Saturday, January 22, 2011

Kisah Heroik Ala Angkatan Laut Malaysia - Penyelamatan MT Bunga


VIVAnews -- Aparat Malaysia menangkap tujuh bajak laut Somalia, setelah menggagalkan upaya pembajakan tanker berisi bahan kimia di Teluk Aden.

Angkatan Laut Kerajaan Malaysia mengatakan, pasukan komandonya melukai tiga bajak laut dalam baku tembak dan berhasil menyelamatkan 23 kru kapal berbendera Malaysia, MT Bunga dari bajak laut yang menyerbu kapal dengan senjata pistol dan senapan.

Drama penyelamatan tersebut melibatkan kapal dan helikopter angkatan laut yang bersiaga 22 kilometer dari Kapal MT Bunga. Penyerbuan dilakukan setelah para kru mengunci diri di sebuah ruangan dan mengaktifkan panggilan darurat.

Kisah heroik itu sudah didengar Perdana Menteri Malaysia, Najib Razak. Kata dia, Pihak berwenang sedang mempertimbangkan apakah mereka akan dibawa ke Malaysia untuk diproses secara hukum.

"Saya sangat bangga dengan angkatan laut yang bertindak penuh efisiensi dan mendemonstrasikan tindakan berani," kata Najib, seperti dilansir kantor berita AP, Sabtu 22 Januari 2011.

Keberadaan Angkatan Laut Malaysia di Teluk Aden berfungsi untuk mengawal kapal yang berkaitan dengan kepentingan negeri jiran.

Serangan itu terjadi hanya dua jam setelah angkatan laut meninggalkan MT  Bunga usai mengawal kapal itu ke wilayah yang dianggap relatif aman di perairan Teluk Aden, sekitar 500 kilometer di lepas pantai timur Oman.

Angkatan laut tidak memberikan rincian kebangsaan para awak kapal. Perwakilan dari Malaysia International Shipping Corporation, yang mengoperasikan MT Bunga, belum dimintai konfirmasi.

Cara seperti yang ditempuh Malaysia menyelamatkan kapalnya bukan hal baru. Sejumlah pasukan khusus negara lain juga melakukan penyelamatan dengan prosedur sama: memastikan kru terkunci di ruang aman atau 'benteng', dan balik menyerbu kapal untuk menyelamatkan para kru.

Salah satu usaha penyelamatan yang berhasil namun berisiko tinggi dilakukan Angkatan Laut Korea Selatan, yang berhasil membebaskan kapal pengangkut barang yang disandera di Laut Arab yang telah dibajak seminggu sebelumnya.

Delapan bajak laut Somalia tewas, sementara 21 kru kapal termasuk dua Warga Negara Indonesia (WNI) berhasil selamat. (AP)

Wednesday, November 24, 2010

Insiden Yeonpyeong Titik Nyala Perang Korea?

Dua Korea kembali bergejolak, ditandai dengan serangan artileri Korea Utara (Korut) ke Pulau Yeonpyeong di Korea Selatan (Korsel), Selasa 23 November 2010. Korsel pun membalas dengan tembakan artileri dan serangan udara.Kantor berita Associated Press mencatat, hingga Selasa malam, dua tentara Korsel tewas dan 16 lainnya terluka akibat baku tembak itu. Belum ada keterangan apakah ada korban jatuh dari pihak Korut.Kedua Korea saling tuduh mengenai siapa penyulut gejolak kali ini. Korsel, seperti dikutip kantor berita Yonhap, menuding Korut sebagai pihak pertama pemantik konflik. Sebaliknya, kantor berita Korut KCNA, menyebutkan Korsel pertama kali melontarkan tembakan. Tampaknya tuduhan itu merujuk kepada latihan militer yang dilakukan Korsel di perairan dekat Yeonpyeong.

