Friday, February 11, 2011

Hedonism Accelerates Corruption

“Nature has placed mankind under the governance of two sovereign masters, pain and pleasure. It is for them alone to point out what we ought to do, as well as to determine what we shall do” (Jeremy Bentham).
Corruption in Indonesia today is rampant and dismantling most living elements of the society. Serious endeavors to eradicate corruption have been launched since the Sukarno era.
The famous and powerful Corruption Eradication Commission (KPK) was established under the administration of president Megawati Soekarnoputri. Corruption or abuse of power can be traced to many factors, one of them being the adoration of hedonism. Referencing philosophical concepts from the Ancient Greek era developed by icons such as Aristotle, Plato, Epicurus and Democritus, hedonism (hedone) means “pleasure” and is a philosophical foundation that underlines gratification as the cardinal aspect of life. The core idea of hedonism is that pleasure is good and desperately needed by human beings.
Hedonism is generally divided into three major categories: psychological hedonism, ethical hedonism and rational hedonism. Psychological hedonism states that one vital element in human life is to find pleasure and minimize pain. Ethical hedonism is the way people establish their own methods to achieve pleasure by adopting any means necessary. Rational hedonism is set up with certain standards to meet pleasure.
Hedonism as a set ideology was further developed under the influence of two historic philosophers: Jeremy Bentham (1748-1832) and John Stuart Mill (1806-1873). The 19th century philosophers Bentham and Mill laid down their ideas of hedonism through the ethical theory of Utilitarianism. In Bentham’s view, hedonism is “a pleasure that could be understood by multiplying its intensity and duration”.
The density and duration are more important than its numbers. Most known by “quantitative concepts”, Bentham introduced six indicators to identify what pleasure is all about: certainty, uncertainty, duration, intensity, remoteness, fecundity and purity (Bentham, J. 1789, An Introduction to the Principles of Morals and Legislation). Bentham and Mill prescribed that “Utilitarian value stands as a precursor to hedonistic values in all that action should achieve great amounts of happiness”.
Mill proclaimed his “qualitative approach” to understanding pleasure. In Mill’s words, “there are different levels of pleasure, and that pleasure of a higher quality has more value than pleasure of a lower value”.
Taking Indonesia as a nation that claims itself to be a “religious” society, very often pleasure is used to justify misconduct. This is a misleading perception to put God in the center of argument. But bad behavior evolving through the history of the nation proves that what we are doing is quite different from God’s wishes. This sort of ideology develops through human civilization. It subsequently comes out with contradictory paradigms.
Advocates of hedonism adore consumerism as a strong token of social achievement. Therefore, any effort to gain more consumer goods is highly demanded and respected. On the contrary, those who gain less are classified as misfortunate. These stereotypes penetrate deeply within Indonesian society, where, respect for others is basically measured by the amount of luxury goods possessed.
Amid uncertainty over attempts to cripple down corruption, some social scholars pose ideas to introduce what is named as “shame culture”. Shame culture refers mainly to a common awareness not to disparage values and norms operating in a society. Simultaneously, fellow citizens are obligated “to oversee” how others behave, either in the public or in bureaucratic realms. This mode of social control will not receive support because it intercepts basic human rights of citizens. From a judicial point of view, efforts to eradicate corruption here are still basically going nowhere. The reason for this is the growing skepticism in society on moral standards for people and institutions involved in the corruption eradication drive.
Wandering around in the crossroads, the war on corruption then prompts efforts to promote religious teachings for children as well as adults. Both moral and religious enforcements are a failure compared with the people’s demands for corruption eradication. Pleasure is nothing to be hidden, but the way material goods are gained has led to corruption with perpetrators breaking laws and stealing things they are not entitled to.
Seemingly law enforcement is not the right weapon to torpedo widespread corruption. Hedonism in the minds of Bentham, Mill, Plato and other philosophers was not conceptualized to be adopted mistakenly. Not to put blame simply on hedonism as a push factor to engage in corrupt acts, but to a certain extent, misperceptions on hedonism is accelerating corrupt conduct in the community at large.
Hedonism is permitted by any religious or philosophical standpoint, but misusing hedonism to paralyze moral and religious obligations is certainly to be judged as a crime against humanity.
Unfortunately, corrupt people are not aware that corruption and hedonism are two sides of one coin
Adopted from John Haba, Jakarta | Thu, 02/10/2011 10:42 AM | Opinion 

Current Issue: Pembubaran atau Ganti Kulit Ormas?


