Friday, June 19, 2009

Navy Roles dan Konsep National Security


Dewasa ini di Indonesia terdapat polarisasi pendapat diantara para ahli dan pemerhati tentang apa yang disebut dengan Keamanan Nasional. Bagi negara Indonesia yang sedang berada dalam transisi demokrasi akan lebih banyak dihadapkan pada munculnya masalah-masalah baru menyangkut Keamanan Nasional baik aspek pertahanan maupun aspek keamanan. Banyak contoh masalah-masalah baru yang mempengaruhi keamanan nasional tersebut, mulai dari perpindahan penduduk, pencucian uang (money laundering), perdagangan obat bius (drug trafficking), kejahatan komputer, terorisme internasional, hingga kejahatan yang bersifat transnasional yang terjadi di dan lewat laut seperti terorisme maritim (maritime terrorism), bajak laut (piracy), pelanggaran wilayah dan penjarahan hasil laut illegal secara besar-besaran. Atas dasar itu, minimal ada tiga pertimbangan yang menjadi dasar pemikiran dibutuhkannya kebijakan tentang keamanan nasional.
Pertama, dari kerangka legal, diperlukan kebijakan untuk menutup ketidak konsistenan dan kekosongan hukum yang terjadi antara UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dan UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara Republik Indonesia. Kedua UU tersebut tidak secara rinci mengatur tataran kewenangan keamanan nasional dalam wilayah irisan antara aspek pertahanan dan aspek ketertiban umum serta penegakan hukum. Kelemahan ini juga menunjukan tidak adanya pengaturan yang komprehensif dan integratif tentang keamanan nasional.
Kedua, dari pertimbangan politik, kebutuhan mendesak untuk mengatur kembali peran dan posisi institusi-institusi yang bertanggung jawab untuk mewujudkan keamanan nasional, khususnya tentang keamanan nasional yang mencerminkan kepentingan aktor-aktor (stakeholders) yang lebih luas.
Ketiga, dari pertimbangan strategis, keharusan menempatkan keamanan nasional sebagai suatu konsep yang merangkum berbagai subyek, dimensi ancaman serta modalitas untuk mempertahanankannya. Pemahaman atas konsep keamanan nasional perlu diperluas untuk menjangkau bukan hanya keamanan negara sebagai entitas politik yang sah dan berdaulat tetapi juga memperhatikan perlindungan hak-hak warga negara. Modalitas untuk melindungi keamanan nasional dalam pengertian seperti itu perlu disusun dengan memperhatikan kapasitas politik nasional, dinamika hubungan anatar negara di kawasan tertentu maupun global, demokrasi, hak-hak asasi manusia serta norma, kaidah dan hukum-hukum internasional.

Mencermati bahwa Indonesia adalah negara kepulauan maka pemerintah memerlukan suatu kebijakan keamanan nasional di laut dalam rangka penegakan kedaulatan dan hukum.di laut. Kebijakan keamanan nasional tersebut sangat dipengaruhi oleh filosofi status negara kepulauan dan aspek laut sebagai bagian dari Wilayah RI. Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945, berdasarkan kenyataan sejarah, geografis kewilayahan adalah negara kepulauan yang berlandaskan wawasan nusantara (dikenal dengan Deklarasi Djuanda tanggal 13 Desember 1957) .Deklarasi tersebut diberi landasan bentuk hukum dengan UU no 4 Prp tahun 1960 tentang Perairan Indonesia. Pada perkembangannya dengan diratifikasinya UNCLOS 1982 dengan UU No. 17 tahun 1985 maka UU Perairan Indonesia diganti dengan UU No 6 tahun 1996 . Hal ini membuktikan bahwa status negara RI sebagai negara kepulauan telah diterima dan diakui dunia internasional dengan segala konsekwensinya. Saat ini posisi Indonesia ini semakin mantap dengan telah diterbitkannya UU Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara.

LAUT SEBAGAI BAGIAN DARI WILAYAH RI
Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang. Rumusan tersebut menunjukkan wilayah negara (state territory) dimana NKRI berdaulat adalah sebuah wilayah lautan dan pulau-pulau didalamnya, kedaulatn negara atas laut meliputi hak bagi negara untuk melakukan penguasaan, pengelolaan atas laut serta melindungi wilayah laut itu dengan melaksanakan penegakan kedaulatan dan penegakan hukum

