Posisi Malaysia dalam kasus ini jelas sebagai pihak yang memegang pelatuk, yang memicu kegeraman yang amat sangat sekaligus pihak yang menyalakan api sehingga asapnya menyeruak kemana-mana sampai jauh ke dalam relung sensitifitas rakyat Indonesia. Kita dapat secara gamblang membeberkan lelucon yang tidak lucu ini karena teman tetangga kita itu bermain-main di atas kedaulatan suatu negara yang selalu mereka anggap serumpun. Kita coba tengok lebih jernih..bahwa klaim Malaysia tersebut didasarkan pada klaim wilayah Malaysia yang dicantumkan dalam peta yang dikeluarkan pada tahun 1979, dalam peta tersebut Malaysia sudah mencantumkan Pulau Sipadan dan Ligitan sebagai wilayah Malaysia, sehingga penarikan garis batas perairan di daerah itu dengan berdasarkan penarikan garis batas dari Pulau Sipadan dan Ligitan. Malaysia beranggapan bahwa wilayah yang diberikan konsensi kepada Perusahaan Minyak Shell (Inggeris dan Belanda) merupakan perairan Malaysia dan dikenal sebagai wilayah Y (ND6) dan Z (ND7). Malaysia telah melakukan beberapa pelanggaran wilayah di daerah tersebut antara lain melakukan survei seismik di daerah tersebut pada tahun 2003, melakukan latihan militer (penembakan) di wilayah Indonesia pada tahun 2004 dan Malaysia melakukan hot pursuit sampai wilayah Indonesia pada tahun 2005 dan pada pertengahan tahun 2009 ini telah menginjak-injak politik dan diplomasi “Soft Power” Indonesia dengan puluhan pelanggaran dengan dalik yang mengada-ada.
Posisi Indonesia dalam kasus ini sepertinya terlalu defensif. Basis Indonesia di dasarkan asumsi yang terlalu formil yaitu bahwa Putusan Mahkamah Internasional pada tanggal 17 Desember 2002 hanya mengenai kepemilikan pulau Sipadan dan Ligitan tidak termasuk perairan yang ada di wilayah tersebut. Bagi Indonesia Penentuan batas maritim di wilayah tersebut harus didasarkan pada persetujuan kedua pihak dan tidak dapat di klaim secara unilateral sebagaimana dicantumkan dalam peta tahun 1979 serta pemberian konsensi kepada Perusahaan Shell tersebut sebagai alasan penentuan batas maritim. Indonesia telah memberikan konsensi minyak kepada berbagai perusahaan minyak di Kawasan Kalimantan Timur termasuk di daerah yang diklaim Malaysia. Pemberian konsensi tersebut telah dilakukan oleh Indonesia sejak tahun 1966 dan tidak ada protes atau penolakan Malaysia. Konsensi di East Ambalat (yang diklaim Malaysia) telah di berikan kepada Unocal (Amerika Serikat) pada tahun 2004.
Benang merah dari kedua fakta diatas telah memberi sebab mengenai klaim tumpang tindih atas penguasaan wilayah antara Indonesia dan Malaysia disebabkan adanya perbedaan kepentingan dan belum selesainya batas maritim kedua negara. Salah satu yang mengemuka dan yang menjadi alasan dan biang keladi adalah juga faktor ekonomi yaitu setelah perusahaan minyak Malaysia Petronas memberikan konsensi kepada Perusahaan Minyak Shell di daerah yang sejak dahulu merupakan wilayah konsensi minyak Indonesia.
IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH INTERNASIONAL TAHUN 2002
Putusan Mahkamah Internasional tahun 2002 hanya menyangkut masalah kepemilikan Pulau Sipadan dan Ligitan (wilayah daratan) serta tidak menyangkut kepemilikan wilayah laut. Hal ini sesuai dengan pertimbangan Hakim Oda (Hakim Jepang yang ikut memutuskan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan dan Ligitan) yang memberikan pertimbangan dalam Putusan Mahkamah Internasional pada tahun 2002 tersebut. Untuk itu masing-masing negara tidak dapat menentukan secara sepihak batas maritim di kawasan tersebut. Persyaratan ini sesuai dengan Keputusan Mahkamah Internasional pada tahun 1951 yang menegaskan bahwa penentuan batas laut memiliki aspek internasional, tidak hanya tergantung pada kehendak satu negara, sedangkan keabsahan garis batas harus didasarkan pada hukum internasional. Untuk itu dalam menetapkan batas maritim di daerah tersebut harus dilakukan melalui perjanjian antara kedua negara dengan menerapkan asas-asas umum hukum internasional dalam menyelesaikan batas maritim tersebut. Selain itu Malaysia tidak dapat melakukan klaim berdasarkan peta tahun 1979 karena peta tersebut tidak dapat sebagai justifikasi penerapan putusan Mahkamah Internasional tahun 2002.
PETA BATAS MARITIM MALAYSIA TAHUN 1979.
