Thursday, September 1, 2011

Perdamaian Transisi Paska Qadhafi


Nasib dan keberadaan Muammar Qadhafi belum jelas, hampir pasti kekuasaan yang demikian mengangkat namanya dan pangkat kolonelnya selama 42 tahun telah runtuh. Sebuah kisah negeri monarkhi suku buatan Qadhadi telah usai. Jatuhnya Bab al-Aziziyah, kompleks kediaman Qadhafi di Tripoli yang menjadi simbol kekuasaan diktator itu, menegaskan bahwa transisi kekuasaan di Libya sudah di depan mata. Persoalannya, transisi seperti dan model apa?

Libya jelas bukanlah Mesir atau Tunisia, dua negara yang mengalami kejatuhan pemimpinnya oleh gerakan rakyat. Demokratisasi ini disimbolkan sebagai Arab Spring, yaitu kebangkitan kekuatan antidiktator di negara-negara Arab. Membangun demokrasi di Libya jauh lebih sulit dibanding di Tunisia atau Mesir. Di bawah kekuasaan Qadhafi selama 42 tahun, Libya sama sekali tak memiliki partai atau institusi modern negara. Libya lebih mirip sebuah negara kumpulan puluhan suku, dengan sebagian suku mendukung kekuasaan Qadhafi.

Konfigurasi seperti itu menunjukkan bahwa persoalan utama bagi Libya jika Qadhafi jatuh adalah menyatukan puluhan suku. Masalah ini mirip yang dihadapi Irak setelah rezim Saddam Hussein dijatuhkan oleh pasukan Sekutu. Pasukan Amerika, sebagai komandan utama Sekutu, mencoba membangun Irak dengan melucuti semua kekuatan bersenjata pro-Saddam. Kesatuan polisi dibentuk untuk mengatasi keadaan, namun mereka tak berdaya karena gerilya perlawanan terhadap Amerika, juga konflik antarkelompok, tetap meledak.

Yang membedakan Libya dengan Irak adalah, pasukan NATO yang menggempur kekuatan Qadhafi tidak dibekali mandat untuk mengambil alih kekuasaan. Saat menggempur Saddam, pasukan koalisi--meski mandat mereka dipersoalkan--langsung mengambil alih kekuasaan dengan membentuk pemerintahan transisi. Di Libya, Dewan Transisi Nasional, yang terdiri atas perwakilan suku anti-Qadhafi dan kaum oposisi, dibentuk sebelum Qadhafi jatuh.

Perbedaan itu membawa implikasi besar. Setelah Qadhafi jatuh, Dewan Transisi Nasional Libya harus mampu mendapatkan legitimasi yang kuat. Legitimasi tidak hanya dari dalam, namun juga dari luar negeri. Dari dalam negeri, salah satu tantangan bagi Dewan Transisi adalah bagaimana mereka mampu menciptakan ketertiban sosial agar institusi negara bisa berjalan. Ini bukan soal kecil, karena Libya sekarang sudah menjelma menjadi negara dengan ribuan milisi bersenjata. Para milisi ini tentu mengklaim imbalan atas perjuangan yang mereka lakukan.

Dari luar negeri, Dewan Transisi memerlukan dukungan kuat komunitas internasional. NATO sudah menjalankan tugasnya menjatuhkan rezim Qadhafi. Namun kejatuhan ini justru merupakan awal perjuangan baru bagi bangsa Libya. Hancurnya infrastruktur, runtuhnya institusi negara, harus dipulihkan segera. Dukungan luar negeri, minimal dalam bentuk pengakuan legitimasi, mutlak diperlukan oleh Dewan Transisi.

Dewan Transisi juga harus mampu membangun infrastruktur demokrasi. Ini tak hanya diwujudkan dengan menggelar pemilu bebas, tapi perlu pula ada distribusi ekonomi yang lebih adil. Libya, sebagai negara besar dan kaya minyak, harus mampu mengelola kekayaan untuk kesejahteraan seluruh rakyatnya. Tanpa perubahan ini, “Arab Spring”, musim semi demokrasi di Arab, tak kan terwujud di Libya.

Thursday, July 28, 2011

Menanti Kapal Selam Buatan Indonesia


Indonesia segera menambah kekuatan armada laut dengan membuat kapal selam sendiri. Dua kapal selam itu rencananya akan dikerjakan mulai awal 2012. Keduanya direncanakan memperbarui alat utama sistem senjata (alutsista) yang selama ini dinilai ketinggalan zaman.

