Monday, October 5, 2009

Berguru Ke Normandia

Invasi Normandia, yang diberi kode Operasi Overlord, adalah sebuah operasi pendaratan yang dilakukan oleh pasukan Sekutu saat Perang Dunia II pada tanggal 6 Juni 1944. Yang hingga kini Invasi Normandia merupakan invasi laut terbesar dalam sejarah, dengan hampir tiga juta tentara menyeberangi Selat Inggris dari Inggris ke Perancis yang diduduki oleh tentara Nazi Jerman.
Mayoritas satuan tempur pada serangan ini adalah pasukan Amerika Serikat, Britania Raya, dan Kanada. Pasukan Kemerdekaan Perancis dan pasukan Polandia ikut bertempur setelah fase pendaratan. Selain itu, pasukan dari Belgia, Cekoslowakia, Yunani, Belanda, dan Norwegia juga turut serta.
Invasi Normandia dibuka dengan pendaratan parasut dan glider pada dini hari, serangan udara dan artileri laut, dan pendaratan amfibi pagi hari, pada 6 Juni, D-Day. Pertempuran untuk menguasai Normandia berlanjut selama lebih dari dua bulan, dengan kampanye untuk menembus garis pertahanan Jerman dan menyebar dari pantai yang sudah dikuasai Sekutu. Invasi ini berakhir dengan dibebaskannya Paris, dan jatuhnya kantong Falaise pada akhir Agustus 1944.

Dalam tahap perencanaan ini dihadapkan pada situasi yang berbeda dimana invasi Jerman terhadap Uni Soviet (Operasi Barbarossa), Sovietlah yang melakukan mayoritas pertempuran menghadapi Jerman di Eropa. Sehingga Presiden Franklin D. Roosevelt dan Perdana Menteri Winston Churchill pada tahun 1942 ingin membantu uni soviet dan menyatakan bahwa Amerika Serikat dan Britania Raya siap membuka "front kedua" di Eropa menghadapi Jerman, pernyataan ini dinyatakan lagi pada musim semi pada tahun 1943.
Perencanaan ini memakan waktu cukup lama karena yang dihadapi pasukan kuat dari jerman, dimana pasukan Britania Raya di bawah Winston Churchill ingin menghindari serangan langsung seperti pada Perang Dunia I yang memakan banyak korban.
Namun Amerika Serikat menganggap bahwa cara paling optimal adalah serangan langsung dari markas Sekutu yang paling dekat dan besar. Mereka sangat menginginkan metode ini, dan menyatakan bahwa hanya cara inilah yang akan mereka dukung dalam jangka panjang. Mengingat pengalaman Dua proposal awal direncanakan: Operasi Sledgehammer, yang merupakan invasi untuk tahun 1942, dan Operasi Roundup, yaitu invasi lebih besar pada tahun 1943. Sehingga dari dua Proposal yang diajukan proposal yang kedua yang diterima, lalu diganti namanya menjadi Operasi Overlord dan ditunda sampai 1944.

Pantai Sword merupakan nama kode yang diberikan Sekutu untuk sebuah lokasi pendaratan pantai pada Invasi Normandia, pada tanggal 6 Juni 1944. Pantai ini panjangnya 8 km, dari Ouistreham sampai Saint-Aubin-sur-Mer, dan merupakan pantai paling timur pada invasi pantai ini. Lokasi pendaratan dibagi menjadi empat bagian, yaitu Oboe, Peter, Queen, dan Roger.Dalam tahap ini selama emberkasi pasukan membutuhkan waktu yang sangat lama karena material dan personil yang disiapkan jumlahnya cukup besar dimana sekitar 6.900 kendaraan laut, termasuk 4.100 kendaraan pendarat harus dapat masuk kedalam kapal kapal dan pesawat yang telah disiapkan baik oleh Pasukan Inggris maupun Pasukan Amerika, Kemudian 12.000 pesawat terbang, termasuk 1.000 pesawat pembawa penerjun payung, harus siap embarkasi dan 10.000 ton bom serta embarkasi 3 juta personel dari satuan yang berbeda, tempat serta kapal yang berbeda pula. Latihan umum ini dilaksnakan oleh pihak Inggris saat berada disatuannya termasuk Pasukan Amerika dan pasuakn sekutu lainnya. Dimana yang dilakukan yaitu latihan pendaratan, latihan ini yang diangap paling banyak resikonya dan berbahaya karena yang dihadapi Pasukan Jerman yang terlatih. dimana Latihan yang dilaksanakan antara lain: Menguji kesempurnaan rencana, ketepatan waktu, kesiapan peralatan, dan kesiapan tempur satuan-satuan pendaratnya.

Latihan ini dilaksanakan agar dalam pelaksanaannya nantinya tidak salah sasaran karena kandisi pada saat pendaratan penglihatan sangat terbatas dan koordinasi dengan semua unsur yang terlibat harus jelas sehingga dalam pelaksanaannya dapat berjalan lancar. Setelah ada perintah dari komando atas kepada, kapal-kapal sekutu yang membawa pasukan pendarat bergerak menuju pantai normandia. Setelah tiba di titik pencar unsur laut menempati posisi lego jangkar di DSA (Daerah Serbuan Amfibi) di perairan Oboe, Peter, Queen, dan Roger.

