Wednesday, September 22, 2010

Indonesia Pionir Asia

"Indonesia Pembawa Aspirasi Asia"
Duta Besar Inggris Martin Hatfull berbicara tentang diplomasi, Twitter dan Facebook.
Rabu, 4 Agustus 2010, 00:40 WIB
VIVAnews – INGGRIS kini memiliki pemerintahan baru di bawah koalisi Partai Konservatif dan Partai Liberal Demokrat. Pemerintahan koalisi ini adalah pertama kali dalam 60 tahun terakhir. Penguasa baru negeri itu bertekad meningkatkan hubungan lebih erat dengan negara-negara Asia, termasuk Indonesia.
“Pemerintah saat ini merasa dalam beberapa tahun terakhir Inggris lebih terfokus pada Eropa dan Amerika, dan kurang memberi fokus pada Asia - termasuk Asia Tenggara,”  ujar Duta Besar Inggris untuk Indonesia, Martin Hatfull, saat berkunjung ke redaksi VIVAnews di Jakarta, Selasa 3 Agustus 2010.
Padahal, dia menambahkan, sejumlah negara di kawasan ini punya pengaruh besar baik ekonomi, dan politik. “Indonesia adalah salah satunya,” ujarnya.
Diplomat kelahiran 7 Juni 1957 itu juga memaparkan langkah Inggris dalam merekatkan hubungannya dengan Indonesia. Salah satunya, membantu Indonesia memperbaiki infrastruktur untuk menambah daya tarik para investor asing, termasuk para pengusaha dari Inggris.
Bagi Hatfull, Indonesia adalah tugas pertamanya sebagai Duta Besar Inggris, dan dia sudah menjalaninya selama dua tahun. Sebelumnya, ayah dua anak ini menjadi pejabat senior Kedutaan Besar Inggris di Jepang, dan pernah pula bertugas di Brussels, Belgia.
Selama sekitar satu jam, Hatfull tak saja membincangkan isu bilateral, tapi  juga meladeni sejumlah pertanyaan pembaca VIVAnews dari laman jejaring sosial Twitter dan Facebook.  Beragam pertanyaan muncul, dari badai matahari,  program bea siswa, hingga klub sepak bola Inggris.  Berikut petikan wawancara dengan Hatfull.
Inggris kini memiliki pemerintahan baru, koalisi Partai Konservatif dan Partai Liberal Demokrat.  Apakah akan ada perubahan kebijakan luar negeri bagi Indonesia?Pemerintahan koalisi kami menegaskan di level internasional Inggris berkeinginan memperkuat hubungan dengan negara-negara yang, kami anggap, sebagai kekuatan baru, dan itu termasuk Indonesia.
Pemerintah saat ini merasa bahwa dalam beberapa tahun terakhir Inggris lebih terfokus pada Eropa dan Amerika dan kurang memberi fokus pada Asia - termasuk Asia Tenggara. Padahal ada sejumlah negara di kawasan ini yang memiliki pengaruh ekonomi dan politik yang kian bertambah. Dan Indonesia adalah salah satunya.
Jadi kini ada keinginan yang kian kuat untuk melibatkan Indonesia sebagai mitra di banyak sektor. Salah satunya adalah hubungan ekonomi.
Kami telah melihat potensi ekonomi yang besar dari Indonesia, baik pasar, jumlah populasi, pertumbuhan ekonomi, dan prospek lain. Negeri Anda adalah salah satu ekonomi terbesar di Asia Tenggara.
Inggris selama ini mengandalkan ekspor, yang punya pengaruh 70 persen dari pertumbuhan ekonominya. Itulah sebabnya, kami perlu memperluas pasar, dan berharap bisa melakukan banyak hal di Indonesia.