PERSEPSI KEAMANAN NASIONAL.
Keamanan Nasional merupakan elemen yang melekat dari tujuan penyelenggaraan negara. Secara kontekstual Keamanan Nasional (National Security) harus dipahami dalam dimensi yang lebih luas yaitu meliputi keamanan manusia (human security), dan kedaulatan negara (sovereignty). Implementasi dua dimensi dari keamanan nasional itu dapat dilakukan dengan cara penegakan hukum dan penegakan kedaulatan.
Tujuan pelaksanaan keamanan Nasional tersebut sendiri adalah untuk mengatasi kompleksitas jenis dan sumber ancaman baik militer/non-militer, konvensional/non-konvensional maupun internal/eksternal. Hakikat Ancaman terhadap keamanan nasional dapat meliputi ancaman fisik dan non-fisik, berasal dari luar maupun dari dalam tapal batas wilayah negara yang menyebar secara langsung atau tidak langsung.
Ruang lingkup keamanan nasional perlu diperjelas untuk memberikan kepastian tentang subyek dan prinsip dasar yang akan dilindungi dari suatu ancaman tertentu. Pandangan umum terhadap keamanan nasional mencakup aspek pertahanan dan keamanan. Oleh karena, perlu ada suatu mekanisme untuk menentukan fokus dari keamanan nasional serta menetapkan kebijakan nasional tentang keamanan nasional yang menjadi pedoman penyelenggaraan negara.
Kebijakan Keamanan Nasional di laut dalam menghadapi ancaman itu harus memperhatikan konteks filosofis, geografis dan yuridis. Ketiga konteks itu bagi Indonesia sebagai negara maritim akan lebih banyak dihadapkan pada munculnya masalah-masalah baru yang bersifat transnasional yang tidak bisa hanya diatasi oleh instrumen sipil tetapi juga harus dibendung dengan kekuatan Angkatan Laut yang selama ini telah memperoleh legitimasi yang sangat kuat berdasarkan hukum nasional dan hukum internasional.

LAW ENFORCEMENT AT SEA
Kedaulatan negara menurut pasal 4 UU No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia adalah kedaulatan negara RI di Perairan Indonesia meliputi laut territorial, perairan kepulauan, perairan pedalaman dan ruang udara diatasnya serta dasar laut dan tanah dibawahnya termasuk sumber daya kekayaan alam yang terkandung didalamnya.
Rumusan itu menunjukkan peran TNI AL dalam penegakan kedaulatan negara di laut harus ditafsirkan tegaknya hukum di laut yang diartikan dilaksanakan dan ditaatinya berbagai ketentuan dan peraturan serta kebijakan negara. Dengan demikian maka Penegakan hukum di Perairan Indonesia tersebut berdasarkan penjelasan pasal 24 UU No. 6 Tahun 1996 dilaksanakan oleh TNI AL.dan institusi lain sesuai ketentuan UU.

HUBUNGAN PERAN TNI AL DAN POLRI
Pengaturan peran TNI dalam hal ini TNI AL dan Polri oleh Amandemen UUD 1945 secara yuridis telah dijabarkan dalam UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI dan dalam UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan. Dalam pasal 10 UU No. 3 Tahun 2002 disebutkan TNI berperan sebagai alat pertahanan negara yang bertugas mempertahankan kedaulatan negara dan keutuhan wilayah. Selanjutnya dalam pasal 7 UU No. 3 Tahun 2002 mendefenisikan ancaman terhadap kedaulatan negara dan keutuhan wilayah tersebut dapat bersifat ancaman militer antara lain agresi, pelanggaran wilayah, spionase, sabotase, aksi terror, pemberontakan bersenjata, perang saudara. Ancaman militer tersebut telah berkembang sangat kompleks (fisik dan non fisik) dan bersifat transnasional yang terkait dengan kejahatan internasional antara lain terorisme, imigran gelap, narkotika, pengambilan sumber daya alam laut secara illegal, bajak laut, dan perusakan lingkungan. Dalam konteks secara yuridis tidak dikenal penggolongan ancaman militer maupun nir-militer (Buku Putih Dephan)
Dengan demikian TNI AL khususnya “war ship” mempunyai peran yang melekat secara universal yaitu “constabulary function” dalam rangka menjaga kedaulatan negara sekaligus menegakan hukum terhadap ancaman militer dan non militer sesuai hukum nasional dan hukum internasional. Tugas penegakan hukum oleh Polri sesuai penjelasan pasal 14 huruf g UU No.2 tahun 2002 telah ditentukan tetap memperhatikan dan tidak mengurangi kewenangan yang dimiliki oleh penyidik lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukumnya masing-masing. Berdasarkan penjelasan pasal 14 huruf g UU No.2 tahun 2002, dapat diartikan bahwa penegakan hukum di bidang penyidikan tidak dikehendaki dilaksanakan oleh Polri sebagai otoritas tunggal apalagi luas wilayah laut di Indonesia tidak mungkin ditangani hanya satu instansi saja mengingat keterbatasan sarana dan prasarana yang ada.

PENEGAKAN HUKUM OLEH TNI AL BERLAKU SECARA UNIVERSAL
Kewenangan TNI AL selaku penyidik tindak pidana tertentu di laut diatur secara tegas dalam Perundangan RI meliputi 8 (delapan) UU yang secara material menyebutkan peran TNI AL selaku penyidik yaitu TZMKO, UU No. 5 Tahun 1983 tentang ZEEI, UU No. 9 Tahun 1985 tentang Perikanan, UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, UU No. 5 Tahun 1992 tentang Pengangkatan Benda Cagar Budaya, UU No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia, UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Dasar hukum acara (formil) pelaksanaan kewenangan TNI AL adalah pasal 284 ayat (2) KUHAP tentang ketentuan peralihan yang mengenal ketentuan khusus acara pidana dan pasal 17 PP 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP yang secara tegas mengatur tentang wewenang penyidikan tindak pidana tertentu dan secara eksplisit menegaskan penyidikan di Perairan Indonesia, zona tambahan, landas kontinen dan ZEEI oleh TNI AL. Kewenangan TNI AL tersebut ditegaskan lebih lanjut dalam SE Mahkamah Agung No. 3 Tahun 1990 tentang Penyidik dalam Perairan Indonesia , Surat jaksa Agung RI Nomor R-671/F/F Py.4/8/1989 tentang Penegasan kewenangan penyidik serta ketentuan-ketentuan kewenangan pemaksaan pentaatan dalam UNCLOS 1982 yang telah diratifikasi dengan UU Nomor 17 tahun 1985, diatur dalam Pasal 29, Pasal 73, Pasal107, Pasal 110, Pasal 111 UNCLOS 1982 dan pada intinya menyatakan bahwa TNI AL (Kapal Perang) mempunyai kewenangan untuk menegakkan kedaulatan dan hukum di laut dalam rangka mempertahankan keamanan dan kepentingan nasionalnya.