Invasi Normandia dibuka dengan Serangan pada Pantai Sword dimulai pada jam 03.00 dengan serangan udara ke pertahan laut artileri Jerman dilanjutkan Serangan artileri laut dimulai beberapa jam kemudian. Pada jam 0730 tanggal 6 juni, satuan-satuan pertama berhasil mendarat di pantai. Satuan dari tank Sherman DD milik Hussar ke-13/18, yang diikuti oleh Brigade Infanteri ke-8. Pada Pantai Sword, infanteri Britania Raya berhasil mendarat dengan sedikit korban. Pada akhir hari itu, mereka berhasil maju sejauh delapan kilometer, tetapi gagal mendapatkan target ambisius Montgomery, khususnya Caen yang merupakan objektif utama, yang tetap dikuasai Jerman sampai akhir D-Day.
Pendaratan udara dilakukan untuk merebut posisi-posisi kunci, dengan tujuan memblokir serangan balik Jerman, mengamankan bagian samping pendaratan laut, dan melancarkan pergerakan pasukan laut dari pantai. Divisi Lintas Udara Amerika Serikat ke-82 dan 101 ditugaskan untuk mengamankan samping barat, dan Divisi Lintas Udara ke-Britania Raya ditugaskan ke samping timur. Anggota Divisi Lintas Udara ke-101 setelah merebut desa St. Marcouf, 8 Juni. Objektif taktis Divisi Lintas Udara ke-6 Britania Raya adalah merebut jembatan-jembatan penyebrangan di BĂ©nouville-Ranville, bertahan menghadapi serangan balik Jerman, menghancurkan meriam artileri di Merville yang menembak ke Pantai Sword, dan menghancurkan lima jembatan di Sungai Dives.
Pantai Juno merupakan nama kode yang diberikan Sekutu untuk sebuah lokasi pendaratan pantai pada Invasi Normandia, pada tanggal 6 Juni 1944. Pantai ini berada diantara Pantai Sword dan Pantai Gold, terbentang dari Saint-Aubin-sur-Mer di ujung timur sampai Courseulles-sur-Mer di ujung barat. Lokasi pendaratan ini juga dikenal dengan nama pantai Kanada, karena yang mendarat disini adalah Divisi Infanteri ke-3 dan Brigade Lapis Baja ke-2 Kanada. Pasukan Kanada yang mendarat di Pantai Juno berhadapan dengan 11 meriam berat 155 mm dan 9 meriam sedang 75 mm, juga senapan mesin, bunker, dan fortifikasi beton lainnya. 50% gelombang pertama yang mendarat tewas, pendaratan ini adalah pendaratan pantai dengan jumlah korban tertinggi ke-2 setelah Pantai Omaha. Pemakaian Sherman DD termasuk sukses di Pantai Juno, sesuai rencana, sampai duluan sebelum infanteri dan membantu menghancurkan pertahanan Jerman.
Pantai Gold merupakan nama kode yang diberikan Sekutu untuk sebuah lokasi pendaratan pantai pada Invasi Normandia, pada tanggal 6 Juni 1944. Pantai ini berada diantara Pantai Omaha dan Pantai Juno, panjangnya delapan kilometer, dan dibagi menjadi empat sektor. Dari barat ke timur, empat sektor tersebut adalah How, Item, Jig, dan King. Korban juga banyak pada Pantai Gold, di mana kedatangan tank perenang Sherman DD tertunda, dan Jerman telah memfortifikasi sebuah desa di pantai dengan baik. Namun Divisi Infanteri ke-50 berhasil mengalahkan pertahanan ini dan maju sampai dekat Bayeux. Divisi ini adalah salah satu yang paling jauh mendekati objektif utamanya.
Pantai Omaha merupakan nama kode yang diberikan Sekutu untuk sebuah lokasi pendaratan pantai pada Invasi Normandia, pada tanggal 6 Juni 1944. Pantai ini panjangnya sekitar 5,6 kilometer, dari Sainte-Honorine-des-Pertes sampai Vierville-sur-Mer. Pendaratan di Pantai Omaha merupakan pendaratan yang paling banyak memakan korban. Elemen Divisi Infanteri ke-1 dan ke-29 Amerika Serikat berhadapan dengan Divisi Infanteri ke-352 Jerman, salah satu divisi yang paling berpengalaman di invasi pantai ini. Intelijen Sekutu gagal mengetahui bahwa Divisi Infanteri Statik ke-714 yang relatif berkualitas rendah digantikan oleh Divisi ke-352 beberapa hari sebelum invasi. Omaha merupakan pantai dengan pertahanan yang paling berat, dan serangan udara serta artileri sebelum invasi ternyata tidak efektif. Di bagian timur, 27 dari 32 tank Sherman DD tidak sampai ke pantai. Di bagian Barat, tank DD berhasil mendarat namun banyak yang hancur oleh artileri Jerman. Data resmi mengatakan bahwa "10 menit setelah mendarat, kompi (pemimpin) menjadi tidak berfungsi, tanpa komandan, dan hampir sama sekali tidak bisa bertempur. Setiap perwira dan sersan telah tewas atau terluka. Ini berubah menjadi perjuangan untuk bertahan dan penyelamatan. Korban pada Pantai Omaha sampai 2.400 orang pada jam-jam pertama. Beberapa komandan sempat ingin mundur dari pantai itu, tetapi beberapa satuan kecil membentuk tim-tim ad hoc yang akhirnya berhasil menguasai pantai dan maju masuk ke daratan.
Point du Hoc merupakan tempat penempatan meriam yang berada pada tebing beton tinggi. Di sini, Batalyon Ranger ke-2, yang dipimpin oleh James Earl Rudder, ditugaskan untuk memanjat tebing-tebing setinggi 30 meter tersebut dengan menggunakan tali, lalu menghancurkan meriam-meriam di atas, yang diperkirakan menembak ke Pantai Omaha dan Utah. Tetapi setelah tiba di atas tebing ternyata meriam-meriam tersebut sudah dipindahkan. Kemudian Ranger maju masuk ke daratan lalu akhirnya menemukan dan menghancurkan meriam-meriam tersebut.
Pantai Utah merupakan nama kode yang diberikan Sekutu untuk sebuah lokasi pendaratan pantai pada Invasi Normandia, pada tanggal 6 Juni 1944. Pantai ini panjangnya sekitar tiga mil, dari Pouppeville ke La Madeleine, dan merupakan pantai paling barat diantara lima lokasi pendaratan pantai pada invasi ini. Pendaratan di Pantai Utah merupakan pendaratan dengan korban paling sedikit. Divisi Infanteri ke-4 yang mendarat di pantai ini ternyata mendarat di tempat yang salah karena arus yang mendorong kendaraan pendarat mereka ke arah tenggara, ke daerah yang tidak dijaga dengan baik. Divisi ini kemudian maju ke daratan dengan mudah, ditambah dengan bantuan dari Resimen Infanteri Parasut ke-502 dan 506. Dengan korban yang sangat sedikit, mereka juga dapat bergerak dengan cepat, dengan tingkat kesuksesan yang sangat tinggi. Setelah pantai dikuasai, dua pelabuhan buatan Mulberry Harbour diderek melalui Selat Inggris dan selesai dirakit pada D+3 (9 Juni). Satu dibuat di Arromanches oleh pasukan Britania Raya, dan satu lagi di Pantai Omaha oleh Amerika Serikat. Pada tanggal 19 Juni sebuah badai menunda kegiatan pengiriman persediaan dan menghancurkan pelabuhan buatan di Pantai Omaha. Ketika itu, Britania Raya sudah mendaratkan 314.547 orang, 54.000 kendaraan, dan 102.000 ton persediaan. Sementara Amerika Serikat telah mendaratkan 314.504 orang, 41.000 kendaraan, dan 116.000 ton persediaan.
Pertempuran Cherbourg adalah bagian dari Invasi Normandia pada Perang Dunia II, yang terjadi langsung setelah pendaratan pasukan Sekutu pada 6 Juni 1944. Pasukan Sekutu mengisolasi lalu menyerang pelabuhan yang terfortifikasi, yang merupakan aset penting untuk kampanye Eropa Barat. Di bagian barat invasi, pasukan Amerika Serikat ditugaskan untuk menguasai Semenanjung Cotentin, khususnya Cherbourg, yang memiliki pelabuhan laut dalam. Wilayah dibelakang pantai Utah dan Omaha dicirikan oleh bocage, yaitu parit kuno dan pagar tanaman yang tebalnya sampai tiga meter, tersebar setiap 100 sampai 200 meter, membuatnya sangat menyulitkan untuk tank, peluru, dan penglihatan, dan menjadi tempat bertahan yang ideal. Infanteri Amerika Serikat maju menuju Cherbourg dengan lambat, dan dengan banyak korban. Bagian ujung semenanjung baru didatangi pada 18 Juni. Setelah melawan pasukan Sekutu dengan gigih, komandan Cherbourg, Letnan Jenderal von Schlieben, akhirnya menyerah setelah sebelumnya sempat menghancurkan pelabuhan Cherbourg, yang membuat pelabuhan itu baru bisa dipakai pada pertengahan Agustus.
Pertempuran Caen terjadi dari Juni sampai Agustus 1944, antara pasukan Sekutu dengan Jerman, pada Invasi Normandia, Perang Dunia II. Pada D-Day, Caen merupakan objektif strategis Divisi Infanteri ke-3 Britania Raya. Tetapi karena Caen pada saat itu gagal direbut, kota ini menjadi tempat beberapa pertempuran pada Juni, Juli, sampai Agustus. Caen dianggap sebagai objektif yang penting oleh Montgomery, maka Caen menjadi target beberapa serangan. Serangan pertama adalah Operasi Perch, yang mencoba menyerang Jerman lewat samping di Villers-Bocage. Tapi serangan ini dihentikan oleh Jerman pada Pertempuran Villers-Bocage. Usaha serangan sempat tertunda karena badai yang menghentikan laju persediaan pada 17 sampai 23 Juni, walau begitu, serangan balik Jerman bisa dihentikan pada Operasi Epsom, dikarenakan serangan balik tersebut sudah diketahui oleh intelijen. Caen kemudian dihujani bom dari pesawat, dan bagian utaranya berhasil diduduki pada Operasi Charnwood, 7 sampai 9 Juli. Ini kemudian dilanjutkan dengan serangan besar-besaran yang dipimpin Jenderal Miles Dempsey, yang diikuti oleh seluruh divisi lapis baja Britania Raya, Operasi Goodwood, 18 sampai 21 Juli, berhasil menguasai sisa Caen beserta dataran tinggi di bagian selatannya.
Dengan hampir terkepungnya Jerman oleh pasukan Sekutu, Komando Tinggi Jerman menginginkan pasukan cadangan Jerman dari daerah sekitar untuk membantu mundurnya pasukan Jerman ke sungai Seine. Namun keinginan ini ditolak oleh Hitler, yang memerintahkan serangan ke Mortain, bagian barat kantong Falaise.

Kampanye Normandia menurut beberapa sejarawan berakhir pada tengah malam 24-25 Juli 1944, yaitu pada awal Operasi Kobra, atau pada tanggal 25 Juli, dengan direbutnya Sungai Seine. Rencana awal Operasi Overlord memperkirakan kampanye sepanjang 90 hari di Normandia, dengan tujuan akhir mencapai Sungai Seine, target ini tercapai dengan lebih cepat.
Pihak Amerika Serikat berhasil mencapai target mereka lebih awal dengan penembusan besar pada Operasi Kobra. Kemenangan Sekutu di Normandia kemudian dilanjuti dengan usaha untuk menguasai perbatasan Perancis, dan Jerman terpaksa mengirim pasukan dan sumber daya dari Front Timur dan Italia untuk membantu pasukan mereka di front baru ini.Mayoritas satuan tempur pada serangan ini adalah pasukan Amerika Serikat, Britania Raya, dan Kanada. Pasukan Kemerdekaan Perancis dan pasukan Polandia ikut bertempur setelah fase pendaratan. Selain itu, pasukan dari Belgia, Cekoslowakia, Yunani, Belanda, dan Norwegia juga turut serta Rencana sekutu untuk menghentikan kekuasaan Jerman terhadap Eropa melalui proses yang cukup lama dan penuh dengan kajian-kajian, data Intelejen, kekuatan pasukan Jerman yang tersebar di pantai pendaratan, kemampuan pasukan pendukung dan keadaan medan yang akan menjadi tempat pendaratan serta jenis/nama operasi yang akan digunakan termasuk selesainya Operasi Amfibi. Kekuatan sekutu yang tersebar sepanjang front pertempuran mendapat perlawanan yang cukup kuat dari pasukan Nazi, walaupun dapat menguasai pantai pendaratan namun korban di pihak sekutu tidak cukup sedikit, keberhasilan ini tidak terlepas dari perencanaan yang matang dan latihan-latihan yang dilaksanakan serta kedisiplinan pasukan. Dengan perencanaan yang bagus dan pelaksanaan pertempuran yang terkoordinasi maka pasukan sekutu tahap demi tahap dapat menguasai jalannya pertempuran hingga ke sungai seine hal ini lebih cepat apa yang sudah direncanakan sebelumnya yaitu 90 hari ini merupakan keberhasilan yang luar biasa. Pasukan Jerman yang menghadapi pasukan gabungan dari beberapa Negara kuat dan jajahannya menunjukkan perlawanan yang sengit namun kekuatan dan jumlah pasukan yang kalah besar dan tidak seimbang ditambah lagi dengan sekutu Jerman yang juga mengalami kekalahan demi kekalahan di dalam pertempuran menghadapi sekutu. Hal ini yang membuat pasukan Jerman terdesak hingga menyerah kalah.




Friday, July 10, 2009

Meretas Keamanan Maritim di Asia Tenggara


Wilayah perairan Asia Tenggara memiliki peranan sangat penting karena merupakan penghubung antara dua samudera besar, Pasifik dan Hindia. Selat-selat di perairan kawasan ini merupakan jalur SLOC (Sea Lanes of Communication) perdagangan dunia yang sekaligus menjadi choke points strategis bagi proyeksi armada angkatan laut negara maritim besar dalam rangka forward presence ke seluruh penjuru dunia. Jalur SLOC yang terpadat adalah Selat Malaka, dimana dilewati oleh 72 % tanker yang melintas dari Samudera Hindia ke Pasifik, dan hanya 28 % yang lewat selat Lombok, selat Makassar dan laut Sulawesi. Selat Malaka sebagai jalur padat perdagangan dunia dan selalu menjadi perhatian masyarakat maritim internasional.

Perdagangan lewat laut ini sebagian besar melalui perairan Indonesia, karena memang semua SLOC berada di perairan Indonesia. Dari kondisi tersebut dapatlah dimengerti apabila keamanan laut di perairan Indonesia terganggu, maka akan berdampak kepada terganggunya aktivitas perdagangan lewat laut, sehingga akan merugikan banyak negara pengguna, khususnya negara-negara yang volume perdagangannya lewat laut sangat besar. Oleh sebab itu sangat wajar dan cukup rasional, apabila masalah tersebut menjadi pemikiran kita bersama, bukan hanya bagi negara-negara yang memiliki SLOC, seperti Indonesia, melainkan juga bagi negara-negara pengguna yang memperoleh manfaat besar dari terjaminnya keamanan di SLOC tersebut.