"Awal 2012 sudah bisa mulai dibuat. Kalau tidak keduanya ya dibuat satu dulu," kata Kepala Pusat Komunikasi Kementerian Pertahanan, Brigjen Hartind Asrin.

Dua kekuatan kapal selam baru ini diharapkan mampu menambal sejumlah kelemahan pertahanan laut Indonesia. Kedua kapal selam itu juga akan dilengkapi teknologi militer terbaru.

Namun Hartind masih merahasiakan teknologi yang akan dipasang di kedua kapal selam ini. "Cari saja teknologi kapal selam paling mutakhir. Itu yang akan kita pasang nanti," kata dia.

Menurut dia, dua kapal itu akan dibangun dengan sistem joint production bersama negara lain. Sejumlah negara sudah dijajaki, dan proposal kerja sama sudah disebar. Namun, dia menolak menyebut ke negara mana saja proposal itu diedarkan. "Bagian itu rahasia," kata dia.

Hartind mengatakan, kepastian negara rekanan itu baru bisa diketahui akhir tahun ini. "Setelah lebaran mungkin sudah bisa diketahui," kata dia.

Pembuatan dua kapal selam ini ditargetkan selesai dalam waktu tiga hingga empat tahun. Namun, Hartind mengatakan kapal selam bisa kelar lebih cepat dari target itu, jika negara rekanan telah memiliki kapal yang sudah dibuat. "Tergantung negara rekanan nanti. Kalau dia sudah punya kapal yang sudah mulai dibuat, sudah 50 persen misalnya, berarti bisa lebih cepat selesainya," kata Hartind.

Sementara itu, pengamat militer, Andi Wijayanto mengatakan beberapa negara berpotensi menjadi rekanan Indonesia untuk membuat kapal selam ini. Dia menyebut Korea Selatan, Prancis, Rusia, China, dan Jerman bisa menjadi rekanan.

Namun, lanjut dia, Korea Selatan dan Prancis menjadi negara terakhir yang melaju dalam seleksi rekanan Indonesia. "Rusia, China, dan Jerman tak akan menawarkan lagi konsep kapal selam," kata dia.

Menurut Andi, teknologi dua kapal selam yang akan dibuat itu tak akan jauh dari dua kapal selam tipe U-209 yang saat ini dimiliki Indonesia.

Dia menambahkan, dua kapal selam yang akan berpotensi dibuat Indonesia adalah kapal selam mini. Rancang bangun kapal ini akan dibuat PT PAL, Surabaya. Sementara itu, kapal selam kedua adalah jenis diesel yang akan dibuat oleh negara rekanan.

Kemandirian

Menurut Hartind, selain memperkuat armada laut, tujuan pembuatan kapal selam dengan sistem joint production ini untuk menumbuhkan kemandirian Indonesia dalam memenuhi persenjataan pertahanannya.

Dengan program ini diharapkan terjadi proses alih teknologi kepada Indonesia. "Kita harus bisa mandiri supaya peralatan militer tidak tergantung dengan negara lain," kata dia.

"Kalau tergantung, begitu diembargo kita tidak akan kesulitan lagi. Embargo sama dengan ancaman negara."

Pembuatan kapal selam ini juga direncanakan menggunakan komponen lokal, khususnya kapal yang dibuat oleh PT PAL. "Meski demikian, kita jamin kualitasnya bagus," kata dia.

"Kalau kapal yang dibuat di negara rekanan kemungkinan komponennya sebagian besar masih datang dari luar."

Kebutuhan ideal

Renstra TNI AL menyebutkan pada tahun 2024 idealnya Indonesia memiliki 10 unit kapal selam. Jumlah itu dinilai akan mampu menjaga kedaulatan wilayah NKRI yang sebagian besar terdiri dari lautan.

Dalam sistem pertahanan, kapal selam ini sangat diperlukan terutama bagi laut di kawasan timur Indonesia. "Di timur lautnya sangat dalam, sehingga cocok untuk kapal selam," kata Hartind. Kawasan barat lautnya dangkal, sehingga lebih tepat untuk kapal permukaan.

