PPATK menemukan transaksi mencurigakan di rekening ratusan pejabat Pajak, ada yang Rp27 M.
     
Gayus Tambunan, mantan pegawai Ditjen Pajak (VIVAnews/Nurcholis Anhari Lubis)
 VIVAnews – Mengenakan setelan jas lengkap,  sekitar 400 pejabat Direktorat Jenderal Pajak dari seluruh Indonesia  berkumpul di Jakarta pada Senin-Rabu, 17-19 Januari lalu. Dari seluruh  pelosok Nusantara, mereka sengaja didatangkan guna mengikuti rapat  pimpinan istimewa selama tiga hari di Gedung Danaphala, Kementerian  Keuangan RI. 
Agendanya, sangat strategis. Pertemuan itu membahas  rencana penerimaan pajak dengan target besar, Rp850 triliun tahun ini.  Pemberi wejangan juga tidak main-main. Di sana, ada Menteri Keuangan  Agus Martowardojo, Ketua Komisi Pemberantas Korupsi Busyro Muqoddas,  Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Hadi Poernomo, Ketua Pusat Pelaporan dan  Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Yunus Husein, dan Danang Widoyoko  dari Indonesia Coruption Watch. 
Namun, keributan mendadak pecah  saat Ketua PPATK Yunus Husein tampil ke podium di hari Selasa. Selama  dua jam, dia membeberkan sejumlah temuan mengejutkan. “Mendengar  presentasi Pak Yunus, pegawai pajak langsung pada ribut,” kata seorang  pejabat yang hadir di acara itu.
Apa yang bikin ribut itu? 
Menurut dokumen yang dipelajari 
VIVAnews.com,  pemaparan Yunus terkait dengan hasil penelusuran sementara PPATK  terhadap rekening pegawai Ditjen Pajak dan Bea Cukai—yang oleh sejumlah  survei kerap didudukkan sebagai dua lembaga yang paling korup di negeri  ini.
PPATK rupanya sedang menyelidiki rekening pejabat di dua  lembaga itu, mulai dari Kepala Seksi sampai Direktur Jenderal. Di  lingkungan Ditjen Pajak, yang sedang ditelisik adalah rekening milik  3.616 pejabat dan 12.089 anggota keluarga mereka. Di Bea Cukai, akun  punya 1.245 pejabat dan 3.408 famili mereka. Penyelidikan dilakukan  setelah mencuatnya kasus Gayus Tambunan pada tahun lalu. 
Penelusuran  diarahkan untuk mendeteksi dua hal. Pertama, transaksi tunai senilai  Rp500 juta atau lebih dan transaksi yang dinilai mencurigakan--misalnya  karena tidak sesuai dengan profil dan pendapatan wajar mereka sebagai  pegawai negeri.
Dan hasilnya sungguh mengejutkan. PPATK menemukan indikasi bahwa rupanya memang ada 'seribu satu Gayus' di dua instansi ini.
Dokumen  itu menyatakan PPATK mendapati ada banyak pejabat Ditjen Pajak yang  melakukan transaksi tunai dalam jumlah teramat besar, dalam kisaran  Rp500 juta hingga Rp27 miliar per pejabat; baik melalui rekening pribadi  mereka maupun istri atau anak mereka “tanpa didukung adanya dasar  transaksi yang memadai.”
Yang lebih gawat, temuan ini tersebar  di berbagai wilayah maupun jenjang kepangkatan, mulai dari Kepala Seksi,  Kepala Kantor Pratama, hingga pejabat eselon di atasnya.
Temuan soal rekening pejabat Bea Cukai tak kurang mengkhawatirkan.
PPATK  juga memergoki banyak transaksi tunai pejabat Bea Cukai yang  mencurigakan, baik atas nama pribadi, istri, maupun putra-putri mereka.  Kisarannya juga tak kalah dahsyat, antara Rp500 juta sampai Rp35 miliar  per pejabat. Keganjilan ini ditemukan tersebar di berbagai kantor  daerah, mulai dari Kepala Seksi, Kepala Kantor Wilayah, dan pejabat Bea  Cukai di tingkat pusat.
