Friday, October 29, 2010

Sang Perestroika: Nato Pasti Keok

MIKHAIL GORBACHEV
NATO Sudah Pasti Keok
Rabu, 27 Oktober 2010 | 16:31 WIB
KOMPAS.com — Para petinggi NATO hendaknya makin sering mendengar petuah Mikhail Gorbachev. Mantan orang nomor satu di Uni Soviet itu sudah mewanti-wanti kalau pasukan militer di bawah NATO bakal keok alias kalah total dalam peperangan di Afganistan.
Sudah barang tentu, omongan Gorbachev yang sohor dengan perestroika dan glasnost itu bukan pepesan kosong. Soalnya, Uni Soviet pun pernah jeblok di Afganistan hingga akhirnya memilih hengkang dari Negeri Mullah.
"Hal yang bisa dilakukan kini adalah membantu Afganistan pulih dari kondisi pascaperang," katanya sebagaimana warta media AP dan AFP pada Rabu (27/10/2010).
Gorbachev memuji keputusan Presiden Amerika Serikat Barack Obama yang mulai menarik mundur pasukan AS pada musim panas tahun depan. Namun, selain memuji, Gorbachev melontarkan kritik terhadap keterlibatan Amerika di Afganistan pada dua dekade lalu.
"Dengan bantuan keuangan dari Arab Saudi, Amerika melatih kelompok-kelompok militan yang kini meneror Afganistan dan terlebih lagi Pakistan," kata Gorbachev.
"Dengan kondisi itu, Amerika akan lebih sulit keluar dari masalah ini. Tapi adakah alternatif lain? Vietnam yang lain? Mengirim setengah juta pasukan? Itu tidak akan menyelesaikan masalah," tambah Gorbachev.
Sejauh ini, jumlah pasukan NATO di Afganistan mencapai 150.000 personel. Dari jumlah itu, 90.000 personel adalah pasukan asal Amerika Serikat.
Sejak invasi ke Afganistan pada 2001, lebih dari 2.000 prajurit NATO tewas. Dari jumlah itu, 1.350 orang adalah pasukan Amerika Serikat.

Friday, October 22, 2010

Peluru Tajam Dan Prosedur Tetap

Jum'at, 22 Oktober 2010 | 00:38 WIB
Kepolisian Republik Indonesia mulai berlebihan dalam menghadapi demonstrasi. Tak cukup dengan pentungan dan gas air mata, kini mereka menggunakan senjata api. Langkah gegabah yang bersembunyi di balik prosedur tetap kepolisian yang baru ini membahayakan demokrasi.

Tindakan yang berpotensi melanggar hak asasi manusia itu diperlihatkan dalam menghalau demonstrasi di Ibu Kota belum lama ini. Ratusan mahasiswa yang beraksi di Jalan Diponegoro disambut dengan tembakan oleh polisi. Akibatnya, seorang mahasiswa Universitas Bung Karno tertembak kakinya dan harus dioperasi. Hasil visum Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo menyebutkan, pelor yang mengenai korban adalah peluru tajam.

Harus diakui, ulah demonstran yang mengecam kinerja setahun pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono itu agak keterlaluan. Mereka menutup jalan protokol secara sepihak. Sangat disayangkan pula, beberapa demonstran melempar batu ke arah aparat yang berusaha membuka ruas jalan tersebut. Tapi kericuhan ini tetap saja tidak bisa dijadikan alasan bagi polisi untuk menembakkan senjata api.

Dari tayangan televisi terlihat bahwa tak ada situasi yang benar-benar membahayakan polisi. Tak ada petugas yang terancam jiwanya oleh kenekatan mahasiswa. Lalu kenapa polisi tak meredam kemarahan massa dengan cara yang lebih manusiawi? Meredakan amarah demonstran menggunakan pentungan atau gas air mata jelas lebih aman. Dalam keadaan amat terpaksa, polisi bisa pula melepaskan tembakan dengan peluru karet, dan bukan peluru tajam.

Sejumlah polisi memang kini tengah diperiksa Divisi Profesi dan Pengamanan Polda Metro Jaya. Tapi mestinya kasus penembakan ini bukan hanya menjadi tanggung jawab pelaku di lapangan, tapi juga petinggi kepolisian.

Kasus ini juga semakin jelas membuktikan bahwa prosedur baru dalam menghadapi aksi anarkistis perlu segera dievaluasi. Prosedur tetap yang dikeluarkan Kepala Polri Jenderal Bambang Hendarso Danuri ini bertujuan agar aparat lebih sigap mencegah dan mengatasi kerusuhan. Di situ disebutkan bahwa pada situasi yang mendesak, polisi dibolehkan menggunakan senjata api. Masalahnya, polisi bisa salah menafsirkan situasi darurat yang memungkinkan ia mengeluarkan tembakan.

Kesalahan seperti itulah yang terjadi di Jalan Diponegoro. Sericuh-ricuhnya demonstrasi mahasiswa tentu berbeda dengan aksi anarkistis orang-orang yang bersenjata tajam dan pistol seperti yang terjadi di Jalan Ampera, Jakarta Selatan, beberapa waktu lalu. Situasi dalam unjuk rasa mahasiswa itu tidaklah darurat. Mahasiswa hanya melempar batu, tapi kenapa harus ditembaki dengan peluru tajam?