Andi Wijayanto, mengatakan kawasan timur Indonesia selama ini dijadikan jalur lalu lintas kapal selam negara lain. Sedikitnya, kata Andi, ada tiga titik rawan yang harus dijaga dengan menggunakan kapal selam. "Laut Sulawesi, Laut Aru, dan Laut Natuna," ujarnya.

Dari tiga titik itu, Laut Sulawesi dan Laut Aru adalah titik rawan bagi pertahanan laut Indonesia. "Di dua titik itu, lalu lintas kapal selam negara lain sering melintas dari Laut Pasifik ke Samudra Hindia," kata dia. Kapal selam Australia, Jepang, China, Rusia, dan Amerika menggunakan jalur itu. "Titik rawan ini harus dijaga dengan menempatkan kapal selam".

Anggaran cekak

Ongkos pembuatan dua kapal selam itu telah dimasukkan dalam anggaran pertahanan 2010/2011. Hartind mengatakan Indonesia akan memilih negara rekanan yang menawarkan harga paling rendah dengan kualitas terbaik. "Kita pilih negara yang menawarkan harga paling rendah dengan kualitas yang bagus," kata dia.

Terkait anggaran pertahanan, Andi Wijayanto sangat menyayangkan alokasi dana yang diberikan. Menurut dia, anggaran untuk pertahanan Indonesia terlalu cekak.

Dia menambahkan, Indonesia tak akan mampu memenuhi kebutuhan minimal 10 kapal selam pada 2024. "Karena alokasi anggaran di masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono tidak pernah mencapai kebutuhan. Selalu defisit," kata Andi.

Untuk mengejar target ideal itu, terlalu berat bagi Indonesia. Untuk saat ini saja, kata Andi, harusnya anggaran pertahanan itu sekitar Rp70 triliun lebih. "Saat ini alokasi di negara kita belum pernah tembus Rp50 triliun," kata dia.

Armada selam saat ini

Saat ini, Indonesia hanya memiliki dua kapal selam, yaitu KRI Cakra (401) dan KRI Nanggal (402). Dua kapal itu merupakan tipe 209 buatan Jerman.

KRI Cakra dan Nanggala dibuat oleh Howaldtswerke, Kiel, Jerman pada 1981. Dari umurnya jelas sudah tua, dan merupakan kapal selam tipe 209/1300.
Kapal Selam Cakra 401
Tenaganya digerakkan oleh motor listrik Siemens jenis low-speed disalurkan langsung (tanpa gear pengurang putaran) melalui sebuah shaft ke baling-baling kapal. Total daya yang dikirim adalah 5000 shp (shaft horse power).

Tenaga motor listrik datang dari baterai besar yang beratnya sekitar 25% dari berat kapal. Baterai dibuat oleh Varta (low power) dan Hagen (Hi-power). Tenaga baterai diisi oleh generator yang diputar 4 buah mesin diesel MTU jenis supercharged.

Senjata terdiri dari 14 buah terpedo buatan AEG , diincar melalui periskop buatan Zeiss yang diletakkan disamping snorkel buatan Maschinenbau Gabler.

Kedua kapal selam memiliki berat selam 1,395 ton. Dengan dimensi 59,5 meter x 6,3 meter x 5,5 meter. Diperkuat oleh mesin diesel elektrik, 4 diesel, 1 shaft menghasilkan 4,600 shp, yang sanggup mendorong kapal hingga kecepatan 21,5 knot. Kapal itu diawaki oleh 34 pelaut.

Sebagai bagian dari armada pemukul KRI Cakra dan Nanggala dipersenjatai 14 buah torpedo 21 inci dalam 8 tabung. Keduanya memiliki sonar dari jenis CSU-3-2 suite.(np)
• Disarikan VIVAnews

Southeast Asia Navy Chiefs Meet Amid Tensions

Southeast Asia navy chiefs meet amid tensions

Malaysia's naval chief urged Beijing on Wednesday to respect the sovereignty of other claimants in disputed South China Sea waters as he and other Southeast Asian navy commanders discussed security after recent run-ins with China.

The gathering in Vietnam comes a week after a regional security meeting, where the Association of Southeast Asian Nations agreed to a preliminary plan with China to peacefully resolve disputes over contested territory claimed all or in part by several Asian nations.

Vietnam's navy chief Nguyen Van Hien said during the opening remarks that the meeting comes as "security in the East Sea is extremely complicated," referring to the South China Sea by its Vietnamese name.