Bagaimana Anda melihat pengaruh Indonesia di G-20 yang, seperti Anda tahu, juga melibatkan banyak negara dengan ekonomi dan politik lebih besar seperti Inggris, Amerika Serikat dan lainnya? Setiap anggota, termasuk Indonesia, punya peran penting dalam G-20. Di forum, peran setiap anggota tidak semata-mata dilihat dari kapabilitas ekonomi. Semua anggota punya bobot suara dan peran yang sama. Walau kemampuan ekonominya relatif lebih rendah dari anggota lain, Indonesia tetap dianggap penting.
Kami memandang Indonesia membawa aspirasi dari kawasan Asia, terutama Asia Tenggara. Meskipun forum ini juga mengundang negara yang tengah menjabat sebagai ketua ASEAN. Indonesia selama ini melontarkan pandangan yang kuat, dan kami pun menanggapinya secara serius.
Bagaimana Inggris ingin menjadikan Indonesia sebagai salah satu target pasar utama? Kami ingin menggalakkan perdagangan dan investasi dengan Indonesia sekaligus juga berupaya mengundang lebih banyak investor di sini untuk berbisnis di negara kami. Bagi Inggris, salah satu cara mengatasi masalah ekonomi adalah justru melakukan ekspansi pasar. Maka pemerintah membantu membuka jalan bagi perusahaan-perusahaan Inggris di luar negeri untuk mengembangkan usaha mereka.
Kendala yang sering dikeluhkan para investor maupun pebisnis asing adalah kurangnya fasilitas dan infrastruktur yang layak di Indonesia. Apakah keluhan sama kerap dilontarkan para pengusaha Inggris?Inggris memahami penyediaan infrastruktur yang layak adalah salah satu kendala bagi Indonesia mengundang lebih banyak pengusaha dan investor. Itu sebabnya kami mengajak perusahaan-perusahaan Inggris urut mendukung Indonesia dalam pembangunan infrastruktur yang memadai.
Salah satu yang kami pikirkan saat ini adalah pelabuhan. Kami harap jasa pelabuhan tidak terkonsentrasi di Pulau Jawa, namun juga tempat lain seperti Sumatra dan Kalimantan.
Selain itu, listrik adalah infrastruktur yang harus terus diperbaiki. Indonesia saat ini masih perlu lebih banyak ketersediaan listrik.
Banyak pihak di Indonesia berharap Kedutaan Besar Inggris tidak saja meningkatkan kerjasama di bidang ekonomi, perdagangan, dan politik, tapi juga memfasilitasi  hubungan antar warga kedua negara. Bagaimana Anda menyikapinya? Hubungan antar warga memang kian penting bagi kedua negara.
Bagi saya, pendidikan merupakan elemen penting dalam menjalin hubungan antar warga. Itu sebabnya saya menyambut hasil dari program beasiswa Chevening, yang didukung pemerintah Inggris, kepada pelajar-pelajar Indonesia. Para alumni Chevening, dari kegiatan studi yang telah mereka tempuh, bisa memberi perspektif baik mengenai Inggris kepada publik di Indonesia dan juga sebaliknya.
Selain itu, kami juga tengah merintis program kerjasama antara lembaga-lembaga pendidikan di Inggris dengan Indonesia.  Lembaga The British Council pun memiliki sejumlah program mempererat hubungan antar warga. Jadi, pemerintah bertugas membuka jalan, tapi saya berharap hubungan antar warga bisa dikembangkan secara spontan oleh publik.
Inggris turut terkena resesi keuangan global. PM David Cameron kabarnya akan mengetatkan anggaran. Selain itu, perusahaan energi terkemuka Inggris, BP, terlilit masalah akibat bocornya sumur minyak di perairan Amerika Serikat. Apakah situasi  itu berdampak bagi program bantuan, semisal bea siswa? Kementrian Luar Negeri Inggris, secara keseluruhan, harus mengalami penyesuaian dalam penyusunan anggaran pemerintah. Saya tidak tahu persis apakah ini juga berdampak bagi operasional tahunan misi kami di Indonesia.
Menteri Luar Negeri [William Hague] baru-baru ini mengkaji kembali program bea siswa Chevening bersama program lainnya. Beliau memutuskan Chevening adalah program yang bagus dan harus dipertahankan. Dia pun berkeinginan menggandeng lebih banyak pihak swasta turut mendukung pendanaan program ini.
Jelasnya, tahun ini kami tetap mempertahankan program Chevening, dan saya berharap dapat diteruskan pada tahun mendatang. Saya juga berharap Chevening terus menjadi salah satu elemen penting dalam mempererat hubungan kedua negara.
Dari laman jejaring sosial Twitter dan Facebook, kami menerima sejumlah pertanyaan dari sejumlah pembaca VIVAnews untuk Duta Besar Martin Hatfull:
@megimargiyono [via Twitter]; Apakah program Chevening akan dibuka lagi?
Eka Budiarti [via Facebook]; Bagaimana posisi pemerintah Inggris sehubungan dengan krisis yang dihadapi oleh BP? Dan apakah krisis BP juga akan berdampak pada beasiswa Chevening mengingat BP adalah salah satu sponsor chevening?
[Duta besar telah menjelaskan dua pertanyaan di atas bahwa tawaran program beasiswa Chevening tahun ini tetap berlanjut - Red]
@si_MIFY [via Twitter]; Apakah persamaan antara dua putra Pangeran Charles (William dan Harry) dengan kedua putra Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (Agus dan Ibas)?
Sejujurnya saya tidak mengenal mereka semua secara pribadi. Yang bisa saya katakan adalah mereka semua berbuat yang terbaik bagi negara dengan cara mereka masing-masing. Mungkin ada saat-saat mereka merasa tidak leluasa karena status yang mereka sandang dan terus menjadi perhatian publik dan saya menaruh hormat kepada mereka semua.
@lalatimothy [via Twitter]; soal badai surya, yang menurut NASA (Badan Antariksa AS) akan menyebabkan Inggris mati lampu dan kehilangan jaringan komunikasi.
Wow, saya tidak menyangka bakal mendapat pertanyaan seperti ini. [sambil tertawa]. Menurut saya fenomena seperti itu membuat semua pihak harus bersiap menghadapi segala kemungkinan, termasuk dalam menyikapi hal-hal yang di luar kuasa kita, seperti banjir atau gempa.
Terkait dengan hal itu, maka kita semua harus bijak menghadapi fenomena alam, terutama pemanasan global. Saya tidak tahu mengenai kabar badai matahari ini, namun pemanasan global itu sendiri tidak dapat diprediksi dan kita tidak mampu begitu saja mengatasinya.
Djoko Prasetyo Zx [via Facebook]; Musim baru Liga Premier Inggris tak lama lagi akan dimulai. Anda menyukai klub sepakbola mana?
Ini adalah pertanyaan yang harus saya, sebagai duta besar, tanggapi dengan hati-hati. Masalahnya kalau saya pilih salah satu klub besar –- apakah itu Manchester United, Chelsea, Arsenal, atau Liverpool – saya bakal dijauhi oleh mereka yang menyukai klub lain.
Mereka bisa saja dua pertiga penduduk dari negara saya atau, lebih penting lagi, setengah dari jumlah populasi di Indonesia.
Sebenarnya saya penggemar suatu klub kecil, yaitu Charlton Athletic, yang terletak di sebelah tenggara London. Klub itu sekarang terlempar di divisi bawah, tapi saya berharap mereka bisa bangkit lagi ke Liga Premier beberapa tahun ke depan. Sejak kecil saya mendukung Charlton dan bersama keluarga rutin menonton pertandingan mereka setiap sore di akhir pekan.
Terlepas dari itu, saya melihat bahwa antusiasme publik di Indonesia menggemari tayangan sepakbola Liga Premier Inggris sangat fantastis. Saya berharap antusiasme mereka atas Liga Premier membuat banyak khalayak menjadi lebih ingin tahu mengenai budaya masyarakat Inggris.
Apa tanggapan Anda atas populernya media sosial di internet, seperti laman jejaring sosial Facebook atau Twitter? Pemerintah kami sangat menyadari betapa besarnya peran media sosial di internet. Lebih penting lagi, media itu tetap menjadi wahana yang bebas.
Kami menentang praktik sensor atau kontrol atas media dengan menggunakan isu-isu seperti pornografi, kekerasan ekstrem, atau isu-isu yang terkait dengan kriminalitas. Pelanggaran demikian bisa ditindak melalui perangkat hukum yang ada, dan telah diterapkan di banyak negara.
Namun, kami sangat menjunjung prinsip kebebasan berinternet, dan menentang upaya membungkamnya. Itu merupakan alat komunikasi yang kuat. Pemerintah kami, termasuk di Kementrian Luar Negeri, justru berupaya memanfaatkan media sosial di internet menyampaikan pesan kepada khalayak luas.
Apakah Anda punya akun pribadi di Twitter atau Facebook?Tidak punya. Masalahnya, dengan tugas saya saat ini, saya tidak punya waktu untuk update status. Bisa-bisa saya hanya sempat membuka laman enam minggu sekali atau lebih, dan harus mengikuti banyak kabar. (np)
• VIVAnews

Non Proliferasi Nuklir

Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa
Pentingnya Lucuti Bom Nuklir Bagi Perdamaian
Negara-negara pemilik nuklir diminta berkomitmen penuh pada Traktat Non-Proliferasi Nuklir
Kamis, 6 Mei 2010, 13:57 WIB
Renne R.A Kawilarang
Marty Natalegawa (Antara/ Widodo S Jusuf)
VIVAnews - Upaya perlucutan senjata nuklir, non-proliferasi dan pemanfaatan energi nuklir untuk tujuan damai merupakan tiga pilar dari Traktat Non-Proliferasi Nuklir (NPT). Bagi Indonesia, tiga pilar itu bersifat mutlak dan tidak bisa ditawar lagi.

Traktat ini merupakan elemen penting rezim global bagi non-proliferasi dan perlucutan  senjata nuklir. Oleh karena itu, partisipasi Indonesia dalam Konperensi Kaji Ulang kali ini, dilandasi dan didorong oleh suatu keinginan yang kuat untuk memastikan suksesnya konperensi ini.

Sudah bertahun-tahun hingga saat ini, agenda perlucutan senjata nuklir dunia tidak menunjukkan kemajuan yang berarti. Konperensi Perlucutan Senjata selalu mengalami kebuntuan.

Negara-negara pemilik senjata nuklir  harus  memenuhi komitmen untuk menjalankan 3 pilar traktat non proliferasi sebagai dasar bagi adanya kesepakatan perpanjangan tanpa batas waktu Traktat Non-Proliferasi pada tahun 1995.

Selain itu, sejumlah negara bukan pemilik senjata nuklir juga tetap harus memenuhi komitmen mereka di dalam NPT. Pendek kata, dimana dunia saat ini masih menghadapi berbagai ancaman dan tantangan baru, ancaman bencana nuklir  masih tetap ada.

Kita tidak boleh berdiam diri. Atas berbagai kebuntuan yang terjadi saat ini dan berbagai kesempatan yang terbuang percuma. Kita harus memberikan perhatian pada kemungkinan pencapaian tujuan bersama, daripada hanya mempertahankan posisi masa lampau yang sudah tidak lagi sesuai.