Insiden yang melukai mahasiswa itu jelas harus diusut tuntas. Tapi lebih dari itu, prosedur tetap yang telanjur ditandatangani itu mesti dicabut, atau setidaknya direvisi. Prosedur ini mendorong polisi bertindak represif sekaligus menebar teror bagi warga negara yang menyampaikan aspirasi lewat demonstrasi.

Saturday, October 9, 2010

Jakarta Menagih Janji

Jum'at, 08 Oktober 2010 | 01:14 WIB
Ini kisah tentang harapan yang pupus. Tiga tahun lalu, Fauzi Bowo maju dalam pemilihan Gubernur DKI Jakarta dengan slogan "Serahkan pada ahlinya". Saat itu banyak orang percaya bahwa ia mampu membereskan segala centang-perenang Ibu Kota. Alasannya masuk akal: Fauzi adalah seorang ahli tata kota lulusan Jerman dan sudah 30 tahun bergelut dengan sejuta problem Jakarta. Ia jauh di atas lawannya, Adang Daradjatun, seorang jenderal polisi. Dan dengan dukungan partai-partai besar, jadilah Fauzi Bowo memimpin Jakarta.
Kenyataannya kini sungguh berbeda. Masyarakat justru merasakan banjir kian merata di Jakarta, kemacetan makin menjadi-jadi, infrastruktur transportasi nyaris tak bertambah, dan lahan terbuka hijau kian sempit. Deretan masalah ini hanya sebagian dari banyak problem yang dihadapi Jakarta. Selama tiga tahun pemerintahan Fauzi Bowo, berbagai persoalan ini bukannya terselesaikan, tapi malah makin ruwet. Kami kecewa karena Fauzi bukanlah orang baru. Ia pasti sudah mengenal Jakarta dengan baik, termasuk semua masalahnya.
Sehari-hari warga Jakarta mengalami siksaan yang semakin lama di jalan karena kemacetan yang makin parah. Berbagai upaya pembatasan kendaraan belum juga dijalankan. Rencana menjadikan Sudirman-Thamrin sebagai jalan berbayar, penerapan sistem pelat nomor ganjil-genap, pelarangan sepeda motor masuk jalan protokol, atau perluasan kawasan three-in-one barulah dalam tahap pembicaraan.
Tak ada gebrakan yang berarti pula dalam pembangunan angkutan massal. Orang tidak mendengar lagi perkembangan rencana proyek kereta bawah tanah. Proyek monorel pun mandek. Fauzi juga menyia-nyiakan dua koridor busway yang sudah dibangun dengan biaya ratusan miliar rupiah. Sebagian jalan dan infrastrukturnya kini malah sudah rusak.
Upaya mengatasi banjir juga kurang berhasil. Proyek Kanal Banjir Timur memang sudah selesai akhir tahun lalu, sehingga banjir di Jakarta Utara dan Jakarta Timur berkurang. Namun masalah banjir tidak hilang dari Ibu Kota, melainkan cuma bergeser. Jakarta Selatan kini seperti hendak tenggelam. Daerah-daerah banjir mulai meluas. Gandaria, misalnya, selama ini jarang dilanda banjir, tapi kini selalu terendam bila hujan. Bahkan air hujan juga sering menggenangi jalan-jalan protokol, seperti Thamrin dan Sudirman.
Kini semakin disadari, Jakarta membutuhkan pemimpin yang bukan sekadar ahli, tapi juga pemberani. Ia harus berani bertindak tegas agar perencanaan bisa berjalan dan penyimpangan tidak terjadi. Publik jelas bertanya, kenapa Ibu Kota semakin semrawut. Mal-mal, misalnya, tumbuh bak cendawan di musim hujan. Sebaliknya, lahan terbuka hijau terus berkurang. Perubahan rencana umum tata ruang dengan jelas menunjukkan betapa Jakarta makin mengabaikan lingkungan hidup.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono belakangan ini bahkan menggulirkan wacana pemindahan Ibu Kota ke Kalimantan Tengah karena Jakarta sudah tidak layak lagi. Pemikiran ini seharusnya membuat Fauzi Bowo malu. Apalagi persoalan transportasi kini diambil alih Kantor Wakil Presiden.
Hanya tersisa sedikit waktu bagi Fauzi Bowo untuk membuktikan bahwa ia seorang pemimpin yang tak sekadar mengetahui problem yang melilit Jakarta, tapi juga mampu mengatasinya.