Vietnam and the Philippines have recently sparred with China, accusing it of interfering with their oil exploration activities in disputed waters. Beijing denies the allegations.

China says it has historical claims to the entire, potentially resource-rich sea, home to vital shipping lanes.

In the past, Beijing has pushed to handle disputes with its neighbors individually, but ASEAN has been trying to gain more leverage by getting the powerful Asian neighbor to address issues with all 10 members of the bloc. Taiwan, Malaysia and Brunei have also laid claim to overlapping areas in the South China Sea.

"China is free to do anything," Malaysia's navy chief Tan Sri Abdul Aziz said on the meeting's sidelines. "But I would urge China to respect the sovereignty and integrity of the littoral states."

During the regional security meeting last wee in Indonesia, US Secretary of State Hillary Rodham Clinton laid out specific guidelines for the peaceful settlement of competing territorial claims in the South China Sea. She said the recent spats with China are threatening the security that has driven the region's economic growth.

Saturday, April 2, 2011

Kerjasama Militer ASEAN Bukan Pakta Militer

leonard seven - Sejumlah Panglima Angkatan Bersenjata negara anggota ASEAN berkumpul di Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (31/3) pagi, untuk menghadiri pertemuan informal. Menteri Pertahanan, Purnomo Yusgiantoro mengatakan, pertemuan para petinggi militer ASEAN itu tidak akan membahas sesuatu yang terkait dengan operasi bersenjata. "Pertemuan panglima-panglima angkatan bersenjata ASEAN pagi ini sebenarnya pertemuan informal," katanya sebelum mengikuti pertemuan tersebut. Pertemuan informal itu, kata Purnomo, sekaligus menegaskan komitmen Indonesia untuk tidak membentuk pakta militer di kawasan ASEAN. Purnomo menegaskan, kerja sama militer bukan hanya dalam bentuk perang. "Kerja sama itu bisa untuk operasi militer selain perang," kata Purnomo. Kerja sama selain perang itu, antara lain, penanggulangan bencana, misi perdamaian, penanggulangan teror, dan pengamanan wilayah maritim. ASEAN merupakan corner stone politik luar negeri RI karena mempunyai arti yang strategis menjaga perdamaian dan stabilitas kawasan (promote peace and stability in the region). Secara eksternal ASEAN harus menjadi the driving seat dalam pengaturan keseimbangan regional

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dijadwalkan hadir dalam pertemuan informal panglima angkatan bersenjata se-ASEAN yang bertajuk ASEAN Chiefs of Defense Forces Informal Meeting (ACDFIN) itu. Pertemuan informal kedelapan itu juga akan diisi dengan acara santap pagi bersama. Pertemuan tertutup yang berlangsung sejak pukul 07.30 WIB itu akan diisi dengan sambutan Panglima TNI Laksamana TNI Agus Suhartono dan sambutan perwakilan ASEAN Chief of Defense Forces, Royal Thai Armed Forces, General Songkitti Jaggabatara. Presiden Yudhoyono juga akan memberikan arahan dalam acara yang dihadiri 50 undangan

Militer negara-negara ASEAN juga melakukan kerja sama intelijen untuk pemberantasan teroris. Mereka akan melakukan pertukaran data analisis intelijen.  Panglima TNI Laksamana Agus Suhartono mengungkapkan kerja sama ini meliputi pertukaran data analisa intelijen. "Kerja sama ini meliputi negara-negara ASEAN untuk antisipasi kondisi keamanan ASEAN," ujarnya dalam jumpa pers penutupan ACDFIM. Ia menyatakan kerjasama ini penting untuk deteksi dini atas aksi terorisme di kawasan ASEAN. 10 negara yang mengikuti pertemuan ini menyadari bahwa ancaman terorisme merupakan musuh bersama. Masing-masing negara akan melakukan pertukaran atas data intelijen yang sudah dianalisa. Sehingga detil informasi intelijen dapat memberikan arah penanggulangan dini. "Analisa intelijen ini termasuk analisa terkait informasi terorisme," lanjutnya.