Namun demikian, keberadaan alur-alur pelayaran yang ramai serta bernilai penting bagi kesejahteraan berbagai bangsa tersebut juga membawa konsekwensi tidak ringan bagi Indonesia, di mana perhatian dunia internasional terhadap masalah keamanan perairan Indonesia menjadi semakin tajam. Isu perompakan bersenjata di laut, terorisme maritim serta bentuk kejahatan maritim lainnya menjadi semakin mengemuka, terutama di perairan-perairan ramai seperti Selat Malaka dan Selat Singapura. Untuk mengatasi pembajakan dan perompakan di kedua selat tersebut, Indonesia telah berupaya maksimal dengan membentuk satuan tugas anti pembajakan/ perompakan serta meningkatkan patroli TNI AL baik secara mandiri maupun terkoordinasi dengan negara-negara lain.

Setelah Konvensi PBB tentang Hukum Laut tahun 1982 (UNCLOS 1982) diratifikasi oleh Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 dan konvensi tersebut diberlakukan sebagai hukum positif sejak tanggal 16 Nopember 1994, maka status Indonesia sebagai negara kepulauan (Archipelagic State) diakui oleh dunia. Pengakuan dunia dalam hukum internasional tersebut mengesahkan “a defined territory” negara Indonesia, sehingga Indonesia memiliki legalitas hukum terhadap wilayah nasionalnya yang meliputi wilayah darat, laut dan udara di atasnya. Demikian pula Indonesia mempunyai kedaulatan dan kewenangan untuk menjaga dan mempertahankan integritas wilayah lautnya, termasuk mengelola dan mengatur orang dan barang yang ada di dalam wilayah kelautan tersebut, namun hal ini tidak berarti meniadakan hak negara lain sesuai dengan ketentuan dalam konvensi tersebut.

Secara legal formal Indonesia terikat dengan ketentuan-ketentuan dalam hukum internasional tersebut, termasuk kewajiban Indonesia untuk menjamin keamanan wilayah kelautan, khususnya di Sea Lines Of Communication. Bila kewajiban ini diabaikan, dalam arti bahwa kapal-kapal niaga negara pengguna terancam keamanannya bila melintas di perairan Indonesia, maka hal itu dapat menjadi alasan untuk menghadirkan kekuatan angkatan lautnya. Berkaitan dengan hal ini diperlukan kesamaan persepsi tentang keamanan laut, khususnya bagi komponen bangsa yang memiliki tugas, fungsi dan wewenang di laut, agar “action plan” yang akan dilaksanakan dapat tepat pada sasaran, terarah dan terpadu.

Perlu dipahami bahwa keamanan laut bukan hanya penegakan hukum di laut, lebih tegasnya lagi keamanan laut tidak sama dengan penegakan hukum di laut. Keamanan laut mengandung pengertian bahwa laut aman digunakan oleh pengguna, dan bebas dari ancaman atau gangguan terhadap aktifitas penggunaan atau pemanfaatan laut, yaitu :

Laut bebas dari ancaman kekerasan, yaitu ancaman dengan menggunakan kekuatan bersenjata yang terorganisir dan memiliki kemampuan untuk mengganggu dan membahayakan personel atau negara. Ancaman tersebut dapat berupa pembajakan, perompakan, sabotase obyek vital, peranjauan, dan aksi teror bersenjata.
Laut bebas dari ancaman navigasi, yaitu ancaman yang ditimbulkan oleh kondisi geografi dan hidrografi serta kurang memadainya sarana bantu navigasi, seperti suar, bouy dan lain-lain, sehingga dapat membahayakan keselamatan pelayaran.
Laut bebas dari ancaman terhadap lingkungan dan sumber daya laut, berupa pencemaran dan perusakan ekosistem laut, eksploitasi yang berlebihan serta konflik pengelolaan sumber daya laut. Fakta menunjukkan bahwa konflik pengelolaan sumber daya laut memiliki kecenderungan mudah dipolitisasi dan selanjutnya akan diikuti dengan penggelaran kekuatan militer.
Laut bebas dari ancaman pelanggaran hukum, yaitu tidak dipatuhinya hukum nasional maupun internasional yang berlaku di perairan, seperti illegal fishing, illegal logging, illegal migrant, penyelundupan dan lain-lain.

Bertitik tolak dari persepsi tersebut sangatlah jelas bahwa keamanan laut memiliki lingkup yang cukup luas, sehingga memerlukan organisasi, manajemen, serta sarana dan prasarana yang memadai. Dilihat dari sisi ini akan menyadarkan kita semua, bahwa masalah keamanan di laut merupakan masalah yang kompleks. Kekompleksannya semakin bertambah karena di laut bertemu dua kepentingan yang saling mengikat, yaitu kepentingan nasional dan internasional. Oleh karenanya penindakan terhadap ancaman-ancaman tersebut perlu didukung oleh perangkat peraturan perundang-undangan, baik nasional maupun internasional.

Gangguan Keamanan di Selat Malaka.


Sea Armed Robbery


Selat Malaka selama ini dipandang selalu menjadi pusat perhatian publik utamanya terkait dengan berita tentang meningkatnya gangguan keamanan terhadap kapal-kapal dagang dan tanker yang melintasi selat ini. Gencarnya publikasi tentang perairan Indonesia khususnya keamanan Selat Malaka yang di juluki sebagai "the most piracy-prone in the world" dikhawatirkan akan tercipta opini masyarakat internasional bahwa memang seperti itulah adanya. Dampak dari pemberitaan ini menyebabkan meningkatnya premi asuransi pelayaran dari dan ke Indonesia yang pada akhirnya akan mempengaruhi kepentingan ekonomi Indonesia.

Konteks pengertian dari Piracy dan Robbery/Armed Robbery juga belum terdefinisi dengan baik dan diterima oleh semua pihak, sehingga sampai saat ini pengertian kedua kata tersebut masih bias dengan konotasi arti yang berbeda-beda. Laporan-laporan tentang Selat Malaka yang dikeluarkan oleh suatu lembaga Non Pemerintah yaitu International Maritime Bureau (IMB) dengan menggunakan definisi "Piracy/Pembajakan" secara sepihak tanpa memperhatikan kaidah hukum-hukum internasional, sangat merugikan Indonesia.

Dalam pasal 100 UNCLOS 1982 dinyatakan bahwa Piracy merupakan tindakan ilegal "dilaksanakan di laut bebas atau di tempat di luar yurisdiksi suatu negara" kemudian pada Pasal 101 UNCLOS 1982 secara tegas mengatur dan membedakan "piracy" dan "armed robbery at sea" berdasarkan "Locus Delicti", dimana piracy merupakan tindakan kejahatan yang dilakukan di laut Lepas (High Seas) atau dilakukan di luar wilayah yurisdiksi nasional suatu negara. Dari definisi ini, dapat disimpulkan bahwa di Selat Malaka tidak terdapat tindakan "piracy". International Maritime Bureau (IMB) justru menciptakan definisi "piracy" sendiri. Yang menyatakan bahwa piracy adalah segala tindakan kejahatan baik yang dilakukan di laut teritorial maupun perairan kepulauan suatu negara atau bahkan dalam suatu pelabuhan di suatu negara, sebagai contoh adanya awak kapal yang mengalami kecopetan di pelabuhan, perompakan pada kapal-kapal yang sedang berlabuh jangkar di pelabuhan serta perbuatan kriminal lain (petty cash criminal) sudah dianggap “piracy”. Dan Indonesia jelas menolak definisi ini.

Pembajakan (piracy), perompakan bersenjata di laut (armed robbery against ships) dan kemungkinan serangan teroris pada jalur pelayaran telah menjadi ancaman yang serius bagi keamanan maritim kawasan Asia Pasifik serta mengganggu stabilitas perdagangan global. Masalah keamanan maritim merupakan hal yang mendasar dan sangat diperlukan dalam menciptakan kesejahteraan dan keamanan di kawasan negara-negara khususnya di Asia Tenggara. Dalam hal ini dibutuhkan upaya kerja sama regional secara menyeluruh bukan saja untuk memerangi pembajakan dan perompakan, namun juga untuk memerangi kejahatan internasional yang terorganisasi (transnational organised crime, TOC).

Terorisme Maritim


Dewasa ini tengah beredar suatu pandangan bahwa teroris dapat bekerjasama dengan para perompak di Selat Malaka dan melakukan serangan dengan merusak salah satu jalur perdagangan terbesar di dunia. Analisa apapun di era globalisasi ini sah dan legal, tapi yang terpenting adalah kewaspadaan dan kesiagaan terhadap segala kemungkinan adalah sangat penting, terlebih bagi negara seperti Indonesia yang juga menjadi korban terorisme. Hingga saat ini, serangan teroris yang langsung diarahkan ke ‘sasaran’ di Laut dapat dikatakan sangat jarang terjadi. Padahal kalau kita cermati, kejadian terorisme maritim masih sangat kecil dan gaung atau akibat kejadiannya tidak semencekam terorisme di darat mengingat tujuan utama terorisme adalah dampak ketakutan yang sangat hebat terhadap masyarakat.

Bagaimana dengan issue terorisme maritim yang dihembuskan negara-negara besar akan terjadi di perairan Selat Malaka dan Selat Singapore ? bayangan sebagian masyarakat umum khususnya dunia pelayaran adalah hadirnya teroris dengan menggunakan boat kecil berisi bahan peledak yang sedang mengintai dan menunggu dirinya di kapal tangker atau kapal kontainer yang sedang melalui Selat Malaka. Atau mungkin dengan cara melaksanakan bom bunuh diri (Suicide Bomb). Bisakah itu terjadi ?

Ancaman lain berupa penyebaran ranjau merupakan bentuk serangan teroris yang paling berbahaya. Telah diketahui bahwa ranjau merupakan senjata yang murah dan sederhana tetapi dapat menimbulkan dampak yang sangat strategis. Hanya dengan menyebarkan senjata tersebut di wilayah perairan maka dapat mengancam keamanan SLOC (Sea Lines Of Communication). Kalau sebuah Tanker/Kapal meledak karena ranjau, maka seluruh kegiatan pelayaran akan terhenti dalam waktu yang cukup lama, sampai xxsemua jalur di perairan tersebut betul-betul bebas/tidak ada ranjau dan para pengguna laut merasa aman dan tidak ragu-ragu lagi apabila melintasi perairan ini, sehingga dibutuhkan waktu yang lama dan dana yang besar untuk melakukan survey pencarian dan pembersihan Alur (channel) sekaligus melaksanakan penyelamatan dan pengangkatan kapal (salvage) yang menjadi korban ranjau.