Mengusik KPK Secara Asimetris

Sabtu, 09 Oktober 2010 | 00:33 WIB
Ditolaknya peninjauan kembali kasus Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah adalah kabar buruk bagi Komisi Pemberantasan Korupsi. Nasib dua anggota pimpinan Komisi yang berstatus sebagai tersangka ini tetap terombang-ambing. Inilah kemenangan bagi kalangan yang selama ini berupaya mengerdilkan Komisi.
Mahkamah Agung tentu memiliki alasan yuridis untuk menampik upaya hukum yang diajukan kejaksaan itu. Sesuai dengan undang-undang, perkara praperadilan sudah memiliki kekuatan hukum tetap jika telah diputuskan oleh pengadilan banding. Alasan ini pula yang digunakan oleh Mahkamah untuk menolak peninjauan kembali kasus Bibit-Chandra. Menurut MA, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004, pengadilan tertinggi ini tidak bisa menangani perkara praperadilan.
Konsekuensi penolakan adalah Bibit-Chandra terancam diseret ke pengadilan dengan tuduhan menyalahgunakan wewenang, bahkan menerima suap. Kendati tuduhan ini penuh rekayasa, tahun lalu polisi melimpahkan kasus ini ke kejaksaan. Setelah diprotes publik, Kejaksaan Agung menyetop kasus ini dengan surat ketetapan penghentian penuntutan (SKPP). Surat inilah yang digugat lewat praperadilan oleh Anggodo Widjojo, pihak yang mengaku telah berusaha menyuap dua petinggi KPK itu.
Harus diakui, SKPP itu penuh kelemahan. Kejaksaan terkesan setengah hati menyetop kasus ini. Pertimbangan Bibit-Chandra tidak dibawa ke pengadilan bukan karena tidak lengkapnya bukti, melainkan lebih karena alasan sosiologis. Inilah yang membuat pengadilan negeri maupun banding membatalkan SKPP, putusan yang kemudian diperkarakan oleh kejaksaan lewat peninjauan kembali..Bagaimana mungkin seorang Anggodo dibantu para lawyers penganut fanatik process of law mengusik KPK  lewat segala cara asimetris. 

Banyak pihak seolah berperan untuk menyudutkan dua petinggi KPK itu. Polisi nekat menetapkan mereka sebagai tersangka kendati buktinya lemah. Kejaksaan pun tidak secara tegas mengoreksi kesalahan ini. Adapun kalangan yudikatif, dari hakim pengadilan negeri hingga hakim agung, hanya melihat kasus ini dari sisi teknis yuridis sekaligus mengabaikan rasa keadilan.
Walau SKPP itu mengandung kelemahan, sebenarnya kejaksaan telah berusaha mengoreksinya. Dalam pengajuan banding dan peninjauan kembali, alasan bahwa kasus ini tidak memiliki bukti yang kuat juga disampaikan. Tapi tetap saja para hakim lebih melihat alasan yang tertulis dalam SKPP. Hakim agung pun hanya memandang kasus ini dari segi prosedur hukum, yang di sisi lain justru menunjukkan tidak konsistennya MA. Sebab, sebelumnya lembaga ini pernah mengabulkan permohonan peninjauan kembali untuk putusan praperadilan.
Mestinya kejaksaan bertanggung jawab atas amburadulnya penanganan kasus ini. SKPP baru dengan alasan yang lebih kuat bisa diterbitkan sehingga Bibit-Chandra tidak perlu dibawa ke pengadilan. Pilihan lain, mengesampingkan perkara ini lewat deponering, kendati tidak mudah karena harus dengan pertimbangan lembaga lain, seperti parlemen
.
Kalaupun kemungkinan terburuk yang terjadi, Bibit-Chandra pun tak perlu takut. Menghadapi pengadilan memang membuat mereka harus nonaktif dari KPK. Tapi, dengan cara ini, keduanya bisa membuktikan diri tidak bersalah dan mendapatkan putusan hukum yang final. Kemungkinan ini jauh lebih baik dibanding menjadi bulan-bulanan pihak yang selama ini berusaha mengusik KPK lewat kasus ini.

Thursday, September 30, 2010

Commander is a Master

Commander as a naval rank

Commander is a rank used in many navies and some air forces but is very rarely used as a rank in armies (except in special forces where it designates the team leader). The title (originally "master and commander") originated in the 18th century to describe naval officers who commanded ships of war too large to be commanded by a Lieutenant but too small to warrant the assignment of a post-captain. In practice, these were usually unrated sloops-of-war of no more than 20 guns. The Royal Navy shortened "master and commander" to "commander" in 1794; however, the term "master and commander" remained (unofficially) in common parlance for several years.[1] A corresponding rank in some navies is frigate captain. In the 20th and 21st centuries, the rank has been assigned the NATO rank code of OF-4.

[edit] Royal Navy


Insignia of a Royal Navy commander
A commander in the Royal Navy is above the rank of lieutenant-commander, below the rank of captain, and is equivalent in rank to a lieutenant colonel in the army. A commander may command a frigate, destroyer, submarine, aviation squadron or shore installation, or may serve on a staff.

Royal Australian Navy

A commander in the Royal Australian Navy (RAN) is identical in description to a commander in the British Royal Navy. RAN chaplains who are Division 1, 2 and 3 (of 5 divisions) have the equivalent rank standing of commanders. This means that to officers and NCOs below the rank of commander, major or squadron leader, the chaplain is a commander. To those officers ranked higher than commander, the chaplain is subordinate. Although this equivalency exists, RAN chaplains who are Division 1, 2 and 3 do not actually wear the rank of commander, and they hold no command privilege.

Royal Air Force

Since the British Royal Air Force's middle-ranking officers' designations are modelled after the Royal Navy's, the term wing commander is used as a rank and is equivalent to a lieutenant colonel in the army or commander in the navy. The rank is above squadron leader and below group captain.
In the now defunct Royal Naval Air Service, which amalgamated with the Royal Flying Corps to form the Royal Air Force in 1918, pilots held appointments as well as their normal Royal Navy ranks, and wore insignia appropriate to the appointment instead of the rank. Flight commander wore a star above a lieutenant's two rank stripes, squadron commander wore two stars above two rank stripes (less than eight years' seniority) or two-and-a-half rank stripes (over eight years seniority), and wing commander wore three rank stripes. The rank stripes had the usual Royal Navy curl, and were surmounted by an eagle.