Pertemuan ACDFIM ke 8 sendiri menghasilkan beberapa kerjasama yakni meliputi penguatan forum kerja ASEAN pada 2013-2014, penguatan dalam hal bantuan kemanusiaan dan pemulihan bencana, pertukaran analisis intelijen untuk mengantisipasi aksi teror, penanggulangan isu-isu  keamanan maritim

Kerjasama dalam penanggulangan bencana alam yang merupakan usulan Indonesia telah disahkan dengan Roadmap on the use of ASEAN Military Asset and Capacities. Disamping itu kegiatan terkait kerjasama masyarakat madani dengan institusi pertahanan dalam penanggulangan masalah keamanan non-tradisional yang digagas oleh Thailand.serta  ASEAN  selalu berupaya mempromosikan potensi ASEAN dalam kebutuhan alat-alat pertahanan mandiri.

Salah satu contoh kerjasama militer yang digelar dalam waktu dekat adalah Gelar Patroli Bersama Angkatan Laut Empat Negara ASEAN  Sebagaimana dilansir dalam berbagai informasi diketahui aksi perompakan kini mulai bergeser dari Selat Malaka ke wilayah Laut China Selatan. Mengantisipasi itu, empat Angkatan Laut empat negara ASEAN sepakat melakukan patroli bersama.Menurut Panglima, saat ini keamanan Selat Malaka cukup terjaga setelah dikawal Angkatan Laut Indonesia, Singapura, Malaysia, dan Thailand. Aksi perompakan yang terjadi di Selat Malaka semakin menurun.Selat Malaka saat ini dijaga empat negara dan hal itu bisa menurunkan tingkat kejahatan di Malaka. Saat ini di Malaka sudah hampir zero accident," jelas Panglima TNI Laksamana Agus Suhartono.Namun, menurut Panglima TNI semakin ketatnya pengamanan di Selat Malaka, aksi kejahatan pun berpindah ke Laut China Selatan sehingga patroli laut bersama pun mulai diperluas. "Tapi kejahatan berubah, yang asalnya di Malaka sekarang ke Laut China Selatan, seperti di Somalia kejahatan beralih ke laut yang lebih luas. Kita harus mewaspadai jangan sampai kejahatan dari Malaka pindah ke Laut China Selatan," kata Agus. Lebih lanjut Agus menjelaskan patroli laut bersama di Laut China Selatan sangat dibutuhkan karena akan berpengaruh pada jalur lalu lintas perdagangan laut. (leonard-seven)

Friday, March 25, 2011

Indonesia Dukung Resolusi PBB di Libya Dengan Syarat

Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa mengatakan pemerintah mendukung pelaksanaan resolusi PBB dalam penyelesaian konflik internal di Libya. Namun, menurutnya, resolusi yang dijalankan tidak boleh menimbulkan penderitaan yang berlebihan dari warga sipil di Libya.
foto
Dua poin itu sudah disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam suratnya kepada Sekretaris Jenderal PBB. "Kekerasan tidak menyelesaikan permasalahan, siapapun juga," kata Marty di Kantor Presiden, Kamis (24/3).

Saat ini, kata Marty, Indonesia sedang memikirkan peran yang bisa dilakukan dalam menyelesaikan konflik di Libya. Hari ini, Presiden bertemu utusan khusus Raja Arab Saudi dan Sekretaris Jenderal Organisasi Konferensi Islam di sela-sela Rapat Kabinet Paripurna. "Bagaimana negara seperti Indonesia bisa berikan kontribusi. Kita tidak berpangku tangan, diam," katanya.
Indonesia berharap terciptanya situasi kondusif agar masyarakat Libya bisa menentukan nasib mandiri tanpa intervensi pihak manapun juga. "Jadi proses politik dan perlindungan warga sipil," katanya.

Staf Khusus Presiden bidang Hubungan Internasional Teuku Faizasyah mengatakan pertemuan dengan utusan Raja Arab Saudi itu dilakukan untuk menjelaskan perkembangan di Timur Tengah, misalnya di Libya dan khususnya di kondisi terakhir Bahrain. "Secara jelas disampaikan pada utusan Arab harus dicarikan pemecahan langgeng sehingga kondisi Timur Tengah membaik," katanya.