Organisasi masyarakat yang meresahkan masyarakat karena aksi-aksi anarkisnya dan terbukti melanggar hukum akan dibubarkan. Direktif langsung diberikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Kupang, NTT, Rabu, 9 Februari 2011.
Menindaklanjuti instruksi itu, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Djoko Suyanto menjelaskan sekilas landasan pembubaran itu. Menurut Djoko, hal itu sudah tertuang jelas dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan.

"Instruksi Presiden itu secara umum. Dan untuk penerapannya menggunakan undang-undang itu," kata Djoko dalam perbincangan telepon dengan VIVAnews.com, Kamis, 10 Februari 2011.
Djoko menambahkan undang-undang itu masih sangat relevan karena dengan jelas mengatur setiap aspek dari organisasi masyarakat, termasuk pembubarannya. Peraturan teknis dan segala macam turunannya juga sudah dijabarkan oleh Kementerian Dalam Negeri.

"Presiden kan sudah jelas mengatakan bahwa pembubaran organisasi itu harus dilakukan secara legal dan sah. Undang-undang itu justru untuk penerapannya dan sudah sesuai aspek legalitasnya," ujar mantan Panglima TNI ini.
Dalam UU itu, pembubaran organisasi massa yang terbukti melanggar hukum tertuang di Bab VII soal Pembekuan dan Pembubaran. Dalam pasal 15 tertulis, "Pemerintah dapat membubarkan Organisasi Kemasyarakatan yang tidak memenuhi ketentuan-ketentuan Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 7, dan/atau Pasal 18."

Dalam pasal 7 (c) juga disebutkan, "Organisasi kemasyarakatan berkewajiban memelihara persatuan dan kesatuan bangsa." Soal pembubaran juga disebut dalam pasal 16, "Pemerintah membubarkan organisasi kemasyarakatan yang menganut, mengembangkan, dan menyebarkan paham atau ajaran komunisme/Marxisme-Leninisme serta ideologi, paham, atau ajaran lain yang bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dalam segala bentuk dan perwujudannya."

Pernyataan Djoko dikuatkan Wakil Ketua Komisi II DPR RI bidang pemerintahan, Ganjar Pranowo. Menurut Ganjar, perangkat hukum pembubaran ormas anarkis sudah lama tersedia, yakni UU No. 8/1985 itu. Persoalannya kini "tinggal realisasi pemerintah bagaimana menghadapi ormas yang ngawur-awuran itu."
Acuannya, masih kata politisi PDI Perjuangan itu, jelas tertera pada pasal 14 sampai 16. Bila ada organisasi melanggar ketertiban umum maka akan diberikan peringatan. Bila peringatan itu tidak diindahkan, maka ormas itu bisa dibekukan dan dibubarkan. "Bila diperingatkan masih juga nekat dan tidak mematuhi maka dia bisa dibubarkan," ujarnya.

Kendati demikian, Ganjar mengakui bahwa undang-undang itu merupakan produk orde baru dan sudah saatnya direvisi. DPR sudah memasukkan revisi undang-undang itu dalam Program Legislasi Nasional sejak tahun lalu, 2010. "Tapi, pembahasannya memang tidak cepat. Karena ada trauma represi terhadap ormas pada masa Orde Baru," ia menjelaskan.
Meski begitu, kata Ganjar, UU No. 8/1985 masih bisa digunakan sebagai acuan. "Karena sampai sekarang UU ini tetap berlaku dan belum dicabut."

Kualifikasi Ormas
Lantas, ormas apa saja yang masuk kategori ormas anarkis itu?
Pemerintah sudah memerintahkan institusi terkait untuk mengidentifikasi ormas-ormas perusuh itu. Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring menjelaskan Presiden SBY telah meminta kejaksaan, kepolisian, dan Kementerian Dalam Negeri untuk mengidentifikasi ormas mana saja yang selama ini melawan hukum.

"Kalau memang teridentifikasi ada ormas yang melawan undang-undang, maka ormas itu dapat dibubarkan," kata Tifatul, sembari menegaskan bahwa ini bukan berarti pemerintah melarang ormas untuk berdemonstrasi. "Boleh saja berdemo tapi tidak merusak. Jadi, jangan dikira berdemo tidak boleh."

Desakan pembubaran ormas-ormas anarkis juga datang dari Senayan. Ketua Partai Demokrat Bidang Departemen Pemberantasan Korupsi dan Mafia Hukum Didi Irawadi Syamsudin meminta kepolisian beserta aparat penegak hukum lain, segera merespons perintah Presiden SBY itu. "Sudah saatnya kita mendukung pembubaran ormas yang bertindak seolah-olah negeri ini tanpa hukum," kata Didi di Gedung DPR RI, Jakarta.