Bermula dari latihan militer






















Ketegangan itu dimulai saat Korut memberi peringatan kepada Korsel agar tidak menggelar latihan militer di perairan dekat Pulau Yeonpyeong. Wilayah di Laut Kuning itu masih dalam sengketa antar kedua negara.Sejak akhir Perang Korea 1950-1953, Korut tak mengakui batas maritim wilayah Barat, yang dianggap ditetapkan sepihak oleh Perserikatan Bangsa-bangsa, saat mengatur gencatan senjata kedua negara.
Peringatan Korut itu tak digubris oleh Korsel, yang merasa berhak menggunakan perairan itu untuk latihan perang. Maka, tak lama setelah latihan militer Korsel dimulai, terdengar gemuruh tembakan artileri dari Korut. Masalahnya, tembakan itu tak mengarah ke lokasi latihan militer, tapi ke Pulau Yeonpyeong, yang dihuni warga sipil dan militer.“Kami sedang melakukan latihan angkatan laut, darat dan udara di wilayah ini. Mereka sepertinya keberatan,” ujar seorang tentara kepada stasiun berita YTN seperti dilansir dari laman Telegraph.Serangan artileri Korut ke sasaran sipil Korsel, Selasa 23 November 2010, itu dinilai sebagai terparah dalam 20 tahun terakhir. Harian The Telegraph mengingatkan serangan Korut sebelumnya adalah pengeboman pesawat Korean Air pada 1987. Itu adalah serangan Korut pertama atas Korsel sejak akhir Perang Korea 1950-1953. Sekitar 104 penumpang, dan 11 awak pesawat itu tewas dalam aksi yang dilakukan agen intelijen Korut.

Suksesi di Korut?


Menurut kalangan pengamat, serangan di Yeonpyeong itu diduga sebagai upaya Korut mencari perhatian dunia atas rencana suksesi dari kepemimpinan Kim Jong-il kepada putranya, Kim Jong-un. Jong-un telah diperkenalkan kepada publik Korut dalam suatu parade militer Oktober lalu.Kalangan pengamat menilai suksesi kepemimpinan akan ditandai oleh serangkaian upaya provokatif untuk menunjukkan kekuatan militer Korut. Selain itu, pada pekan ini juga, Korut mengungkapkan pengayaan uraniumnya yang ditakutkan akan digunakan untuk membuat senjata nuklir.Profesor Chu Shulong, pengamat dari Universitas Tsinghua di Beijing, China, menilai Korut dari dulu selalu membuat gara-gara untuk mencari perhatian internasional. "Setelah mendapat perhatian, mereka akan memulai putaran perundingan dan mendapat bantuan dari negara-negara lain. Itulah yang mereka lakukan dalam 20 tahun terakhir," kata Chu seperti dikutip harian The Guardian. Mantan menteri luar negeri Korsel, Han Seung-joo, menilai aksi Korut itu tampaknya cenderung sebagai pesan kepada publik domestik ketimbang pihak luar. Ini untuk menggalang solidaritas di dalam negeri, bahwa mereka masih bisa unjuk kekuatan kepada musuh-musuh kapitalis, yang diwakili oleh Korsel dan sekutunya, Amerika Serikat.

Siaga perang sejak 1953


Pada tahun ini, tercatat telah dua kali militer dua Korea terlibat kontak fisik dengan korban jiwa. Pada Maret lalu, satu kapal patroli Korsel ditorpedo oleh kapal selam Korut. Sekitar 46 pelaut Korsel tewas. Korsel sudah memperlihatkan bukti, namun Korut membantah penyerangan itu.Kini muncul serangan artileri dari Korut ke Yeonpyeong, pulau milik Korsel yang letaknya sekitar 120 km dari sebelah barat Ibukota Seoul. Yeonpyeong hanya berjarak sekitar 80 km dari Kota Incheon, yang menjadi lokasi bandar udara internasional terbesar Korsel.Serangan artileri ini, bila tetap terjadi, diperkirakan mengancam keselamatan penerbangan komersil. Bandara Incheon adalah salah satu pusat layanan penerbangan internasional di Asia. Serangan itu juga berpengaruh pada turunnya harga-harga saham di Korsel.  Kedua Korea sebenarnya masih dalam keadaan siaga perang karena Perang 1950-1953 hanya diakhiri oleh gencatan senjata dan bukan oleh perjanjian damai. Itulah sebabnya kedua negara itu terus bersengketa secara fisik walau beberapa kali muncul upaya rekonsiliasi dalam kurun lebih dari 50 tahun terakhir.