Namun, kata Faizasyah, bentuknya masih dipertimbangkan. Setidaknya, mereka sudah dapatkan pemahaman bahwa indonesia melihat perlu ada pemecahan secara tuntas. Esensi resolusi untuk menghindarkan jatuhnya masyarakat sipil. "Implementasi resolusi harus perhatikan nasib warga sipil," katanya. (Tempo Interaktif)

Thursday, March 10, 2011

Penyelesaian Konflik: Rekonsiliasi Versus Resolusi (Sebuah Pendekatan Teologi)

"Dari manakah datangnya sengketa dan perselisihan diantara kamu? Kamu menginginkan sesuatu tetapi tidak memperolehnya, kamu tidak memperoleh apa apa, lalu kamu menyalahkan orang lain sebagai penyebabnya, karena kamu sebenarnya mengharapkan mereka selalu mengikuti dan memenuhi keinginan dan kehendakmu, kamu mengharapkan kondisi itu selalu membawa kebahagiaan karena hak dan milikmu tidak diganggu, tetapi kamu lupa bahwa keinginan orang lainpun seingkali sama, lalu kamu marah karena terganggu dan gagal mendapatkannya"  (Diadopsi dari Surat Rasul Yakobus) 

 Membawa damai bukanlah menghindari konflik.Lari dari masalah, berpura-pura masalah itu tidak ada atau takut membicarakannya sebenarnya adalah sikap pengecut. Jika anda ingin menjadi juru damai maka anda jangan sekalipun pernah takut akan Konflik. Anda dalam banyak hal tidak boleh menyerah. Demi kebaikan semua orang anda perlu memancing konflik, menghindari konflik dan menciptakannya agar penyelesaiannya  bersifat menyeluruh dan tuntas. Ada beberapa langkah dasar penyelesaian konflik:

Pertama, Selalu Mengambil Inisiatif, basis pertama yang sangat menentukan adalah jangan menunggu pihak lain, hampirilah mereka terlebih dulu. Jangan menunda membuat dalih atau berjanji " aku akan mengurusnya suatu saat nanti" sesegera mungkin tetapkan sebuah pertemuan, penundaan hanya memperdalam rasa dendam dan menciptakan segalanya lebih buruk. Dalam konflik waktu tidak menyembuhkan apapun, waktu menyebabkan luka makin bernanah. Bertindak dengan cepat akan mengurangi kerusakan yang lebih parah.

Kedua, Simpati dan Empati, sebelum mencoba menyelesaikan suatu perselisihan gunakanlah telinga anda lebih banyak dari mulut anda untuk menjenguk dan mendengarkan perasaan perasaan orang. Pusatkan perhatian kepada perasaan bukan kepada fakta, mulailah dengan simpati empati jangan potong kompas kepada kesimpulan solusi, jangan tergesa-gesa mencoba membujuk orang untuk menceritakan apa yang mereka rasakan. Dengarkan saja dan biarkan mereka mengeluarkan isi hati secara emosional tanpa bersikap membela atau menyalahkan. Mengangguklah bahwa anda paham walaupun anda tidak setuju. Perasaan tidaklah selalu benar atau masuk akal dan orang tidak peduli dengan apa yang kita ketahui sampai mereka tahu bahwa anda benar benar tulus dan peduli.

Ketiga, Pengakuan Kelemahan Anda, suatu referensi teologi  mengatakan "keluarkanlah dahulu balok dari matamu, maka engkau akan melihat dengan jelas untuk mengeluarkan selumbar itu dari mata saudaramu, jika kita berkata bahwa kita tidak berdosa maka kita menipu diri sendiriKarena tiap orang  memiliki kelemahan maka anda berdamailah agar orang tersebut percaya sepenunyaa pada anda dan sukarela meminta anda untuk mengevaluasi tindakan-tindakannya dan bersedia mendamaikan perselisihan mereka.


Keempat. Seranglah Masalahnya Bukan Orangnya, anda tidak mungkin membereskan masalah jika anda sibuk mencari siapa yang bertanggung jawab  Kata bijak mengajarkan" jawaban yang lemah lembut meredakan kegeraman, tetapi perkataan yang pedas membangkitkan amarah" Anda tidak akan pernah menjelaskan pikiran anda dengan marah. Ketika memecahkan konflik cara anda berbicara sama pentingnya dengan apa yang anda katakan. Jika anda mengatannya dengan cara menyerang akan menimbulkan pembelaan diri dan penolakan karena orang yang bijak hati dan berbicara elegan lebih dapat meyakinkan. Hindarilah kata kata mengutuk, meremehkan, mencap, mengejek, arogan dan kasar.