Hal senada disampaikan Wakil Ketua DPR dari Fraksi Golkar, Priyo Budi Santoso. Tetapi, dia mencatat bahwa perintah SBY itu perlu segera diikuti sejumlah hal. Pertama, revisi dan penyempurnaan UU Ormas. "Agar nanti negara juga tidak sewenang-wenang, sepihak dan seenaknya membubarkan ormas-ormas yang ada." 

Menurut Priyo, sebaiknya dalam UU Ormas yang baru perlu ditambahkan klausul soal kategori ormas yang layak dibubarkan. Misalnya, "yang sifatnya perusuh, menimbulkan korban jiwa, meresahkan, dan menakut-nakuti warga." Mekanisme pembubaran juga harus diatur sedemikian rupa dan dilengkapi bukti-bukti yang otentik dan kuat. "Termasuk, kemungkinan diperlukan adanya pengadilan yang independen tapi cepat untuk memutuskan soal itu."

Ketua Umum Partai Damai Sejahtera, Denny Tewu, menyerukan hal serupa. Menurut Denny, pemberangusan ormas bukanlah cara yang tepat untuk mengatasi kekerasan berbau SARA di tanah air. "Percuma memberangus ormas. Mereka cuma akan ganti kulit," kata Denny dalam iskusi di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Kamis, 10 Februari 2011.

Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat, Taufiq Kiemas, juga satu suara. Menurut dia, semua pihak harus mendukung perintah Presiden SBY itu. "Kita semua harus setuju," kata Taufiq di Gedung MPR/DPR RI. Namun, pembubaran jangan sampai melanggar hak asasi manusia. Karena itu, pemerintah disarankannya untuk segera meminta saran Komisi Nasional Hak Asasi Manusia mengenai prosedurnya. Jangan sampai, "Nanti kalau terjadi sesuatu, mobil-mobil polisi dibakar, polisi tidak bisa bertindak apa. Sudah begitu, kita marah-marah pada polisi," ujarnya.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menilai perintah Presiden itu bukan sesuatu yang luar biasa. "Dalam konteks ini tidak luar biasa, karena itu sudah jadi aspirasi masyarakat sejak lama," kata salah satu Wakil Ketua Komnas HAM Ridha Saleh.
Ridha juga menyarankan agar pembubaran ormas dipikirkan masak-masak. "Karena ini bukan solusi," ucap Ridha. Dia minta pemerintah untuk mencari solusi yang pas untuk menyelesaikan masalah kekerasan ini secara substansial. Pemerintah terkesan membiarkan terjadinya sejumlah kekerasan. Hal ini antara lain terlihat dari nyaris tidak pernah adan peristiwa kekerasan yang diselesaikan pemerintah secara tuntas. "Setiap kekerasan ada latar belakangnya. Ini yang sebenarnya harus dipelajari dan diantisipasi,
• Disarikan dari VIVAnews

Country Risk Assessments-Southeast Asia

Sentinel Country Risk Assessments - Southeast Asia

Know where your risks and opportunities are

Jane's Sentinel Country Risk Assessments provide you with in-depth, up-to-date and accurate data and analysis on the latest events and trends in political, security and economic affairs. They provide a comprehensive one-stop information source covering 190 states and 30 territories. Jane's worldwide intelligence network of over 120 expert contributors delivers incisive and impartial analysis to help you protect your economic, strategic and political interests.

The new Security file allows prompt and reliable analysis on every country's security, primarily in the areas of terrorism and insurgency
  • state stability
  • international relations
  • organised crime
  • proliferation and procurement


Political files provide overviews of the political system, political actors and parties, cabinet lists, civil society and internal history. External files detail all relevant bilateral and multilateral relations and history. Defence files offer profound analysis of, and information on, all services of a country's military, its size, capabilities, requirements, weaknesses, strengths and orders of battle.

Benefits of online version
An online subscription gives you:
  • daily content updates
  • additional analysis available only to online subscribers
  • the facility to print complete country reports
  • quick and easy navigation to your specific areas of interest
  • simple and advanced search tools
  • active interlinking and navigating


The world's most comprehensive and reliable source on national and international security.

Managing Editor: Christian Le Miére

Southeast Asian countries:
  • Brunei
  • Cambodia
  • East Timor
  • Indonesia (including separate sections on Aceh, Papua, The Moluccas and Kalimantan)
  • Laos
  • Malaysia
  • Myanmar
  • Philippines
  • Singapore
  • Thailand
  • Vietnam

Tuesday, January 25, 2011

Seribu Satu Gayus

PPATK menemukan transaksi mencurigakan di rekening ratusan pejabat Pajak, ada yang Rp27 M.