Canadian Navy

United States

Polish Navy

The corresponding rank in the Polish Navy is Komandor porucznik.

Commander as a military appointment

British Army

In the British Army, the term "commander" is officially applied to the non-commissioned officer in charge of a section (section commander), vehicle (vehicle commander) or gun (gun commander), to the subaltern or captain commanding a platoon (platoon commander), or to the brigadier commanding a brigade (brigade commander). Other officers commanding units are usually referred to as the officer commanding (OC), commanding officer (CO), general officer commanding (GOC), or general officer commanding-in-chief (GOC-C), depending on rank and position, although the term "commander" may be applied to them informally.
In the First Aid Nursing Yeomanry commander is a rank equivalent to Major.

New Zealand Army

The usage is similar to the United States Army, with the term "commander" usually applying to very senior officers only, typically at divisional level (major general).

Spanish Armed Forces and Guardia Civil

In the Spanish Army, the Spanish Air Force and the Marine Infantry, the term commander is the literal translation of "comandante", the Spanish equivalent of a Commonwealth major. The Guardia Civil shares the Army ranks, and the officer commanding a house-garrison (usually a NCO or a lieutenant, depending on the size) is addressed as the "comandante de puesto" (post commander).

United States Army

In the United States Army, the term "commander" is officially applied to the commanding officer of army units; hence, there are company commanders, battalion commanders, brigade commanders, and so forth. At the highest levels of U.S. military command structure, "commander" also refers to what used to be called commander-in-chief, or CINC, until October 24, 2002, although the term CINC is still used in casual speech.

United States Air Force

In the Air Force, the term "commander" (abbreviated "CC" in office symbols, i.e. "OG/CC" for "operations group commander") is officially applied to the commanding officer of an Air Force unit; hence, there are flight commanders, squadron commanders, group commanders, wing commanders, and so forth. In rank, a flight commander is typically a lieutanant or captain, a squadron commander is typically a major or lieutenant colonel, a group commander is typically a colonel, and a wing commander is typically a senior colonel or a brigadier general.
An "aircraft commander" is also designated for all flights of United States Air Force aircraft. This individual must be a pilot and an officer that has graduated from an formal aircraft commander course and is designated on flight orders by the unit commander for that particular flight. This individual is in command of all military personnel on the aircraft regardless of rank (even individuals that out-rank the aircraft commander).

Tuesday, September 28, 2010

Dari Sun Tzu Ke Clausewitz


Dua Legenda Perang dari Abad yang sangat jauh berbeda, Sun Tzu menyatakan dalam beberapa rumusan strategi-nya yang sederhana dalam melaksanakan suatu Operasi Militer yang telah banyak digunakan secara umum.  Salah satu diantaranya “Jika anda mengetahui kekuatan lawan dan tahu kekuatan sendiri, anda tidak perlu takut akan hasil dari ratusan pertempuran”. Sementara Clausewitz mengatakan “Strategi bertahan lebih kuat daripada menyerang”.  