Hal ini akan berbeda dengan meledaknya kapal yang disebabkan oleh teroris dimana tidak akan menghentikan kegiatan lalu lintas pelayaran (shipping traffic). Tetapi dengan sifat ranjau yang murah dan sederhana ini, akan mampu menimbulkan efek yang sangat besar, sehingga sangat mungkin senjata ini akan dipergunakan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab, di mana dampaknya dapat menimbulkan ketakutan dari para pengguna laut sehingga mengganggu dan mengancam kestabilan ekonomi negara-negara kawasan yang akhirnya berakibat terhadap kestabilan ekonomi dunia.

Semua negara dapat menggunakan Sea Lines Of Communication yang melalui perairan Indonesia termasuk Selat Malaka dan Selat Singapura untuk perlintasan kapal-kapal mereka. Tetapi untuk melancarkan suatu operasi, dengan dalih memerangi terorisme maritim, harus mendapat persetujuan dari negara-negara pantai yang bersangkutan. Oleh karena itu masalah Terorisme Maritim ini bukan hanya urusan negara pantai, melainkan kepentingan bersama, sehingga negara-negara pengguna juga harus memiliki kepedulian yang tinggi dan ikut terlibat aktif dalam penanganannya, bukan dalam bentuk menghadirkan kekuatan Angkatan Lautnya, namun membantu meningkatkan kemampuan negara-negara pantai (Capacity Building), antara lain dalam kerjasama pertukaran informasi intellijen (Sharing Intellijen) diantara negara pantai serta antara negara pantai dan pengguna dengan membangun sistem informasi yang terintegrasi. Dengan demikian terjalin hubungan yang harmonis antara negara pantai dan pengguna sesuai kaidah Hukum Laut Internasional.

Dalam konteks ini seringkali masyarakat internasional, khususnya negara-negara pengguna Selat Malaka dan Selat Singapura menyalahkan Indonesia, atas tingginya frekuensi pembajakan dan perompakan di kedua Selat tersebut. Hal ini sepertinya kurang fair, karena dengan keterbatasan yang ada Indonesia bersama kedua neara pantai, yaitu Malaysai dan Singapura telah berupaya maksimal untuk mengatasinya.

Keamanan Maritim Kawasan khususnya di Selat Malaka dan Selat Singapore sebagai selat yang digunakan untuk pelayaran internasional sesuai dengan Hukum Laut internasional merupakan tanggung jawab negara pantai, yaitu Indonesia, Malaysia dan Singapore. Jaminan keamanan ini sangat penting, mengingat faktor keamanan di kawasan ini dapat menjadi isu yang krusial bagi kehidupan banyak bangsa. Negara pantai paling bertanggung jawab terhadap keamanan di perairannya untuk itu kehadiran pasukan asing selain ketiga negara pantai tersebut dalam konteks mengamankan SLOC di kawasan ini adalah tidak benar. Kehadiran pasukan lain dibenarkan apabila memang diminta oleh negara pantai. Hal ini sangat penting dipahami, mengingat hal tersebut menyangkut kedaulatan nasional negara pantai.

Semua negara dapat menggunakan jalur pelayaran khususnya Selat Malaka dan Selat Singapore untuk kepentingan perlintasan kapal-kapal mereka termasuk kapal-kapal perang. Tetapi untuk melancarkan suatu operasi, dengan dalih apapun, harus mendapat persetujuan dari negara-negara pantai yang bersangkutan. Oleh karena itu masalah pembajakan dan perompakan di SLOC seperti Selat Malaka dan Selat Singapore bukan hanya urusan negara pantai, melainkan kepentingan bersama, sehingga sangat diperlukan kerja sama dengan negara-negara lain dalam mewujudkan keamanan laut di wilayah tersebut. Negara-negara pengguna juga harus memiliki kepedulian yang tinggi dan ikut terlibat aktif dalam penanganannya, bukan dalam bentuk menghadirkan kekuatan Angkatan Lautnya, namun membantu meningkatkan kemampuan negara-negara pantai.
Sebagai negara yang sedang berkembang dimana faktor ekonomi dan keuangan merupakan kendala yang sangat utama, bantuan-bantuan diatas sangat diperlukan oleh Indonesia. Secara ekonomis pengalokasian anggaran melalui APBN (Anggaran pendapatan dan Belanja Negara) bagi pengamanan Selat Malaka yang memerlukan beaya yang cukup besar, sementara itu kegiatan pelayaran Indonesia belum signifikan dibandingkan pelayaran asing, dan tidak memberikan keuntungan secara langsung bagi Indonesia, kecuali secara tidak langsung yaitu perdagangan eksport dan import.

Friday, June 19, 2009

Navy Roles dan Konsep National Security


Dewasa ini di Indonesia terdapat polarisasi pendapat diantara para ahli dan pemerhati tentang apa yang disebut dengan Keamanan Nasional. Bagi negara Indonesia yang sedang berada dalam transisi demokrasi akan lebih banyak dihadapkan pada munculnya masalah-masalah baru menyangkut Keamanan Nasional baik aspek pertahanan maupun aspek keamanan. Banyak contoh masalah-masalah baru yang mempengaruhi keamanan nasional tersebut, mulai dari perpindahan penduduk, pencucian uang (money laundering), perdagangan obat bius (drug trafficking), kejahatan komputer, terorisme internasional, hingga kejahatan yang bersifat transnasional yang terjadi di dan lewat laut seperti terorisme maritim (maritime terrorism), bajak laut (piracy), pelanggaran wilayah dan penjarahan hasil laut illegal secara besar-besaran. Atas dasar itu, minimal ada tiga pertimbangan yang menjadi dasar pemikiran dibutuhkannya kebijakan tentang keamanan nasional.
Pertama, dari kerangka legal, diperlukan kebijakan untuk menutup ketidak konsistenan dan kekosongan hukum yang terjadi antara UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dan UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara Republik Indonesia. Kedua UU tersebut tidak secara rinci mengatur tataran kewenangan keamanan nasional dalam wilayah irisan antara aspek pertahanan dan aspek ketertiban umum serta penegakan hukum. Kelemahan ini juga menunjukan tidak adanya pengaturan yang komprehensif dan integratif tentang keamanan nasional.
Kedua, dari pertimbangan politik, kebutuhan mendesak untuk mengatur kembali peran dan posisi institusi-institusi yang bertanggung jawab untuk mewujudkan keamanan nasional, khususnya tentang keamanan nasional yang mencerminkan kepentingan aktor-aktor (stakeholders) yang lebih luas.
Ketiga, dari pertimbangan strategis, keharusan menempatkan keamanan nasional sebagai suatu konsep yang merangkum berbagai subyek, dimensi ancaman serta modalitas untuk mempertahanankannya. Pemahaman atas konsep keamanan nasional perlu diperluas untuk menjangkau bukan hanya keamanan negara sebagai entitas politik yang sah dan berdaulat tetapi juga memperhatikan perlindungan hak-hak warga negara. Modalitas untuk melindungi keamanan nasional dalam pengertian seperti itu perlu disusun dengan memperhatikan kapasitas politik nasional, dinamika hubungan anatar negara di kawasan tertentu maupun global, demokrasi, hak-hak asasi manusia serta norma, kaidah dan hukum-hukum internasional.

Mencermati bahwa Indonesia adalah negara kepulauan maka pemerintah memerlukan suatu kebijakan keamanan nasional di laut dalam rangka penegakan kedaulatan dan hukum.di laut. Kebijakan keamanan nasional tersebut sangat dipengaruhi oleh filosofi status negara kepulauan dan aspek laut sebagai bagian dari Wilayah RI. Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945, berdasarkan kenyataan sejarah, geografis kewilayahan adalah negara kepulauan yang berlandaskan wawasan nusantara (dikenal dengan Deklarasi Djuanda tanggal 13 Desember 1957) .Deklarasi tersebut diberi landasan bentuk hukum dengan UU no 4 Prp tahun 1960 tentang Perairan Indonesia. Pada perkembangannya dengan diratifikasinya UNCLOS 1982 dengan UU No. 17 tahun 1985 maka UU Perairan Indonesia diganti dengan UU No 6 tahun 1996 . Hal ini membuktikan bahwa status negara RI sebagai negara kepulauan telah diterima dan diakui dunia internasional dengan segala konsekwensinya. Saat ini posisi Indonesia ini semakin mantap dengan telah diterbitkannya UU Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara.

LAUT SEBAGAI BAGIAN DARI WILAYAH RI
Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang. Rumusan tersebut menunjukkan wilayah negara (state territory) dimana NKRI berdaulat adalah sebuah wilayah lautan dan pulau-pulau didalamnya, kedaulatn negara atas laut meliputi hak bagi negara untuk melakukan penguasaan, pengelolaan atas laut serta melindungi wilayah laut itu dengan melaksanakan penegakan kedaulatan dan penegakan hukum

PERSEPSI KEAMANAN NASIONAL.
Keamanan Nasional merupakan elemen yang melekat dari tujuan penyelenggaraan negara. Secara kontekstual Keamanan Nasional (National Security) harus dipahami dalam dimensi yang lebih luas yaitu meliputi keamanan manusia (human security), dan kedaulatan negara (sovereignty). Implementasi dua dimensi dari keamanan nasional itu dapat dilakukan dengan cara penegakan hukum dan penegakan kedaulatan.
Tujuan pelaksanaan keamanan Nasional tersebut sendiri adalah untuk mengatasi kompleksitas jenis dan sumber ancaman baik militer/non-militer, konvensional/non-konvensional maupun internal/eksternal. Hakikat Ancaman terhadap keamanan nasional dapat meliputi ancaman fisik dan non-fisik, berasal dari luar maupun dari dalam tapal batas wilayah negara yang menyebar secara langsung atau tidak langsung.
Ruang lingkup keamanan nasional perlu diperjelas untuk memberikan kepastian tentang subyek dan prinsip dasar yang akan dilindungi dari suatu ancaman tertentu. Pandangan umum terhadap keamanan nasional mencakup aspek pertahanan dan keamanan. Oleh karena, perlu ada suatu mekanisme untuk menentukan fokus dari keamanan nasional serta menetapkan kebijakan nasional tentang keamanan nasional yang menjadi pedoman penyelenggaraan negara.
Kebijakan Keamanan Nasional di laut dalam menghadapi ancaman itu harus memperhatikan konteks filosofis, geografis dan yuridis. Ketiga konteks itu bagi Indonesia sebagai negara maritim akan lebih banyak dihadapkan pada munculnya masalah-masalah baru yang bersifat transnasional yang tidak bisa hanya diatasi oleh instrumen sipil tetapi juga harus dibendung dengan kekuatan Angkatan Laut yang selama ini telah memperoleh legitimasi yang sangat kuat berdasarkan hukum nasional dan hukum internasional.