Tanggung jawab TNI AL dalam penegakan hukum tersebut bukanlah sesuatu yang asing, karena sebenarnya dalam jaman modern dan demokrasi terdapat beberapa negara seperti Kanada, Inggris, Venezuela, Malaysia dan Filipina menetapkan AL (Government Naval Vessel) berperan dalam penegakan hukum. Dalam Section 124 The Philippines Fisheries Code of 1998 atau Pasal 2 Ordonan Perkapalan Dagang 1952 dan Pasal 2 Akta Perikanan 1985 (Act 317) Malaysia secara tegas menyebutkan Naval Vessel mempunyai otoritas dalam penegakan hukum.

TINJAUAN PERAN TNI AL SEBAGAI PENYIDIK DI LAUT
Penegakan hukum oleh TNI AL berdasarkan faktor geografis disebabkan ciri khas Indonesia sebagai negara kepulauan, yang luas lautnya 2/3 dari wilayah RI. Berdasarkan pertimbangan historis sejak adanya pemindahan kekuaasaan dari Commandant der Zee Match kepada Kasal sesuai UU No. 2 Drt 1949 dan sejak Zaman Netherland Indie, Angkatan Laut adalah penyidik di laut berdasarkan TZMKO Stbl 1939 No.442, Penyidik Perikanan berdasarkan Stbl 1927 No 144 dan Penyidik Pelayaran berdasarkan Stbl 1936 No.700.
Sedangkan dari faktor filosofis, TNI AL mempunyai peran universal yang selalu melekat dalam diplomacy role, military role dan constabulary role yaitu menegakkan kedaulatan dan hukum di laut yang sangat didukung infrastruktur berupa Skill dan SDM, kapal-kapal dari berbagai tipe yang mampu melaksanakan coverage seluruh perairan yurisdiksi nasional dengan menggelar operasi laut sepanjang tahun. Berdasarkan faktor-faktor tersebut dapat digarisbawahi bahwa anggapan Peran TNI AL hanya meliputi pertahanan saja tidak tepat dan menyesatkan karena Pasal 30 ayat (3) Amandemen UUD 1945 mengamanatkan penegakan kedaulatan negara bukan dalam terminologi Pertahanan.
Berdasarkan tinjauan yang komprehensif atas hubungan TNI AL dan Polri dalam Keamanan Nasional maka Pemisahan kelembagaan dan Peran TNI AL dan POLRI oleh TAP MPR No. VI/MPR 2000 dan No. VII/MPR/2000, titik berat kedudukan TNI sebagai alat negara yang berperan sebagai alat pertahanan negara sedangkan Polri adalah alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan penegakan hukum. Kedua TAP MPR tersebut harus ditafsirkan sejalan dengan pasal 30 Amandemen UUD 1945 yang tidak membuat dikotomi antara Pertahanan dan Keamanan karena dalam pasal 30 ayat (3) dan (4) terkandung makna yang lebih integral yaitu Keamanan Nasional. Istilah Keamanan Nasional (National Security) bermakna lebih luas dibandingkan istilah pertahanan, oleh karena itu keamanan nasional menjadi tanggungjawab seluruh komponen bangsa termasuk TNI. Persepsi TNI berperan melaksanakan penegakan kedaulatan dan hukum negara pada dasarnya sejalan dengan pokok pikiran yang terkandung dalam pasal 30 Amandemen UUD 1945, oleh karena itu pemisahan kelembagaan dan peran antara TNI dan POLRI tidak dipandang secara sempit dengan meggunakan alasan yang kurang bijaksana dengan membenturkan dikotomi sipil-militer atau secara sektoral memisahkan istilah Pertahanan dan Keamanan. Dengan demikian perlu adanya studi dan pengkajian kembali lebih mendalam oleh Komisi Konstitusi dengan melibatkan Lembaga atau Instansi yang berkompeten, untuk secara prosedural dapat diajukan dalam Sidang MPR dengan agenda khusus pembahasan rumusan pasal 30 ayat (3), ayat (4) UUD 1945 dan sekaligus peninjauan Tap MPR No. VI/2000 dan TAP MPR No.VII /2000 tentang Pemisahan Kelembagaan dan Peran TNI dan POLRI karena kenyataannya dalam pelaksanaannya ditemukan banyak kendala dan permasalahan yang bersifat prinsipiil, oleh karena itu, hal ini perlu diatur secara limitatif bahwa TNI tidak dapat dilepaskan dalam mengemban fungsi keamanan semata-mata demi kepentingan nasional.