Apakah kedua pernyataan strategi tersebut masih akurat atau terlalu sederhana. Apa pelajaran yang dapat dipelajari dari kedua pemikir strategi tersebut, khususnya bagi mereka yang memusatkan perhatiannya dalam merancang konsep operasi di laut, udara dan di ruang angkasa, dan mereka-mereka yang merancang operasi di wilayah daratan, seperti  operasi di hutan, gurun pasir, di perkotaan/perkampungan dan di pegunungan.     Bagaimana sebaiknya kita mengharapkan perkembangan strategi tersebut dapat diterjemahkan pada kondisi maraknya pertumbuhan kota-kota besar (Mega City) dimasa yang akan datang.  Selain itu ada strategi yang “menyatakan menyerang pada pusat kekuatan lawan” (direct attack to enemy center of gravity) yang disebut-sebut sebagai Brain Warfare (perang otak).   Sedangkan Sun Tzu dalam satu rumusan strategi-nya “Musuh tidak perlu harus dihancurkan dengan kekuatan bersenjata”.    Pertanyaannya apakah kedua strategi tersebut tidak saling bertentangan?    Masih banyak lagi rumusan-rumusan strategi dari berbagai pemikir lainnya seperti B.H. Liddell Hart, Arthur F. Lykke Jr, Michael Howard, Napoleon, Mahan, Giulio Douhet, Mao Tse-Tung, Jomini, Mitchell, Andre Beaufre dan pemikir-pemikir strategi lainnya.Selanjutnya sejalan dengan pergeseran paradigma mengenai perang, negara-negara maju telah merumuskan aktivitas perang pada beberapa strata yang saling terkait, yang terbentuk dalam suatu hierarkis.    Strata tersebut adalah Strata Grand Strategis, Strata Strategi, Strata Operasional dan Strata Taktik yang secara universal disebut sebagai Strata Perang (The Level of War).    Masing-masing strata tersebut memiliki rumusan strategi yang berbeda dalam menentukan sasaran yang ingin dicapai, konsep/cara yang akan disusun serta sarana kekuatan yang akan digunakan.  Yang juga perlu menjadi perhatian kita bersama bagaimana melihat perkembangan strategi yang sesuai dengan revolusi perang saat ini dan dimasa yang akan datang.    Serta yang paling penting adalah bagaimana kita merumuskan konsep strategi operasional mempunyai arti dan berguna (analog) dengan kehidupan masyarakat.    Hal ini merupakan suatu pertimbangan bagi pejabat pengambil keputusan dan staf perencana dalam merumuskan strategi, mana yang lebih utama: Apakah melaksanakan operasi sebanyak mungkin atau bagaimana operasi dilaksanakan secepat mungkin. Demikian pula sehubungan dengan terjadinya pergeseran paradigma rentang operasi militer yaitu operasi militer untuk perang dan operasi militer selain perang maka para perancang operasi perlu memikirkan bagaimana strategi diterjemahkan ke dalam konsep rencana operasi baik untuk operasi militer dalam perang dan operasi militer selain perang saat ini dan dimasa yang akan datang, dapat berguna dan bermanfaat bagi keamanan nasional.  Essay Sun Tzu tentang “Seni Berperang” merupakan risalah paling awal yang pernah diketahui tentang hal ini, tetapi belum pernah diunggulkan secara pengertian yang mendalam dan komprehensif.     Hal ini akan lebih baik bila disebut intisari hakekat kebijaksanaan dalam berperang.     Diantara seluruh pemikir militer dimasa lalu, hanya Clausewitz yang sebanding atau dapat dipersamakan dengan seni berperang Sun Tzu, bahkan ia lebih aktual dibanding Sun Tzu.   Walaupun Clausewitz menulis lebih dari dua ribu tahun kemudian setelah Sun Tzu.    Sun Tzu memiliki visi yang lebih jelas, wawasan yang lebih menyeluruh, dan selalu segar walaupun sebagian masih kuno.    Karena perhatian Sun Tzu diarahkan pada dasar-dasar dan prinsip-prinsip perang.   Pemikirannya masih tetap relevan hingga saat ini, walau ditulis pada tahun 500 SM, berikut hasil observasinya pada topik-topik terkini. Bagi Sun Tzu  pada pelajaran perang (on the study of war) maka Perang adalah suatu masalah yang sangat penting bagi suatu negara.  Perang menyangkut masalah hidup atau mati.  Perang adalah suatu jalan untuk mampu bertahan atau hancur. dan  Perang merupakan perintah yang harus dipelajari secara keseluruhan”.

Ada lima hal yang harus dipertimbangkan dalam mempelajari peperangan yaitu: pertama   Alasan moral.   Alasan moral memudahkan rakyat dan pemerintah untuk memiliki keyakinan bersama, mengapa kita berperang? Sehingga rakyatpun mau bekerjasama dengan pemerintah dalam suka dan duka, bahkan mengorbankan nyawa sekalipun, kedua  Alasan alam.    Alam menyangkut cuaca, iklim dan sebagainya, seperti perubahan iklim dan keterbatasan waktu. ketiga   Alasan situasi.    Situasi menyangkut jarak, sifat alami suatu daerah dan apakah kondisi fisiknya memungkinkannya selamat dari kematian.  keempat alasan kepemimpinan.   Kepemimpinan mengacu pada kualitas yang harus dimiliki komandan dalam memimpin, yang mencakup kebijaksanaan, kepercayaan diri, belas kasihan, keberanian dan keteguhan serta lainnya dan kelima.    Alasan disiplin.   Kepemimpinan mencakup sistem imbalan dan ancaman hukuman, logistik dan sebagainya. Kelima hal yang mendasar ini harus dimengerti sepenuhnya oleh setiap komandan.    Mereka yang mengerti kelima hal mendasar tersebut akan selalu menang dan mereka yang tidak mengerti pasti akan dikalahkan. “Dalam seni praktis perang, hal terbaik dari semua adalah untuk mendapatkan musuh negara secara utuh dan lengkap; untuk memusnahkan dan menghancurkan bukanlah hal yang sangat baik.    Oleh karena itu pula, lebih baik menangkap seluruh angkatan darat, daripada menghancurkannya, menangkap satu Resimen, satu Detasemen atau seluruh kompi daripada memusnahkannya.    Selanjutnya, berperang dan menaklukan dalam seluruh peperangan anda bukanlah suatu hal yang cemerlang; kecemerlangan terdiri dari mematahkan pertahanan musuh tanpa berperang”.  


“Melihat kemenangan hanya pada saat dalam pengetahuan yang biasabukanlah puncak kecemerlangan.   Bukan pula puncak kecemerlanganjika anda berperang dan menaklukan dan kemudian seluruh kerajaanmenyambut, "good job" “Untuk mengangkat sehelai rambut pada musimgugur bukanlah suatu tanda dari kekuatan yang besar; untuk melihat mentaridan bulan bukanlah tanda dari ketajaman penglihatan; untuk mendengarsuara halilintar bukanlah tanda pendengaran yang taaajam.    Apa yang disebut para leluhur kita dengan perang yang lebih pintar adalah perang yang tidak hanya menang, tetapi mengatasi kemenangan dengan tenang”.

“Selanjutnya, kemenangan tersebut tidak memberikannya reputasi akan kebijaksanaan atau hormat karena keberaniannya.    Ia memenangkan peperangannya dengan tidak membuat kesalahan.    Tidak membuat kesalahan adalah hal yang membangun suatu kepastian akan kemenangan, yang berarti menaklukan musuh yang sudah dikalahkan”. “Maka, ini adalah perang dimana strategi kemenangan akan pada perang setelah kemenangan didapatkan, dimana ia ditakdirkan untuk mengalahkan perang pertama dan kemudian mencari kemenangan”.