“Kami meyakini potensi temuan dalam  skala lebih besar yang mencakup jabatan lebih luas serta lebih tinggi,”  PPATK menyimpulkan hasil penelusuran terhadap ribuan rekening pejabat di  kedua instansi itu. "Sampai sekarang, yang dicurigai jumlahnya mencapai  ratusan pejabat," kata sumber 
VIVAnews.com.
Sejumlah modus
Saat dikonfirmasi soal itu, Yunus Husein membenarkan data di atas.  "Kami temukan transaksi mencurigakan di semua Direktorat Jenderal di  Kementerian Keuangan. Yang paling dominan di Ditjen Pajak. Pokoknya ada  kasus Gayus-Gayus lain. Silakan tanya polisi," kata Yunus kepada 
VIVANews.com di DPR.  
Menurut  Yunus, yang ditelisik PPATK adalah transaksi yang terentang dari tahun  2004 hingga 2010. Yang terindikasi pidana, mereka serahkan ke penegak  hukum, selain juga kepada Dirjen Pajak atau Irjen Kementerian Keuangan  untuk ditelusuri, dan diberi sanksi administrasi jika terbukti. 
Yunus  membeberkan sejumlah modus transaksi mencurigakan yang terjadi di  ratusan rekening pejabat itu. Pertama, transaksi dalam nilai 
nauzubillah menggunakan  akun anak dan istri mereka. Kedua, mereka dipergoki memiliki simpanan  seperti deposito dalam jumlah besar. Ketiga, mereka kerap memanfaatkan  berbagai instrumen investasi termasuk 
unit link, gabungan  antara asuransi jiwa dan investasi seperti reksadana, saham, atau  lainnya. Keempat, bisa juga mereka menyimpan uang tunai, surat berharga,  dan perhiasan di 
safe deposit box. 
"Kalau transaksi  lewat anak istri, kami bisa mendeteksi penyimpangannya," ujar Yunus.  "Misalnya, seorang anggota keluarga pejabat pajak punya  pendapatan Rp12  juta, tetapi dia kerap melakukan transaksi di atas Rp20 juta. Transaksi  itu tentu mencurigakan."
Contoh lainnya, mereka melakukan  transaksi dalam jumlah besar, kemudian 'mencucinya' dengan cara  memutar-mutarnya. Misalnya, menarik uang Rp2 miliar, kemudian  dipindahkan, lalu ditarik lagi. "Sekali tarik, minimal Rp500 juta,"  Yunus memaparkan.  
Seorang mantan pegawai PPATK bercerita  sebenarnya transaksi mencurigakan aparat pajak sudah lama terdeteksi.  Bahkan, transaksi janggal sudah diketahui sebelum ada permintaan dari  Kementerian Keuangan untuk memeriksa rekening 3.000-an aparat pajak pada  tahun lalu.
“Dari transaksi-transaksi mencurigakan setelah ditelusuri ternyata  diketahui banyak yang terkait aparat pajak. Gayus hanya puncak gunung  es,” katanya.   
Temuan (tak) mengagetkan PPATK itu rupanya juga  sudah sampai di meja pejabat Kementerian Keuangan. Setidaknya, itu  diakui oleh Plt. Irjen Kementerian Keuangan Hadi Rujito--sebelum diganti  pejabat baru pada Jumat, 21 Januari. Dia mengaku kerap menerima laporan  PPATK soal berbagai transaksi ganjil pegawai Kementerian Keuangan,  khususnya aparat Ditjen Pajak atau Bea Cukai. 
"Laporannya  tertulis rahasia, biasanya 2-4 halaman berisi transaksi mencurigakan  dengan nilai ratusan juta hingga puluhan miliar rupiah," kata Hadi  kepada 
VIVAnews.com. 
Tim Inspektorat Jendral lantas  menelusurinya. Beberapa terbukti melanggar karena terjadi saat si aparat  sedang memeriksa wajib pajak. Temuan gratifikasi, kata Hadi, rata-rata  tidaklah terlalu besar, ada yang mencapai Rp250 juta dari wajib pajak  badan. "Itu yang memberi perusahaan yang tidak terlalu besar." 