Setelah bertahun-tahun lamanya upaya perlucutan senjata yang kita upayakan bersama tidak bergerak maju, maka pada saat kita melakukan Konperensi Kaji Ulang Traktat Non-Proliferasi ini, kita melihat berbagai perkembangan positif.

Negara-negara nampaknya mulai merasakan arti penting dan urgensi untuk melakukan perlucutan senjata nuklir. Sejumlah langkah awal yang sangat positif telah dilakukan.

Amerika Serikat dan Rusia telah menandatangani Traktat Pengurangan Senjata Strategis yang baru (START). Kami juga melihat adanya berbagai hal positif dalam Kaji Ulang Postur Nuklir yang dilakukan oleh Amerika Serikat.

Kami menyambut positif berbagai perkembangan ini dan mengharapkan adanya upaya lebih lanjut untuk memastikan upaya untuk melucuti persenjataan nuklir dapat terlaksana.

Setiap langkah maju, seberapapun kecilnya, kiranya dapat memberikan kita suatu momentum baru bagi upaya untuk mencapai tujuan akhir, yaitu perlucutan senjata nuklir secara menyeluruh.

Indonesia ingin berkontribusi semaksimal mungkin dalam suasana yang positif ini. Indonesia saat ini tengah memulai proses ratifikasi Traktat Komprehensif Pelarangan Pengujian Senjata Nuklir (CTBT).

Kami sangat berharap bahwa komitmen kami pada agenda perlucutan senjata dan non-proliferasi ini dapat mendorong negara-negara lainnya yang belum meratifikasi Traktat tersebut, untuk melakukan hal yang sama.
***
Maka, ada beberapa garis besar yang perlu saya kemukakan terkait dengan isu perlucutan senjata nuklir ini.

Pertama, seluruh negara-negara pemilik senjata nuklir, harus menunjukkan, secara sungguh-sungguh, bukan hanya dengan kata-kata, komitmen mereka bagi perlucutan senjata nuklir. Dengan demikian, perlucutan senjata nuklir secara menyeluruh dapat diwujudkan, negara-negara pemilik senjata nuklir juga harus memberikan jaminan keamanan untuk tidak menggunakan senjata nuklir terhadap Negara bukan pemilik senjata nuklir.

Apabila semua itu telah dilakukan, barulah keprihatinan atas ancaman dari proliferasi senjata nuklir yang selama ini dikhawatirkan oleh negara-negara tersebut akan dapat diperhatikan secara positif.

Kedua, ancaman proliferasi senjata nuklir, dari manapun asalnya, harus direspon secara sungguh-sungguh dan efektif tanpa diskriminasi dan menggunakan standar ganda. Respon tersebut harus didasari oleh prinsip multilateralisme dan esuai dengan hukum internasional.

Maka, kita harus dapat mendorong Israel untuk bergabung pada Traktat ini. Kita harus  mendukung pembentukan kawasan-kawasan bebas senjata nuklir yang baru, khususnya di kawasan Timur Tengah sebagaimana disepakati pada Konperensi Kaji Ulang NPT  tahun 1995.

Kita harus mendukung kawasan-kawasan bebas senjata nuklir yang telah ada, seperti Traktat Kawasan Bebas Senjata Nuklir di Asia Tenggara. Sangat sulit  dipahami adanya kerjasama energi nuklir yang melibatkan negara-negara yang secara terbuka telah memilih untuk melakukan proliferasi senjata nuklir.

Ketiga, Hak yang melekat bagi seluruh negara Pihak NPT untuk melakukan penelitian, memproduksi dan menggunakan energi nuklir bagi tujuan-tujuan damai, sebagaimana dimuat dalam Pasal IV dari Traktat ini, wajib untuk dihormati.

Dalam hal ini,  Badan Energi Atom Internasional (IAEA) harus diperkuat agar mampu menjalankan mandatnya. Seluruh negara berkewajiban untuk selalu bekerjasama dengan Badan energy atom dunia ini.

Dan keempat, kita harus berkerja keras secara bersama untuk menghasilkan suatu konvensi senjata nuklir yang universal dalam tenggat waktu yang jelas guna mewujudkan penghapusan senjata nuklir secara menyeluruh.

Karena hanya dengan  penghapusan senjata nuklir secara menyeluruh, kita baru dapat memastikan bahwa senjata tersebut tidak akan pernah digunakan.

Indonesia memiliki keyakinan akan pentingnya melakukan pendekatan yang berimbang, menyeluruh dan non-diskriminatif terhadap ketiga pilar NPT, yaitu perlucutan senjata nuklir, non-proliferasi dan penggunaan energi nuklir bagi tujuan damai. Sangat jelas bahwa tiga pilar ini saling menguatkan.

Oleh sebab itu, merupakan hal yang sangat mendesak bagi seluruh negara untuk mematuhi rejim NPT. Seluruh negara pihak harus berupaya secara bersama untuk membentuk traktat yang bersifat universal. Jika hal tersebut tidak dilakukan, maka traktat ini tidak akan efektif.

Maka, Indonesia menyerukan agar seluruh negara yang belum menjadi pihak pada NPT ini dapat mengaksesi traktat ini sesegera mungkin. Visi dunia tanpa senjata nuklir bukanlah suatu visi yang baru.

Indonesia selalu berpandangan bahwa visi ini absah dan benar-benar merupakan suatu tujuan yang harus dicapai. Kita semua harus mendukung visi ini dan bersama-sama berupaya mencapainya melalui keterlibatan terus menerus dan konstruktif di antara negara-negara nuklir dan non-nuklir.

Negara-negara pemilik senjata nuklir dan bukan pemilik senjata non-nuklir memiliki kewajiban dan tanggung jawab masing-masing, dan semua dari kita harus memiliki kemauan politik untuk melaksanakan kewajiban tersebut.

Marilah kita belajar dari berbagai kekurangan di masa lampau, dan mencoba mencari kesamaan dari berbagai perbedaan yang ada. Marilah kita bekerjasama untuk membangun suasana yang positif. Melalui cara ini, kita akan dapat membangun dunia yang jauh lebih aman bagi generasi saat ini dan generasi yang akan datang.


Artikel ini merupakan intisari pernyataan Menteri Luar Negeri Indonesia, Dr. Marty Natalegawa, pada Sesi Debat Umum Konperensi Traktat Non-Proliferasi Nuklir di Markas Besar PBB di New York, 3 Mei 2010. Pidato ini dipublikasikan oleh Kantor Perwakilan Tetap Republik Indonesia untuk PBB di New York
• VIVAnews

Seluler Bawah Tanah

2012, Sinyal Ponsel Hadir di Bawah Tanah
Tahun lalu, penyediaan sinyal seluler di bawah tanah dibatalkan karena tingginya biaya.
Rabu, 22 September 2010, 10:00 WIB
Muhammad Firman
VIVAnews - Walikota London sedang berupaya memastikan agar sinyal telepon seluler diperluas jangkauannya di jaringan transportasi bawah tanah kota tersebut. Ini dilakukan untuk menyambut olimpiade yang akan digelar di sana, tahun 2012 mendatang.

Saat ini, seperti dikutip dari PC Advisor, 22 September 2010, Boris Johnson, walikota London tengah berdiskusi dengan lima operator seluler terbesar di Inggris yakni O2, T-Mobile, Orange, 3, dan Vodafone seputar instalasi peralatan yang dibutuhkan untuk menyambut olimpiade.

