Organisasi masyarakat yang meresahkan masyarakat karena aksi-aksi anarkisnya dan terbukti melanggar hukum akan dibubarkan. Direktif langsung diberikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Kupang, NTT, Rabu, 9 Februari 2011.
Menindaklanjuti instruksi itu, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Djoko Suyanto menjelaskan sekilas landasan pembubaran itu. Menurut Djoko, hal itu sudah tertuang jelas dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan.
"Instruksi Presiden itu secara umum. Dan untuk penerapannya menggunakan undang-undang itu," kata Djoko dalam perbincangan telepon dengan
VIVAnews.com, Kamis, 10 Februari 2011.
Djoko menambahkan undang-undang itu masih sangat relevan karena dengan jelas mengatur setiap aspek dari organisasi masyarakat, termasuk pembubarannya. Peraturan teknis dan segala macam turunannya juga sudah dijabarkan oleh Kementerian Dalam Negeri.
"Presiden
kan sudah jelas mengatakan bahwa pembubaran organisasi itu harus dilakukan secara legal dan sah. Undang-undang itu justru untuk penerapannya dan sudah sesuai aspek legalitasnya," ujar mantan Panglima TNI ini.
Dalam UU itu, pembubaran organisasi massa yang terbukti melanggar hukum tertuang di Bab VII soal Pembekuan dan Pembubaran. Dalam pasal 15 tertulis, "Pemerintah dapat membubarkan Organisasi Kemasyarakatan yang tidak memenuhi ketentuan-ketentuan Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 7, dan/atau Pasal 18."
Dalam pasal 7 (c) juga disebutkan, "Organisasi kemasyarakatan berkewajiban memelihara persatuan dan kesatuan bangsa." Soal pembubaran juga disebut dalam pasal 16, "Pemerintah membubarkan organisasi kemasyarakatan yang menganut, mengembangkan, dan menyebarkan paham atau ajaran komunisme/Marxisme-Leninisme serta ideologi, paham, atau ajaran lain yang bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dalam segala bentuk dan perwujudannya."
Pernyataan Djoko dikuatkan Wakil Ketua Komisi II DPR RI bidang pemerintahan, Ganjar Pranowo. Menurut Ganjar, perangkat hukum pembubaran ormas anarkis sudah lama tersedia, yakni UU No. 8/1985 itu. Persoalannya kini "tinggal realisasi pemerintah bagaimana menghadapi ormas yang
ngawur-awuran itu
."
Acuannya, masih kata politisi PDI Perjuangan itu, jelas tertera pada pasal 14 sampai 16. Bila ada organisasi melanggar ketertiban umum maka akan diberikan peringatan. Bila peringatan itu tidak diindahkan, maka ormas itu bisa dibekukan dan dibubarkan. "Bila diperingatkan masih juga nekat dan tidak mematuhi maka dia bisa dibubarkan," ujarnya.
Kendati demikian, Ganjar mengakui bahwa undang-undang itu merupakan produk orde baru dan sudah saatnya direvisi. DPR sudah memasukkan revisi undang-undang itu dalam Program Legislasi Nasional sejak tahun lalu, 2010. "Tapi, pembahasannya memang tidak cepat. Karena ada trauma represi terhadap ormas pada masa Orde Baru," ia menjelaskan.
Meski begitu, kata Ganjar, UU No. 8/1985 masih bisa digunakan sebagai acuan. "Karena sampai sekarang UU ini tetap berlaku dan belum dicabut."
Kualifikasi Ormas
Lantas, ormas apa saja yang masuk kategori ormas anarkis itu?
Pemerintah sudah memerintahkan institusi terkait untuk mengidentifikasi ormas-ormas perusuh itu. Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring menjelaskan Presiden SBY telah meminta kejaksaan, kepolisian, dan Kementerian Dalam Negeri untuk mengidentifikasi ormas mana saja yang selama ini melawan hukum.
"Kalau memang teridentifikasi ada ormas yang melawan undang-undang, maka ormas itu dapat dibubarkan," kata Tifatul, sembari menegaskan bahwa ini bukan berarti pemerintah melarang ormas untuk berdemonstrasi. "Boleh saja berdemo tapi tidak merusak. Jadi, jangan dikira berdemo tidak boleh."
Desakan pembubaran ormas-ormas anarkis juga datang dari Senayan. Ketua Partai Demokrat Bidang Departemen Pemberantasan Korupsi dan Mafia Hukum Didi Irawadi Syamsudin meminta kepolisian beserta aparat penegak hukum lain, segera merespons perintah Presiden SBY itu. "Sudah saatnya kita mendukung pembubaran ormas yang bertindak seolah-olah negeri ini tanpa hukum," kata Didi di Gedung DPR RI, Jakarta.
Hal senada disampaikan Wakil Ketua DPR dari Fraksi Golkar, Priyo Budi Santoso. Tetapi, dia mencatat bahwa perintah SBY itu perlu segera diikuti sejumlah hal. Pertama, revisi dan penyempurnaan UU Ormas. "Agar nanti negara juga tidak sewenang-wenang, sepihak dan seenaknya membubarkan ormas-ormas yang ada."
Menurut Priyo, sebaiknya dalam UU Ormas yang baru perlu ditambahkan klausul soal kategori ormas yang layak dibubarkan. Misalnya, "yang sifatnya perusuh, menimbulkan korban jiwa, meresahkan, dan menakut-nakuti warga." Mekanisme pembubaran juga harus diatur sedemikian rupa dan dilengkapi bukti-bukti yang otentik dan kuat. "Termasuk, kemungkinan diperlukan adanya pengadilan yang independen tapi cepat untuk memutuskan soal itu."
Ketua Umum Partai Damai Sejahtera, Denny Tewu, menyerukan hal serupa. Menurut Denny, pemberangusan ormas bukanlah cara yang tepat untuk mengatasi kekerasan berbau SARA di tanah air. "Percuma memberangus ormas. Mereka cuma akan ganti kulit," kata Denny dalam iskusi di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Kamis, 10 Februari 2011.
Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat, Taufiq Kiemas, juga satu suara. Menurut dia, semua pihak harus mendukung perintah Presiden SBY itu. "Kita semua harus setuju," kata Taufiq di Gedung MPR/DPR RI. Namun, pembubaran jangan sampai melanggar hak asasi manusia. Karena itu, pemerintah disarankannya untuk segera meminta saran Komisi Nasional Hak Asasi Manusia mengenai prosedurnya. Jangan sampai, "Nanti kalau terjadi sesuatu, mobil-mobil polisi dibakar, polisi tidak bisa bertindak apa. Sudah begitu, kita marah-marah pada polisi," ujarnya.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menilai perintah Presiden itu bukan sesuatu yang luar biasa. "Dalam konteks ini tidak luar biasa, karena itu sudah jadi aspirasi masyarakat sejak lama," kata salah satu Wakil Ketua Komnas HAM Ridha Saleh.
Ridha juga menyarankan agar pembubaran ormas dipikirkan masak-masak. "Karena ini bukan solusi," ucap Ridha. Dia minta pemerintah untuk mencari solusi yang pas untuk menyelesaikan masalah kekerasan ini secara substansial. Pemerintah terkesan membiarkan terjadinya sejumlah kekerasan. Hal ini antara lain terlihat dari nyaris tidak pernah adan peristiwa kekerasan yang diselesaikan pemerintah secara tuntas. "Setiap kekerasan ada latar belakangnya. Ini yang sebenarnya harus dipelajari dan diantisipasi,
• Disarikan dari VIVAnews