Gayus Tambunan, mantan pegawai Ditjen Pajak (VIVAnews/Nurcholis Anhari Lubis)
VIVAnews – Mengenakan setelan jas lengkap, sekitar 400 pejabat Direktorat Jenderal Pajak dari seluruh Indonesia berkumpul di Jakarta pada Senin-Rabu, 17-19 Januari lalu. Dari seluruh pelosok Nusantara, mereka sengaja didatangkan guna mengikuti rapat pimpinan istimewa selama tiga hari di Gedung Danaphala, Kementerian Keuangan RI.

Agendanya, sangat strategis. Pertemuan itu membahas rencana penerimaan pajak dengan target besar, Rp850 triliun tahun ini. Pemberi wejangan juga tidak main-main. Di sana, ada Menteri Keuangan Agus Martowardojo, Ketua Komisi Pemberantas Korupsi Busyro Muqoddas, Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Hadi Poernomo, Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Yunus Husein, dan Danang Widoyoko dari Indonesia Coruption Watch.

Namun, keributan mendadak pecah saat Ketua PPATK Yunus Husein tampil ke podium di hari Selasa. Selama dua jam, dia membeberkan sejumlah temuan mengejutkan. “Mendengar presentasi Pak Yunus, pegawai pajak langsung pada ribut,” kata seorang pejabat yang hadir di acara itu.

Apa yang bikin ribut itu?

Menurut dokumen yang dipelajari VIVAnews.com, pemaparan Yunus terkait dengan hasil penelusuran sementara PPATK terhadap rekening pegawai Ditjen Pajak dan Bea Cukai—yang oleh sejumlah survei kerap didudukkan sebagai dua lembaga yang paling korup di negeri ini.

PPATK rupanya sedang menyelidiki rekening pejabat di dua lembaga itu, mulai dari Kepala Seksi sampai Direktur Jenderal. Di lingkungan Ditjen Pajak, yang sedang ditelisik adalah rekening milik 3.616 pejabat dan 12.089 anggota keluarga mereka. Di Bea Cukai, akun punya 1.245 pejabat dan 3.408 famili mereka. Penyelidikan dilakukan setelah mencuatnya kasus Gayus Tambunan pada tahun lalu.

Penelusuran diarahkan untuk mendeteksi dua hal. Pertama, transaksi tunai senilai Rp500 juta atau lebih dan transaksi yang dinilai mencurigakan--misalnya karena tidak sesuai dengan profil dan pendapatan wajar mereka sebagai pegawai negeri.

Dan hasilnya sungguh mengejutkan. PPATK menemukan indikasi bahwa rupanya memang ada 'seribu satu Gayus' di dua instansi ini.

Dokumen itu menyatakan PPATK mendapati ada banyak pejabat Ditjen Pajak yang melakukan transaksi tunai dalam jumlah teramat besar, dalam kisaran Rp500 juta hingga Rp27 miliar per pejabat; baik melalui rekening pribadi mereka maupun istri atau anak mereka “tanpa didukung adanya dasar transaksi yang memadai.”

Yang lebih gawat, temuan ini tersebar di berbagai wilayah maupun jenjang kepangkatan, mulai dari Kepala Seksi, Kepala Kantor Pratama, hingga pejabat eselon di atasnya.

Temuan soal rekening pejabat Bea Cukai tak kurang mengkhawatirkan.

PPATK juga memergoki banyak transaksi tunai pejabat Bea Cukai yang mencurigakan, baik atas nama pribadi, istri, maupun putra-putri mereka. Kisarannya juga tak kalah dahsyat, antara Rp500 juta sampai Rp35 miliar per pejabat. Keganjilan ini ditemukan tersebar di berbagai kantor daerah, mulai dari Kepala Seksi, Kepala Kantor Wilayah, dan pejabat Bea Cukai di tingkat pusat.

“Kami meyakini potensi temuan dalam skala lebih besar yang mencakup jabatan lebih luas serta lebih tinggi,” PPATK menyimpulkan hasil penelusuran terhadap ribuan rekening pejabat di kedua instansi itu. "Sampai sekarang, yang dicurigai jumlahnya mencapai ratusan pejabat," kata sumber VIVAnews.com.

Sejumlah modus
Saat dikonfirmasi soal itu, Yunus Husein membenarkan data di atas. "Kami temukan transaksi mencurigakan di semua Direktorat Jenderal di Kementerian Keuangan. Yang paling dominan di Ditjen Pajak. Pokoknya ada kasus Gayus-Gayus lain. Silakan tanya polisi," kata Yunus kepada VIVANews.com di DPR. 