Zona panas Yeonpyeong

Klaim batas maritim di bagian barat Semenanjung Korea adalah salah satu biang konflik Kedua Korea. Kebetulan, Pulau Yeonpyeong berada di tengah zona panas itu.Berpenduduk sekitar 1.600 jiwa, Yeonpyong pada 1970an juga pernah diklaim Korut sebagai wilayahnya. Sebagian besar warga sipil di pulau itu adalah nelayan. Di Yeonpyeong juga didirikan markas militer, dan ditempati 1.000 tentara Korsel.
Penduduk di pulau ini sudah terbiasa dengan agresi militer. Pada Juni lalu, Korut menembakkan 130 peluru artileri ke arah pulau Yeonpyeong sebagai bentuk protes atas latihan gabungan Korsel dan AS di Laut Kuning. Beruntung, hanya sekitar 10 peluru yang melewati perbatasan dan kesemuanya jatuh di laut.
Delapan tahun lalu, 13 tentara angkatan laut Korut dan empat angkatan laut Korsel terbunuh saat kedua tentara kedua pihak berbalas tembak di perbatasan Korut. Itu sebabnya, warga pulau itu selalu bersiap untuk keadaan perang.Di Yeonpyeong, misalnya, terdapat 19 tempat penyimpanan bom. Setiap bulan penduduk setempat melakukan latihan antisipasi serangan udara dari Korut. Untuk persiapan, penduduk juga selalu menyimpan topeng gas di rumah.
•leonard-seven. Disarikan dari VIVAnews

Tuesday, November 9, 2010

First Greek Type 214 Submarine Finally Enters Service

HS Papanikolis was belatedly commissioned into the Hellenic Navy on 2 November in Kiel, six and a half years after the boat was launched. (Michael Nitz)
HS Papanikolis was belatedly commissioned into the Hellenic Navy on 2 November in Kiel, six and a half years after the boat was launched. (Michael Nitz)
Article Tools
Subscribe Now
The Hellenic Navy commissioned its first Type 214 submarine in a ceremony at shipbuilder Howaldtswerke-Deutsche Werft's (HDW's) yard in Kiel, Germany, on 2 November.
HS Papanikolis, which is expected to arrive in Greece in December, was at the centre of a long-running contractual dispute between HDW parent company ThyssenKrupp Marine Systems (TKMS) and the Greek government.
Athens claimed initially that the submarine, which was launched by HDW in April 2004, was not completely seaworthy and refused to accept the boat. Germany's Federal Office of Defence Technology and Procurement subsequently demonstrated that the vessel not only complied with stability requirements but significantly exceeded other performance parameters, whereupon Greece said that it would take the boat and sell it on to a third party.
However, as Jane's reported in late October, it has now been decided that the Hellenic Navy will operate Papanikolis as the lead vessel in a class that will eventually number six Type 214 hulls.

157 of 253 words
Copyright © IHS (Global) Limited, 2010

Friday, October 29, 2010

Sang Perestroika: Nato Pasti Keok

MIKHAIL GORBACHEV
NATO Sudah Pasti Keok
Rabu, 27 Oktober 2010 | 16:31 WIB
KOMPAS.com — Para petinggi NATO hendaknya makin sering mendengar petuah Mikhail Gorbachev. Mantan orang nomor satu di Uni Soviet itu sudah mewanti-wanti kalau pasukan militer di bawah NATO bakal keok alias kalah total dalam peperangan di Afganistan.
Sudah barang tentu, omongan Gorbachev yang sohor dengan perestroika dan glasnost itu bukan pepesan kosong. Soalnya, Uni Soviet pun pernah jeblok di Afganistan hingga akhirnya memilih hengkang dari Negeri Mullah.
"Hal yang bisa dilakukan kini adalah membantu Afganistan pulih dari kondisi pascaperang," katanya sebagaimana warta media AP dan AFP pada Rabu (27/10/2010).
Gorbachev memuji keputusan Presiden Amerika Serikat Barack Obama yang mulai menarik mundur pasukan AS pada musim panas tahun depan. Namun, selain memuji, Gorbachev melontarkan kritik terhadap keterlibatan Amerika di Afganistan pada dua dekade lalu.
"Dengan bantuan keuangan dari Arab Saudi, Amerika melatih kelompok-kelompok militan yang kini meneror Afganistan dan terlebih lagi Pakistan," kata Gorbachev.
"Dengan kondisi itu, Amerika akan lebih sulit keluar dari masalah ini. Tapi adakah alternatif lain? Vietnam yang lain? Mengirim setengah juta pasukan? Itu tidak akan menyelesaikan masalah," tambah Gorbachev.
Sejauh ini, jumlah pasukan NATO di Afganistan mencapai 150.000 personel. Dari jumlah itu, 90.000 personel adalah pasukan asal Amerika Serikat.
Sejak invasi ke Afganistan pada 2001, lebih dari 2.000 prajurit NATO tewas. Dari jumlah itu, 1.350 orang adalah pasukan Amerika Serikat.

