Wednesday, June 17, 2009

Naval Diplomacy


Sesuai dengan amanat konstitusi, Politik luar negeri RI (Polugri) senantiasa diabdikan pada upaya untuk mewujudkan kepentingan nasional seperti termaktub dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu “mewujudkan negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur”. Pelaksanaan Polugri berpijak pada landasan filosofis dan konstitusional, yaitu Pancasila dan UUD 1945, dengan karakter pendekatan yang bersifat Bebas-Aktif.

Dalam pelaksanaannya, Polugri dilaksanakan melalui instrumen diplomasi yang memiliki fleksibilitas kontekstual namun sekaligus dilandaskan pada keteguhan pendirian, dengan menginkorporasikan segenap stakeholders dan opsi diplomasi yang ada, atau dikenal dengan istilah strategi Total Diplomacy.

Dalam konteks Indonesia sebagai negara kepulauan, maka elemen proyeksi kehadiran dan kekuatan nasional Indonesia ke domain maritim yang melingkupinya, harus menjadi salah-satu dari komponen diplomasi nasionalnya, yang dalam implementasinya dilaksanakan oleh TNI Angkatan Laut sebagai core actor-nya.

Hal tersebut dimungkinkan karena secara konseptual, fungsi naval diplomacy merupakan bagian inheren dalam konsep universal Trinity of Naval Roles, yakni militer (peran pertahanan negara), constabulary (penegakan hukum), dan diplomacy. Dalam konteks ini, komponen peran diplomasi yang dimaksud adalah dalam bentuk naval diplomacy dengan berlandaskan atas karakter unik dari kekuatan laut itu sendiri yang bersifat fleksibel, dalam artian mampu merubah postur secara seketika (bahkan ketika underway) tanpa mengganggu pola penggelaran dan tempo operasi, memiliki mobilitas tinggi karena bergerak di media yang bebas (lautan). Disamping itu, angkatan laut memiliki kapasitas strategis dalam mempengaruhi jalannya peristiwa di daratan (influencing events ashore), bukan hanya dalam bentuk jangkauan daya tembak dan proyeksi kekuatan militer dari laut ke daratan, melainkan karena angkatan laut juga menguasai suatu domain yang menjadi media dan jalur komunikasi dari dan ke daratan, dimana lebih dari 90% total volume perdagangan dan urat nadi energi dunia dilangsungkan di atasnya. Oleh karena itu, kemampuan memproyeksikan kekuatan nasional ke laut guna melindungi wilayah dan kepentingan nasionalnya merupakan prakondisi yang wajib dipenuhi bagi tegaknya diplomasi nasional negara yang bersangkutan.

Dalam aspek kemampuan, kemampuan naval diplomacy suatu angkatan laut pada hakikatnya sangat ditentukan oleh tingkat kekuatan dalam aspek yang paling mendasar dari trinity of naval roles, yakni aspek militer. Hal ini disebabkan karena kemampuan pelaksanaan dua aspek lainnya, yakni penegakan hukum dan diplomasi, dimungkinkan (atau sebaliknya justru dibatasi) oleh operational readiness, combat value, dan strategic capabilty dari angkatan laut yang bersangkutan. Oleh karena itu, TNI-AL harus diperlengkapi dan diawaki secara memadai agar dapat menggelar kekuatan armada yang memenuhi persyaratan Balanced Fleet, yakni mampu beroperasi dalam seluruh spektrum naval operations, dalam suatu strategi pertahanan maritim yang sekurang-kurangnya bertaraf fleet in being untuk mampu melaksanakan tugas-tugas pengendalian laut (sea control), yang juga merupakan salah-satu bentuk dalam naval diplomacy yakni naval presence. Kondisi TNI-AL saat ini tengah berada dalam transisi, yakni baru saja beranjak memenuhi kriteria Balanced Fleet tersebut, dengan telah dan akan hadirnya beberapa kapal perang hasil pengadaan yang telah dilakukan oleh Indonesia, semisal Landing Platform Dock (LPD) KRI Makassar dari Korea Selatan pada bulan Mei 2007 lalu, dan akan hadirnya dua korvet kelas Sigma, KRI Diponegoro (PKR-365) dan KRI Hasanuddin (PKR-366) pada pertengahan tahun 2007 ini, serta persiapan pengadaan empat kapal selam serang konvensional (SSK) kelas Kilo dari Rusia yang saat ini tengah dalam tahap pendidikan dan latihan awak kapal.

POSISI, PERAN, DAN FUNGSI TNI-AL DALAM POLUGRI DI TINGKAT REGIONAL DAN INTERNASIONAL

Garis politik luar negeri RI membagi lingkungan strategi global ke dalam tiga lingkar konsentrik (concentric circles) berdasarkan kombinasi antara kriteria geostrategis dan kepentingan nasional RI. Lingkar konsentrik pertama yang juga merupakan pilar utama polugri adalah kawasan Asia Tenggara dengan ASEAN sebagai core pillar-nya. Lingkar konsentrik kedua, adalah rantai negara-negara kepulauan Pasifik yang diwadahi oleh organisasi Pacific Island Countries (PIF), serta negara-negara industri maju Timur Jauh seperti RRC, Jepang dan Korea Selatan, yang diwadahi dalam forum ASEAN+3. Termasuk pula dalam lingkar konsentrik kedua tersebut, kerangka dialog trilateral antara Indonesia, Australia, dan Timor Leste, yang dinamai Tripartite Consultation. Adapun pada lingkar konsentrik ketiga, Indonesia menempakan prioritas yang tinggi dalam hubungannya dengan kekuatan-kekuatan besar baik di benua Amerika maupun Eropa, khususnya dengan Amerika Serikat dan Uni Eropa. Berkenaan dengan ketiga lingkaran konsentrik tersebut, Indonesia memandang pentingnya prioritas penciptaan stabilitas dan perluasan cakupan pembangunan yang berorientasi kesejahteraan melalui kerjasama antar-bangsa yang yang didasarkan atas institusionalisasi integrasi regional.

