala lebih kecil. Kelompok penekan yang telah aktif memaksakan pendapatnya ini sebetulnya telah cukup berhasil mendesakkan berbagai kesepakatan bersama dengan otoritas pemerintahan dan aparat keamanan bahkan mereka mendapat angin (seruan agar sejumlah ormas garis keras dirangkul). Keputusan ini jelas mencederai keadilan dan toleransi beragama di negeri ini. Yang patut kita sesalkan, semua petinggi  dilanda ketakutan jika aspirasi semu itu tak dipenuhi. Mereka seperti lupa bahwa kita sedang berada di negara berdasar Pancasila dengan konstitusi yang tegas menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan tanpa boleh ada gangguan serta ancaman dari siapa pun.

Agresivitas kelompok radikal yang meningkat belakangan ini harus dihentikan. Mereka tak boleh lagi menyerang aset dan pemeluk kelompok keyakinan apapun, menurunkan paksa patung dengan dalih apa pun, menyerang  pendirian gereja, membubarkan seminar dan pertemuan silahturahmi berbagai kelompok masyarakat, mencampuri peradilan yang bebas merdeka, bahkan membubarkan pertunjukan wayang kulit. Terhadap tindakan brutal atas nama agama ini, tumpuan akhirnya tertuju pada pihak keamanan. Aparat harus bertindak lebih tegas demi menimbulkan efek jera permanen. Syukurlah Presiden kita telah dapat memetakan persoalan ini lebih komprehensif sehinngga tidak hanya sekadar mengecam dan akhirnya secara tegas hari ini memerintahkan dicari upaya legal untuk membubarkan ormas garis keras tersebut dan hal ini telah direspon positip oleh Mendagri. Namun kata pepatah apalah arti sebuah baju dan lambang yang dikultuskan, yang penting tujuan dan manfaatnya dapat tercapai, artinya bagaimanapun caranya tujuan kita untuk mencegah kekerasan dapat tercipta, bukan sebaliknya justru tujuan mereka yang berhasil membuat ketakutan dan kerusuhan di negeri ini. (LM)

Saturday, February 12, 2011

Profile Dewan Militer Mesir

Hussein Tantawi (en.wikipedia.org)

Dewan Militer akan memimpin Mesir untuk sementara seusai turunnya Hosni Mubarak dari kursi presiden. Sebelum meninggalkan Kairo bersama keluarganya, Mubarak melimpahkan kekuasaan kepada Dewan Militer. Jenderal Omar Suleiman, Wakil Presiden yang juga mantan pejabat intelijen, juga memberikan mandat kepada Dewan Militer ini.

Dewan ini dipimpin Menteri Pertahanan Mohammed Hussein Tantawi, bersama Kepala Staf AD Letnan Jenderal Sami Anan, dan Menteri Penerbangan Ahmed Shafiq. Berikut profil mereka.
Hussein Tantawi
Field Marshal Tantawi menjadi menteri pertahanan dan Panglima Angkatan Bersenjata Mesir sejak 1991. Tantawi menjadi tentara Mesir pertama yang berpangkat Field Marshal sejak 1989. Tantawi disebut-sebut akan menjadi penantang serius dalam pemilu presiden September nanti. Selama demonstrasi 2011, dia dipromosikan sebagai Wakil Perdana Menteri.

Tantawi menjadi wakil pemerintah pertama yang mengunjungi Tahrir Square pada 4 Februari 2011. Ia membawa beberapa pejabat militer dalam kunjungan singkatnya itu.

Reda Mahmoud Hafez Mohamed
Air Marshal Reda Mahmoud Hafez Mohamed yang juga Kepala Staf AU Mesir menjadi komandan AU wilayah Timur, lalu wilayah Selatan, sejak 2005. Pada 1 Juli 2007, ia menjadi Kepala Operasional dan di akhir tahun itu ditunjuk menjadi Kepala Staf AU. Ia dicopot dan digantikan oleh Magdy Galal Sharawi pada 20 Maret 2008.

Sami Hafez Anan
Letnan Jenderal Sami Anan adalah pemimpin tertinggi 468 ribu tentara Mesir. Ia berperan krusial dalam mengkoordinasikan kondisi interim pemerintahan Mesir.
Anan masih berada di Washington saat demontrasi terjadi. Ia memperpendek kunjungan dan pulang ke negerinya. Dilaporkan, pihak AS meminta Anan sebagai kunci proses mediasi. Anan juga disebut-sebut merupakan figur penting untuk menjalankan roda pemerintahan yang ditinggalkan Mubarak.