Menurut Yunus, yang ditelisik PPATK adalah transaksi yang terentang dari tahun 2004 hingga 2010. Yang terindikasi pidana, mereka serahkan ke penegak hukum, selain juga kepada Dirjen Pajak atau Irjen Kementerian Keuangan untuk ditelusuri, dan diberi sanksi administrasi jika terbukti.

Yunus membeberkan sejumlah modus transaksi mencurigakan yang terjadi di ratusan rekening pejabat itu. Pertama, transaksi dalam nilai nauzubillah menggunakan akun anak dan istri mereka. Kedua, mereka dipergoki memiliki simpanan seperti deposito dalam jumlah besar. Ketiga, mereka kerap memanfaatkan berbagai instrumen investasi termasuk unit link, gabungan antara asuransi jiwa dan investasi seperti reksadana, saham, atau lainnya. Keempat, bisa juga mereka menyimpan uang tunai, surat berharga, dan perhiasan di safe deposit box.

"Kalau transaksi lewat anak istri, kami bisa mendeteksi penyimpangannya," ujar Yunus. "Misalnya, seorang anggota keluarga pejabat pajak punya  pendapatan Rp12 juta, tetapi dia kerap melakukan transaksi di atas Rp20 juta. Transaksi itu tentu mencurigakan."

Contoh lainnya, mereka melakukan transaksi dalam jumlah besar, kemudian 'mencucinya' dengan cara memutar-mutarnya. Misalnya, menarik uang Rp2 miliar, kemudian dipindahkan, lalu ditarik lagi. "Sekali tarik, minimal Rp500 juta," Yunus memaparkan. 

Seorang mantan pegawai PPATK bercerita sebenarnya transaksi mencurigakan aparat pajak sudah lama terdeteksi. Bahkan, transaksi janggal sudah diketahui sebelum ada permintaan dari Kementerian Keuangan untuk memeriksa rekening 3.000-an aparat pajak pada tahun lalu.
“Dari transaksi-transaksi mencurigakan setelah ditelusuri ternyata diketahui banyak yang terkait aparat pajak. Gayus hanya puncak gunung es,” katanya.  

Temuan (tak) mengagetkan PPATK itu rupanya juga sudah sampai di meja pejabat Kementerian Keuangan. Setidaknya, itu diakui oleh Plt. Irjen Kementerian Keuangan Hadi Rujito--sebelum diganti pejabat baru pada Jumat, 21 Januari. Dia mengaku kerap menerima laporan PPATK soal berbagai transaksi ganjil pegawai Kementerian Keuangan, khususnya aparat Ditjen Pajak atau Bea Cukai.

"Laporannya tertulis rahasia, biasanya 2-4 halaman berisi transaksi mencurigakan dengan nilai ratusan juta hingga puluhan miliar rupiah," kata Hadi kepada VIVAnews.com.

Tim Inspektorat Jendral lantas menelusurinya. Beberapa terbukti melanggar karena terjadi saat si aparat sedang memeriksa wajib pajak. Temuan gratifikasi, kata Hadi, rata-rata tidaklah terlalu besar, ada yang mencapai Rp250 juta dari wajib pajak badan. "Itu yang memberi perusahaan yang tidak terlalu besar."

Namun, beberapa transaksi lain rupanya terkait jual beli properti, tanah atau warisan. Untuk transaksi seperti ini, Hadi menyatakan tak bisa menindaklanjutinya karena tidak memiliki kewenangan penyidikan. Karena itulah, laporan PPATK lebih banyak langsung dikirimkan ke polisi.

Mantan Dirjen Pajak Tjiptardjo juga mengaku telah menerima banyak laporan PPATK. Dia juga mengaku sudah menindaklanjutinya. “Yang terbukti melanggar sudah ditindak, tetapi kalau transaksi mencurigakan terkait warisan, kami tidak bisa berbuat apa-apa,” dia beralasan.

Tsunami Gayus
Tak bisa dipungkiri, temuan PPATK jelas makin membuka tabir sindikat aparat pajak yang telah menggurita di negeri ini. Sebelumnya, sudah banyak terungkap berbagai kasus pidana. Di antaranya, tuduhan suap pajak First Media yang melibatkan komplotan Yudi Hermawan, kasus rekening puluhan miliar rupiah milik pejabat kantor pajak Jakarta, Bahasyim Assafi'ie; kasus penggelapan ratusan arsip pajak di Bandung oleh Andri Harduka, hingga mafia pajak Surabaya.