LAW ENFORCEMENT AT SEA
Kedaulatan negara menurut pasal 4 UU No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia adalah kedaulatan negara RI di Perairan Indonesia meliputi laut territorial, perairan kepulauan, perairan pedalaman dan ruang udara diatasnya serta dasar laut dan tanah dibawahnya termasuk sumber daya kekayaan alam yang terkandung didalamnya.
Rumusan itu menunjukkan peran TNI AL dalam penegakan kedaulatan negara di laut harus ditafsirkan tegaknya hukum di laut yang diartikan dilaksanakan dan ditaatinya berbagai ketentuan dan peraturan serta kebijakan negara. Dengan demikian maka Penegakan hukum di Perairan Indonesia tersebut berdasarkan penjelasan pasal 24 UU No. 6 Tahun 1996 dilaksanakan oleh TNI AL.dan institusi lain sesuai ketentuan UU.

HUBUNGAN PERAN TNI AL DAN POLRI
Pengaturan peran TNI dalam hal ini TNI AL dan Polri oleh Amandemen UUD 1945 secara yuridis telah dijabarkan dalam UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI dan dalam UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan. Dalam pasal 10 UU No. 3 Tahun 2002 disebutkan TNI berperan sebagai alat pertahanan negara yang bertugas mempertahankan kedaulatan negara dan keutuhan wilayah. Selanjutnya dalam pasal 7 UU No. 3 Tahun 2002 mendefenisikan ancaman terhadap kedaulatan negara dan keutuhan wilayah tersebut dapat bersifat ancaman militer antara lain agresi, pelanggaran wilayah, spionase, sabotase, aksi terror, pemberontakan bersenjata, perang saudara. Ancaman militer tersebut telah berkembang sangat kompleks (fisik dan non fisik) dan bersifat transnasional yang terkait dengan kejahatan internasional antara lain terorisme, imigran gelap, narkotika, pengambilan sumber daya alam laut secara illegal, bajak laut, dan perusakan lingkungan. Dalam konteks secara yuridis tidak dikenal penggolongan ancaman militer maupun nir-militer (Buku Putih Dephan)
Dengan demikian TNI AL khususnya “war ship” mempunyai peran yang melekat secara universal yaitu “constabulary function” dalam rangka menjaga kedaulatan negara sekaligus menegakan hukum terhadap ancaman militer dan non militer sesuai hukum nasional dan hukum internasional. Tugas penegakan hukum oleh Polri sesuai penjelasan pasal 14 huruf g UU No.2 tahun 2002 telah ditentukan tetap memperhatikan dan tidak mengurangi kewenangan yang dimiliki oleh penyidik lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukumnya masing-masing. Berdasarkan penjelasan pasal 14 huruf g UU No.2 tahun 2002, dapat diartikan bahwa penegakan hukum di bidang penyidikan tidak dikehendaki dilaksanakan oleh Polri sebagai otoritas tunggal apalagi luas wilayah laut di Indonesia tidak mungkin ditangani hanya satu instansi saja mengingat keterbatasan sarana dan prasarana yang ada.

PENEGAKAN HUKUM OLEH TNI AL BERLAKU SECARA UNIVERSAL
Kewenangan TNI AL selaku penyidik tindak pidana tertentu di laut diatur secara tegas dalam Perundangan RI meliputi 8 (delapan) UU yang secara material menyebutkan peran TNI AL selaku penyidik yaitu TZMKO, UU No. 5 Tahun 1983 tentang ZEEI, UU No. 9 Tahun 1985 tentang Perikanan, UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, UU No. 5 Tahun 1992 tentang Pengangkatan Benda Cagar Budaya, UU No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia, UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Dasar hukum acara (formil) pelaksanaan kewenangan TNI AL adalah pasal 284 ayat (2) KUHAP tentang ketentuan peralihan yang mengenal ketentuan khusus acara pidana dan pasal 17 PP 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP yang secara tegas mengatur tentang wewenang penyidikan tindak pidana tertentu dan secara eksplisit menegaskan penyidikan di Perairan Indonesia, zona tambahan, landas kontinen dan ZEEI oleh TNI AL. Kewenangan TNI AL tersebut ditegaskan lebih lanjut dalam SE Mahkamah Agung No. 3 Tahun 1990 tentang Penyidik dalam Perairan Indonesia , Surat jaksa Agung RI Nomor R-671/F/F Py.4/8/1989 tentang Penegasan kewenangan penyidik serta ketentuan-ketentuan kewenangan pemaksaan pentaatan dalam UNCLOS 1982 yang telah diratifikasi dengan UU Nomor 17 tahun 1985, diatur dalam Pasal 29, Pasal 73, Pasal107, Pasal 110, Pasal 111 UNCLOS 1982 dan pada intinya menyatakan bahwa TNI AL (Kapal Perang) mempunyai kewenangan untuk menegakkan kedaulatan dan hukum di laut dalam rangka mempertahankan keamanan dan kepentingan nasionalnya.

Tanggung jawab TNI AL dalam penegakan hukum tersebut bukanlah sesuatu yang asing, karena sebenarnya dalam jaman modern dan demokrasi terdapat beberapa negara seperti Kanada, Inggris, Venezuela, Malaysia dan Filipina menetapkan AL (Government Naval Vessel) berperan dalam penegakan hukum. Dalam Section 124 The Philippines Fisheries Code of 1998 atau Pasal 2 Ordonan Perkapalan Dagang 1952 dan Pasal 2 Akta Perikanan 1985 (Act 317) Malaysia secara tegas menyebutkan Naval Vessel mempunyai otoritas dalam penegakan hukum.

TINJAUAN PERAN TNI AL SEBAGAI PENYIDIK DI LAUT
Penegakan hukum oleh TNI AL berdasarkan faktor geografis disebabkan ciri khas Indonesia sebagai negara kepulauan, yang luas lautnya 2/3 dari wilayah RI. Berdasarkan pertimbangan historis sejak adanya pemindahan kekuaasaan dari Commandant der Zee Match kepada Kasal sesuai UU No. 2 Drt 1949 dan sejak Zaman Netherland Indie, Angkatan Laut adalah penyidik di laut berdasarkan TZMKO Stbl 1939 No.442, Penyidik Perikanan berdasarkan Stbl 1927 No 144 dan Penyidik Pelayaran berdasarkan Stbl 1936 No.700.
Sedangkan dari faktor filosofis, TNI AL mempunyai peran universal yang selalu melekat dalam diplomacy role, military role dan constabulary role yaitu menegakkan kedaulatan dan hukum di laut yang sangat didukung infrastruktur berupa Skill dan SDM, kapal-kapal dari berbagai tipe yang mampu melaksanakan coverage seluruh perairan yurisdiksi nasional dengan menggelar operasi laut sepanjang tahun. Berdasarkan faktor-faktor tersebut dapat digarisbawahi bahwa anggapan Peran TNI AL hanya meliputi pertahanan saja tidak tepat dan menyesatkan karena Pasal 30 ayat (3) Amandemen UUD 1945 mengamanatkan penegakan kedaulatan negara bukan dalam terminologi Pertahanan.
Berdasarkan tinjauan yang komprehensif atas hubungan TNI AL dan Polri dalam Keamanan Nasional maka Pemisahan kelembagaan dan Peran TNI AL dan POLRI oleh TAP MPR No. VI/MPR 2000 dan No. VII/MPR/2000, titik berat kedudukan TNI sebagai alat negara yang berperan sebagai alat pertahanan negara sedangkan Polri adalah alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan penegakan hukum. Kedua TAP MPR tersebut harus ditafsirkan sejalan dengan pasal 30 Amandemen UUD 1945 yang tidak membuat dikotomi antara Pertahanan dan Keamanan karena dalam pasal 30 ayat (3) dan (4) terkandung makna yang lebih integral yaitu Keamanan Nasional. Istilah Keamanan Nasional (National Security) bermakna lebih luas dibandingkan istilah pertahanan, oleh karena itu keamanan nasional menjadi tanggungjawab seluruh komponen bangsa termasuk TNI. Persepsi TNI berperan melaksanakan penegakan kedaulatan dan hukum negara pada dasarnya sejalan dengan pokok pikiran yang terkandung dalam pasal 30 Amandemen UUD 1945, oleh karena itu pemisahan kelembagaan dan peran antara TNI dan POLRI tidak dipandang secara sempit dengan meggunakan alasan yang kurang bijaksana dengan membenturkan dikotomi sipil-militer atau secara sektoral memisahkan istilah Pertahanan dan Keamanan. Dengan demikian perlu adanya studi dan pengkajian kembali lebih mendalam oleh Komisi Konstitusi dengan melibatkan Lembaga atau Instansi yang berkompeten, untuk secara prosedural dapat diajukan dalam Sidang MPR dengan agenda khusus pembahasan rumusan pasal 30 ayat (3), ayat (4) UUD 1945 dan sekaligus peninjauan Tap MPR No. VI/2000 dan TAP MPR No.VII /2000 tentang Pemisahan Kelembagaan dan Peran TNI dan POLRI karena kenyataannya dalam pelaksanaannya ditemukan banyak kendala dan permasalahan yang bersifat prinsipiil, oleh karena itu, hal ini perlu diatur secara limitatif bahwa TNI tidak dapat dilepaskan dalam mengemban fungsi keamanan semata-mata demi kepentingan nasional.