Disebutkan, Johnson juga ingin memastikan bahwa operator jaringan ikut membantu meringankan biaya layanannya nantinya, dan tidak membebankan seluruh biaya investasi pada pelanggan.

Meski demikian, otoritas Greater London menyebutkan, ketersediaan sinyal ponsel di jalur transportasi bawah tanah tetap bergantung pada kemampuan penyedia layanan membuat proposal yang dianggap memuaskan baik dari aspek teknis ataupun komersial.

Tahun 2009 lalu, Transport for London (TfL) menghapuskan ujicoba enam bulan yang semestinya akan menghadirkan sinyal seluler di jalur bawah tanah; karena mahalnya biaya yang dibutuhkan.

“Meski secara teknis menyediakan layanan data dan solusi nirkabel untuk ponsel di jalur dan stasiun bawah tanah itu memungkinkan, tetapi kondisi lingkungan dan alam yang ada membuat biaya yang perlu dikeluarkan untuk membangun itu sangat mahal untuk saat ini,” kata juru bicara Tfl ketika itu. (kd)
• VIVAnews

Monday, October 5, 2009

Berguru Ke Normandia

Invasi Normandia, yang diberi kode Operasi Overlord, adalah sebuah operasi pendaratan yang dilakukan oleh pasukan Sekutu saat Perang Dunia II pada tanggal 6 Juni 1944. Yang hingga kini Invasi Normandia merupakan invasi laut terbesar dalam sejarah, dengan hampir tiga juta tentara menyeberangi Selat Inggris dari Inggris ke Perancis yang diduduki oleh tentara Nazi Jerman.
Mayoritas satuan tempur pada serangan ini adalah pasukan Amerika Serikat, Britania Raya, dan Kanada. Pasukan Kemerdekaan Perancis dan pasukan Polandia ikut bertempur setelah fase pendaratan. Selain itu, pasukan dari Belgia, Cekoslowakia, Yunani, Belanda, dan Norwegia juga turut serta.
Invasi Normandia dibuka dengan pendaratan parasut dan glider pada dini hari, serangan udara dan artileri laut, dan pendaratan amfibi pagi hari, pada 6 Juni, D-Day. Pertempuran untuk menguasai Normandia berlanjut selama lebih dari dua bulan, dengan kampanye untuk menembus garis pertahanan Jerman dan menyebar dari pantai yang sudah dikuasai Sekutu. Invasi ini berakhir dengan dibebaskannya Paris, dan jatuhnya kantong Falaise pada akhir Agustus 1944.

Dalam tahap perencanaan ini dihadapkan pada situasi yang berbeda dimana invasi Jerman terhadap Uni Soviet (Operasi Barbarossa), Sovietlah yang melakukan mayoritas pertempuran menghadapi Jerman di Eropa. Sehingga Presiden Franklin D. Roosevelt dan Perdana Menteri Winston Churchill pada tahun 1942 ingin membantu uni soviet dan menyatakan bahwa Amerika Serikat dan Britania Raya siap membuka "front kedua" di Eropa menghadapi Jerman, pernyataan ini dinyatakan lagi pada musim semi pada tahun 1943.
Perencanaan ini memakan waktu cukup lama karena yang dihadapi pasukan kuat dari jerman, dimana pasukan Britania Raya di bawah Winston Churchill ingin menghindari serangan langsung seperti pada Perang Dunia I yang memakan banyak korban.
Namun Amerika Serikat menganggap bahwa cara paling optimal adalah serangan langsung dari markas Sekutu yang paling dekat dan besar. Mereka sangat menginginkan metode ini, dan menyatakan bahwa hanya cara inilah yang akan mereka dukung dalam jangka panjang. Mengingat pengalaman Dua proposal awal direncanakan: Operasi Sledgehammer, yang merupakan invasi untuk tahun 1942, dan Operasi Roundup, yaitu invasi lebih besar pada tahun 1943. Sehingga dari dua Proposal yang diajukan proposal yang kedua yang diterima, lalu diganti namanya menjadi Operasi Overlord dan ditunda sampai 1944.

Pantai Sword merupakan nama kode yang diberikan Sekutu untuk sebuah lokasi pendaratan pantai pada Invasi Normandia, pada tanggal 6 Juni 1944. Pantai ini panjangnya 8 km, dari Ouistreham sampai Saint-Aubin-sur-Mer, dan merupakan pantai paling timur pada invasi pantai ini. Lokasi pendaratan dibagi menjadi empat bagian, yaitu Oboe, Peter, Queen, dan Roger.Dalam tahap ini selama emberkasi pasukan membutuhkan waktu yang sangat lama karena material dan personil yang disiapkan jumlahnya cukup besar dimana sekitar 6.900 kendaraan laut, termasuk 4.100 kendaraan pendarat harus dapat masuk kedalam kapal kapal dan pesawat yang telah disiapkan baik oleh Pasukan Inggris maupun Pasukan Amerika, Kemudian 12.000 pesawat terbang, termasuk 1.000 pesawat pembawa penerjun payung, harus siap embarkasi dan 10.000 ton bom serta embarkasi 3 juta personel dari satuan yang berbeda, tempat serta kapal yang berbeda pula. Latihan umum ini dilaksnakan oleh pihak Inggris saat berada disatuannya termasuk Pasukan Amerika dan pasuakn sekutu lainnya. Dimana yang dilakukan yaitu latihan pendaratan, latihan ini yang diangap paling banyak resikonya dan berbahaya karena yang dihadapi Pasukan Jerman yang terlatih. dimana Latihan yang dilaksanakan antara lain: Menguji kesempurnaan rencana, ketepatan waktu, kesiapan peralatan, dan kesiapan tempur satuan-satuan pendaratnya.

Latihan ini dilaksanakan agar dalam pelaksanaannya nantinya tidak salah sasaran karena kandisi pada saat pendaratan penglihatan sangat terbatas dan koordinasi dengan semua unsur yang terlibat harus jelas sehingga dalam pelaksanaannya dapat berjalan lancar. Setelah ada perintah dari komando atas kepada, kapal-kapal sekutu yang membawa pasukan pendarat bergerak menuju pantai normandia. Setelah tiba di titik pencar unsur laut menempati posisi lego jangkar di DSA (Daerah Serbuan Amfibi) di perairan Oboe, Peter, Queen, dan Roger.