Itu belum termasuk yang terbongkar terakhir: komplotan Gayus Tambunan. Usai pembacaan vonis di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, 19 Januari 2011 lalu, Gayus secara terang-terangan mengungkapkan jaringan mafia pajaknya yang, menurut dia, melibatkan pejabat setingkat direktur hingga direktur jenderal. “Kenapa itu tidak dibongkar?” Gayus menggugat.

Dalam persidangan, Gayus antara lain kerap menyebut keterlibatan Darmin Nasution, Dirjen Pajak ketika itu dan sekarang Gubernur Bank Indonesia, dalam kasus dikabulkannya keberatan pajak PT Surya Alam Tunggal Sidoarjo; yang belakangan dinyatakan merugikan negara Rp570 juta. Bahkan, dalam pertimbangan putusannya, ketua majelis hakim menyebut bahwa sepak terjang Gayus tak mungkin dilakukan tanpa persetujuan atasannya secara berjenjang.

Jaringan Gayus juga disebutkan secara eksplisit dalam percakapan via BlackBerry Messenger antara Gayus dengan Sekretaris Satgas Mafia Hukum, Denny Indrayana, pada 29 Maret 2010. Dalam transkrip yang dibagikan Satgas itu, Gayus secara terang menyebut anggota jaringannya di Ditjen Pajak, yakni: Johnny Marihot Tobing selaku Kasubdit Pengurangan & Keberatan Pajak, serta Bambang Heru Ismiarso, Direktur Keberatan dan Banding. 

Saat dimintai konfirmasi soal pernyataan Gayus tersebut, Darmin Nasution menolak berkomentar. "Kalau soal Gayus, saya nggak mau komentar," kata Darmin di Istana Kepresidenan, Kamis, 20 Januari 2011.
Soal atasan Gayus yang lain, Dirjen Pajak pengganti Darmin, Moch. Tjiptardjo, menyatakan mereka tetap akan diproses secara hukum.  “Itu masih ditangani oleh polisi,” katanya.

Menurut dia, Ditjen Pajak sudah menindak banyak aparatnya, termasuk yang bersumber dari temuan  PPATK. Pada 2010, misalnya, sudah ada 640 orang pegawai pajak yang dikenai sanksi, dari yang ringan hingga berat, termasuk diberhentikan. “Sudah puluhan orang diberhentikan tidak hormat karena rekening mencurigakan, dari level rendah hingga eselon II,” katanya.

Toh demikian, Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Humas Ditjen Pajak Iqbal Alamsjah mengakui kasus Gayus telah menghantam kredibilitas korps pajak dalam skala luar biasa. Kata dia, “Tak bisa dipungkiri Gayus adalah Tsunami bagi Ditjen Pajak.” (kd)
• VIVAnews

Saturday, January 22, 2011

Kisah Heroik Ala Angkatan Laut Malaysia - Penyelamatan MT Bunga


VIVAnews -- Aparat Malaysia menangkap tujuh bajak laut Somalia, setelah menggagalkan upaya pembajakan tanker berisi bahan kimia di Teluk Aden.

Angkatan Laut Kerajaan Malaysia mengatakan, pasukan komandonya melukai tiga bajak laut dalam baku tembak dan berhasil menyelamatkan 23 kru kapal berbendera Malaysia, MT Bunga dari bajak laut yang menyerbu kapal dengan senjata pistol dan senapan.

Drama penyelamatan tersebut melibatkan kapal dan helikopter angkatan laut yang bersiaga 22 kilometer dari Kapal MT Bunga. Penyerbuan dilakukan setelah para kru mengunci diri di sebuah ruangan dan mengaktifkan panggilan darurat.

Kisah heroik itu sudah didengar Perdana Menteri Malaysia, Najib Razak. Kata dia, Pihak berwenang sedang mempertimbangkan apakah mereka akan dibawa ke Malaysia untuk diproses secara hukum.

"Saya sangat bangga dengan angkatan laut yang bertindak penuh efisiensi dan mendemonstrasikan tindakan berani," kata Najib, seperti dilansir kantor berita AP, Sabtu 22 Januari 2011.

Keberadaan Angkatan Laut Malaysia di Teluk Aden berfungsi untuk mengawal kapal yang berkaitan dengan kepentingan negeri jiran.

Serangan itu terjadi hanya dua jam setelah angkatan laut meninggalkan MT  Bunga usai mengawal kapal itu ke wilayah yang dianggap relatif aman di perairan Teluk Aden, sekitar 500 kilometer di lepas pantai timur Oman.

Angkatan laut tidak memberikan rincian kebangsaan para awak kapal. Perwakilan dari Malaysia International Shipping Corporation, yang mengoperasikan MT Bunga, belum dimintai konfirmasi.