Beberapa anggota Dewan Militer yang lain adalah: Komandan Pertahana Udara Letnan Jenderal Abd. El Aziz Seif-Eldeen dan salah satu pemimpin Angkatan Laut, Vice Admiral Mohab Mamish.
• VIVAnews

Rezim 30 Tahun Mubarak Tumbang

Di antara protes dan demonstrasi tak kunjung henti, Hosni Mubarak akhirnya mundur setelah berkuasa selama 30 tahun di Mesir.

Stabilitas keamanan selalu menjadi fokus Mobarak di era kepresidenannya. Ia memberlakukan Undang-undang Darurat yang melarang pertemuan lebih dari 5 orang. Dan itu sukses dijalankan selama 30 tahun di negara berpenduduk terbesar di Timur Tengah itu.

Tapi pada Januari 2011, diinspirasi oleh revolusi di Tunisia, Mesir dilanda protes dan demonstrasi besar-besaran. Demonstran yang berpusat di Lapangan Tahrir mulai muak dengan menurunnya kemakmuran, korupsi, pengangguran serta
autokritik pemerintah.

Dalam siaran di televisi, 1 Februari lalu, Mubarak mengumumkan takkan mencalonkan diri lagi pada pemilu September.  Tapi, demonstran sudah tak sabar menunggu mundurnya pemimpin terlama di Arab itu. Dan akhirnya, Mubarak menyerah pada Jumat malam waktu setempat, 11 Februari 2011.

Karena Israel

Muhammad Hosni Sayyid Mubarak lahir pada 4 Mei 1928 di sebuah desa kecil di Delta Sungai Nil. Meski berasal dari latar belakang miskin, ia mampu lulus dari Akademi Militer Mesir pada 1949. Ia bertugas di Angkatan Udara sejak 1950.

Nama Mubarak mulai melejit saat menjabat sebagai komandan AU dan Deputi Menteri Pertahanan Mesir sekaligus. Ia memimpin penyerangan ke pasukan Israel yang menginvasi semenanjung Sinai pada perang Yom Kippur 1973.

Sukses Mubarak melejitkannya ke posisi orang nomor 2 Mesir. Dua tahun setelah Perang itu, Presiden Sadat mengangkat Mubarak sebagai Wakil Presiden.

Mubarak naik menjadi Presiden ke-4 Mesir seusai terbunuhnya Anwar Sadat pada 6 Oktober 1981. Saat itu, tak banyak pengamat yang memperkirakan Mubarak yang baru saja naik menjadi Wapres akan bertahan lama di kursi Presiden Mesir.

Sekutu AS

Meski kurang populer saat itu, Mubarak pintar mengolah isu pembunuhan Sadat untuk berdamai dengan Israel. Itulah momen dimana ia mulai membangun reputasi di dunia internasional.

Sebelumnya, Mubarak memang terlibat dalam perjanjian damai Camp David dengan Israel yang ditandangani oleh Presiden Sadat dan Perdana Menteri Israel, Menachem Begin pada 1979.

Mubarak pun mulai dekat dengan Amerika Serikat. Diiringi bantuan Negeri Paman Sam senilai miliaran dolar AS kepada militer Mesir.

Mubarak dan Mesir juga selalu menjadi moderator bagi negara-negara Barat atas konflik Israel-Palestina. Sayangnya, posisi itu justru memperburuk citra Mubarak di kalangan fundamentalis Muslim. Ia menjadi target pembunuhan.

Mubarak tercatat enam kali lolos dari percobaan pembunuhan. Kali terakhir terjadi pada 1995 saat mobil limousin yang ditumpanginya diserang di Ibukota Ethiopia, Addis Ababa. Saat itu, ia akan menghadiri Konferensi Afrika.

Beberapa insiden itu memaksa Mubarak memenjarakan beberapa lawan politiknya. Intelijen Mesir pun menjadi sangat rajin membersihkan semua musuh Mubarak.
Diktator
Usaha Mubarak mengendalikan stabilitas negara bukan hanya menjadikan dirinya diktator. Ia juga memonopoli sektor ekonomi Mesir.