Invasi Normandia dibuka dengan Serangan pada Pantai Sword dimulai pada jam 03.00 dengan serangan udara ke pertahan laut artileri Jerman dilanjutkan Serangan artileri laut dimulai beberapa jam kemudian. Pada jam 0730 tanggal 6 juni, satuan-satuan pertama berhasil mendarat di pantai. Satuan dari tank Sherman DD milik Hussar ke-13/18, yang diikuti oleh Brigade Infanteri ke-8. Pada Pantai Sword, infanteri Britania Raya berhasil mendarat dengan sedikit korban. Pada akhir hari itu, mereka berhasil maju sejauh delapan kilometer, tetapi gagal mendapatkan target ambisius Montgomery, khususnya Caen yang merupakan objektif utama, yang tetap dikuasai Jerman sampai akhir D-Day.
Pendaratan udara dilakukan untuk merebut posisi-posisi kunci, dengan tujuan memblokir serangan balik Jerman, mengamankan bagian samping pendaratan laut, dan melancarkan pergerakan pasukan laut dari pantai. Divisi Lintas Udara Amerika Serikat ke-82 dan 101 ditugaskan untuk mengamankan samping barat, dan Divisi Lintas Udara ke-Britania Raya ditugaskan ke samping timur. Anggota Divisi Lintas Udara ke-101 setelah merebut desa St. Marcouf, 8 Juni. Objektif taktis Divisi Lintas Udara ke-6 Britania Raya adalah merebut jembatan-jembatan penyebrangan di BĂ©nouville-Ranville, bertahan menghadapi serangan balik Jerman, menghancurkan meriam artileri di Merville yang menembak ke Pantai Sword, dan menghancurkan lima jembatan di Sungai Dives.
Pantai Juno merupakan nama kode yang diberikan Sekutu untuk sebuah lokasi pendaratan pantai pada Invasi Normandia, pada tanggal 6 Juni 1944. Pantai ini berada diantara Pantai Sword dan Pantai Gold, terbentang dari Saint-Aubin-sur-Mer di ujung timur sampai Courseulles-sur-Mer di ujung barat. Lokasi pendaratan ini juga dikenal dengan nama pantai Kanada, karena yang mendarat disini adalah Divisi Infanteri ke-3 dan Brigade Lapis Baja ke-2 Kanada. Pasukan Kanada yang mendarat di Pantai Juno berhadapan dengan 11 meriam berat 155 mm dan 9 meriam sedang 75 mm, juga senapan mesin, bunker, dan fortifikasi beton lainnya. 50% gelombang pertama yang mendarat tewas, pendaratan ini adalah pendaratan pantai dengan jumlah korban tertinggi ke-2 setelah Pantai Omaha. Pemakaian Sherman DD termasuk sukses di Pantai Juno, sesuai rencana, sampai duluan sebelum infanteri dan membantu menghancurkan pertahanan Jerman.
Pantai Gold merupakan nama kode yang diberikan Sekutu untuk sebuah lokasi pendaratan pantai pada Invasi Normandia, pada tanggal 6 Juni 1944. Pantai ini berada diantara Pantai Omaha dan Pantai Juno, panjangnya delapan kilometer, dan dibagi menjadi empat sektor. Dari barat ke timur, empat sektor tersebut adalah How, Item, Jig, dan King. Korban juga banyak pada Pantai Gold, di mana kedatangan tank perenang Sherman DD tertunda, dan Jerman telah memfortifikasi sebuah desa di pantai dengan baik. Namun Divisi Infanteri ke-50 berhasil mengalahkan pertahanan ini dan maju sampai dekat Bayeux. Divisi ini adalah salah satu yang paling jauh mendekati objektif utamanya.
Pantai Omaha merupakan nama kode yang diberikan Sekutu untuk sebuah lokasi pendaratan pantai pada Invasi Normandia, pada tanggal 6 Juni 1944. Pantai ini panjangnya sekitar 5,6 kilometer, dari Sainte-Honorine-des-Pertes sampai Vierville-sur-Mer. Pendaratan di Pantai Omaha merupakan pendaratan yang paling banyak memakan korban. Elemen Divisi Infanteri ke-1 dan ke-29 Amerika Serikat berhadapan dengan Divisi Infanteri ke-352 Jerman, salah satu divisi yang paling berpengalaman di invasi pantai ini. Intelijen Sekutu gagal mengetahui bahwa Divisi Infanteri Statik ke-714 yang relatif berkualitas rendah digantikan oleh Divisi ke-352 beberapa hari sebelum invasi. Omaha merupakan pantai dengan pertahanan yang paling berat, dan serangan udara serta artileri sebelum invasi ternyata tidak efektif. Di bagian timur, 27 dari 32 tank Sherman DD tidak sampai ke pantai. Di bagian Barat, tank DD berhasil mendarat namun banyak yang hancur oleh artileri Jerman. Data resmi mengatakan bahwa "10 menit setelah mendarat, kompi (pemimpin) menjadi tidak berfungsi, tanpa komandan, dan hampir sama sekali tidak bisa bertempur. Setiap perwira dan sersan telah tewas atau terluka. Ini berubah menjadi perjuangan untuk bertahan dan penyelamatan. Korban pada Pantai Omaha sampai 2.400 orang pada jam-jam pertama. Beberapa komandan sempat ingin mundur dari pantai itu, tetapi beberapa satuan kecil membentuk tim-tim ad hoc yang akhirnya berhasil menguasai pantai dan maju masuk ke daratan.
Point du Hoc merupakan tempat penempatan meriam yang berada pada tebing beton tinggi. Di sini, Batalyon Ranger ke-2, yang dipimpin oleh James Earl Rudder, ditugaskan untuk memanjat tebing-tebing setinggi 30 meter tersebut dengan menggunakan tali, lalu menghancurkan meriam-meriam di atas, yang diperkirakan menembak ke Pantai Omaha dan Utah. Tetapi setelah tiba di atas tebing ternyata meriam-meriam tersebut sudah dipindahkan. Kemudian Ranger maju masuk ke daratan lalu akhirnya menemukan dan menghancurkan meriam-meriam tersebut.
Pantai Utah merupakan nama kode yang diberikan Sekutu untuk sebuah lokasi pendaratan pantai pada Invasi Normandia, pada tanggal 6 Juni 1944. Pantai ini panjangnya sekitar tiga mil, dari Pouppeville ke La Madeleine, dan merupakan pantai paling barat diantara lima lokasi pendaratan pantai pada invasi ini. Pendaratan di Pantai Utah merupakan pendaratan dengan korban paling sedikit. Divisi Infanteri ke-4 yang mendarat di pantai ini ternyata mendarat di tempat yang salah karena arus yang mendorong kendaraan pendarat mereka ke arah tenggara, ke daerah yang tidak dijaga dengan baik. Divisi ini kemudian maju ke daratan dengan mudah, ditambah dengan bantuan dari Resimen Infanteri Parasut ke-502 dan 506. Dengan korban yang sangat sedikit, mereka juga dapat bergerak dengan cepat, dengan tingkat kesuksesan yang sangat tinggi. Setelah pantai dikuasai, dua pelabuhan buatan Mulberry Harbour diderek melalui Selat Inggris dan selesai dirakit pada D+3 (9 Juni). Satu dibuat di Arromanches oleh pasukan Britania Raya, dan satu lagi di Pantai Omaha oleh Amerika Serikat. Pada tanggal 19 Juni sebuah badai menunda kegiatan pengiriman persediaan dan menghancurkan pelabuhan buatan di Pantai Omaha. Ketika itu, Britania Raya sudah mendaratkan 314.547 orang, 54.000 kendaraan, dan 102.000 ton persediaan. Sementara Amerika Serikat telah mendaratkan 314.504 orang, 41.000 kendaraan, dan 116.000 ton persediaan.
Pertempuran Cherbourg adalah bagian dari Invasi Normandia pada Perang Dunia II, yang terjadi langsung setelah pendaratan pasukan Sekutu pada 6 Juni 1944. Pasukan Sekutu mengisolasi lalu menyerang pelabuhan yang terfortifikasi, yang merupakan aset penting untuk kampanye Eropa Barat. Di bagian barat invasi, pasukan Amerika Serikat ditugaskan untuk menguasai Semenanjung Cotentin, khususnya Cherbourg, yang memiliki pelabuhan laut dalam. Wilayah dibelakang pantai Utah dan Omaha dicirikan oleh bocage, yaitu parit kuno dan pagar tanaman yang tebalnya sampai tiga meter, tersebar setiap 100 sampai 200 meter, membuatnya sangat menyulitkan untuk tank, peluru, dan penglihatan, dan menjadi tempat bertahan yang ideal. Infanteri Amerika Serikat maju menuju Cherbourg dengan lambat, dan dengan banyak korban. Bagian ujung semenanjung baru didatangi pada 18 Juni. Setelah melawan pasukan Sekutu dengan gigih, komandan Cherbourg, Letnan Jenderal von Schlieben, akhirnya menyerah setelah sebelumnya sempat menghancurkan pelabuhan Cherbourg, yang membuat pelabuhan itu baru bisa dipakai pada pertengahan Agustus.
Pertempuran Caen terjadi dari Juni sampai Agustus 1944, antara pasukan Sekutu dengan Jerman, pada Invasi Normandia, Perang Dunia II. Pada D-Day, Caen merupakan objektif strategis Divisi Infanteri ke-3 Britania Raya. Tetapi karena Caen pada saat itu gagal direbut, kota ini menjadi tempat beberapa pertempuran pada Juni, Juli, sampai Agustus. Caen dianggap sebagai objektif yang penting oleh Montgomery, maka Caen menjadi target beberapa serangan. Serangan pertama adalah Operasi Perch, yang mencoba menyerang Jerman lewat samping di Villers-Bocage. Tapi serangan ini dihentikan oleh Jerman pada Pertempuran Villers-Bocage. Usaha serangan sempat tertunda karena badai yang menghentikan laju persediaan pada 17 sampai 23 Juni, walau begitu, serangan balik Jerman bisa dihentikan pada Operasi Epsom, dikarenakan serangan balik tersebut sudah diketahui oleh intelijen. Caen kemudian dihujani bom dari pesawat, dan bagian utaranya berhasil diduduki pada Operasi Charnwood, 7 sampai 9 Juli. Ini kemudian dilanjutkan dengan serangan besar-besaran yang dipimpin Jenderal Miles Dempsey, yang diikuti oleh seluruh divisi lapis baja Britania Raya, Operasi Goodwood, 18 sampai 21 Juli, berhasil menguasai sisa Caen beserta dataran tinggi di bagian selatannya.
Dengan hampir terkepungnya Jerman oleh pasukan Sekutu, Komando Tinggi Jerman menginginkan pasukan cadangan Jerman dari daerah sekitar untuk membantu mundurnya pasukan Jerman ke sungai Seine. Namun keinginan ini ditolak oleh Hitler, yang memerintahkan serangan ke Mortain, bagian barat kantong Falaise.