Cara seperti yang ditempuh Malaysia menyelamatkan kapalnya bukan hal baru. Sejumlah pasukan khusus negara lain juga melakukan penyelamatan dengan prosedur sama: memastikan kru terkunci di ruang aman atau 'benteng', dan balik menyerbu kapal untuk menyelamatkan para kru.

Salah satu usaha penyelamatan yang berhasil namun berisiko tinggi dilakukan Angkatan Laut Korea Selatan, yang berhasil membebaskan kapal pengangkut barang yang disandera di Laut Arab yang telah dibajak seminggu sebelumnya.

Delapan bajak laut Somalia tewas, sementara 21 kru kapal termasuk dua Warga Negara Indonesia (WNI) berhasil selamat. (AP)

Wednesday, November 24, 2010

Insiden Yeonpyeong Titik Nyala Perang Korea?

Dua Korea kembali bergejolak, ditandai dengan serangan artileri Korea Utara (Korut) ke Pulau Yeonpyeong di Korea Selatan (Korsel), Selasa 23 November 2010. Korsel pun membalas dengan tembakan artileri dan serangan udara.Kantor berita Associated Press mencatat, hingga Selasa malam, dua tentara Korsel tewas dan 16 lainnya terluka akibat baku tembak itu. Belum ada keterangan apakah ada korban jatuh dari pihak Korut.Kedua Korea saling tuduh mengenai siapa penyulut gejolak kali ini. Korsel, seperti dikutip kantor berita Yonhap, menuding Korut sebagai pihak pertama pemantik konflik. Sebaliknya, kantor berita Korut KCNA, menyebutkan Korsel pertama kali melontarkan tembakan. Tampaknya tuduhan itu merujuk kepada latihan militer yang dilakukan Korsel di perairan dekat Yeonpyeong.

Bermula dari latihan militer






















Ketegangan itu dimulai saat Korut memberi peringatan kepada Korsel agar tidak menggelar latihan militer di perairan dekat Pulau Yeonpyeong. Wilayah di Laut Kuning itu masih dalam sengketa antar kedua negara.Sejak akhir Perang Korea 1950-1953, Korut tak mengakui batas maritim wilayah Barat, yang dianggap ditetapkan sepihak oleh Perserikatan Bangsa-bangsa, saat mengatur gencatan senjata kedua negara.
Peringatan Korut itu tak digubris oleh Korsel, yang merasa berhak menggunakan perairan itu untuk latihan perang. Maka, tak lama setelah latihan militer Korsel dimulai, terdengar gemuruh tembakan artileri dari Korut. Masalahnya, tembakan itu tak mengarah ke lokasi latihan militer, tapi ke Pulau Yeonpyeong, yang dihuni warga sipil dan militer.“Kami sedang melakukan latihan angkatan laut, darat dan udara di wilayah ini. Mereka sepertinya keberatan,” ujar seorang tentara kepada stasiun berita YTN seperti dilansir dari laman Telegraph.Serangan artileri Korut ke sasaran sipil Korsel, Selasa 23 November 2010, itu dinilai sebagai terparah dalam 20 tahun terakhir. Harian The Telegraph mengingatkan serangan Korut sebelumnya adalah pengeboman pesawat Korean Air pada 1987. Itu adalah serangan Korut pertama atas Korsel sejak akhir Perang Korea 1950-1953. Sekitar 104 penumpang, dan 11 awak pesawat itu tewas dalam aksi yang dilakukan agen intelijen Korut.

Suksesi di Korut?


Menurut kalangan pengamat, serangan di Yeonpyeong itu diduga sebagai upaya Korut mencari perhatian dunia atas rencana suksesi dari kepemimpinan Kim Jong-il kepada putranya, Kim Jong-un. Jong-un telah diperkenalkan kepada publik Korut dalam suatu parade militer Oktober lalu.Kalangan pengamat menilai suksesi kepemimpinan akan ditandai oleh serangkaian upaya provokatif untuk menunjukkan kekuatan militer Korut. Selain itu, pada pekan ini juga, Korut mengungkapkan pengayaan uraniumnya yang ditakutkan akan digunakan untuk membuat senjata nuklir.Profesor Chu Shulong, pengamat dari Universitas Tsinghua di Beijing, China, menilai Korut dari dulu selalu membuat gara-gara untuk mencari perhatian internasional. "Setelah mendapat perhatian, mereka akan memulai putaran perundingan dan mendapat bantuan dari negara-negara lain. Itulah yang mereka lakukan dalam 20 tahun terakhir," kata Chu seperti dikutip harian The Guardian. Mantan menteri luar negeri Korsel, Han Seung-joo, menilai aksi Korut itu tampaknya cenderung sebagai pesan kepada publik domestik ketimbang pihak luar. Ini untuk menggalang solidaritas di dalam negeri, bahwa mereka masih bisa unjuk kekuatan kepada musuh-musuh kapitalis, yang diwakili oleh Korsel dan sekutunya, Amerika Serikat.