Thursday, June 18, 2009

Seputar Ambalat - Sekadar Tak Melupakan

Posisi Malaysia dalam kasus ini jelas sebagai pihak yang memegang pelatuk, yang memicu kegeraman yang amat sangat sekaligus pihak yang menyalakan api sehingga asapnya menyeruak kemana-mana sampai jauh ke dalam relung sensitifitas rakyat Indonesia. Kita dapat secara gamblang membeberkan lelucon yang tidak lucu ini karena teman tetangga kita itu bermain-main di atas kedaulatan suatu negara yang selalu mereka anggap serumpun. Kita coba tengok lebih jernih..bahwa klaim Malaysia tersebut didasarkan pada klaim wilayah Malaysia yang dicantumkan dalam peta yang dikeluarkan pada tahun 1979, dalam peta tersebut Malaysia sudah mencantumkan Pulau Sipadan dan Ligitan sebagai wilayah Malaysia, sehingga penarikan garis batas perairan di daerah itu dengan berdasarkan penarikan garis batas dari Pulau Sipadan dan Ligitan. Malaysia beranggapan bahwa wilayah yang diberikan konsensi kepada Perusahaan Minyak Shell (Inggeris dan Belanda) merupakan perairan Malaysia dan dikenal sebagai wilayah Y (ND6) dan Z (ND7). Malaysia telah melakukan beberapa pelanggaran wilayah di daerah tersebut antara lain melakukan survei seismik di daerah tersebut pada tahun 2003, melakukan latihan militer (penembakan) di wilayah Indonesia pada tahun 2004 dan Malaysia melakukan hot pursuit sampai wilayah Indonesia pada tahun 2005 dan pada pertengahan tahun 2009 ini telah menginjak-injak politik dan diplomasi “Soft Power” Indonesia dengan puluhan pelanggaran dengan dalik yang mengada-ada.
Posisi Indonesia dalam kasus ini sepertinya terlalu defensif. Basis Indonesia di dasarkan asumsi yang terlalu formil yaitu bahwa Putusan Mahkamah Internasional pada tanggal 17 Desember 2002 hanya mengenai kepemilikan pulau Sipadan dan Ligitan tidak termasuk perairan yang ada di wilayah tersebut. Bagi Indonesia Penentuan batas maritim di wilayah tersebut harus didasarkan pada persetujuan kedua pihak dan tidak dapat di klaim secara unilateral sebagaimana dicantumkan dalam peta tahun 1979 serta pemberian konsensi kepada Perusahaan Shell tersebut sebagai alasan penentuan batas maritim. Indonesia telah memberikan konsensi minyak kepada berbagai perusahaan minyak di Kawasan Kalimantan Timur termasuk di daerah yang diklaim Malaysia. Pemberian konsensi tersebut telah dilakukan oleh Indonesia sejak tahun 1966 dan tidak ada protes atau penolakan Malaysia. Konsensi di East Ambalat (yang diklaim Malaysia) telah di berikan kepada Unocal (Amerika Serikat) pada tahun 2004.
Benang merah dari kedua fakta diatas telah memberi sebab mengenai klaim tumpang tindih atas penguasaan wilayah antara Indonesia dan Malaysia disebabkan adanya perbedaan kepentingan dan belum selesainya batas maritim kedua negara. Salah satu yang mengemuka dan yang menjadi alasan dan biang keladi adalah juga faktor ekonomi yaitu setelah perusahaan minyak Malaysia Petronas memberikan konsensi kepada Perusahaan Minyak Shell di daerah yang sejak dahulu merupakan wilayah konsensi minyak Indonesia.

IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH INTERNASIONAL TAHUN 2002
Putusan Mahkamah Internasional tahun 2002 hanya menyangkut masalah kepemilikan Pulau Sipadan dan Ligitan (wilayah daratan) serta tidak menyangkut kepemilikan wilayah laut. Hal ini sesuai dengan pertimbangan Hakim Oda (Hakim Jepang yang ikut memutuskan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan dan Ligitan) yang memberikan pertimbangan dalam Putusan Mahkamah Internasional pada tahun 2002 tersebut. Untuk itu masing-masing negara tidak dapat menentukan secara sepihak batas maritim di kawasan tersebut. Persyaratan ini sesuai dengan Keputusan Mahkamah Internasional pada tahun 1951 yang menegaskan bahwa penentuan batas laut memiliki aspek internasional, tidak hanya tergantung pada kehendak satu negara, sedangkan keabsahan garis batas harus didasarkan pada hukum internasional. Untuk itu dalam menetapkan batas maritim di daerah tersebut harus dilakukan melalui perjanjian antara kedua negara dengan menerapkan asas-asas umum hukum internasional dalam menyelesaikan batas maritim tersebut. Selain itu Malaysia tidak dapat melakukan klaim berdasarkan peta tahun 1979 karena peta tersebut tidak dapat sebagai justifikasi penerapan putusan Mahkamah Internasional tahun 2002.
PETA BATAS MARITIM MALAYSIA TAHUN 1979.
Malaysia mendasarkan klaim wilayah lautnya pada peta yang dikeluarkan pada tahun 1979. Peta tersebut dikeluarkan secara sepihak (unilateral), sehingga tidak mempunyai implikasi hukum (legal) akan tetapi mempunyai implikasi politis. Dalam peta tahun 1979 tersebut telah tergambar klaim Malaysia termasuk batas maritim dengan negara-negara tetangga Malaysia (Indonesia, Thailand, Vietnam, Singapura, Brunei, dan Philipina). Semua negara yang berbatasan dengan Malaysia tersebut telah mengajukan protes terhadap penerbitan peta tersebut, demikian pula Indonesia sejak tahun 1980 telah mengajukan protes terhadap batas maritim yang ada dalam Peta tahun 1979 tersebut. Implikasi juridis terhadap peta dapat dikatakan tidak ada disebabkan batas maritim yang tergambar dalam peta tahun 1979 tidak dilaksanakan sesuai dengan hukum internasional (melalui perjanjian). Berkaitan dengan implikasi juridis yang tidak ada terhadap peta tahun 1979 tersebut, hal yang perlu diperhatikan adalah implikasi politis dari peta tersebut.
Berdasarkan garis batas landas kontinen yang diklaim oleh Malaysia tersebut terlihat bahwa Malaysia mencoba membagi wilayah perairan dengan cara median line (garis tengah). Akan tetapi dalam penarikan garis tengah tersebut Malaysia menentukan titik dasar dan menarik garis pangkal berdasarkan cara penarikan garis pangkal kepulauan. Hal ini terlihat bahwa Malaysia menarik garis pangkal dari karang-karang, pulau-pulau terluar, sedangkan dalam Pasal 7 Konvensi diatur bahwa negara pantai dapat menarik garis pangkal lurus jika memenuhi beberapa kriteria, antara lain adanya “deep indentation”, ada “fringe of islands” ada “unstable coast” contohnya delta yang selalu bergerak serta adanya adanya “low tide elevation” yang telah ada bangunan permanen contohnya mercusuar. Jika ada 4 kriteria di atas masih harus memenuhi persyaratan “tidak menyimpang terlalu jauh dari arah umum dari pada pantai, serta tidak memotong laut teritorial negara lain. Praktek yang dilakukan Malaysia dalam Peta tahun 1979 tidak terlihat adanya jabaran sebagaimana uraian di atas. Oleh karena itu cara penentuan batas klaim landas kontinen yang dilakukan oleh Malaysia merupakan cara yang tidak ada dasar hukumnya, atau setidaknya tidak didasarkan pada Konvensi. Oleh karena itu reaksi yang muncul setelah peta tahun 1979 dikeluarkan yaitu adanya penolakan dari negara-negara tetangga Malaysia (Indonesia, Thailand, Vietnam, Singapura, Brunei, dan Philipina). Demikian pula Indonesia sejak tahun 1980 telah mengajukan protes terhadap batas maritim yang ada dalam Peta tahun 1979 tersebut.

KONSENSI MINYAK YANG DIBERIKAN INDONESIA.

Indonesia sejak tahun 1966, sebagai tindak lanjut Konvensi Hukum Laut Jenewa tahun 1958, telah membagi beberapa lokasi cadangan minyak yang ada di darat maupun di laut. Khususnya cadangan minyak yang ada di Kalimantan Timur termasuk wilayah laut disebelah timurnya, Indonesia telah memberikan konsensi minyak kepada beberapa perusahaan minyak asing antara lain Japex (Jepang), ENI (Italia), Unocal (Amerika Serikat) termasuk juga kepada perusahaan Shell. Dalam pemberian konsensi minyak tersebut, khususnya di daerah perbatasan laut Indonesia membagi dalam wilayah konsensi Ambalat, Bukat dan Unarang. Khususnya untuk daerah Ambalat konsensi minyak telah diberikan kepada Perusahaan minyak ENI sejak tahun 1999, sedangkan untuk East Ambalat diberikan kepada Unocal pada tanggal 13 Desember 2004.
Peta konsensi minyak yang dikeluarkan Pertamina tersebut telah diketahui oleh Malaysia dan dikenal sebagai “Exercise of Indonesia’ Rights to Continental Shelf” atau pelaksanaan hak Indonesia di landas kontinen. Sejak mengeluarkan konsensi di daerah tersebut tidak ada klaim/protes oleh Malaysia. Sejarah pemberian konsensi ini dan tidak adanya protes dari pihak Malaysia dapat digunakan sebagai pelaksanaan hak berdaulat di daerah tersebut dan dapat ditafsirkan bahwa Indonesia yang mempunyai wilayah tersebut. Kondisi ini memperkuat posisi Indonesia bahwa secara de facto, daerah di timur Perairan Kalimantan Timur telah di “kuasai/milik” Indonesia.

KONSENSI MINYAK YANG DIBERIKAN MALAYSIA.

Berdasarkan klaim batas landas kontinen Malaysia yang tercantum dalam peta tahun 1979, Malaysia membagi 2 blok konsensi minyak yaitu Blok Y (ND 6) dan Blok Z (ND 7). Adapun luas kedua blok tersebut ± 15235 Km 2. Blok Y (ND 6) adalah blok yang tumpang tindih dengan wilayah konsensi minyak yang diklaim oleh Indonesia, sedangkan Blok Z (ND 7) adalah blok yang tumpang tindih dengan wilayah konsensi yang diklaim Phillipina.
Malaysia memberikan konsensi minyak di Blok Y dan Blok Z kepada perusahaan minyak Shell (Inggeris dan Belanda) pada tanggal 16 Pebruari 2005. Pihak perusahaan Shell sepertinya mengetahui bahwa di daerah konsensi yang ditawarkan merupakan daerah yang masih dipersengketakan antara Indonesia dengan Malaysia. Hal ini disebabkan perusahaan Shell tersebut pernah mendapat konsensi minyak di Kalimantan Timur.Pemberian konsensi minyak pada dasarnya merupakan hak suatu negara karena konsensi minyak tersebut merupakan sumber daya alam yang dimiliki oleh negara tersebut dengan pembatasan bahwa wilayah konsensi tersebut benar-benar ada dalam wilayah sah negara tersebut, akan tetapi jika klaim wilayah maritim (dhi. landas kontinen) belum jelas kepemilikanya maka pemberian konsensi minyak akan memicu konflik di daerah perbatasan.
Pelanggaran wilayah tersebut seharusnya dapat diantisipasi dengan melakukan tindakan pencegahan dan tindakan protes secara terbuka kepada Malaysia. Presiden ini dapat menunjukkan bahwa Malaysia melakukan upaya penegakan hukum di wilayah dan mempunyai hak untuk melakukan tindakan tersebut. Untuk itu diperlukan tindakan konkret dengan melakukan patroli satuan-satuan TNI di daerah tersebut. Selain itu jika unsur TNI AL di lapangan dalam melakukan patroli menjumpai kapal Malaysia yang melakukan pelanggaran wilayah, maka unsur TNI AL dapat membuat berita acara adanya pelanggaran tersebut termasuk tindakan-tindakan yang dilakukan untuk mencegah/menghalau kapal Malaysia tersebut.