Thursday, June 18, 2009

Seputar Ambalat - Sekadar Tak Melupakan

Posisi Malaysia dalam kasus ini jelas sebagai pihak yang memegang pelatuk, yang memicu kegeraman yang amat sangat sekaligus pihak yang menyalakan api sehingga asapnya menyeruak kemana-mana sampai jauh ke dalam relung sensitifitas rakyat Indonesia. Kita dapat secara gamblang membeberkan lelucon yang tidak lucu ini karena teman tetangga kita itu bermain-main di atas kedaulatan suatu negara yang selalu mereka anggap serumpun. Kita coba tengok lebih jernih..bahwa klaim Malaysia tersebut didasarkan pada klaim wilayah Malaysia yang dicantumkan dalam peta yang dikeluarkan pada tahun 1979, dalam peta tersebut Malaysia sudah mencantumkan Pulau Sipadan dan Ligitan sebagai wilayah Malaysia, sehingga penarikan garis batas perairan di daerah itu dengan berdasarkan penarikan garis batas dari Pulau Sipadan dan Ligitan. Malaysia beranggapan bahwa wilayah yang diberikan konsensi kepada Perusahaan Minyak Shell (Inggeris dan Belanda) merupakan perairan Malaysia dan dikenal sebagai wilayah Y (ND6) dan Z (ND7). Malaysia telah melakukan beberapa pelanggaran wilayah di daerah tersebut antara lain melakukan survei seismik di daerah tersebut pada tahun 2003, melakukan latihan militer (penembakan) di wilayah Indonesia pada tahun 2004 dan Malaysia melakukan hot pursuit sampai wilayah Indonesia pada tahun 2005 dan pada pertengahan tahun 2009 ini telah menginjak-injak politik dan diplomasi “Soft Power” Indonesia dengan puluhan pelanggaran dengan dalik yang mengada-ada.
Posisi Indonesia dalam kasus ini sepertinya terlalu defensif. Basis Indonesia di dasarkan asumsi yang terlalu formil yaitu bahwa Putusan Mahkamah Internasional pada tanggal 17 Desember 2002 hanya mengenai kepemilikan pulau Sipadan dan Ligitan tidak termasuk perairan yang ada di wilayah tersebut. Bagi Indonesia Penentuan batas maritim di wilayah tersebut harus didasarkan pada persetujuan kedua pihak dan tidak dapat di klaim secara unilateral sebagaimana dicantumkan dalam peta tahun 1979 serta pemberian konsensi kepada Perusahaan Shell tersebut sebagai alasan penentuan batas maritim. Indonesia telah memberikan konsensi minyak kepada berbagai perusahaan minyak di Kawasan Kalimantan Timur termasuk di daerah yang diklaim Malaysia. Pemberian konsensi tersebut telah dilakukan oleh Indonesia sejak tahun 1966 dan tidak ada protes atau penolakan Malaysia. Konsensi di East Ambalat (yang diklaim Malaysia) telah di berikan kepada Unocal (Amerika Serikat) pada tahun 2004.
Benang merah dari kedua fakta diatas telah memberi sebab mengenai klaim tumpang tindih atas penguasaan wilayah antara Indonesia dan Malaysia disebabkan adanya perbedaan kepentingan dan belum selesainya batas maritim kedua negara. Salah satu yang mengemuka dan yang menjadi alasan dan biang keladi adalah juga faktor ekonomi yaitu setelah perusahaan minyak Malaysia Petronas memberikan konsensi kepada Perusahaan Minyak Shell di daerah yang sejak dahulu merupakan wilayah konsensi minyak Indonesia.

IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH INTERNASIONAL TAHUN 2002
Putusan Mahkamah Internasional tahun 2002 hanya menyangkut masalah kepemilikan Pulau Sipadan dan Ligitan (wilayah daratan) serta tidak menyangkut kepemilikan wilayah laut. Hal ini sesuai dengan pertimbangan Hakim Oda (Hakim Jepang yang ikut memutuskan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan dan Ligitan) yang memberikan pertimbangan dalam Putusan Mahkamah Internasional pada tahun 2002 tersebut. Untuk itu masing-masing negara tidak dapat menentukan secara sepihak batas maritim di kawasan tersebut. Persyaratan ini sesuai dengan Keputusan Mahkamah Internasional pada tahun 1951 yang menegaskan bahwa penentuan batas laut memiliki aspek internasional, tidak hanya tergantung pada kehendak satu negara, sedangkan keabsahan garis batas harus didasarkan pada hukum internasional. Untuk itu dalam menetapkan batas maritim di daerah tersebut harus dilakukan melalui perjanjian antara kedua negara dengan menerapkan asas-asas umum hukum internasional dalam menyelesaikan batas maritim tersebut. Selain itu Malaysia tidak dapat melakukan klaim berdasarkan peta tahun 1979 karena peta tersebut tidak dapat sebagai justifikasi penerapan putusan Mahkamah Internasional tahun 2002.
PETA BATAS MARITIM MALAYSIA TAHUN 1979.
Malaysia mendasarkan klaim wilayah lautnya pada peta yang dikeluarkan pada tahun 1979. Peta tersebut dikeluarkan secara sepihak (unilateral), sehingga tidak mempunyai implikasi hukum (legal) akan tetapi mempunyai implikasi politis. Dalam peta tahun 1979 tersebut telah tergambar klaim Malaysia termasuk batas maritim dengan negara-negara tetangga Malaysia (Indonesia, Thailand, Vietnam, Singapura, Brunei, dan Philipina). Semua negara yang berbatasan dengan Malaysia tersebut telah mengajukan protes terhadap penerbitan peta tersebut, demikian pula Indonesia sejak tahun 1980 telah mengajukan protes terhadap batas maritim yang ada dalam Peta tahun 1979 tersebut. Implikasi juridis terhadap peta dapat dikatakan tidak ada disebabkan batas maritim yang tergambar dalam peta tahun 1979 tidak dilaksanakan sesuai dengan hukum internasional (melalui perjanjian). Berkaitan dengan implikasi juridis yang tidak ada terhadap peta tahun 1979 tersebut, hal yang perlu diperhatikan adalah implikasi politis dari peta tersebut.
Berdasarkan garis batas landas kontinen yang diklaim oleh Malaysia tersebut terlihat bahwa Malaysia mencoba membagi wilayah perairan dengan cara median line (garis tengah). Akan tetapi dalam penarikan garis tengah tersebut Malaysia menentukan titik dasar dan menarik garis pangkal berdasarkan cara penarikan garis pangkal kepulauan. Hal ini terlihat bahwa Malaysia menarik garis pangkal dari karang-karang, pulau-pulau terluar, sedangkan dalam Pasal 7 Konvensi diatur bahwa negara pantai dapat menarik garis pangkal lurus jika memenuhi beberapa kriteria, antara lain adanya “deep indentation”, ada “fringe of islands” ada “unstable coast” contohnya delta yang selalu bergerak serta adanya adanya “low tide elevation” yang telah ada bangunan permanen contohnya mercusuar. Jika ada 4 kriteria di atas masih harus memenuhi persyaratan “tidak menyimpang terlalu jauh dari arah umum dari pada pantai, serta tidak memotong laut teritorial negara lain. Praktek yang dilakukan Malaysia dalam Peta tahun 1979 tidak terlihat adanya jabaran sebagaimana uraian di atas. Oleh karena itu cara penentuan batas klaim landas kontinen yang dilakukan oleh Malaysia merupakan cara yang tidak ada dasar hukumnya, atau setidaknya tidak didasarkan pada Konvensi. Oleh karena itu reaksi yang muncul setelah peta tahun 1979 dikeluarkan yaitu adanya penolakan dari negara-negara tetangga Malaysia (Indonesia, Thailand, Vietnam, Singapura, Brunei, dan Philipina). Demikian pula Indonesia sejak tahun 1980 telah mengajukan protes terhadap batas maritim yang ada dalam Peta tahun 1979 tersebut.

KONSENSI MINYAK YANG DIBERIKAN INDONESIA.

Indonesia sejak tahun 1966, sebagai tindak lanjut Konvensi Hukum Laut Jenewa tahun 1958, telah membagi beberapa lokasi cadangan minyak yang ada di darat maupun di laut. Khususnya cadangan minyak yang ada di Kalimantan Timur termasuk wilayah laut disebelah timurnya, Indonesia telah memberikan konsensi minyak kepada beberapa perusahaan minyak asing antara lain Japex (Jepang), ENI (Italia), Unocal (Amerika Serikat) termasuk juga kepada perusahaan Shell. Dalam pemberian konsensi minyak tersebut, khususnya di daerah perbatasan laut Indonesia membagi dalam wilayah konsensi Ambalat, Bukat dan Unarang. Khususnya untuk daerah Ambalat konsensi minyak telah diberikan kepada Perusahaan minyak ENI sejak tahun 1999, sedangkan untuk East Ambalat diberikan kepada Unocal pada tanggal 13 Desember 2004.
Peta konsensi minyak yang dikeluarkan Pertamina tersebut telah diketahui oleh Malaysia dan dikenal sebagai “Exercise of Indonesia’ Rights to Continental Shelf” atau pelaksanaan hak Indonesia di landas kontinen. Sejak mengeluarkan konsensi di daerah tersebut tidak ada klaim/protes oleh Malaysia. Sejarah pemberian konsensi ini dan tidak adanya protes dari pihak Malaysia dapat digunakan sebagai pelaksanaan hak berdaulat di daerah tersebut dan dapat ditafsirkan bahwa Indonesia yang mempunyai wilayah tersebut. Kondisi ini memperkuat posisi Indonesia bahwa secara de facto, daerah di timur Perairan Kalimantan Timur telah di “kuasai/milik” Indonesia.

KONSENSI MINYAK YANG DIBERIKAN MALAYSIA.