 “Merupakan aturan dalam perang, jika kekuatan kita sepuluh pada yang musuhmemiliki satu kekuatan, maka kita mengepungnya; jika lima dengan satu, maka kita menyerangnya; jika dua kali lipatnya,  “Jika kekuatannya sama, kita dapat menawarkan perang; jika sedikit kurang dalam jumlah, kita dapat menghindari musuh; jika cukup tidak seimbang dalam berbagai hal, kita dapat lari.    Selanjutnya, walaupun perang yang terus menerus dapat dilakukan dengan kekuatan yang sangat kecil, pada akhirnya dapat ditangkap oleh kekuatan yang lebih besar”

 Hakekat kemenangan intinya Ia akan menang jika mengetahui kapan saatnya berperang dan kapan saatnya tidak   Ia akan menang jika mengetahui bagaimana memanfaatkan kekuatan pasukan, baik besar maupun kecil..         Ia akan menang jika memiliki angkatan perang yang dijiwai oleh semangat yang sama pada seluruh tingkatan.  Ia akan menang jika mempersiapkan dirinya sendiri dan menunggu saat musuh tidak siap.    Ia akan menang jika ia memiliki kapasitas militer dan tidak diganggu oleh masalah kedaulatan.
“Ada pepatah: “Jika anda mengenal musuh dan diri anda sendiri, maka tidak perlu takut pada hasil dari ratusan peperangan.   Jika anda mengenal diri sendiri tetapi tidak mengenal musuh, maka untuk setiap kemenangan yang diraih anda juga akan menderita kekalahan".   Jika anda tidak mengenal musuh dan anda sendiri, maka anda akan kalah pada setiap peperangan”. On conduct of war maka  Seni perang mengajarkan kita untuk tidak mengandalkan pada kemungkinan musuh tidak datang, tetapi pada kesiapsiagaan kita menyambut   mereka; tidak mengandalkan pada kemungkinan mereka tidak menyerang, tetapi lebih pada kenyataan bahwa kita telah membuat posisi yang tidak dapat diserang”  Pada pengelabuan (on deception). “Semua peperangan berdasarkan pada tipu muslihat.   Maka, jika dapat menyerang, kita harus terlihat seperti tidak mampu menyerang; saat kita menggunakan kekuatan kita, maka harus terlihat tidak aktif; saat kita dekat, kita harus membuat musuh percaya bahwa kita jauh; saat kita jauh, kita harus membuat mereka percaya kita dekat.    Tahan umpan untuk menarik musuh.    Buat kerusuhan palsu, dan hancurkan mereka”. Jika ia aman dalam segala hal, maka bersiaplah menghadapinya.   Jika ia unggul dalam kekuatan, maka hindari.    Jika lawan anda bertemperamen choleric, cari cara untuk melukainya.   Berpura-pura lemah, hingga ia menjadi arogan”  “Jika ia sedang bersenang-senang, jangan beri kesempatan beristirahat.   Jika kekuatannya bersatu, pecahbelahkan.    Serang dia saat ia tidak siap, muncullah disaat anda tidak diperkirakan.    Semua akal daya militer ini, yang membawa kepada kemenangan, janganlah sampai diketahui sebelumnya.   Pada metode penyerangan (on methods of attack). “Dalam peperangan, tidak ada lebih dari dua metode penyerangan – langsung dan tidak langsung; maka kombinasi dari kedua hal ini memunculkan satu rangkaian manuver yang tiada akhir.    Baik langsung dan tidak langsung akan ada secara bergantian.   Seperti bergerak dalam satu lingkaran – anda tidak akan pernah mencapai akhir.    Siapa yang akan lelah dengan kemungkinan kombinasinya?”.     Pada bermanuver (on manouvering). “Jangan menelan umpan yang ditawarkan musuh.  Jangan mengganggu pasukan yang sedang pulang ke rumah.   Saat anda mengepung suatu pasukan, berikan tempat bagi mereka.   Jangan menekan musuh yang prustasi terlalu keras”. On long wars  “Jika anda terlibat dalam perang yang sesungguhnya, jika kemenangan lama datang, maka senjata akan rusak dan semangat mereka akan berkurang.   Sekali lagi, jika perang diperpanjang, sumber daya negara akan tidak seimbang dengan yang diderita.   Maka, walaupun kita telah mendengar tentang ketergesaan yang bodoh dalam perang, kepintaran tidak pernah dihubungkan dengan penundaan yang lama.    Tidak ada contoh dimana suatu negara mendapat manfaat dari perang yang diperpanjang”. 

Simak lima dosa yang tidak boleh terjadi pada seorang Jenderal (on the five sins of a general) yang berbahaya yang dapat mempengaruhi dan membawa kehancuran pada pelaksanaan perang”.   Kecerobohan, yang akan membawa ke kehancuran.  Pengecut, yang akan membuat kita ditangkap.     Sifat gegabah yang dapat diprovokasi oleh hinaan. Haus rasa hormat yang sensitif pada rasa malu. Terlalu khawatir pada anak buahnya, yang membuat dia cemas dan bermasalah.  Sebaliknya “Seorang Jenderal yang maju tanpa memikirkan ketenaran dan yang mundur tanpa takut tercemar, yang hanya berfikir untuk melindungi negaranya dan bertugas dengan baik untuk kedaulatannya, adalah perhiasan bagi suatu kerajaan”.