STATUS KARANG UNARANG DAN PEMASANGAN MERCUSUAR.

Karang Unarang (040 00’ 40” LU- 1180 04’ 00’ BT) merupakan karang yang terletak antara Pulau Sebatik dan Pulau Sipadan ( ± 9 mil laut dari Pulau Sebatik). Karang tersebut sudah di survey oleh Dephub dan Dishidros pada Bulan Nopember 2004 – Januari 2005 dan direkomendasikan dapat dibangun mercusuar. Berdasarkan Pasal 47 Konvensi Hukum Laut 1982 karang/elevasi surut yang ada bangunan (Mercusuar) dapat dijadikan sebagai titik dasar (base point) untuk penarikan garis pangkal (base line) kepulauan. Sehingga jika karang ini sudah di bangun mercusuar dan dijadikan titik dasar maka penarikan garis pangkal akan semakin ke timur (bergeser) yang akan menguntungkan batas laut teritorial, zona tambahan, ZEE dan landas kontinen Indonesia. Untuk itu pembangunan mercusuar tersebut dapat dijadikan prioritas untuk dikerjakan. Jika karang Unarang tersebut berhasil dibangun dan dapat dipertahankan dari segi keamanan, politis dan hukum serta tidak ada klaim dari Malaysia, maka klaim landas kontinen Malaysia pada peta tahun 1979, akan gugur dan Malaysia dapat dipaksa untuk merundingkan posisi batas landas kontinen yang baru.
Status kepemilikan karang Unarang pada saat ini diklaim oleh Indonesia dengan Malaysia. Malaysia mendasarkan pada peta tahun 1979, sedangkan Indonesia berdasarkan pendekatan sejarah, geografis dan praktek negara. Berdasarkan pendekatan sejarah karang Unarang sejak jaman dahulu masuk dalam daerah kekuasaan kesultanan Bulungan yang merupakan kesulatanan dalam wilayah Indonesia. Sedangkan untuk pendekatan geografis karang Unarang terletak hanya 9 mil laut yang secara geografis lebih dekat ke pulau utama Indonesia (main island) dari pada ke wilayah Malaysia. Selanjutnya dilihat dari praktek negara, karang Unarang masuk dalam daerah konsensi yang sejak tahun 1960 dikelola oleh Indonesia. Oleh karena itu berdasarkan pengalaman proses putusan Sipadan dan Ligitan, maka prinsip effectivity dalam pengakuan suatu wilayah sangat menentukan klaim suatu negara terhadap wilayah tertentu. Bentuk efektivitas pemerintah terhadap suatu wilayah dapat dilakukan melalui proses peraturan perundang-undangan yang dapat berupa:

Pro Kontra ALKI Timur-Barat


PRO KONTRA ALKI TIMUR - BARAT

Ketika kapal induk AS melewati perairan Indonesia, sebagaimana Normal Mode dari suatu kapal induk pastilah ia dikawal oleh kapal-kapal kombatan lain dan dilindungi pesawat terbang sebagai unsur pengintai, namun demikian kejadian melintasnya kapal induk tersebut dengan menerbangkan unsur pengintai di wilayah perairan dan udara Indonesia yang akhirnya ter-intercept oleh pesawat TNI AU telah menimbulkan polemik yang berkepanjangan di kalangan pemerintah Indonesia, meski berakhir dengan koordinasi positif antar pejabat.

Berdasarkan kejadian saat itu sesungguhnya patut dipastikan dimanakah persisnya penerbangan F-18 tersebut terjadi, letak kejadian ini sangat penting karena adanya hak Archipelagic Sea Lanes Passage (ASLP) sesuai dengan pasal 53 ayat 2 Konvensi Hukum Laut yang berbunyi “All ships and aircraft enjoy the right of archipelagic sea lanes passage in such sea lanes and air routes” hak ini berlaku pula bagi kapal-kapal perang dan kapal-kapal terbang militer untuk berlayar dan terbang melalui dan diatas alur laut kepulauan di perairan nusantara

Merujuk pada kejadian tersebut, sebenarnya pada gugus tugas armada AS tersebut berlaku hak ASLP ataukah Innocent Passage, mengingat jalur yang dilalui adalah dari ALKI I kemudian melintas Laut Jawa dilanjutkan ke ALKI II, Kajian singkat ini bermaksud untuk memberikan gambaran dan masukan kepada pemimpin TNI AL tentang kemungkinan ditetapkannya / tidak ditetapkannya ALKI Timur – Barat ditinjau dari aspek Hubungan Internasional sehingga diharapkan berkurangnya tekanan pihak luar terhadap Indonesia.

ALKI serta peraturan perundangannya.

Pemerintah Indonesia sejak tahun 1995 telah mengajukan proposal ALKI kepada IMO, yang memutuskan pada sidang terakhir tanggal 19 Mei 1998 Working Group Maritime Safety Comitte - 69 yaitu diterimanya proposal ALKI Indonesia dan secara resmi diadopsi dan diterima oleh IMO, maka pengajuan ketiga ALKI Utara - Selatan oleh Indonesia merupakan ALKI pertama di dunia yang tentunya memberikan jalan yang lapang bagi negara-negara kepulauan yang lain untuk segera dapat menetapkan Alur Laut Kepulauan masing-masing negara.

Untuk itu salah satu tindak lanjut dari keputusan ini adalah dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 61 tahun 1998 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-titik Pangkal dan Garis Pangkal Kepulauan Indonesia di Laut Natuna sebagai garis pangkal baru serta Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 2002 tentang Hak dan Kewajiban Kapal dan Pesawat Udara Asing dalam melaksanakan hak lintas Alur Laut Kepulauan melalui alur yang telah ditetapkan yang dikeluarkan pada tanggal 28 Juni 2002, enam bulan setelah tanggal penyerahan PP ini ke IMO, maka ALKI berlaku sah secara formal untuk digunakan secara internasional

Perairan Kepulauan Sebelum 1982

Rejim Alur Laut Kepulauan bermula pada pengertian yang terdapat dalam Pasal 53 UNCLOS '82 tentang hak lintas alur laut kepulauan, meski konsep Negara Kepulauan (Archipelagic State) saat itu sudah diterapkan dan berkembang pada saat aturan UNCLOS sedang dinegosiasikan, tetapi belum ada aturan yang jelas tentang bagaimana berlayar melewati Alur Laut Kepulauan sampai setelah diadopsinya UNCLOS yang resmi dideklarasikan pada bulan Desember 1982. Sebelum negosiasi Hukum Laut Internasional, negara-negara maritim menginterpretasikan hak melintas antara pulau-pulau di tengah-tengah kepulauan didasarkan atas :

1. Setiap pulau mempunyai laut territorial sendiri-sendiri dan kapal-kapal asing yang melewati perairan yang menghubungkan pulau (Interconnecting waters) secara tradisional mempunyai hak Innocent Passage
2. Apabila laut territorial dari suatu pulau overlapped dengan yang lain maka diterapkan rejim selat dan innocent passage bagi kapal-kapal asing
3. Diluar laut territorial dari setiap pulau adalah merupakan laut bebas yang berarti bahwa kapal-kapal asing bebas berlayar dan terbang melalui perairan-perairan tersebut

Di dalam aturan domestik serta pada saat pelaksanaan UNCLOS I dan II, negara kepulauan seperti Indonesia dan Phipilipina mengadopsi suatu pandangan/aturan dimana bagi kapal-kapal asing yang melintasi perairan kepulauan berlaku innocent passage dan khusus untuk kapal perang harus memberitahukan terlebih dahulu kepada negara pantai.

Penerapan perairan kepulauan sejak 1982

Sejak tahun 1982 dan diratifikasinya UNCLOS oleh negara-negara pantai maka negara kepulauan mempunyai kedaulatan untuk mengontrol perairan diantara pulau-pulaunya dan menjamin ketidakterganggunya pengguna-penguna laut dimana dahulunya merupakan laut bebas.
Asal usul ALKI adalah berdasarkan suatu konsep dalam UNCLOS “routes normally used for international navigation” yang melalui atau melintasi perairan kepulauan mulai dari titik masuk hingga titik keluar dari batas luar laut teritorial suatu negara pantai yang diukur dari baselinenya. Harus pula dicatat bahwa Rejim ASLP berwujud “hak dan Kewajiban”. Ini berarti bahwa secara jelas negara pantai mempunyai hak berdaulat terhadap perairan kepulauannya, dan dari hak ini akan memunculkan kewajiban’ . Kewajiban ini merupakan jaminan terhadap hak pengguna laut negara lain yang melalui ASLP. Hak tersebut berupa akses untuk melintas yang bersifat damai, bertujuan baik, menghindari sikap mengancam dan menggunakan kekerasan terhadap kedaulatan, integritas atau kemerdekaan negara pantai (UNCLOS pasal 39(2) )

Polemik ALKI Timur - Barat

Pada saat diresmikannya ALKI I, II, dan III yang notabenenya adalah Utara – Selatan oleh IMO, masih muncul ketidakpuasan negara-negara lain yang berkepentingan melewati wilayah Indonesia khususnya negara-negara maritim besar, wilayah yang dulu sebelum diratifikasinya UNCLOS 82, merupakan laut bebas, kini berubah menjadi perairan kepulauan (Archipelagic Waters). Dan bahkan ada pasal dalam PP No. 37/2002 yang dinilai bertentangan dengan Konvensi HLI serta kesepakatan yang dicapai, misalnya pasal 15 yang menyatakan “Enam bulan setelah PP ini mulai berlaku, kapal dan pesawat udara asing dapat melaksanakan Hak Lintas Alur Laut kepulauan hanya melalui alur laut kepulauan sebagaimana ditetapkan dalam PP ini”, bunyi pasal tersebut jelas bertentangan dengan Pasal 53 (12) yang berbunyi ‘Apabila suatu negara kepulauan tidak menentukan alur laut atau rute penerbangan, maka hak lintas alur laut kepulauan dapat dilaksanakan melalui rute yang biasanya digunakan untuk pelayaran internasional’ serta bertentangan dengan kesepakatan awal yang terdapat pada ‘Rules of The Indonesian Archipelagic Sea Lanes’ aturan 19 yang berbunyi “Sebelum ditetapkan alur-alur kepulauan lainnya di bagian-bagian lain perairan kepulauan Indonesia, hak lintas alur laut kepulauan dapat dilaksanakan di perairan kepulauan yang relevan sesuai dengan Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982”