Namun,  beberapa transaksi lain rupanya terkait jual beli properti, tanah atau  warisan. Untuk transaksi seperti ini, Hadi menyatakan tak bisa  menindaklanjutinya karena tidak memiliki kewenangan penyidikan. Karena  itulah, laporan PPATK lebih banyak langsung dikirimkan ke polisi. 
Mantan  Dirjen Pajak Tjiptardjo juga mengaku telah menerima banyak laporan  PPATK. Dia juga mengaku sudah menindaklanjutinya. “Yang terbukti  melanggar sudah ditindak, tetapi kalau transaksi mencurigakan terkait  warisan, kami tidak bisa berbuat apa-apa,” dia beralasan. 
Tsunami Gayus
Tak bisa dipungkiri, temuan PPATK jelas makin membuka tabir sindikat  aparat pajak yang telah menggurita di negeri ini. Sebelumnya, sudah  banyak terungkap berbagai kasus pidana. Di antaranya, tuduhan suap pajak  First Media yang melibatkan komplotan Yudi Hermawan, kasus rekening  puluhan miliar rupiah milik pejabat kantor pajak Jakarta, Bahasyim  Assafi'ie; kasus penggelapan ratusan arsip pajak di Bandung oleh Andri  Harduka, hingga mafia pajak Surabaya. 
Itu belum termasuk yang  terbongkar terakhir: komplotan Gayus Tambunan. Usai pembacaan vonis di  Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, 19 Januari 2011 lalu, Gayus secara  terang-terangan mengungkapkan jaringan mafia pajaknya yang, menurut dia,  melibatkan pejabat setingkat direktur hingga direktur jenderal. “Kenapa  itu tidak dibongkar?” Gayus menggugat. 
Dalam persidangan, Gayus  antara lain kerap menyebut keterlibatan Darmin Nasution, Dirjen Pajak  ketika itu dan sekarang Gubernur Bank Indonesia, dalam kasus  dikabulkannya keberatan pajak PT Surya Alam Tunggal Sidoarjo; yang  belakangan dinyatakan merugikan negara Rp570 juta. Bahkan, dalam  pertimbangan putusannya, ketua majelis hakim menyebut bahwa sepak  terjang Gayus tak mungkin dilakukan tanpa persetujuan atasannya secara  berjenjang. 
Jaringan Gayus juga disebutkan secara eksplisit  dalam percakapan via BlackBerry Messenger antara Gayus dengan Sekretaris  Satgas Mafia Hukum, Denny Indrayana, pada 29 Maret 2010. Dalam  transkrip yang dibagikan Satgas itu, Gayus secara terang menyebut  anggota jaringannya di Ditjen Pajak, yakni: Johnny Marihot Tobing selaku  Kasubdit Pengurangan & Keberatan Pajak, serta Bambang Heru  Ismiarso, Direktur Keberatan dan Banding.  
Saat dimintai konfirmasi soal pernyataan Gayus tersebut, Darmin Nasution menolak berkomentar. "Kalau soal Gayus, saya 
nggak mau komentar," kata Darmin di Istana Kepresidenan, Kamis, 20 Januari 2011.
Soal atasan Gayus yang lain, Dirjen Pajak pengganti Darmin, Moch.  Tjiptardjo, menyatakan mereka tetap akan diproses secara hukum.  “Itu  masih ditangani oleh polisi,” katanya.
Menurut dia, Ditjen Pajak  sudah menindak banyak aparatnya, termasuk yang bersumber dari temuan   PPATK. Pada 2010, misalnya, sudah ada 640 orang pegawai pajak yang  dikenai sanksi, dari yang ringan hingga berat, termasuk diberhentikan.  “Sudah puluhan orang diberhentikan tidak hormat karena rekening  mencurigakan, dari level rendah hingga eselon II,” katanya.
Toh  demikian, Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Humas Ditjen Pajak Iqbal  Alamsjah mengakui kasus Gayus telah menghantam kredibilitas korps pajak  dalam skala luar biasa. Kata dia, “Tak bisa dipungkiri Gayus adalah  Tsunami bagi Ditjen Pajak.” (kd)
• VIVAnews