Mengenal lawan dan diri sendiri . Aku tahu kemampuanku, aku pun tahu kelemahan musuhku, dengan mengetahui dirimu sendiri dan mengetahui musuhmu, seseorang akan mampu memasuki ajang peperangan tanpa ancaman bahaya. Aku tak kenal musuhku, tetapi aku tahu persis kekuatanku, dengan mengetahui kekuatan sendiri tanpa mengetahui kekuatan dan kelemahan lawan, kesempatan memperoleh kemenangan hanya separuhnya. ku tak kenal musuhku, aku pun tak tahu kekuatanku, kamu pasti kalah, berperang tanpa mengetahui keadaan musuh, juga tanpa mengetahui keadaan sendiri, tentu kalah. Jadi “jika anda mengetahui kekuatan lawan dan tahu kekuatan sendiri, anda tidak perlu takut akan hasil dari ratusan pertempuran”   Rencana perang yang paling baik adalah menang melalui strategi dengan menggunakan akalmu untuk mengalahkan musuh.  Mengalihkan keinginan musuhmu melalui seni berdiplomasi.   Menaklukan dengan kekerasan.

 Strategi yang baik tidak pernah ada aturan yang ketat dan kaku.   Strategi yang baik haruslah meniru air yang selalu berubah sesuai tempatnya.   Tak ada pula rumusan untuk melakukan  manuver yang baik Hindarilah musuh yang kuat dan seranglah yang lemah.   Bersiaplah mengubah strategi sesuai dengan perubahan pihak musuh.   Strategi yang baik adalah lebih dahulu mencapai garis depan agar dapat menempati posisi yang menguntungkan untuk menghancurkan lawan.Perencanaan yang cermat akan menghasilkan kemenangan.  Perencanaan yang buruk akan membuahkan kekalahan.   Apalagi sama sekali tanpa perencanaan. Sebelum perang pecah, timbanglah kekuatan dan kelemahan pasukanmu sendiri dan pasukan musuhmu. Artinya berperanglah dengan dirimu sebelum engkau berdamai dengan orang lain.

Monday, September 27, 2010

Perlucutan Nuklir Penyakit Usus Buntu

Sudah bertahun-tahun hingga saat ini, agenda perlucutan senjata nuklir dunia tidak menunjukkan kemajuan yang berarti. Konperensi Perlucutan Senjata selalu mengalami kebuntuan. bagai penyakit usus buntu, Upaya perlucutan senjata nuklir, non-proliferasi dan pemanfaatan energi nuklir untuk tujuan damai merupakan tiga pilar dari Traktat Non-Proliferasi Nuklir (NPT). Bagi Indonesia, tiga pilar itu bersifat mutlak dan tidak bisa ditawar lagi.
Traktat ini merupakan elemen penting rezim global bagi non-proliferasi dan perlucutan senjata nuklir. Oleh karena itu, partisipasi Indonesia dalam Konperensi Kaji Ulang kali ini, dilandasi dan didorong oleh suatu keinginan yang kuat untuk memastikan suksesnya konperensi ini. Negara-negara pemilik senjata nuklir harus memenuhi komitmen untuk menjalankan 3 pilar traktat non proliferasi sebagai dasar bagi adanya kesepakatan perpanjangan tanpa batas waktu Traktat Non-Proliferasi pada tahun 1995. Selain itu, sejumlah negara bukan pemilik senjata nuklir juga tetap harus memenuhi komitmen mereka di dalam NPT. Pendek kata, dimana dunia saat ini masih menghadapi berbagai ancaman dan tantangan baru, ancaman bencana nuklir masih tetap ada. Kita tidak boleh berdiam diri. Atas berbagai kebuntuan yang terjadi saat ini dan berbagai kesempatan yang terbuang percuma. Kita harus memberikan perhatian pada kemungkinan pencapaian tujuan bersama, daripada hanya mempertahankan posisi masa lampau yang sudah tidak lagi sesuai. Setelah bertahun-tahun lamanya upaya perlucutan senjata yang kita upayakan bersama tidak bergerak maju, maka pada saat kita melakukan Konperensi Kaji Ulang Traktat Non-Proliferasi ini, kita melihat berbagai perkembangan positif.
Negara-negara nampaknya mulai merasakan arti penting dan urgensi untuk melakukan perlucutan senjata nuklir. Sejumlah langkah awal yang sangat positif telah dilakukan. Amerika Serikat dan Rusia telah menandatangani Traktat Pengurangan Senjata Strategis yang baru (START). Kami juga melihat adanya berbagai hal positif dalam Kaji Ulang Postur Nuklir yang dilakukan oleh Amerika Serikat. Kami menyambut positif berbagai perkembangan ini dan mengharapkan adanya upaya lebih lanjut untuk memastikan upaya untuk melucuti persenjataan nuklir dapat terlaksana. Setiap langkah maju, seberapapun kecilnya, kiranya dapat memberikan kita suatu momentum baru bagi upaya untuk mencapai tujuan akhir, yaitu perlucutan senjata nuklir secara menyeluruh. Indonesia ingin berkontribusi semaksimal mungkin dalam suasana yang positif ini. Indonesia saat ini tengah memulai proses ratifikasi Traktat Komprehensif Pelarangan Pengujian Senjata Nuklir (CTBT). Kami sangat berharap bahwa komitmen kami pada agenda perlucutan senjata dan non-proliferasi ini dapat mendorong negara-negara lainnya yang belum meratifikasi Traktat tersebut, untuk melakukan hal yang sama. Maka, ada beberapa garis besar yang perlu saya kemukakan terkait dengan isu perlucutan senjata nuklir ini. Pertama, seluruh negara-negara pemilik senjata nuklir, harus menunjukkan, secara sungguh-sungguh, bukan hanya dengan kata-kata, komitmen mereka bagi perlucutan senjata nuklir. Dengan demikian, perlucutan senjata nuklir secara menyeluruh dapat diwujudkan, negara-negara pemilik senjata nuklir juga harus memberikan jaminan keamanan untuk tidak menggunakan senjata nuklir terhadap Negara bukan pemilik senjata nuklir. Apabila semua itu telah dilakukan, barulah keprihatinan atas ancaman dari proliferasi senjata nuklir yang selama ini dikhawatirkan oleh negara-negara tersebut akan dapat diperhatikan secara positif. Kedua, ancaman proliferasi senjata nuklir, dari manapun asalnya, harus direspon secara sungguh-sungguh dan efektif tanpa diskriminasi dan menggunakan standar ganda. Respon tersebut harus didasari oleh prinsip multilateralisme dan esuai dengan hukum internasional. Maka, kita harus dapat mendorong Israel untuk bergabung pada Traktat ini. Kita harus mendukung pembentukan kawasan-kawasan bebas senjata nuklir yang baru, khususnya di kawasan Timur Tengah sebagaimana disepakati pada Konperensi Kaji Ulang NPT tahun 1995. Kita harus mendukung kawasan-kawasan bebas senjata nuklir yang telah ada, seperti Traktat Kawasan Bebas Senjata Nuklir di Asia Tenggara. Sangat sulit dipahami adanya kerjasama energi nuklir yang melibatkan negara-negara yang secara terbuka telah memilih untuk melakukan proliferasi senjata nuklir.