Dalam kasus ASEAN sebagai core circle polugri, Indonesia merupakan salah-satu promotor gigih dalam upaya pencapaian institusionalisasi ASEAN ke arah transformasi ASEAN sebagai sebuah entitas regional yang rules-based, serta memiliki kapasitas penuh baik sebagai legal maupun political entity dalam berbagai dimensi, termasuk foreign affairs. Untuk itu, Indonesia memandang pentingnya realisasi Piagam ASEAN sebagai dasar dari pengokohan status ASEAN tersebut. Lebih lanjut lagi, dalam rangka mengukuhkan integrasi regional hingga ke seluruh lapisan masyarakat bangsa-bangsa di Asia Tenggara, Indonesia memandang perlunya pencantuman di dalam Piagam ASEAN tersebut, identitas ASEAN sebagai people-centered organization, yang terefleksikan melalui mekanisme dan struktur organisasi yang bersifat lebih dekat kepada rakyatnya (people centered), seraya di saat yang sama juga bersifat lebih institutionalized, well-structured, dan lebih profesional.

Sementara itu, pada lingkup yang lebih luas khususnya berkenaan dengan upaya integrasi dan kerjasama intra-kawasan yang merupakan kunci bagi pemeliharaan stabilitas regional di kawasan Asia-Pasifik, Indonesia memandang penting dilanjutkannya pengembangan institusi East Asia Community (EAC) dengan ASEAN sebagai driving force dan kerangka institusional utama di dalamnya, yang dibangun di atas tiga pilar utama, yakni ASEAN Political Community, ASEAN Socio-Cultural Community, dan ASEAN Security Community.

Berkenaan dengan wawasan polugri mengenai lingkungan strategi internasional tersebut di atas, posisi TNI-AL dengan karakter universal yang melekat di dalamnya berupa kemampuan dan kapasitas fungsi diplomasi memainkan peran yang sangat penting sebagai salah-satu instrumen pelaksana kebijakan luar negeri RI di berbagai lapis concentric circles tersebut. Pada lingkar inti ASEAN, TNI-AL berada di jajaran aktor-aktor utama dalam Confidence Building Measures (CBM) dan berbagai kerjasama keamanan maritim regional di kawasan Asia Tenggara, yang merupakan bagian integral dari arsitektur keamanan di kawasan, yang pada gilirannya juga menjadi bagian tak-terpisahkan dalam ASEAN Security Community.

Diantara bentuk-bentuk naval diplomacy yang dilaksanakan oleh TNI-AL di dalam lingkar konsentrik pertama tersebut diantaranya adalah melalui berbagai kegiatan patroli terkoordinasi bersama dengan negara-negara ASEAN semisal Patkor Malsindo (Malaysia-Singapura-Indonesia), Patkor Malindo (Malaysia-Indonesia), Patkor Optima (Operasi Tindakan Maritim Indonesia-Malaysia), dan Patkor Indosin (Indonesia-Singapura).

Adapun dalam lingkup lingkar konsentrik kedua, naval diplomacy TNI-AL dengan negara-negara di kawasan Asia Timur dilakukan misalnya melalui kerja-sama teknis pengamanan maritim di Selat Malaka dengan Pengawal Pantai dan Angkatan Bela Diri Maritim Jepang, serta penjajakan navy to navy talk diantara angkatan laut kedua negara. Untuk lingkar konsentrik ketiga, peranan naval diplomacy TNI-AL mengambil bentuk dalam berbagai kegiatan CBM, semisal dalam kegiatan Cooperation Afloat Readiness and Training (CARAT), yakni latihan kesiapan tempur tahunan dengan Armada Pasifik US Navy yang diselenggarakan secara rutin tiap tahun, dimulai sejak tahun 1995 hingga sekarang.

TANTANGAN KE DEPAN

Berkenaan dengan perluasan dan pengukuhan peran RI dalam kerangka kerjasama baik intra maupun inter-kawasan tersebut di atas, dibutuhkan pula dukungan dari aspek naval diplomacy sebagai salah-satu pilar penunjangnya. Oleh karena itu, diperlukan adanya peningkatan struktur dan postur kekuatan dan kemampuan TNI-AL, dari yang saat ini masuk dalam kategori Green Water Navy dengan kemampuan sebagai Adjacent Force Projection Navy (jatuh diantara Tier 5 dan 6), menjadi (sekurang-kurangnya) Medium Regional Force Projection Navy (Tier 4), dengan kemampuan proyeksi kekuatan secara optimal ke wilayah samudera terdekat, dan mampu men-sustain kehadiran dan operasinya di sana. Hal ini mutlak diperlukan dalam rangka melaksanakan tugas-tugas dukungan Polugri melalui berbagai bentuk naval diplomacy, seiring dengan perluasan peran RI di kawasan Asia-Pasifik yang sebagian besar terdiri atas mandala samudera.

Untuk itu, diperlukan dukungan dari segenap stakeholders nasional, dalam rangka membangun TNI-AL sebagai instrumen naval diplomacy yang besar, kuat, dan profesional, dalam rangka mengemban misi politik luar negeri RI yang dilandaskan pada cita-cita mewujudkan negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur melalui perlindungan secara menyeluruh atas segenap tumpah-darah Indonesia, guna turut menciptakan perdamaian dunia berdasarkan atas kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Jalesveva Jayamahe.

No comments:

Post a Comment