Tapi dalam beberapa tahun terakhir, ia mulai merasakan tekanan demokrasi. Baik dari dalam negeri maupun dari AS. Setelah protes dan demonstrasi dalam beberapa pekan terakhir, tekanan itu tak tertahan.

Dukungan dari militer semakin berkurang. Beberapa komandan militer pun pilih meninggalkan posisinya. Sejak 10 Februari lalu, kabar bahwa Mubarak akan segera lengser menyebar ke seantero Mesir dan dunia.

Di siaran televisi, Mubarak yang frustrasi sempat berpidato akan mempertahankan kursinya sampai Pemilu September. Tapi, kurang dari 24 jam berikutnya, Mubarak meninggalkan Kairo bersama keluarganya.

Wakil Presiden Omar Suleiman berpidato di televisi bahwa Sang Presiden resmi mundur. Kabar ini menjadi kegembiraan warga yang merayakannya di seluruh jalanan Kairo, Alexandria dan beberapa kota besar Mesir lainnya.
• Diadopsi dari VIVAnews

Friday, February 11, 2011

Hedonism Accelerates Corruption

“Nature has placed mankind under the governance of two sovereign masters, pain and pleasure. It is for them alone to point out what we ought to do, as well as to determine what we shall do” (Jeremy Bentham).
Corruption in Indonesia today is rampant and dismantling most living elements of the society. Serious endeavors to eradicate corruption have been launched since the Sukarno era.
The famous and powerful Corruption Eradication Commission (KPK) was established under the administration of president Megawati Soekarnoputri. Corruption or abuse of power can be traced to many factors, one of them being the adoration of hedonism. Referencing philosophical concepts from the Ancient Greek era developed by icons such as Aristotle, Plato, Epicurus and Democritus, hedonism (hedone) means “pleasure” and is a philosophical foundation that underlines gratification as the cardinal aspect of life. The core idea of hedonism is that pleasure is good and desperately needed by human beings.
Hedonism is generally divided into three major categories: psychological hedonism, ethical hedonism and rational hedonism. Psychological hedonism states that one vital element in human life is to find pleasure and minimize pain. Ethical hedonism is the way people establish their own methods to achieve pleasure by adopting any means necessary. Rational hedonism is set up with certain standards to meet pleasure.
Hedonism as a set ideology was further developed under the influence of two historic philosophers: Jeremy Bentham (1748-1832) and John Stuart Mill (1806-1873). The 19th century philosophers Bentham and Mill laid down their ideas of hedonism through the ethical theory of Utilitarianism. In Bentham’s view, hedonism is “a pleasure that could be understood by multiplying its intensity and duration”.
The density and duration are more important than its numbers. Most known by “quantitative concepts”, Bentham introduced six indicators to identify what pleasure is all about: certainty, uncertainty, duration, intensity, remoteness, fecundity and purity (Bentham, J. 1789, An Introduction to the Principles of Morals and Legislation). Bentham and Mill prescribed that “Utilitarian value stands as a precursor to hedonistic values in all that action should achieve great amounts of happiness”.
Mill proclaimed his “qualitative approach” to understanding pleasure. In Mill’s words, “there are different levels of pleasure, and that pleasure of a higher quality has more value than pleasure of a lower value”.
Taking Indonesia as a nation that claims itself to be a “religious” society, very often pleasure is used to justify misconduct. This is a misleading perception to put God in the center of argument. But bad behavior evolving through the history of the nation proves that what we are doing is quite different from God’s wishes. This sort of ideology develops through human civilization. It subsequently comes out with contradictory paradigms.
Advocates of hedonism adore consumerism as a strong token of social achievement. Therefore, any effort to gain more consumer goods is highly demanded and respected. On the contrary, those who gain less are classified as misfortunate. These stereotypes penetrate deeply within Indonesian society, where, respect for others is basically measured by the amount of luxury goods possessed.
Amid uncertainty over attempts to cripple down corruption, some social scholars pose ideas to introduce what is named as “shame culture”. Shame culture refers mainly to a common awareness not to disparage values and norms operating in a society. Simultaneously, fellow citizens are obligated “to oversee” how others behave, either in the public or in bureaucratic realms. This mode of social control will not receive support because it intercepts basic human rights of citizens. From a judicial point of view, efforts to eradicate corruption here are still basically going nowhere. The reason for this is the growing skepticism in society on moral standards for people and institutions involved in the corruption eradication drive.
Wandering around in the crossroads, the war on corruption then prompts efforts to promote religious teachings for children as well as adults. Both moral and religious enforcements are a failure compared with the people’s demands for corruption eradication. Pleasure is nothing to be hidden, but the way material goods are gained has led to corruption with perpetrators breaking laws and stealing things they are not entitled to.
Seemingly law enforcement is not the right weapon to torpedo widespread corruption. Hedonism in the minds of Bentham, Mill, Plato and other philosophers was not conceptualized to be adopted mistakenly. Not to put blame simply on hedonism as a push factor to engage in corrupt acts, but to a certain extent, misperceptions on hedonism is accelerating corrupt conduct in the community at large.
Hedonism is permitted by any religious or philosophical standpoint, but misusing hedonism to paralyze moral and religious obligations is certainly to be judged as a crime against humanity.
Unfortunately, corrupt people are not aware that corruption and hedonism are two sides of one coin
Adopted from John Haba, Jakarta | Thu, 02/10/2011 10:42 AM | Opinion 

