Sabtu, 09 Oktober 2010 | 00:33 WIB
Ditolaknya peninjauan kembali kasus  Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah adalah kabar buruk bagi Komisi  Pemberantasan Korupsi. Nasib dua anggota pimpinan Komisi yang berstatus  sebagai tersangka ini tetap terombang-ambing. Inilah kemenangan bagi  kalangan yang selama ini berupaya mengerdilkan Komisi.
Mahkamah Agung tentu memiliki alasan yuridis untuk menampik upaya  hukum yang diajukan kejaksaan itu. Sesuai dengan undang-undang, perkara  praperadilan sudah memiliki kekuatan hukum tetap jika telah diputuskan  oleh pengadilan banding. Alasan ini pula yang digunakan oleh Mahkamah  untuk menolak peninjauan kembali kasus Bibit-Chandra. Menurut MA, sesuai  dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004, pengadilan tertinggi ini tidak  bisa menangani perkara praperadilan.
Konsekuensi penolakan adalah Bibit-Chandra terancam diseret ke  pengadilan dengan tuduhan menyalahgunakan wewenang, bahkan menerima  suap. Kendati tuduhan ini penuh rekayasa, tahun lalu polisi melimpahkan  kasus ini ke kejaksaan. Setelah diprotes publik, Kejaksaan Agung  menyetop kasus ini dengan surat ketetapan penghentian penuntutan (SKPP).  Surat inilah yang digugat lewat praperadilan oleh Anggodo Widjojo,  pihak yang mengaku telah berusaha menyuap dua petinggi KPK itu.
Harus diakui, SKPP itu penuh kelemahan. Kejaksaan terkesan  setengah hati menyetop kasus ini. Pertimbangan Bibit-Chandra tidak  dibawa ke pengadilan bukan karena tidak lengkapnya bukti, melainkan  lebih karena alasan sosiologis. Inilah yang membuat pengadilan negeri  maupun banding membatalkan SKPP, putusan yang kemudian diperkarakan oleh  kejaksaan lewat peninjauan kembali..Bagaimana mungkin seorang Anggodo dibantu para lawyers penganut fanatik process of law mengusik KPK  lewat segala cara asimetris. Banyak pihak seolah berperan untuk menyudutkan dua petinggi KPK  itu. Polisi nekat menetapkan mereka sebagai tersangka kendati buktinya  lemah. Kejaksaan pun tidak secara tegas mengoreksi kesalahan ini. Adapun  kalangan yudikatif, dari hakim pengadilan negeri hingga hakim agung,  hanya melihat kasus ini dari sisi teknis yuridis sekaligus mengabaikan  rasa keadilan.
Walau SKPP itu mengandung kelemahan, sebenarnya kejaksaan telah  berusaha mengoreksinya. Dalam pengajuan banding dan peninjauan kembali,  alasan bahwa kasus ini tidak memiliki bukti yang kuat juga disampaikan.  Tapi tetap saja para hakim lebih melihat alasan yang tertulis dalam  SKPP. Hakim agung pun hanya memandang kasus ini dari segi prosedur  hukum, yang di sisi lain justru menunjukkan tidak konsistennya MA.  Sebab, sebelumnya lembaga ini pernah mengabulkan permohonan peninjauan  kembali untuk putusan praperadilan.
Mestinya kejaksaan bertanggung jawab atas amburadulnya penanganan  kasus ini. SKPP baru dengan alasan yang lebih kuat bisa diterbitkan  sehingga Bibit-Chandra tidak perlu dibawa ke pengadilan. Pilihan lain,  mengesampingkan perkara ini lewat deponering, kendati tidak mudah karena  harus dengan pertimbangan lembaga lain, seperti parlemen
.
.
Kalaupun kemungkinan terburuk yang terjadi, Bibit-Chandra pun tak  perlu takut. Menghadapi pengadilan memang membuat mereka harus nonaktif  dari KPK. Tapi, dengan cara ini, keduanya bisa membuktikan diri tidak  bersalah dan mendapatkan putusan hukum yang final. Kemungkinan ini jauh  lebih baik dibanding menjadi bulan-bulanan pihak yang selama ini  berusaha mengusik KPK lewat kasus ini.
No comments:
Post a Comment