Wednesday, June 17, 2009

Ironi Illegal Fishing

Di pantura banyak petambak ikan meradang karena panennya gagal, maklum mereka adalah petani ikan tradisionil yang miskin teknologi dan kurang suntikan modal. Pemandangan yang lebih menyedihkan adalah raut muka para nelayan yang lesu selepas berlayar disepanjang pantai utara Pulau Jawa itu. Tak tampak kesibukan yang berarti dan wajah-wajah yang ceria menyambut kedatangan petualang-petualang laut ini. Adalah Rokhim Dahuri, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan yang menyatakan bahwa secara teknis, nelayan Indonesia memang ketinggalan di segala bidang. “Penurunan pendapatan nelayan umumnya terjadi akibat over-fishing pada sejumlah lokasi penangkapan (fishing ground) seperti di pantura Jawa, Selat Malaka, sebagian selat Bali dan selatan Sulawesi”, katanya. Sedangkan potensi besar di pesisir barat Sumatera, Laut China Selatan, perairan kepulauan Natuna, pesisir selatan Jawa, Laut Sulawesi, Teluk Tomini, Laut Maluku dan Samudera Pasifik. Tetapi untuk menjangkau daerah tersebut diperlukan kapal besar dengan teknologi maju yang jumlahnya tidak dimiliki nelayan Indonesia.

Tidak dapat dibantah, perairan yang mengelilingi Indonesia mengandung sumberdaya ikan yang tak terhingga. Untuk ikan saja, sangat beragam atau highly diversed yang sungguh bernilai ekonomis tinggi dimana terdapat sekitar 2511 spesies ikan dan turunannya yang hidup di lautan Indonesia (Fishbase, 2001). Kenyataan-kenyataan itu menjadikan lautan Indonesia bagai magnet yang menarik banyak pihak untuk datang dan mengadu untung. Ada yang beritikad baik, tetapi tidak sedikit pula yang berniat buruk. Praktek illegal l fishing, telah menimbulkan kerugian negara yang bernilai jutaan dollar AS.

Yang fantastis tentu saja potensi ikan di Laut Aru dan Laut Arafuru yang termasuk paling menggiurkan di dunia. Laut Arafura itu bagai gadis cantik yang masih alami sehingga selalu mengundang peminat dari berbagai penjuru. Tengok saja kapal-kapal ikan asing dari Thailand, Korea, Taiwan dan China yang beroperasi disana. Jenis kapal ikan tersebut termasuk super canggih dengan alat penangkapan yang sangat sensasional. Sebut saja pukat ikan (fish-net) yang prinsip kerjanya adalah jenis trawl yang sudah dimodifikasi ukuran mata jaring pada kantongnya, pemberat, dan gawang pembukanya, ada juga pukat tarik (gill-net ) yang bermil-mil panjangnya. Ikan hasil kurasan kapal penangkap (catcher) itu ujung-ujungnya akan dikumpulkan dan ditampung (transhipment) oleh kapal-kapal pengangkut (carrier) yang pola trayeknya sailing without destination (tramper).

Sistem kerja dan manajemen kapal yang popular disebut kapal tramper ini sangat canggih. Para aktor intelektualnya sudah mempelajari celah UU No 31 tahun 2004 mengenai ketentuan transfer ikan ditengah laut yang sepintas hanya berupa ancaman pelanggaran administrasi. Dengan berbagai upaya untuk melegalkan praktek tersebut mereka juga mengundang petugas pabean berlayar ketengah laut jauh sampai ke ZEEI Laut Arafura. Biasanya kapal-kapal catcher itu akan dikawal kapal tramper sebagai kapal induknya (motherboat) dan berdalih mereka adalah satu kesatuan armada. Padahal ini hanya akal-akal mereka saja karena kapal dengan alat tangkap fish-net kerjanya adalah tunggal dan bukan tipe pukat cincin (purse seine) yang perlu kapal-kapal pendukung. Kapasitas (fish hold capacity) ibunya kapal ikan ini sungguh mencengangkan, rata-rata 5000 metric ton. Peraturan sebenarnya membatasi kapal tramper ini hanya boleh transfer ikan di pelabuhan perikanan yang telah ditetapkan dalam SIKPI-nya (Surat Ijin Kapal Pengangkut Ikan ). Tetapi kapal tramper yang juga berfungsi sebagai kapal pabrik (factory ship) ini kerap langsung kembali berlayar menuju negara asalnya untuk menyuplai industri pengolahan ikan di sana.

Dari hasil penelusuran langsung ke fishing ground, tramper asing tersebut hampir sebagian besar telah melakukan praktek pemindahan ikan di tengah laut dan jarang yang check point ke pelabuhan muatnya. Dari data-data kapal yang ditangkap oleh kapal perang kita, kesalahan mereka sangat bervariasi antara lain transfer tanpa ijin, dokumen palsu, menangkap ikan dengan jaring terlarang, mengangkut jaring yang dilarang dan pelanggaran aturan pelayaran berupa tidak dilengkapi syarat dispensasi bendera kapal, tidak sahnya surat laut kapal, ABK tidak disijil dan pelanggaran kemudahan khusus keimigrasian serta tenaga kerja asing yang tidak memiliki ijin kerja.