Friday, October 22, 2010

Peluru Tajam Dan Prosedur Tetap

Jum'at, 22 Oktober 2010 | 00:38 WIB
Kepolisian Republik Indonesia mulai berlebihan dalam menghadapi demonstrasi. Tak cukup dengan pentungan dan gas air mata, kini mereka menggunakan senjata api. Langkah gegabah yang bersembunyi di balik prosedur tetap kepolisian yang baru ini membahayakan demokrasi.

Tindakan yang berpotensi melanggar hak asasi manusia itu diperlihatkan dalam menghalau demonstrasi di Ibu Kota belum lama ini. Ratusan mahasiswa yang beraksi di Jalan Diponegoro disambut dengan tembakan oleh polisi. Akibatnya, seorang mahasiswa Universitas Bung Karno tertembak kakinya dan harus dioperasi. Hasil visum Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo menyebutkan, pelor yang mengenai korban adalah peluru tajam.

Harus diakui, ulah demonstran yang mengecam kinerja setahun pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono itu agak keterlaluan. Mereka menutup jalan protokol secara sepihak. Sangat disayangkan pula, beberapa demonstran melempar batu ke arah aparat yang berusaha membuka ruas jalan tersebut. Tapi kericuhan ini tetap saja tidak bisa dijadikan alasan bagi polisi untuk menembakkan senjata api.

Dari tayangan televisi terlihat bahwa tak ada situasi yang benar-benar membahayakan polisi. Tak ada petugas yang terancam jiwanya oleh kenekatan mahasiswa. Lalu kenapa polisi tak meredam kemarahan massa dengan cara yang lebih manusiawi? Meredakan amarah demonstran menggunakan pentungan atau gas air mata jelas lebih aman. Dalam keadaan amat terpaksa, polisi bisa pula melepaskan tembakan dengan peluru karet, dan bukan peluru tajam.

Sejumlah polisi memang kini tengah diperiksa Divisi Profesi dan Pengamanan Polda Metro Jaya. Tapi mestinya kasus penembakan ini bukan hanya menjadi tanggung jawab pelaku di lapangan, tapi juga petinggi kepolisian.

Kasus ini juga semakin jelas membuktikan bahwa prosedur baru dalam menghadapi aksi anarkistis perlu segera dievaluasi. Prosedur tetap yang dikeluarkan Kepala Polri Jenderal Bambang Hendarso Danuri ini bertujuan agar aparat lebih sigap mencegah dan mengatasi kerusuhan. Di situ disebutkan bahwa pada situasi yang mendesak, polisi dibolehkan menggunakan senjata api. Masalahnya, polisi bisa salah menafsirkan situasi darurat yang memungkinkan ia mengeluarkan tembakan.

Kesalahan seperti itulah yang terjadi di Jalan Diponegoro. Sericuh-ricuhnya demonstrasi mahasiswa tentu berbeda dengan aksi anarkistis orang-orang yang bersenjata tajam dan pistol seperti yang terjadi di Jalan Ampera, Jakarta Selatan, beberapa waktu lalu. Situasi dalam unjuk rasa mahasiswa itu tidaklah darurat. Mahasiswa hanya melempar batu, tapi kenapa harus ditembaki dengan peluru tajam?