Ketiga, Hak yang melekat bagi seluruh negara Pihak NPT untuk melakukan penelitian, memproduksi dan menggunakan energi nuklir bagi tujuan-tujuan damai, sebagaimana dimuat dalam Pasal IV dari Traktat ini, wajib untuk dihormati. Dalam hal ini, Badan Energi Atom Internasional (IAEA) harus diperkuat agar mampu menjalankan mandatnya. Seluruh negara berkewajiban untuk selalu bekerjasama dengan Badan energy atom dunia ini. Dan keempat, kita harus berkerja keras secara bersama untuk menghasilkan suatu konvensi senjata nuklir yang universal dalam tenggat waktu yang jelas guna mewujudkan penghapusan senjata nuklir secara menyeluruh.

Karena hanya dengan penghapusan senjata nuklir secara menyeluruh, kita baru dapat memastikan bahwa senjata tersebut tidak akan pernah digunakan. Indonesia memiliki keyakinan akan pentingnya melakukan pendekatan yang berimbang, menyeluruh dan non-diskriminatif terhadap ketiga pilar NPT, yaitu perlucutan senjata nuklir, non-proliferasi dan penggunaan energi nuklir bagi tujuan damai. Sangat jelas bahwa tiga pilar ini saling menguatkan. Oleh sebab itu, merupakan hal yang sangat mendesak bagi seluruh negara untuk mematuhi rejim NPT. Seluruh negara pihak harus berupaya secara bersama untuk membentuk traktat yang bersifat universal. Jika hal tersebut tidak dilakukan, maka traktat ini tidak akan efektif.

Maka, Indonesia menyerukan agar seluruh negara yang belum menjadi pihak pada NPT ini dapat mengaksesi traktat ini sesegera mungkin. Visi dunia tanpa senjata nuklir bukanlah suatu visi yang baru. Indonesia selalu berpandangan bahwa visi ini absah dan benar-benar merupakan suatu tujuan yang harus dicapai. Kita semua harus mendukung visi ini dan bersama-sama berupaya mencapainya melalui keterlibatan terus menerus dan konstruktif di antara negara-negara nuklir dan non-nuklir.

Negara-negara pemilik senjata nuklir dan bukan pemilik senjata non-nuklir memiliki kewajiban dan tanggung jawab masing-masing, dan semua dari kita harus memiliki kemauan politik untuk melaksanakan kewajiban tersebut. Marilah kita belajar dari berbagai kekurangan di masa lampau, dan mencoba mencari kesamaan dari berbagai perbedaan yang ada. Marilah kita bekerjasama untuk membangun suasana yang positif. Melalui cara ini, kita akan dapat membangun dunia yang jauh lebih aman bagi generasi saat ini dan generasi yang akan datang. Artikel ini merupakan intisari pernyataan Menteri Luar Negeri Indonesia, Dr. Marty Natalegawa, pada Sesi Debat Umum Konperensi Traktat Non-Proliferasi Nuklir di Markas Besar PBB di New York, 3 Mei 2010. Pidato ini dipublikasikan oleh Kantor Perwakilan Tetap Republik Indonesia untuk PBB di New York