Kampanye Normandia menurut beberapa sejarawan berakhir pada tengah malam 24-25 Juli 1944, yaitu pada awal Operasi Kobra, atau pada tanggal 25 Juli, dengan direbutnya Sungai Seine. Rencana awal Operasi Overlord memperkirakan kampanye sepanjang 90 hari di Normandia, dengan tujuan akhir mencapai Sungai Seine, target ini tercapai dengan lebih cepat.
Pihak Amerika Serikat berhasil mencapai target mereka lebih awal dengan penembusan besar pada Operasi Kobra. Kemenangan Sekutu di Normandia kemudian dilanjuti dengan usaha untuk menguasai perbatasan Perancis, dan Jerman terpaksa mengirim pasukan dan sumber daya dari Front Timur dan Italia untuk membantu pasukan mereka di front baru ini.Mayoritas satuan tempur pada serangan ini adalah pasukan Amerika Serikat, Britania Raya, dan Kanada. Pasukan Kemerdekaan Perancis dan pasukan Polandia ikut bertempur setelah fase pendaratan. Selain itu, pasukan dari Belgia, Cekoslowakia, Yunani, Belanda, dan Norwegia juga turut serta Rencana sekutu untuk menghentikan kekuasaan Jerman terhadap Eropa melalui proses yang cukup lama dan penuh dengan kajian-kajian, data Intelejen, kekuatan pasukan Jerman yang tersebar di pantai pendaratan, kemampuan pasukan pendukung dan keadaan medan yang akan menjadi tempat pendaratan serta jenis/nama operasi yang akan digunakan termasuk selesainya Operasi Amfibi. Kekuatan sekutu yang tersebar sepanjang front pertempuran mendapat perlawanan yang cukup kuat dari pasukan Nazi, walaupun dapat menguasai pantai pendaratan namun korban di pihak sekutu tidak cukup sedikit, keberhasilan ini tidak terlepas dari perencanaan yang matang dan latihan-latihan yang dilaksanakan serta kedisiplinan pasukan. Dengan perencanaan yang bagus dan pelaksanaan pertempuran yang terkoordinasi maka pasukan sekutu tahap demi tahap dapat menguasai jalannya pertempuran hingga ke sungai seine hal ini lebih cepat apa yang sudah direncanakan sebelumnya yaitu 90 hari ini merupakan keberhasilan yang luar biasa. Pasukan Jerman yang menghadapi pasukan gabungan dari beberapa Negara kuat dan jajahannya menunjukkan perlawanan yang sengit namun kekuatan dan jumlah pasukan yang kalah besar dan tidak seimbang ditambah lagi dengan sekutu Jerman yang juga mengalami kekalahan demi kekalahan di dalam pertempuran menghadapi sekutu. Hal ini yang membuat pasukan Jerman terdesak hingga menyerah kalah.




Friday, July 10, 2009

Meretas Keamanan Maritim di Asia Tenggara


Wilayah perairan Asia Tenggara memiliki peranan sangat penting karena merupakan penghubung antara dua samudera besar, Pasifik dan Hindia. Selat-selat di perairan kawasan ini merupakan jalur SLOC (Sea Lanes of Communication) perdagangan dunia yang sekaligus menjadi choke points strategis bagi proyeksi armada angkatan laut negara maritim besar dalam rangka forward presence ke seluruh penjuru dunia. Jalur SLOC yang terpadat adalah Selat Malaka, dimana dilewati oleh 72 % tanker yang melintas dari Samudera Hindia ke Pasifik, dan hanya 28 % yang lewat selat Lombok, selat Makassar dan laut Sulawesi. Selat Malaka sebagai jalur padat perdagangan dunia dan selalu menjadi perhatian masyarakat maritim internasional.

Perdagangan lewat laut ini sebagian besar melalui perairan Indonesia, karena memang semua SLOC berada di perairan Indonesia. Dari kondisi tersebut dapatlah dimengerti apabila keamanan laut di perairan Indonesia terganggu, maka akan berdampak kepada terganggunya aktivitas perdagangan lewat laut, sehingga akan merugikan banyak negara pengguna, khususnya negara-negara yang volume perdagangannya lewat laut sangat besar. Oleh sebab itu sangat wajar dan cukup rasional, apabila masalah tersebut menjadi pemikiran kita bersama, bukan hanya bagi negara-negara yang memiliki SLOC, seperti Indonesia, melainkan juga bagi negara-negara pengguna yang memperoleh manfaat besar dari terjaminnya keamanan di SLOC tersebut.