Insiden yang melukai mahasiswa itu jelas harus diusut tuntas. Tapi lebih dari itu, prosedur tetap yang telanjur ditandatangani itu mesti dicabut, atau setidaknya direvisi. Prosedur ini mendorong polisi bertindak represif sekaligus menebar teror bagi warga negara yang menyampaikan aspirasi lewat demonstrasi.

Saturday, October 9, 2010

Jakarta Menagih Janji

Jum'at, 08 Oktober 2010 | 01:14 WIB
Ini kisah tentang harapan yang pupus. Tiga tahun lalu, Fauzi Bowo maju dalam pemilihan Gubernur DKI Jakarta dengan slogan "Serahkan pada ahlinya". Saat itu banyak orang percaya bahwa ia mampu membereskan segala centang-perenang Ibu Kota. Alasannya masuk akal: Fauzi adalah seorang ahli tata kota lulusan Jerman dan sudah 30 tahun bergelut dengan sejuta problem Jakarta. Ia jauh di atas lawannya, Adang Daradjatun, seorang jenderal polisi. Dan dengan dukungan partai-partai besar, jadilah Fauzi Bowo memimpin Jakarta.
Kenyataannya kini sungguh berbeda. Masyarakat justru merasakan banjir kian merata di Jakarta, kemacetan makin menjadi-jadi, infrastruktur transportasi nyaris tak bertambah, dan lahan terbuka hijau kian sempit. Deretan masalah ini hanya sebagian dari banyak problem yang dihadapi Jakarta. Selama tiga tahun pemerintahan Fauzi Bowo, berbagai persoalan ini bukannya terselesaikan, tapi malah makin ruwet. Kami kecewa karena Fauzi bukanlah orang baru. Ia pasti sudah mengenal Jakarta dengan baik, termasuk semua masalahnya.
Sehari-hari warga Jakarta mengalami siksaan yang semakin lama di jalan karena kemacetan yang makin parah. Berbagai upaya pembatasan kendaraan belum juga dijalankan. Rencana menjadikan Sudirman-Thamrin sebagai jalan berbayar, penerapan sistem pelat nomor ganjil-genap, pelarangan sepeda motor masuk jalan protokol, atau perluasan kawasan three-in-one barulah dalam tahap pembicaraan.
Tak ada gebrakan yang berarti pula dalam pembangunan angkutan massal. Orang tidak mendengar lagi perkembangan rencana proyek kereta bawah tanah. Proyek monorel pun mandek. Fauzi juga menyia-nyiakan dua koridor busway yang sudah dibangun dengan biaya ratusan miliar rupiah. Sebagian jalan dan infrastrukturnya kini malah sudah rusak.
Upaya mengatasi banjir juga kurang berhasil. Proyek Kanal Banjir Timur memang sudah selesai akhir tahun lalu, sehingga banjir di Jakarta Utara dan Jakarta Timur berkurang. Namun masalah banjir tidak hilang dari Ibu Kota, melainkan cuma bergeser. Jakarta Selatan kini seperti hendak tenggelam. Daerah-daerah banjir mulai meluas. Gandaria, misalnya, selama ini jarang dilanda banjir, tapi kini selalu terendam bila hujan. Bahkan air hujan juga sering menggenangi jalan-jalan protokol, seperti Thamrin dan Sudirman.
Kini semakin disadari, Jakarta membutuhkan pemimpin yang bukan sekadar ahli, tapi juga pemberani. Ia harus berani bertindak tegas agar perencanaan bisa berjalan dan penyimpangan tidak terjadi. Publik jelas bertanya, kenapa Ibu Kota semakin semrawut. Mal-mal, misalnya, tumbuh bak cendawan di musim hujan. Sebaliknya, lahan terbuka hijau terus berkurang. Perubahan rencana umum tata ruang dengan jelas menunjukkan betapa Jakarta makin mengabaikan lingkungan hidup.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono belakangan ini bahkan menggulirkan wacana pemindahan Ibu Kota ke Kalimantan Tengah karena Jakarta sudah tidak layak lagi. Pemikiran ini seharusnya membuat Fauzi Bowo malu. Apalagi persoalan transportasi kini diambil alih Kantor Wakil Presiden.
Hanya tersisa sedikit waktu bagi Fauzi Bowo untuk membuktikan bahwa ia seorang pemimpin yang tak sekadar mengetahui problem yang melilit Jakarta, tapi juga mampu mengatasinya.