Indonesia pada saat itu memberikan alibi yang mungkin dipandang untuk saat ini kurang kuat yaitu pembuatan ALKI Timur – Barat sementara ditangguhkan mengingat belum dipelajari dan dilaksanakannya survey Hidro Oseanografi yang focus dan intensif di wilayah tersebut dalam rangka pembuatan jalur ALKI, artinya Indonesia menyatakan sementara baru menetapkan tiga ALKI (Partial Decision). Dan menyadari masih ada rute lain yang sudah dipakai dalam pelayaran internasional sejak berabad-abad lampau tetapi belum termasuk didalam jalur ALKI tersebut khususnya yang melalui Laut Jawa

Desakan negara-negara maritim besar agar Indonesia menetapkan ALKI Timur – Barat seharusnya saat ini secara arief harus kita sikapi dengan baik dan dengan pikiran yang jernih, pada saat akhir sidang MSC (Maritime Safety Comitte) ke-67 pada Desember 1996 di London yang membahas tentang ALKI ini ada statemen yang secara implisit merupakan tuntutan dari negara-negara maritim besar yang berkepentingan melewati perairan Indonesia yaitu apabila Indonesia belum dapat menetapkan semua ALKI terutama Timur - Barat, maka harus ada komitmen yang jelas dari Republik Indonesia bahwa Indonesia akan menetapkan ALKI-ALKI tersebut dengan time frame yang jelas, dan bahwa selama ALKI-ALKI tersebut belum ditetapkan maka dibagian laut tersebut harus berlaku ketentuan “Archipelagic Sea Lines Passage” sebagaimana ditetapkan dalam UNCLOS pasal 53(12), dan bukan ketentuan hukum “Innocent Passage”

Seperti diketahui perbedaan antara ‘Innocent Passage’ dan “Archipelagic Sea Lines Passage’ antara lain adalah :

1. ‘Innocent Passage’ boleh ditangguhkan setiap saat oleh Indonesia dan oleh karena itu perairan yang bersangkutan setiap saat bisa ditutup oleh Indonesia, sedangkan Archipelagic Sea Lanes (ASL) tidak boleh ditangguhkan. Karena itu negara-negara maritim besar menentang diberlakukanya ‘innocent passage’ di perairan-perairan yang biasa dipakai untuk pelayaran internasional dimana ALKI belum ditetapkan
2. Dalam innocent passage tidak ada hak terbang, sedangkan dalam ASL ada hak terbang diatas ASL
3. Dalam Innocent Passage kapal selam harus berlayar di permukaan laut dan harus memperlihatkan benderanya, sedangkan di ASL kapal selam dapat berlayar ‘in the normal mode’, dalam arti bahwa boleh berlayar dibawah permukaan air
4. Berbagai negara menetapkan bahwa dalam ‘innocent passage’ kapal perang diwajibkan meminta ijin lebih dahulu kepada negara pantai sedangkan dalam ASL , tidak perlu meminta ijin

Dengan belum diakuinya ALKI I, II, III oleh negara-negara maritim besar (baca ; Amerika, Inggris, Australia) timbul pertanyaan ; apakah fenomena ini mengisyaratkan menunggunya mereka terhadap sikap Indonesia sesuai alasan Indonesia saat mengajukan ALKI Utara – Selatan yaitu belum disurveinya wilayah ALKI Timur - Barat, ataukah ada tendensi lain (?)

Peristiwa melintasnya Kapal Induk Amerika USS Carl Vincent dengan menerbangkan F-18nya tanpa ijin (meski diklaim sudah minta ijin tapi terlambat) jika itu kaji apakah tindakan ini bukan merupakan tindakan mencari-cari perang (Font War) kita ingat beberapa tahun lalu Amerika melaksanakan latihan perang dekat perbatasan Libya, atau tertabraknya (atau sengaja ditabrakkan) pesawat intai AS oleh pesawat tempur Cina di wilayah udara Cina

Hingga saat ini setelah 5 tahun diakuinya ALKI Utara-Selatan oleh IMO dan dunia Internasional, meski negara maritim besar belum mengakuinya, tetapi dasar tidak dibuatnya ALKI Timur - Barat oleh Indonesia yaitu belum disurvei, sampai kapankah kita akan bertahan dengan alibi itu, dan dasar hukum apakah yang akan kita gunakan untuk mempertahankan alibi kita (?), dari sisi kedaulatan dan keamanan nasional memang kita memegang teguh untuk tetap bertahan tidak dibuatkan ALKI Timur - Barat tapi secara hukum dan hubungan internasional belum lagi dikaitkan dengan komitmen awal delegasi Indonesia dengan negara-negara maritim saat sidang akhir IMO, sampai dimanakah dan sampai kapankah kita bertahan untuk mengambangkan realisasi ALKI Timur - Barat, ataukah kita tetap keukeuh tidak membuat ALKI Timur – Barat, sementara bangsa lain yang jelas militernya lebih kuat dengan arogan tidak mengindahkan ALKI yang telah dibuat dengan alasan bahwa mereka masih menganggap bahwa jalur yang dilewati adalah jalur internasional ?

Secara historis ALKI Timur – Barat sudah ada sejak jaman baheula dan sudah merupakan jalur internasional, dikhawatirkan apabila Indonesia bersikeras tetap mengambangkan status ALKI Timur – Barat atau bahkan mengatakan tidak, maka Indonesia dianggap tidak realistis karena menyalahi komitmen awalnya dan bisa dipastikan tidak diterima di dunia internasional dan hal ini sama halnya Indonesia membuka ALKI-ALKI lain yang liar tanpa pengaturan, sementara dengan adanya pengaturan maka Indonesia telah membuka jalur yang jelas dan mudah dikontrol .

Dengan tidak adanya ketetapan mengenai ALKI Timur – Barat di Laut Jawa maka yang menjadi persoalan adalah apakah kapal-kapal perang asing tersebut maka implikasinya adalah tidak boleh lewat perairan tersebut atau boleh lewat namun tetap berdasar prinsip innocent passage serta atau boleh lewat wilayah tersebut berdasarkan prinsip-prinsip ASLP

Dari ketiga alternatif tersebut diatas yang paling mungkin dilakukan adalah alternatif ketiga, tapi alternatif ini jelas kurang baik bagi Indonesia mengingat kapal-kapal militer asing akan susah ditebak dimana mereka akan lewat, selama bertahun-tahun Indonesia memperjuangkan diterimanya ALKI justru agar bisa melokalisasi tempat lewat kapal perang dan pesawat udara militer asing, agar mudah diawasi dan dikontrol.

Sisi positif ditetapkan ALKI T-B

Setiap suatu keputusan yang diambil pastilah akan terdapat efek positif maupun negatifnya, tetapi yang terpenting adalah bagaimana kita menempatkan kedaulatan bangsa ini diatas segalagalanya dengan mengindahkan aspek legalitas hukum baik nasional maupun internasional. Apabila ALKI Timur – Barat ditetapkan maka akan berimplikasi positif antara lain Indonesia dapat melokalisir dalam arti memberikan jalan bagi kapal asing yang melewati perairan kepulauan, sehingga bagi negara-negara maritim besar tidak sewenang-wenang melewati wilayah perairan kita sesuai kehendak mereka; Indonesia dapat melaksanakan klaim apabila terdapat kapal asing / kapal militer asing yang berlayar tidak sesuai dengan ketentuan; Paling tidak, Indonesia tidak menyalahi komitmen awal saat diterimanya ALKI Utara – Selatan; Indonesia mempunyai Bargaining Position dengan membuat ALKI Timur – Barat ini yaitu dengan mengajukan bantuan kepada pihak lain khususnya negara-negara maritim besar baik berupa kerjasam survei, hard ware peralatan surveillance, monitoring dan controlling serta berupa educational programme untuk peningkatan sumber daya pengawaknya;Harus mampu meyakinkan negara-negara maritim besar bahwa tuntutan ALKI Timur Barat adalah ALKI terakhir yang disediakan, dengan perundingan intensif yang tidak mengarah ke tuntutan jalur ALKI lain.

Sisi negatif ditetapkan ALKI Timur - Barat

Disamping sisi positif diatas terdapat pula sisi negatif yang perlu dicermati, antara lain perlu pengawasan yang extra ketat khususnya jalur yang berdekatan dengan obyek-obyek vital, rawan terhadap high tech intelligence, menyadari akan kelemahan teknologi kita terutama dalam bidang monitoring tanpa didukung perangkat teknologi yang moderen maka dengan mudah kapal militer asing melaksanakan kegiatan survei dan intelejen dengan mengatasnamakan lintas ASLP serta Jalur tersebut akan semakin ramai dilewati baik oleh kapal niaga maupun kapal militer asing

Demikian kajian singkat ini dibuat dengan kesimpulan bahwa sebenarnya ALKI dibuat bukanlah merupakan hadiah dari bangsa Indonesia kepada dunia internasional, dengan memberikan jalan bagi lalu lintas internasional melewati wilayah Indonesia, namun merupakan perwujudan dari hak Indonesia untuk melakukan pengaturan dan pengawasan dalam arti kata jika kita tidak mau terganggu maka jalur yang dilewati harus dilokalisir dengan ALKI.Ditinjau dari sisi historisnya ALKI Timur – Barat sebelum 1982 adalah merupakan jalur internasional sehingga disarankan searief mungkin kita harus pula mewadahi kepentingan internasional tanpa mengorbankan kepentingan dan kedaulatan bangsa, tentu saja dibarengi dengan deal dan bargain yang positif dengan negara-negara maritim besar yang sering melalui wilayah tersebut, disamping itu juga dilaksanakan penyempurnaan pada PP 37 / 2002 agar tidak terjadi perbedaan aturan dan pengertian khususnya dengan UNCLOS ’82