Namun demikian, keberadaan alur-alur pelayaran yang ramai serta bernilai penting bagi kesejahteraan berbagai bangsa tersebut juga membawa konsekwensi tidak ringan bagi Indonesia, di mana perhatian dunia internasional terhadap masalah keamanan perairan Indonesia menjadi semakin tajam. Isu perompakan bersenjata di laut, terorisme maritim serta bentuk kejahatan maritim lainnya menjadi semakin mengemuka, terutama di perairan-perairan ramai seperti Selat Malaka dan Selat Singapura. Untuk mengatasi pembajakan dan perompakan di kedua selat tersebut, Indonesia telah berupaya maksimal dengan membentuk satuan tugas anti pembajakan/ perompakan serta meningkatkan patroli TNI AL baik secara mandiri maupun terkoordinasi dengan negara-negara lain.

Setelah Konvensi PBB tentang Hukum Laut tahun 1982 (UNCLOS 1982) diratifikasi oleh Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 dan konvensi tersebut diberlakukan sebagai hukum positif sejak tanggal 16 Nopember 1994, maka status Indonesia sebagai negara kepulauan (Archipelagic State) diakui oleh dunia. Pengakuan dunia dalam hukum internasional tersebut mengesahkan “a defined territory” negara Indonesia, sehingga Indonesia memiliki legalitas hukum terhadap wilayah nasionalnya yang meliputi wilayah darat, laut dan udara di atasnya. Demikian pula Indonesia mempunyai kedaulatan dan kewenangan untuk menjaga dan mempertahankan integritas wilayah lautnya, termasuk mengelola dan mengatur orang dan barang yang ada di dalam wilayah kelautan tersebut, namun hal ini tidak berarti meniadakan hak negara lain sesuai dengan ketentuan dalam konvensi tersebut.

Secara legal formal Indonesia terikat dengan ketentuan-ketentuan dalam hukum internasional tersebut, termasuk kewajiban Indonesia untuk menjamin keamanan wilayah kelautan, khususnya di Sea Lines Of Communication. Bila kewajiban ini diabaikan, dalam arti bahwa kapal-kapal niaga negara pengguna terancam keamanannya bila melintas di perairan Indonesia, maka hal itu dapat menjadi alasan untuk menghadirkan kekuatan angkatan lautnya. Berkaitan dengan hal ini diperlukan kesamaan persepsi tentang keamanan laut, khususnya bagi komponen bangsa yang memiliki tugas, fungsi dan wewenang di laut, agar “action plan” yang akan dilaksanakan dapat tepat pada sasaran, terarah dan terpadu.

Perlu dipahami bahwa keamanan laut bukan hanya penegakan hukum di laut, lebih tegasnya lagi keamanan laut tidak sama dengan penegakan hukum di laut. Keamanan laut mengandung pengertian bahwa laut aman digunakan oleh pengguna, dan bebas dari ancaman atau gangguan terhadap aktifitas penggunaan atau pemanfaatan laut, yaitu :

Laut bebas dari ancaman kekerasan, yaitu ancaman dengan menggunakan kekuatan bersenjata yang terorganisir dan memiliki kemampuan untuk mengganggu dan membahayakan personel atau negara. Ancaman tersebut dapat berupa pembajakan, perompakan, sabotase obyek vital, peranjauan, dan aksi teror bersenjata.
Laut bebas dari ancaman navigasi, yaitu ancaman yang ditimbulkan oleh kondisi geografi dan hidrografi serta kurang memadainya sarana bantu navigasi, seperti suar, bouy dan lain-lain, sehingga dapat membahayakan keselamatan pelayaran.
Laut bebas dari ancaman terhadap lingkungan dan sumber daya laut, berupa pencemaran dan perusakan ekosistem laut, eksploitasi yang berlebihan serta konflik pengelolaan sumber daya laut. Fakta menunjukkan bahwa konflik pengelolaan sumber daya laut memiliki kecenderungan mudah dipolitisasi dan selanjutnya akan diikuti dengan penggelaran kekuatan militer.
Laut bebas dari ancaman pelanggaran hukum, yaitu tidak dipatuhinya hukum nasional maupun internasional yang berlaku di perairan, seperti illegal fishing, illegal logging, illegal migrant, penyelundupan dan lain-lain.

Bertitik tolak dari persepsi tersebut sangatlah jelas bahwa keamanan laut memiliki lingkup yang cukup luas, sehingga memerlukan organisasi, manajemen, serta sarana dan prasarana yang memadai. Dilihat dari sisi ini akan menyadarkan kita semua, bahwa masalah keamanan di laut merupakan masalah yang kompleks. Kekompleksannya semakin bertambah karena di laut bertemu dua kepentingan yang saling mengikat, yaitu kepentingan nasional dan internasional. Oleh karenanya penindakan terhadap ancaman-ancaman tersebut perlu didukung oleh perangkat peraturan perundang-undangan, baik nasional maupun internasional.

Gangguan Keamanan di Selat Malaka.


Sea Armed Robbery


Selat Malaka selama ini dipandang selalu menjadi pusat perhatian publik utamanya terkait dengan berita tentang meningkatnya gangguan keamanan terhadap kapal-kapal dagang dan tanker yang melintasi selat ini. Gencarnya publikasi tentang perairan Indonesia khususnya keamanan Selat Malaka yang di juluki sebagai "the most piracy-prone in the world" dikhawatirkan akan tercipta opini masyarakat internasional bahwa memang seperti itulah adanya. Dampak dari pemberitaan ini menyebabkan meningkatnya premi asuransi pelayaran dari dan ke Indonesia yang pada akhirnya akan mempengaruhi kepentingan ekonomi Indonesia.

Konteks pengertian dari Piracy dan Robbery/Armed Robbery juga belum terdefinisi dengan baik dan diterima oleh semua pihak, sehingga sampai saat ini pengertian kedua kata tersebut masih bias dengan konotasi arti yang berbeda-beda. Laporan-laporan tentang Selat Malaka yang dikeluarkan oleh suatu lembaga Non Pemerintah yaitu International Maritime Bureau (IMB) dengan menggunakan definisi "Piracy/Pembajakan" secara sepihak tanpa memperhatikan kaidah hukum-hukum internasional, sangat merugikan Indonesia.

Dalam pasal 100 UNCLOS 1982 dinyatakan bahwa Piracy merupakan tindakan ilegal "dilaksanakan di laut bebas atau di tempat di luar yurisdiksi suatu negara" kemudian pada Pasal 101 UNCLOS 1982 secara tegas mengatur dan membedakan "piracy" dan "armed robbery at sea" berdasarkan "Locus Delicti", dimana piracy merupakan tindakan kejahatan yang dilakukan di laut Lepas (High Seas) atau dilakukan di luar wilayah yurisdiksi nasional suatu negara. Dari definisi ini, dapat disimpulkan bahwa di Selat Malaka tidak terdapat tindakan "piracy". International Maritime Bureau (IMB) justru menciptakan definisi "piracy" sendiri. Yang menyatakan bahwa piracy adalah segala tindakan kejahatan baik yang dilakukan di laut teritorial maupun perairan kepulauan suatu negara atau bahkan dalam suatu pelabuhan di suatu negara, sebagai contoh adanya awak kapal yang mengalami kecopetan di pelabuhan, perompakan pada kapal-kapal yang sedang berlabuh jangkar di pelabuhan serta perbuatan kriminal lain (petty cash criminal) sudah dianggap “piracy”. Dan Indonesia jelas menolak definisi ini.