Mengusik KPK Secara Asimetris

Sabtu, 09 Oktober 2010 | 00:33 WIB
Ditolaknya peninjauan kembali kasus Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah adalah kabar buruk bagi Komisi Pemberantasan Korupsi. Nasib dua anggota pimpinan Komisi yang berstatus sebagai tersangka ini tetap terombang-ambing. Inilah kemenangan bagi kalangan yang selama ini berupaya mengerdilkan Komisi.
Mahkamah Agung tentu memiliki alasan yuridis untuk menampik upaya hukum yang diajukan kejaksaan itu. Sesuai dengan undang-undang, perkara praperadilan sudah memiliki kekuatan hukum tetap jika telah diputuskan oleh pengadilan banding. Alasan ini pula yang digunakan oleh Mahkamah untuk menolak peninjauan kembali kasus Bibit-Chandra. Menurut MA, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004, pengadilan tertinggi ini tidak bisa menangani perkara praperadilan.
Konsekuensi penolakan adalah Bibit-Chandra terancam diseret ke pengadilan dengan tuduhan menyalahgunakan wewenang, bahkan menerima suap. Kendati tuduhan ini penuh rekayasa, tahun lalu polisi melimpahkan kasus ini ke kejaksaan. Setelah diprotes publik, Kejaksaan Agung menyetop kasus ini dengan surat ketetapan penghentian penuntutan (SKPP). Surat inilah yang digugat lewat praperadilan oleh Anggodo Widjojo, pihak yang mengaku telah berusaha menyuap dua petinggi KPK itu.
Harus diakui, SKPP itu penuh kelemahan. Kejaksaan terkesan setengah hati menyetop kasus ini. Pertimbangan Bibit-Chandra tidak dibawa ke pengadilan bukan karena tidak lengkapnya bukti, melainkan lebih karena alasan sosiologis. Inilah yang membuat pengadilan negeri maupun banding membatalkan SKPP, putusan yang kemudian diperkarakan oleh kejaksaan lewat peninjauan kembali..Bagaimana mungkin seorang Anggodo dibantu para lawyers penganut fanatik process of law mengusik KPK  lewat segala cara asimetris. 

Banyak pihak seolah berperan untuk menyudutkan dua petinggi KPK itu. Polisi nekat menetapkan mereka sebagai tersangka kendati buktinya lemah. Kejaksaan pun tidak secara tegas mengoreksi kesalahan ini. Adapun kalangan yudikatif, dari hakim pengadilan negeri hingga hakim agung, hanya melihat kasus ini dari sisi teknis yuridis sekaligus mengabaikan rasa keadilan.
Walau SKPP itu mengandung kelemahan, sebenarnya kejaksaan telah berusaha mengoreksinya. Dalam pengajuan banding dan peninjauan kembali, alasan bahwa kasus ini tidak memiliki bukti yang kuat juga disampaikan. Tapi tetap saja para hakim lebih melihat alasan yang tertulis dalam SKPP. Hakim agung pun hanya memandang kasus ini dari segi prosedur hukum, yang di sisi lain justru menunjukkan tidak konsistennya MA. Sebab, sebelumnya lembaga ini pernah mengabulkan permohonan peninjauan kembali untuk putusan praperadilan.
Mestinya kejaksaan bertanggung jawab atas amburadulnya penanganan kasus ini. SKPP baru dengan alasan yang lebih kuat bisa diterbitkan sehingga Bibit-Chandra tidak perlu dibawa ke pengadilan. Pilihan lain, mengesampingkan perkara ini lewat deponering, kendati tidak mudah karena harus dengan pertimbangan lembaga lain, seperti parlemen
.
Kalaupun kemungkinan terburuk yang terjadi, Bibit-Chandra pun tak perlu takut. Menghadapi pengadilan memang membuat mereka harus nonaktif dari KPK. Tapi, dengan cara ini, keduanya bisa membuktikan diri tidak bersalah dan mendapatkan putusan hukum yang final. Kemungkinan ini jauh lebih baik dibanding menjadi bulan-bulanan pihak yang selama ini berusaha mengusik KPK lewat kasus ini.