Berdasarkan klaim batas landas kontinen Malaysia yang tercantum dalam peta tahun 1979, Malaysia membagi 2 blok konsensi minyak yaitu Blok Y (ND 6) dan Blok Z (ND 7). Adapun luas kedua blok tersebut ± 15235 Km 2. Blok Y (ND 6) adalah blok yang tumpang tindih dengan wilayah konsensi minyak yang diklaim oleh Indonesia, sedangkan Blok Z (ND 7) adalah blok yang tumpang tindih dengan wilayah konsensi yang diklaim Phillipina.
Malaysia memberikan konsensi minyak di Blok Y dan Blok Z kepada perusahaan minyak Shell (Inggeris dan Belanda) pada tanggal 16 Pebruari 2005. Pihak perusahaan Shell sepertinya mengetahui bahwa di daerah konsensi yang ditawarkan merupakan daerah yang masih dipersengketakan antara Indonesia dengan Malaysia. Hal ini disebabkan perusahaan Shell tersebut pernah mendapat konsensi minyak di Kalimantan Timur.Pemberian konsensi minyak pada dasarnya merupakan hak suatu negara karena konsensi minyak tersebut merupakan sumber daya alam yang dimiliki oleh negara tersebut dengan pembatasan bahwa wilayah konsensi tersebut benar-benar ada dalam wilayah sah negara tersebut, akan tetapi jika klaim wilayah maritim (dhi. landas kontinen) belum jelas kepemilikanya maka pemberian konsensi minyak akan memicu konflik di daerah perbatasan.
Pelanggaran wilayah tersebut seharusnya dapat diantisipasi dengan melakukan tindakan pencegahan dan tindakan protes secara terbuka kepada Malaysia. Presiden ini dapat menunjukkan bahwa Malaysia melakukan upaya penegakan hukum di wilayah dan mempunyai hak untuk melakukan tindakan tersebut. Untuk itu diperlukan tindakan konkret dengan melakukan patroli satuan-satuan TNI di daerah tersebut. Selain itu jika unsur TNI AL di lapangan dalam melakukan patroli menjumpai kapal Malaysia yang melakukan pelanggaran wilayah, maka unsur TNI AL dapat membuat berita acara adanya pelanggaran tersebut termasuk tindakan-tindakan yang dilakukan untuk mencegah/menghalau kapal Malaysia tersebut.

STATUS KARANG UNARANG DAN PEMASANGAN MERCUSUAR.

Karang Unarang (040 00’ 40” LU- 1180 04’ 00’ BT) merupakan karang yang terletak antara Pulau Sebatik dan Pulau Sipadan ( ± 9 mil laut dari Pulau Sebatik). Karang tersebut sudah di survey oleh Dephub dan Dishidros pada Bulan Nopember 2004 – Januari 2005 dan direkomendasikan dapat dibangun mercusuar. Berdasarkan Pasal 47 Konvensi Hukum Laut 1982 karang/elevasi surut yang ada bangunan (Mercusuar) dapat dijadikan sebagai titik dasar (base point) untuk penarikan garis pangkal (base line) kepulauan. Sehingga jika karang ini sudah di bangun mercusuar dan dijadikan titik dasar maka penarikan garis pangkal akan semakin ke timur (bergeser) yang akan menguntungkan batas laut teritorial, zona tambahan, ZEE dan landas kontinen Indonesia. Untuk itu pembangunan mercusuar tersebut dapat dijadikan prioritas untuk dikerjakan. Jika karang Unarang tersebut berhasil dibangun dan dapat dipertahankan dari segi keamanan, politis dan hukum serta tidak ada klaim dari Malaysia, maka klaim landas kontinen Malaysia pada peta tahun 1979, akan gugur dan Malaysia dapat dipaksa untuk merundingkan posisi batas landas kontinen yang baru.
Status kepemilikan karang Unarang pada saat ini diklaim oleh Indonesia dengan Malaysia. Malaysia mendasarkan pada peta tahun 1979, sedangkan Indonesia berdasarkan pendekatan sejarah, geografis dan praktek negara. Berdasarkan pendekatan sejarah karang Unarang sejak jaman dahulu masuk dalam daerah kekuasaan kesultanan Bulungan yang merupakan kesulatanan dalam wilayah Indonesia. Sedangkan untuk pendekatan geografis karang Unarang terletak hanya 9 mil laut yang secara geografis lebih dekat ke pulau utama Indonesia (main island) dari pada ke wilayah Malaysia. Selanjutnya dilihat dari praktek negara, karang Unarang masuk dalam daerah konsensi yang sejak tahun 1960 dikelola oleh Indonesia. Oleh karena itu berdasarkan pengalaman proses putusan Sipadan dan Ligitan, maka prinsip effectivity dalam pengakuan suatu wilayah sangat menentukan klaim suatu negara terhadap wilayah tertentu. Bentuk efektivitas pemerintah terhadap suatu wilayah dapat dilakukan melalui proses peraturan perundang-undangan yang dapat berupa:

Pro Kontra ALKI Timur-Barat


PRO KONTRA ALKI TIMUR - BARAT

Ketika kapal induk AS melewati perairan Indonesia, sebagaimana Normal Mode dari suatu kapal induk pastilah ia dikawal oleh kapal-kapal kombatan lain dan dilindungi pesawat terbang sebagai unsur pengintai, namun demikian kejadian melintasnya kapal induk tersebut dengan menerbangkan unsur pengintai di wilayah perairan dan udara Indonesia yang akhirnya ter-intercept oleh pesawat TNI AU telah menimbulkan polemik yang berkepanjangan di kalangan pemerintah Indonesia, meski berakhir dengan koordinasi positif antar pejabat.