Current Issue: Pembubaran atau Ganti Kulit Ormas?


Organisasi masyarakat yang meresahkan masyarakat karena aksi-aksi anarkisnya dan terbukti melanggar hukum akan dibubarkan. Direktif langsung diberikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Kupang, NTT, Rabu, 9 Februari 2011.
Menindaklanjuti instruksi itu, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Djoko Suyanto menjelaskan sekilas landasan pembubaran itu. Menurut Djoko, hal itu sudah tertuang jelas dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan.

"Instruksi Presiden itu secara umum. Dan untuk penerapannya menggunakan undang-undang itu," kata Djoko dalam perbincangan telepon dengan VIVAnews.com, Kamis, 10 Februari 2011.
Djoko menambahkan undang-undang itu masih sangat relevan karena dengan jelas mengatur setiap aspek dari organisasi masyarakat, termasuk pembubarannya. Peraturan teknis dan segala macam turunannya juga sudah dijabarkan oleh Kementerian Dalam Negeri.

"Presiden kan sudah jelas mengatakan bahwa pembubaran organisasi itu harus dilakukan secara legal dan sah. Undang-undang itu justru untuk penerapannya dan sudah sesuai aspek legalitasnya," ujar mantan Panglima TNI ini.
Dalam UU itu, pembubaran organisasi massa yang terbukti melanggar hukum tertuang di Bab VII soal Pembekuan dan Pembubaran. Dalam pasal 15 tertulis, "Pemerintah dapat membubarkan Organisasi Kemasyarakatan yang tidak memenuhi ketentuan-ketentuan Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 7, dan/atau Pasal 18."

Dalam pasal 7 (c) juga disebutkan, "Organisasi kemasyarakatan berkewajiban memelihara persatuan dan kesatuan bangsa." Soal pembubaran juga disebut dalam pasal 16, "Pemerintah membubarkan organisasi kemasyarakatan yang menganut, mengembangkan, dan menyebarkan paham atau ajaran komunisme/Marxisme-Leninisme serta ideologi, paham, atau ajaran lain yang bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dalam segala bentuk dan perwujudannya."

Pernyataan Djoko dikuatkan Wakil Ketua Komisi II DPR RI bidang pemerintahan, Ganjar Pranowo. Menurut Ganjar, perangkat hukum pembubaran ormas anarkis sudah lama tersedia, yakni UU No. 8/1985 itu. Persoalannya kini "tinggal realisasi pemerintah bagaimana menghadapi ormas yang ngawur-awuran itu."
Acuannya, masih kata politisi PDI Perjuangan itu, jelas tertera pada pasal 14 sampai 16. Bila ada organisasi melanggar ketertiban umum maka akan diberikan peringatan. Bila peringatan itu tidak diindahkan, maka ormas itu bisa dibekukan dan dibubarkan. "Bila diperingatkan masih juga nekat dan tidak mematuhi maka dia bisa dibubarkan," ujarnya.

Kendati demikian, Ganjar mengakui bahwa undang-undang itu merupakan produk orde baru dan sudah saatnya direvisi. DPR sudah memasukkan revisi undang-undang itu dalam Program Legislasi Nasional sejak tahun lalu, 2010. "Tapi, pembahasannya memang tidak cepat. Karena ada trauma represi terhadap ormas pada masa Orde Baru," ia menjelaskan.
Meski begitu, kata Ganjar, UU No. 8/1985 masih bisa digunakan sebagai acuan. "Karena sampai sekarang UU ini tetap berlaku dan belum dicabut."