Siaga perang sejak 1953


Pada tahun ini, tercatat telah dua kali militer dua Korea terlibat kontak fisik dengan korban jiwa. Pada Maret lalu, satu kapal patroli Korsel ditorpedo oleh kapal selam Korut. Sekitar 46 pelaut Korsel tewas. Korsel sudah memperlihatkan bukti, namun Korut membantah penyerangan itu.Kini muncul serangan artileri dari Korut ke Yeonpyeong, pulau milik Korsel yang letaknya sekitar 120 km dari sebelah barat Ibukota Seoul. Yeonpyeong hanya berjarak sekitar 80 km dari Kota Incheon, yang menjadi lokasi bandar udara internasional terbesar Korsel.Serangan artileri ini, bila tetap terjadi, diperkirakan mengancam keselamatan penerbangan komersil. Bandara Incheon adalah salah satu pusat layanan penerbangan internasional di Asia. Serangan itu juga berpengaruh pada turunnya harga-harga saham di Korsel.  Kedua Korea sebenarnya masih dalam keadaan siaga perang karena Perang 1950-1953 hanya diakhiri oleh gencatan senjata dan bukan oleh perjanjian damai. Itulah sebabnya kedua negara itu terus bersengketa secara fisik walau beberapa kali muncul upaya rekonsiliasi dalam kurun lebih dari 50 tahun terakhir.

Zona panas Yeonpyeong

Klaim batas maritim di bagian barat Semenanjung Korea adalah salah satu biang konflik Kedua Korea. Kebetulan, Pulau Yeonpyeong berada di tengah zona panas itu.Berpenduduk sekitar 1.600 jiwa, Yeonpyong pada 1970an juga pernah diklaim Korut sebagai wilayahnya. Sebagian besar warga sipil di pulau itu adalah nelayan. Di Yeonpyeong juga didirikan markas militer, dan ditempati 1.000 tentara Korsel.
Penduduk di pulau ini sudah terbiasa dengan agresi militer. Pada Juni lalu, Korut menembakkan 130 peluru artileri ke arah pulau Yeonpyeong sebagai bentuk protes atas latihan gabungan Korsel dan AS di Laut Kuning. Beruntung, hanya sekitar 10 peluru yang melewati perbatasan dan kesemuanya jatuh di laut.
Delapan tahun lalu, 13 tentara angkatan laut Korut dan empat angkatan laut Korsel terbunuh saat kedua tentara kedua pihak berbalas tembak di perbatasan Korut. Itu sebabnya, warga pulau itu selalu bersiap untuk keadaan perang.Di Yeonpyeong, misalnya, terdapat 19 tempat penyimpanan bom. Setiap bulan penduduk setempat melakukan latihan antisipasi serangan udara dari Korut. Untuk persiapan, penduduk juga selalu menyimpan topeng gas di rumah.
•leonard-seven. Disarikan dari VIVAnews

Tuesday, November 9, 2010

First Greek Type 214 Submarine Finally Enters Service

HS Papanikolis was belatedly commissioned into the Hellenic Navy on 2 November in Kiel, six and a half years after the boat was launched. (Michael Nitz)
HS Papanikolis was belatedly commissioned into the Hellenic Navy on 2 November in Kiel, six and a half years after the boat was launched. (Michael Nitz)
Article Tools
Subscribe Now
The Hellenic Navy commissioned its first Type 214 submarine in a ceremony at shipbuilder Howaldtswerke-Deutsche Werft's (HDW's) yard in Kiel, Germany, on 2 November.
HS Papanikolis, which is expected to arrive in Greece in December, was at the centre of a long-running contractual dispute between HDW parent company ThyssenKrupp Marine Systems (TKMS) and the Greek government.
Athens claimed initially that the submarine, which was launched by HDW in April 2004, was not completely seaworthy and refused to accept the boat. Germany's Federal Office of Defence Technology and Procurement subsequently demonstrated that the vessel not only complied with stability requirements but significantly exceeded other performance parameters, whereupon Greece said that it would take the boat and sell it on to a third party.
However, as Jane's reported in late October, it has now been decided that the Hellenic Navy will operate Papanikolis as the lead vessel in a class that will eventually number six Type 214 hulls.

157 of 253 words
Copyright © IHS (Global) Limited, 2010