Berdasarkan kejadian saat itu sesungguhnya patut dipastikan dimanakah persisnya penerbangan F-18 tersebut terjadi, letak kejadian ini sangat penting karena adanya hak Archipelagic Sea Lanes Passage (ASLP) sesuai dengan pasal 53 ayat 2 Konvensi Hukum Laut yang berbunyi “All ships and aircraft enjoy the right of archipelagic sea lanes passage in such sea lanes and air routes” hak ini berlaku pula bagi kapal-kapal perang dan kapal-kapal terbang militer untuk berlayar dan terbang melalui dan diatas alur laut kepulauan di perairan nusantara

Merujuk pada kejadian tersebut, sebenarnya pada gugus tugas armada AS tersebut berlaku hak ASLP ataukah Innocent Passage, mengingat jalur yang dilalui adalah dari ALKI I kemudian melintas Laut Jawa dilanjutkan ke ALKI II, Kajian singkat ini bermaksud untuk memberikan gambaran dan masukan kepada pemimpin TNI AL tentang kemungkinan ditetapkannya / tidak ditetapkannya ALKI Timur – Barat ditinjau dari aspek Hubungan Internasional sehingga diharapkan berkurangnya tekanan pihak luar terhadap Indonesia.

ALKI serta peraturan perundangannya.

Pemerintah Indonesia sejak tahun 1995 telah mengajukan proposal ALKI kepada IMO, yang memutuskan pada sidang terakhir tanggal 19 Mei 1998 Working Group Maritime Safety Comitte - 69 yaitu diterimanya proposal ALKI Indonesia dan secara resmi diadopsi dan diterima oleh IMO, maka pengajuan ketiga ALKI Utara - Selatan oleh Indonesia merupakan ALKI pertama di dunia yang tentunya memberikan jalan yang lapang bagi negara-negara kepulauan yang lain untuk segera dapat menetapkan Alur Laut Kepulauan masing-masing negara.

Untuk itu salah satu tindak lanjut dari keputusan ini adalah dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 61 tahun 1998 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-titik Pangkal dan Garis Pangkal Kepulauan Indonesia di Laut Natuna sebagai garis pangkal baru serta Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 2002 tentang Hak dan Kewajiban Kapal dan Pesawat Udara Asing dalam melaksanakan hak lintas Alur Laut Kepulauan melalui alur yang telah ditetapkan yang dikeluarkan pada tanggal 28 Juni 2002, enam bulan setelah tanggal penyerahan PP ini ke IMO, maka ALKI berlaku sah secara formal untuk digunakan secara internasional

Perairan Kepulauan Sebelum 1982

Rejim Alur Laut Kepulauan bermula pada pengertian yang terdapat dalam Pasal 53 UNCLOS '82 tentang hak lintas alur laut kepulauan, meski konsep Negara Kepulauan (Archipelagic State) saat itu sudah diterapkan dan berkembang pada saat aturan UNCLOS sedang dinegosiasikan, tetapi belum ada aturan yang jelas tentang bagaimana berlayar melewati Alur Laut Kepulauan sampai setelah diadopsinya UNCLOS yang resmi dideklarasikan pada bulan Desember 1982. Sebelum negosiasi Hukum Laut Internasional, negara-negara maritim menginterpretasikan hak melintas antara pulau-pulau di tengah-tengah kepulauan didasarkan atas :

1. Setiap pulau mempunyai laut territorial sendiri-sendiri dan kapal-kapal asing yang melewati perairan yang menghubungkan pulau (Interconnecting waters) secara tradisional mempunyai hak Innocent Passage
2. Apabila laut territorial dari suatu pulau overlapped dengan yang lain maka diterapkan rejim selat dan innocent passage bagi kapal-kapal asing
3. Diluar laut territorial dari setiap pulau adalah merupakan laut bebas yang berarti bahwa kapal-kapal asing bebas berlayar dan terbang melalui perairan-perairan tersebut

Di dalam aturan domestik serta pada saat pelaksanaan UNCLOS I dan II, negara kepulauan seperti Indonesia dan Phipilipina mengadopsi suatu pandangan/aturan dimana bagi kapal-kapal asing yang melintasi perairan kepulauan berlaku innocent passage dan khusus untuk kapal perang harus memberitahukan terlebih dahulu kepada negara pantai.

Penerapan perairan kepulauan sejak 1982

Sejak tahun 1982 dan diratifikasinya UNCLOS oleh negara-negara pantai maka negara kepulauan mempunyai kedaulatan untuk mengontrol perairan diantara pulau-pulaunya dan menjamin ketidakterganggunya pengguna-penguna laut dimana dahulunya merupakan laut bebas.
Asal usul ALKI adalah berdasarkan suatu konsep dalam UNCLOS “routes normally used for international navigation” yang melalui atau melintasi perairan kepulauan mulai dari titik masuk hingga titik keluar dari batas luar laut teritorial suatu negara pantai yang diukur dari baselinenya. Harus pula dicatat bahwa Rejim ASLP berwujud “hak dan Kewajiban”. Ini berarti bahwa secara jelas negara pantai mempunyai hak berdaulat terhadap perairan kepulauannya, dan dari hak ini akan memunculkan kewajiban’ . Kewajiban ini merupakan jaminan terhadap hak pengguna laut negara lain yang melalui ASLP. Hak tersebut berupa akses untuk melintas yang bersifat damai, bertujuan baik, menghindari sikap mengancam dan menggunakan kekerasan terhadap kedaulatan, integritas atau kemerdekaan negara pantai (UNCLOS pasal 39(2) )