Malaysia mendasarkan klaim wilayah lautnya pada peta yang dikeluarkan pada tahun 1979. Peta tersebut dikeluarkan secara sepihak (unilateral), sehingga tidak mempunyai implikasi hukum (legal) akan tetapi mempunyai implikasi politis. Dalam peta tahun 1979 tersebut telah tergambar klaim Malaysia termasuk batas maritim dengan negara-negara tetangga Malaysia (Indonesia, Thailand, Vietnam, Singapura, Brunei, dan Philipina). Semua negara yang berbatasan dengan Malaysia tersebut telah mengajukan protes terhadap penerbitan peta tersebut, demikian pula Indonesia sejak tahun 1980 telah mengajukan protes terhadap batas maritim yang ada dalam Peta tahun 1979 tersebut. Implikasi juridis terhadap peta dapat dikatakan tidak ada disebabkan batas maritim yang tergambar dalam peta tahun 1979 tidak dilaksanakan sesuai dengan hukum internasional (melalui perjanjian). Berkaitan dengan implikasi juridis yang tidak ada terhadap peta tahun 1979 tersebut, hal yang perlu diperhatikan adalah implikasi politis dari peta tersebut.
Berdasarkan garis batas landas kontinen yang diklaim oleh Malaysia tersebut terlihat bahwa Malaysia mencoba membagi wilayah perairan dengan cara median line (garis tengah). Akan tetapi dalam penarikan garis tengah tersebut Malaysia menentukan titik dasar dan menarik garis pangkal berdasarkan cara penarikan garis pangkal kepulauan. Hal ini terlihat bahwa Malaysia menarik garis pangkal dari karang-karang, pulau-pulau terluar, sedangkan dalam Pasal 7 Konvensi diatur bahwa negara pantai dapat menarik garis pangkal lurus jika memenuhi beberapa kriteria, antara lain adanya “deep indentation”, ada “fringe of islands” ada “unstable coast” contohnya delta yang selalu bergerak serta adanya adanya “low tide elevation” yang telah ada bangunan permanen contohnya mercusuar. Jika ada 4 kriteria di atas masih harus memenuhi persyaratan “tidak menyimpang terlalu jauh dari arah umum dari pada pantai, serta tidak memotong laut teritorial negara lain. Praktek yang dilakukan Malaysia dalam Peta tahun 1979 tidak terlihat adanya jabaran sebagaimana uraian di atas. Oleh karena itu cara penentuan batas klaim landas kontinen yang dilakukan oleh Malaysia merupakan cara yang tidak ada dasar hukumnya, atau setidaknya tidak didasarkan pada Konvensi. Oleh karena itu reaksi yang muncul setelah peta tahun 1979 dikeluarkan yaitu adanya penolakan dari negara-negara tetangga Malaysia (Indonesia, Thailand, Vietnam, Singapura, Brunei, dan Philipina). Demikian pula Indonesia sejak tahun 1980 telah mengajukan protes terhadap batas maritim yang ada dalam Peta tahun 1979 tersebut.
KONSENSI MINYAK YANG DIBERIKAN INDONESIA.
Indonesia sejak tahun 1966, sebagai tindak lanjut Konvensi Hukum Laut Jenewa tahun 1958, telah membagi beberapa lokasi cadangan minyak yang ada di darat maupun di laut. Khususnya cadangan minyak yang ada di Kalimantan Timur termasuk wilayah laut disebelah timurnya, Indonesia telah memberikan konsensi minyak kepada beberapa perusahaan minyak asing antara lain Japex (Jepang), ENI (Italia), Unocal (Amerika Serikat) termasuk juga kepada perusahaan Shell. Dalam pemberian konsensi minyak tersebut, khususnya di daerah perbatasan laut Indonesia membagi dalam wilayah konsensi Ambalat, Bukat dan Unarang. Khususnya untuk daerah Ambalat konsensi minyak telah diberikan kepada Perusahaan minyak ENI sejak tahun 1999, sedangkan untuk East Ambalat diberikan kepada Unocal pada tanggal 13 Desember 2004.
Peta konsensi minyak yang dikeluarkan Pertamina tersebut telah diketahui oleh Malaysia dan dikenal sebagai “Exercise of Indonesia’ Rights to Continental Shelf” atau pelaksanaan hak Indonesia di landas kontinen. Sejak mengeluarkan konsensi di daerah tersebut tidak ada klaim/protes oleh Malaysia. Sejarah pemberian konsensi ini dan tidak adanya protes dari pihak Malaysia dapat digunakan sebagai pelaksanaan hak berdaulat di daerah tersebut dan dapat ditafsirkan bahwa Indonesia yang mempunyai wilayah tersebut. Kondisi ini memperkuat posisi Indonesia bahwa secara de facto, daerah di timur Perairan Kalimantan Timur telah di “kuasai/milik” Indonesia.
KONSENSI MINYAK YANG DIBERIKAN MALAYSIA.