Saat ini penyidik TNI AL secara konsisten telah menerapkan UU No 31 tahun 2004 dengan melaksanakan enforcement of law secara cepat dan tuntas serta dapat menimbulkan efek jera bagi para pelakunya. Dalam proses penyidikan di beberapa pangkalan TNI AL sesuai amanat UU telah menetapkan owner, agen dan operator kapal sebagai tersangka. Mereka inilah yang menjadi salah satu target baru illegal fishing disamping target-target lainnya. Hal ini dilakukan agar para pemilik tidak lagi berlindung dibalik badan dan mengorbankan para Nakhoda dan ABK kapal ikan. Penyidik TNI AL memang harus tunduk kepada otoritas yang mengatur perijinan. Meskipun selalu ditempatkan sebagai pemadam kebakaran dan disalahkan bila ada penyelesaian kasus yang belum tuntas, komitment TNI AL tetap tinggi untuk proaktif memberantas praktek illegal fishing ini.

Sungguh ironi karena Indonesia belum dapat memanfaatkan selisih seluruh jumlah tangkapan yang diperbolehkan (allowable catch) dengan jumlah kemampuan tangkap (capacity to harvest) alhasil Indonesia mau tidak mau harus mengakomodasinya dengan ijin berdasarkan persetujuan Internasional untuk dimanfaatkan oleh negara lain. Inilah pintu masuk bagi mengguritanya kapal-kapal asing yang beroperasi di perairan dan ZEE Indonesia. Namun sangat disayangkan Indonesia yang mempunyai potensi 82 milyar dollar AS dari sektor laut yang cukup melunasi utang luar negeri ini, pada akhirnya cuma jadi penonton pesta-pora para tamu yang menari-nari dirumah kita sendiri.

Dalam Fokus Kompas tanggal 28 Mei 2005 disebutkan bahwa tidak ada industri pangan di dunia ini yang begitu mengglobal seperti industri perikanan. Lebih dari 75 prosen hasil tangkapan ikan dunia dewasa ini masuk pasar internasional. Devisa dari ekspor produk perikanan secara global melampaui produk sektor manapun. Yang mengejutkan tercatatnya Thailand dan China sebagai eksportir produk ikan terbesar di dunia. Dari mana bahan baku ikan tersebut mereka peroleh sementara Teluk Siam dan zona perikanan di China sudah over-fishing. Hipotesis yang kemudian muncul adalah modus operandi kapal-kapal illegal, semi illegal ataupun spanyolan (separuh nyolong) itu untuk menjarah laut kita adalah dengan membuat sindikat jaringan kerjasama yang rapi sehingga sulit dibongkar antara lain pemalsuan dokumen-dokumen perijinan perikanan.

Freddy Numberi Menteri Perikanan ketika ditemui Forum Hukum di ruang kerjanya mengakui adanya sindikasi illegal fishing termasuk jaringan pemalsuan dokumen perikanan. Numbery dengan tegas menyatakan telah menyiapkan langkah-langkah strategis untuk menghentikan kenakalan mereka. “ Mulai September 2005 ini diharapkan tidak ada lagi beredar dokumen palsu, karena cukup mudah membedakannya dengan yang asli karena kita menggunakan bentuk atau format SPI dan sticker barcode yang baru” tandasnya.

Itulah setumpuk kenyataan pahit fenomena illegal fishing. Ini harus menjadi pekerjaan kita bersama yang sebenarnya termasuk cerita lama yang mungkin telah di daur ulang atau hanya berganti baju saja, namun tidak pernah sembuh penyakitnya. Yang pasti rakyat kita sampai detik ini belum juga dapat menggantungkan nasib baiknya kepada kekayaan sumber daya perikanan Indonesia yang melimpah ruah itu.

Bila kita sudah menyadari sukses Islandia dan Norwegia, yang menggantungkan nyawanya dari sektor perikanan dan mampu mencuatkan diri menjadi dua negara termakmur di dunia dengan pendapatan perkapita 35.000-40.000 dollar AS, lalu mengapa kita masih saja berleha-leha? Dengan mengoptimalkan kemampuan 4 juta nelayan Indonesia sebetulnya lebih dari cukup untuk meraih impian itu. Teknologi perkapalan dan alat tangkap kita yang masih tergolong rendah dan berskala kecil harus segera ditingkatkan. Dari sekitar 500.000 kapal ikan Indonesia hanya sekitar 1,5 prosen yang memiliki bobot di atas 30 grosston (GT). Kita juga harus segera menghapus ironi jumlah kapal perang yang dimiliki oleh TNI AL yang sekurang-kurangnya membutuhkan 500 KRI yang siap setiap waktu dikerahkan di seluruh perairan yurisdiksi nasional.


No comments:

Post a Comment