Kelima. Bekerjasama Sebanyak Mungkin. Kooperatif dan akomodatif adalah kunci langkah ini karena damai selalu memiliki label harga. Kadangkala damai itu harganya adalah sebesar kesombongan dan keegoisan kita. Demi konsesnsus berusahalah sejauh mungkin berkompromi mendekatkan kesamaan pandang dalam situasi dan item yang sesulit apapun. Sebuah parafrase  mengatakan bahwa kamu akan berhasil bila anda menunjukkan contoh kecil bagaimana bersikap kooperatif dan bukannya bersaing atau berkelahi


Keenam, Utamakan Rekonsiliasi Bukan Resolusi, suatu hal yang tidak masuk akal dan realistis bila kita mengharapkan semua orang setuju dengan segala sesuatu. Rekonsiliasi mengutamakan suatu hubungan (partnership), sedangkan resolusi mengutamakan masalah. Bila kita mengutamakan rekonsiliasi masalah akan kehilanhan maknanya dan seringkali menjadi tidak relevan. Kita dapat membangun kembali hubungan meskipun kita tidak mampu menyelesaikan perbedaan perbedaan yang timbul. Permata dan berlian yang sama akan tampak berbeda dari sudut yang pberbeda. Yang diutamakan adalah kesatuan bukan keseragaman, kita tidak dapat hidup bergandengan tangan tanpa kesepakatan atas masalah yang diakui bersama. Bukan berarti kita berhenti mencari penyelesaian masalah , kita tetap membutuhkan dialektika, berdebat dan berdiskusi dengan sehat namun lakukanlah dalam semangat keharmonisan. Rekonsiliasi berarti anda melupakan perbedaan pendapat itu namun tetap mengingat masalah yang terutama untuk memulihkan tensi dan hubungan kearah yang lebih baik.



Saturday, March 5, 2011

Revolusi Tak Bisa Difotokopi

Senin, 21 Februari 2011
Revolusi tak bisa difotokopi. Revolusi tak bisa dipesan. Mungkin ini kesimpulan sejak revolusi pertama dalam sejarah modern.


Pada usia 20, Lafayette, aristokrat dari Auvergne, Prancis Selatan, itu berangkat ke Amerika. Ini tahun 1777, ketika belum ada harapan bagi perjuangan orang Amerika untuk membebaskan diri dari penjajahan Inggris. Saat itu Raja Prancis tak mengizinkan siapa pun bergabung dengan revolusi di ”benua baru” itu. Tapi Lafayette punya kenekatan, ambisi, dan cita-cita luhur. Hatinya berkobar dengan keyakinan yang disuratkan Deklarasi Kemerdekaan Amerika. Ia pun berangkat dari pantai Spanyol dengan menyamar sebagai seorang perempuan.


Akhirnya—setelah menyatakan diri tak hendak menerima bayaran sepeser pun—ia diterima bergabung dengan tentara pembebasan yang dipimpin George Washington. Di antara pasukannya yang berpakaian berantakan, Jenderal Amerika itu menyambut pemuda Prancis yang kurus itu dengan hormat: ”Kami harus merasa malu, mempertontonkan diri di depan seorang perwira yang baru saja meninggalkan pasukan Prancis.” Lafayette menjawab: ”Untuk belajar, dan bukan mengajar, saya datang kemari.”

Dan Lafayette memang belajar banyak, melalui perang, luka, intrik politik—dengan gairah yang tak kunjung menciut. Ia kembali ke Prancis setelah empat tahun bertempur. Beberapa tahun kemudian ia terlibat langsung dengan Revolusi Prancis.


Pada 11 Juli 1789, dialah—yang darah birunya berasal dari kelas bangsawan lama—yang pertama kali mengajukan rancangan ”Deklarasi Hak-hak Manusia dan Warga Negara”: ”Manusia dilahirkan sama-rata dalam hak-haknya, dan tetap demikian adanya….” Dalam dokumen Prancis itu, terasa gema Deklarasi Kemerdekaan Amerika yang ditulis 13 tahun sebelumnya—gema sesuatu yang kemudian terbukti universal.

Tapi kita tahu, Revolusi Prancis berakhir tak sama dengan Revolusi Amerika. Bung Karno pernah mengatakan, tak ada model revolusi yang ”ready-for-use”. Masyarakat bisa diubah dengan satu desain, tapi tak akan bisa sepenuhnya terpenuhi. Sejarah dan geografi yang berbeda-beda tak mudah diutak-atik. ”Manusia memang membuat sejarah,” demikian kata-kata Marx yang terkenal dari tahun 1851, ”tapi di bawah kondisi yang bukan dipilihnya sendiri.”