Pembajakan (piracy), perompakan bersenjata di laut (armed robbery against ships) dan kemungkinan serangan teroris pada jalur pelayaran telah menjadi ancaman yang serius bagi keamanan maritim kawasan Asia Pasifik serta mengganggu stabilitas perdagangan global. Masalah keamanan maritim merupakan hal yang mendasar dan sangat diperlukan dalam menciptakan kesejahteraan dan keamanan di kawasan negara-negara khususnya di Asia Tenggara. Dalam hal ini dibutuhkan upaya kerja sama regional secara menyeluruh bukan saja untuk memerangi pembajakan dan perompakan, namun juga untuk memerangi kejahatan internasional yang terorganisasi (transnational organised crime, TOC).

Terorisme Maritim


Dewasa ini tengah beredar suatu pandangan bahwa teroris dapat bekerjasama dengan para perompak di Selat Malaka dan melakukan serangan dengan merusak salah satu jalur perdagangan terbesar di dunia. Analisa apapun di era globalisasi ini sah dan legal, tapi yang terpenting adalah kewaspadaan dan kesiagaan terhadap segala kemungkinan adalah sangat penting, terlebih bagi negara seperti Indonesia yang juga menjadi korban terorisme. Hingga saat ini, serangan teroris yang langsung diarahkan ke ‘sasaran’ di Laut dapat dikatakan sangat jarang terjadi. Padahal kalau kita cermati, kejadian terorisme maritim masih sangat kecil dan gaung atau akibat kejadiannya tidak semencekam terorisme di darat mengingat tujuan utama terorisme adalah dampak ketakutan yang sangat hebat terhadap masyarakat.

Bagaimana dengan issue terorisme maritim yang dihembuskan negara-negara besar akan terjadi di perairan Selat Malaka dan Selat Singapore ? bayangan sebagian masyarakat umum khususnya dunia pelayaran adalah hadirnya teroris dengan menggunakan boat kecil berisi bahan peledak yang sedang mengintai dan menunggu dirinya di kapal tangker atau kapal kontainer yang sedang melalui Selat Malaka. Atau mungkin dengan cara melaksanakan bom bunuh diri (Suicide Bomb). Bisakah itu terjadi ?

Ancaman lain berupa penyebaran ranjau merupakan bentuk serangan teroris yang paling berbahaya. Telah diketahui bahwa ranjau merupakan senjata yang murah dan sederhana tetapi dapat menimbulkan dampak yang sangat strategis. Hanya dengan menyebarkan senjata tersebut di wilayah perairan maka dapat mengancam keamanan SLOC (Sea Lines Of Communication). Kalau sebuah Tanker/Kapal meledak karena ranjau, maka seluruh kegiatan pelayaran akan terhenti dalam waktu yang cukup lama, sampai xxsemua jalur di perairan tersebut betul-betul bebas/tidak ada ranjau dan para pengguna laut merasa aman dan tidak ragu-ragu lagi apabila melintasi perairan ini, sehingga dibutuhkan waktu yang lama dan dana yang besar untuk melakukan survey pencarian dan pembersihan Alur (channel) sekaligus melaksanakan penyelamatan dan pengangkatan kapal (salvage) yang menjadi korban ranjau.

Hal ini akan berbeda dengan meledaknya kapal yang disebabkan oleh teroris dimana tidak akan menghentikan kegiatan lalu lintas pelayaran (shipping traffic). Tetapi dengan sifat ranjau yang murah dan sederhana ini, akan mampu menimbulkan efek yang sangat besar, sehingga sangat mungkin senjata ini akan dipergunakan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab, di mana dampaknya dapat menimbulkan ketakutan dari para pengguna laut sehingga mengganggu dan mengancam kestabilan ekonomi negara-negara kawasan yang akhirnya berakibat terhadap kestabilan ekonomi dunia.

Semua negara dapat menggunakan Sea Lines Of Communication yang melalui perairan Indonesia termasuk Selat Malaka dan Selat Singapura untuk perlintasan kapal-kapal mereka. Tetapi untuk melancarkan suatu operasi, dengan dalih memerangi terorisme maritim, harus mendapat persetujuan dari negara-negara pantai yang bersangkutan. Oleh karena itu masalah Terorisme Maritim ini bukan hanya urusan negara pantai, melainkan kepentingan bersama, sehingga negara-negara pengguna juga harus memiliki kepedulian yang tinggi dan ikut terlibat aktif dalam penanganannya, bukan dalam bentuk menghadirkan kekuatan Angkatan Lautnya, namun membantu meningkatkan kemampuan negara-negara pantai (Capacity Building), antara lain dalam kerjasama pertukaran informasi intellijen (Sharing Intellijen) diantara negara pantai serta antara negara pantai dan pengguna dengan membangun sistem informasi yang terintegrasi. Dengan demikian terjalin hubungan yang harmonis antara negara pantai dan pengguna sesuai kaidah Hukum Laut Internasional.

Dalam konteks ini seringkali masyarakat internasional, khususnya negara-negara pengguna Selat Malaka dan Selat Singapura menyalahkan Indonesia, atas tingginya frekuensi pembajakan dan perompakan di kedua Selat tersebut. Hal ini sepertinya kurang fair, karena dengan keterbatasan yang ada Indonesia bersama kedua neara pantai, yaitu Malaysai dan Singapura telah berupaya maksimal untuk mengatasinya.

Keamanan Maritim Kawasan khususnya di Selat Malaka dan Selat Singapore sebagai selat yang digunakan untuk pelayaran internasional sesuai dengan Hukum Laut internasional merupakan tanggung jawab negara pantai, yaitu Indonesia, Malaysia dan Singapore. Jaminan keamanan ini sangat penting, mengingat faktor keamanan di kawasan ini dapat menjadi isu yang krusial bagi kehidupan banyak bangsa. Negara pantai paling bertanggung jawab terhadap keamanan di perairannya untuk itu kehadiran pasukan asing selain ketiga negara pantai tersebut dalam konteks mengamankan SLOC di kawasan ini adalah tidak benar. Kehadiran pasukan lain dibenarkan apabila memang diminta oleh negara pantai. Hal ini sangat penting dipahami, mengingat hal tersebut menyangkut kedaulatan nasional negara pantai.

Semua negara dapat menggunakan jalur pelayaran khususnya Selat Malaka dan Selat Singapore untuk kepentingan perlintasan kapal-kapal mereka termasuk kapal-kapal perang. Tetapi untuk melancarkan suatu operasi, dengan dalih apapun, harus mendapat persetujuan dari negara-negara pantai yang bersangkutan. Oleh karena itu masalah pembajakan dan perompakan di SLOC seperti Selat Malaka dan Selat Singapore bukan hanya urusan negara pantai, melainkan kepentingan bersama, sehingga sangat diperlukan kerja sama dengan negara-negara lain dalam mewujudkan keamanan laut di wilayah tersebut. Negara-negara pengguna juga harus memiliki kepedulian yang tinggi dan ikut terlibat aktif dalam penanganannya, bukan dalam bentuk menghadirkan kekuatan Angkatan Lautnya, namun membantu meningkatkan kemampuan negara-negara pantai.
Sebagai negara yang sedang berkembang dimana faktor ekonomi dan keuangan merupakan kendala yang sangat utama, bantuan-bantuan diatas sangat diperlukan oleh Indonesia. Secara ekonomis pengalokasian anggaran melalui APBN (Anggaran pendapatan dan Belanja Negara) bagi pengamanan Selat Malaka yang memerlukan beaya yang cukup besar, sementara itu kegiatan pelayaran Indonesia belum signifikan dibandingkan pelayaran asing, dan tidak memberikan keuntungan secara langsung bagi Indonesia, kecuali secara tidak langsung yaitu perdagangan eksport dan import.