Berdasarkan klaim batas landas kontinen Malaysia yang tercantum dalam peta tahun 1979, Malaysia membagi 2 blok konsensi minyak yaitu Blok Y (ND 6) dan Blok Z (ND 7). Adapun luas kedua blok tersebut ± 15235 Km 2. Blok Y (ND 6) adalah blok yang tumpang tindih dengan wilayah konsensi minyak yang diklaim oleh Indonesia, sedangkan Blok Z (ND 7) adalah blok yang tumpang tindih dengan wilayah konsensi yang diklaim Phillipina.
Malaysia memberikan konsensi minyak di Blok Y dan Blok Z kepada perusahaan minyak Shell (Inggeris dan Belanda) pada tanggal 16 Pebruari 2005. Pihak perusahaan Shell sepertinya mengetahui bahwa di daerah konsensi yang ditawarkan merupakan daerah yang masih dipersengketakan antara Indonesia dengan Malaysia. Hal ini disebabkan perusahaan Shell tersebut pernah mendapat konsensi minyak di Kalimantan Timur.Pemberian konsensi minyak pada dasarnya merupakan hak suatu negara karena konsensi minyak tersebut merupakan sumber daya alam yang dimiliki oleh negara tersebut dengan pembatasan bahwa wilayah konsensi tersebut benar-benar ada dalam wilayah sah negara tersebut, akan tetapi jika klaim wilayah maritim (dhi. landas kontinen) belum jelas kepemilikanya maka pemberian konsensi minyak akan memicu konflik di daerah perbatasan.
Pelanggaran wilayah tersebut seharusnya dapat diantisipasi dengan melakukan tindakan pencegahan dan tindakan protes secara terbuka kepada Malaysia. Presiden ini dapat menunjukkan bahwa Malaysia melakukan upaya penegakan hukum di wilayah dan mempunyai hak untuk melakukan tindakan tersebut. Untuk itu diperlukan tindakan konkret dengan melakukan patroli satuan-satuan TNI di daerah tersebut. Selain itu jika unsur TNI AL di lapangan dalam melakukan patroli menjumpai kapal Malaysia yang melakukan pelanggaran wilayah, maka unsur TNI AL dapat membuat berita acara adanya pelanggaran tersebut termasuk tindakan-tindakan yang dilakukan untuk mencegah/menghalau kapal Malaysia tersebut.
STATUS KARANG UNARANG DAN PEMASANGAN MERCUSUAR.
Karang Unarang (040 00’ 40” LU- 1180 04’ 00’ BT) merupakan karang yang terletak antara Pulau Sebatik dan Pulau Sipadan ( ± 9 mil laut dari Pulau Sebatik). Karang tersebut sudah di survey oleh Dephub dan Dishidros pada Bulan Nopember 2004 – Januari 2005 dan direkomendasikan dapat dibangun mercusuar. Berdasarkan Pasal 47 Konvensi Hukum Laut 1982 karang/elevasi surut yang ada bangunan (Mercusuar) dapat dijadikan sebagai titik dasar (base point) untuk penarikan garis pangkal (base line) kepulauan. Sehingga jika karang ini sudah di bangun mercusuar dan dijadikan titik dasar maka penarikan garis pangkal akan semakin ke timur (bergeser) yang akan menguntungkan batas laut teritorial, zona tambahan, ZEE dan landas kontinen Indonesia. Untuk itu pembangunan mercusuar tersebut dapat dijadikan prioritas untuk dikerjakan. Jika karang Unarang tersebut berhasil dibangun dan dapat dipertahankan dari segi keamanan, politis dan hukum serta tidak ada klaim dari Malaysia, maka klaim landas kontinen Malaysia pada peta tahun 1979, akan gugur dan Malaysia dapat dipaksa untuk merundingkan posisi batas landas kontinen yang baru.
Status kepemilikan karang Unarang pada saat ini diklaim oleh Indonesia dengan Malaysia. Malaysia mendasarkan pada peta tahun 1979, sedangkan Indonesia berdasarkan pendekatan sejarah, geografis dan praktek negara. Berdasarkan pendekatan sejarah karang Unarang sejak jaman dahulu masuk dalam daerah kekuasaan kesultanan Bulungan yang merupakan kesulatanan dalam wilayah Indonesia. Sedangkan untuk pendekatan geografis karang Unarang terletak hanya 9 mil laut yang secara geografis lebih dekat ke pulau utama Indonesia (main island) dari pada ke wilayah Malaysia. Selanjutnya dilihat dari praktek negara, karang Unarang masuk dalam daerah konsensi yang sejak tahun 1960 dikelola oleh Indonesia. Oleh karena itu berdasarkan pengalaman proses putusan Sipadan dan Ligitan, maka prinsip effectivity dalam pengakuan suatu wilayah sangat menentukan klaim suatu negara terhadap wilayah tertentu. Bentuk efektivitas pemerintah terhadap suatu wilayah dapat dilakukan melalui proses peraturan perundang-undangan yang dapat berupa:
No comments:
Post a Comment