Maka Rusia, dengan cita-cita pembebasan universal, tak bisa menyamakan kondisi Cina untuk melihat lahirnya sebuah revolusi sosialis. Jalan Mao berbeda dengan jalan Stalin. Bahkan pada akhirnya keduanya bertentangan. Rusia, Cina, Yugoslavia, Korea Utara, Kuba, dan lain-lain: revolusi tak bisa difotokopi.

Tapi ia bisa menjalar. Di abad ke-20 ia menjalar ke Asia, Afrika, Amerika Latin. Kini, di awal abad ke-21, tampak ia berjangkit dari Tunisia, Mesir, Aljazair, Bahrain, Libya….

Mengapa? Menulis tentang gemuruh yang terjadi di Alun-alun Tahrir, Kairo, bulan ini, Slavoj Žižek menyimpulkan: pemberontakan ini universal. Seperti Lafayette tergerak Revolusi Amerika, ”Semua kita di seluruh dunia dengan segera tak mustahil menyamakan diri dengannya.”

Yang menarik, Žižek melihat kontras pemberontakan di Mesir dengan ”revolusi Khomeini” di Iran. Di sana, kaum kiri harus ”menyelundupkan pesan mereka ke dalam kerangka yang paling kuat, yakni Islam.” Sebaliknya, di Alun-alun Tahrir, ”kerangka itu jelas merupakan satu seruan sekuler yang universal untuk kebebasan dan keadilan.” Justru Ikhwanul Muslimin, kata Žižek, ”menggunakan bahasa tuntutan sekuler.”

Kata ”sekuler” di sini tampaknya sama dengan ”tak didominasi pandangan agama apa pun” dan sebab itu ”universal”, menyentuh siapa saja, di mana saja. Tapi mampukah sebuah revolusi berhasil tanpa seruan yang universal?

Žižek salah. Di Iran, sebenarnya kerangka Islam itu juga punya sifat-sifat universal. Kita menemukannya dalam pemikiran Ali Shariati dan Mehdi Bazargan. Yang tragis ialah bahwa bersama tenggelamnya peran pemikiran Ali Shariati dan tersisihnya orang seperti Bazargan, kian terputus pula pertalian peninggalan Khomeini dengan yang universal: ”Islam” menjadi hanya ”kami”, tak lagi ”kita”.

Tapi apa boleh buat: revolusi bukan sekadar penjelmaan ”ide yang abadi” (kata-kata Žižek) tentang kemerdekaan dan keadilan. Revolusi meletus dari kehidupan yang tak terkait dengan langit. ”Hak untuk mempunyai hak” tak diberikan satu kekuasaan yang ada dari luar sejarah. Hak itu ditegakkan atau direbut mereka yang merasa terjepit.

Itu sebabnya revolusi tak bisa dipesan. Seperti puisi, revolusi punya saatnya sendiri untuk lahir. Ia buah yang panas dari kemarahan yang otentik dan antagonisme yang mendalam.

Tapi selalu jadi cacat dalam tambo manusia: dalam proses itu, pergeseran dari ”kita” ke ”kami” tak terelakkan. Revolusi harus mengukuhkan batas antara ”kami” dan ”mereka”—dan di situ, ”kita” ditiadakan.

Dengan kata lain, ada pembungkaman yang terjadi, ketika yang universal—kemerdekaan, keadilan, harga diri—dilembagakan dalam program partai, ideologi negara, atau hukum. Kaum revolusioner akan harus menentukan siapa yang masuk kemerdekaan, keadilan, dan harga diri itu dan siapa yang harus dikeluarkan.

Akan demikian jugakah gemuruh di Alun-alun Tahrir itu?

Karim, seorang demonstran muda, menyebut lapangan itu sebuah ”utopia kecil”. Tapi utopia, dalam arti harfiahnya, terdiri atas kata ou dan topos, ”bukan + tempat”. Ia jejak dari satu kejadian yang akan segera hilang. Mereka yang cemas perlu mengerahkan kesetiaan yang besar untuk selalu merebut kembali yang hilang itu.

Maka Lafayette tak berhenti di satu sisi Lautan Atlantik—dan namanya tak tenggelam hanya sampai di abad ke-18. Revolusi tak bisa difotokopi, tapi ia tak pernah selesai. (Shared by Goenawan Muhammad)