Kualifikasi Ormas
Lantas, ormas apa saja yang masuk kategori ormas anarkis itu?
Pemerintah sudah memerintahkan institusi terkait untuk mengidentifikasi ormas-ormas perusuh itu. Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring menjelaskan Presiden SBY telah meminta kejaksaan, kepolisian, dan Kementerian Dalam Negeri untuk mengidentifikasi ormas mana saja yang selama ini melawan hukum.

"Kalau memang teridentifikasi ada ormas yang melawan undang-undang, maka ormas itu dapat dibubarkan," kata Tifatul, sembari menegaskan bahwa ini bukan berarti pemerintah melarang ormas untuk berdemonstrasi. "Boleh saja berdemo tapi tidak merusak. Jadi, jangan dikira berdemo tidak boleh."

Desakan pembubaran ormas-ormas anarkis juga datang dari Senayan. Ketua Partai Demokrat Bidang Departemen Pemberantasan Korupsi dan Mafia Hukum Didi Irawadi Syamsudin meminta kepolisian beserta aparat penegak hukum lain, segera merespons perintah Presiden SBY itu. "Sudah saatnya kita mendukung pembubaran ormas yang bertindak seolah-olah negeri ini tanpa hukum," kata Didi di Gedung DPR RI, Jakarta.

Hal senada disampaikan Wakil Ketua DPR dari Fraksi Golkar, Priyo Budi Santoso. Tetapi, dia mencatat bahwa perintah SBY itu perlu segera diikuti sejumlah hal. Pertama, revisi dan penyempurnaan UU Ormas. "Agar nanti negara juga tidak sewenang-wenang, sepihak dan seenaknya membubarkan ormas-ormas yang ada." 

Menurut Priyo, sebaiknya dalam UU Ormas yang baru perlu ditambahkan klausul soal kategori ormas yang layak dibubarkan. Misalnya, "yang sifatnya perusuh, menimbulkan korban jiwa, meresahkan, dan menakut-nakuti warga." Mekanisme pembubaran juga harus diatur sedemikian rupa dan dilengkapi bukti-bukti yang otentik dan kuat. "Termasuk, kemungkinan diperlukan adanya pengadilan yang independen tapi cepat untuk memutuskan soal itu."

Ketua Umum Partai Damai Sejahtera, Denny Tewu, menyerukan hal serupa. Menurut Denny, pemberangusan ormas bukanlah cara yang tepat untuk mengatasi kekerasan berbau SARA di tanah air. "Percuma memberangus ormas. Mereka cuma akan ganti kulit," kata Denny dalam iskusi di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Kamis, 10 Februari 2011.

Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat, Taufiq Kiemas, juga satu suara. Menurut dia, semua pihak harus mendukung perintah Presiden SBY itu. "Kita semua harus setuju," kata Taufiq di Gedung MPR/DPR RI. Namun, pembubaran jangan sampai melanggar hak asasi manusia. Karena itu, pemerintah disarankannya untuk segera meminta saran Komisi Nasional Hak Asasi Manusia mengenai prosedurnya. Jangan sampai, "Nanti kalau terjadi sesuatu, mobil-mobil polisi dibakar, polisi tidak bisa bertindak apa. Sudah begitu, kita marah-marah pada polisi," ujarnya.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menilai perintah Presiden itu bukan sesuatu yang luar biasa. "Dalam konteks ini tidak luar biasa, karena itu sudah jadi aspirasi masyarakat sejak lama," kata salah satu Wakil Ketua Komnas HAM Ridha Saleh.
Ridha juga menyarankan agar pembubaran ormas dipikirkan masak-masak. "Karena ini bukan solusi," ucap Ridha. Dia minta pemerintah untuk mencari solusi yang pas untuk menyelesaikan masalah kekerasan ini secara substansial. Pemerintah terkesan membiarkan terjadinya sejumlah kekerasan. Hal ini antara lain terlihat dari nyaris tidak pernah adan peristiwa kekerasan yang diselesaikan pemerintah secara tuntas. "Setiap kekerasan ada latar belakangnya. Ini yang sebenarnya harus dipelajari dan diantisipasi,
• Disarikan dari VIVAnews