Polemik ALKI Timur - Barat

Pada saat diresmikannya ALKI I, II, dan III yang notabenenya adalah Utara – Selatan oleh IMO, masih muncul ketidakpuasan negara-negara lain yang berkepentingan melewati wilayah Indonesia khususnya negara-negara maritim besar, wilayah yang dulu sebelum diratifikasinya UNCLOS 82, merupakan laut bebas, kini berubah menjadi perairan kepulauan (Archipelagic Waters). Dan bahkan ada pasal dalam PP No. 37/2002 yang dinilai bertentangan dengan Konvensi HLI serta kesepakatan yang dicapai, misalnya pasal 15 yang menyatakan “Enam bulan setelah PP ini mulai berlaku, kapal dan pesawat udara asing dapat melaksanakan Hak Lintas Alur Laut kepulauan hanya melalui alur laut kepulauan sebagaimana ditetapkan dalam PP ini”, bunyi pasal tersebut jelas bertentangan dengan Pasal 53 (12) yang berbunyi ‘Apabila suatu negara kepulauan tidak menentukan alur laut atau rute penerbangan, maka hak lintas alur laut kepulauan dapat dilaksanakan melalui rute yang biasanya digunakan untuk pelayaran internasional’ serta bertentangan dengan kesepakatan awal yang terdapat pada ‘Rules of The Indonesian Archipelagic Sea Lanes’ aturan 19 yang berbunyi “Sebelum ditetapkan alur-alur kepulauan lainnya di bagian-bagian lain perairan kepulauan Indonesia, hak lintas alur laut kepulauan dapat dilaksanakan di perairan kepulauan yang relevan sesuai dengan Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982”

Indonesia pada saat itu memberikan alibi yang mungkin dipandang untuk saat ini kurang kuat yaitu pembuatan ALKI Timur – Barat sementara ditangguhkan mengingat belum dipelajari dan dilaksanakannya survey Hidro Oseanografi yang focus dan intensif di wilayah tersebut dalam rangka pembuatan jalur ALKI, artinya Indonesia menyatakan sementara baru menetapkan tiga ALKI (Partial Decision). Dan menyadari masih ada rute lain yang sudah dipakai dalam pelayaran internasional sejak berabad-abad lampau tetapi belum termasuk didalam jalur ALKI tersebut khususnya yang melalui Laut Jawa

Desakan negara-negara maritim besar agar Indonesia menetapkan ALKI Timur – Barat seharusnya saat ini secara arief harus kita sikapi dengan baik dan dengan pikiran yang jernih, pada saat akhir sidang MSC (Maritime Safety Comitte) ke-67 pada Desember 1996 di London yang membahas tentang ALKI ini ada statemen yang secara implisit merupakan tuntutan dari negara-negara maritim besar yang berkepentingan melewati perairan Indonesia yaitu apabila Indonesia belum dapat menetapkan semua ALKI terutama Timur - Barat, maka harus ada komitmen yang jelas dari Republik Indonesia bahwa Indonesia akan menetapkan ALKI-ALKI tersebut dengan time frame yang jelas, dan bahwa selama ALKI-ALKI tersebut belum ditetapkan maka dibagian laut tersebut harus berlaku ketentuan “Archipelagic Sea Lines Passage” sebagaimana ditetapkan dalam UNCLOS pasal 53(12), dan bukan ketentuan hukum “Innocent Passage”

Seperti diketahui perbedaan antara ‘Innocent Passage’ dan “Archipelagic Sea Lines Passage’ antara lain adalah :

1. ‘Innocent Passage’ boleh ditangguhkan setiap saat oleh Indonesia dan oleh karena itu perairan yang bersangkutan setiap saat bisa ditutup oleh Indonesia, sedangkan Archipelagic Sea Lanes (ASL) tidak boleh ditangguhkan. Karena itu negara-negara maritim besar menentang diberlakukanya ‘innocent passage’ di perairan-perairan yang biasa dipakai untuk pelayaran internasional dimana ALKI belum ditetapkan
2. Dalam innocent passage tidak ada hak terbang, sedangkan dalam ASL ada hak terbang diatas ASL
3. Dalam Innocent Passage kapal selam harus berlayar di permukaan laut dan harus memperlihatkan benderanya, sedangkan di ASL kapal selam dapat berlayar ‘in the normal mode’, dalam arti bahwa boleh berlayar dibawah permukaan air
4. Berbagai negara menetapkan bahwa dalam ‘innocent passage’ kapal perang diwajibkan meminta ijin lebih dahulu kepada negara pantai sedangkan dalam ASL , tidak perlu meminta ijin

Dengan belum diakuinya ALKI I, II, III oleh negara-negara maritim besar (baca ; Amerika, Inggris, Australia) timbul pertanyaan ; apakah fenomena ini mengisyaratkan menunggunya mereka terhadap sikap Indonesia sesuai alasan Indonesia saat mengajukan ALKI Utara – Selatan yaitu belum disurveinya wilayah ALKI Timur - Barat, ataukah ada tendensi lain (?)

Peristiwa melintasnya Kapal Induk Amerika USS Carl Vincent dengan menerbangkan F-18nya tanpa ijin (meski diklaim sudah minta ijin tapi terlambat) jika itu kaji apakah tindakan ini bukan merupakan tindakan mencari-cari perang (Font War) kita ingat beberapa tahun lalu Amerika melaksanakan latihan perang dekat perbatasan Libya, atau tertabraknya (atau sengaja ditabrakkan) pesawat intai AS oleh pesawat tempur Cina di wilayah udara Cina

Hingga saat ini setelah 5 tahun diakuinya ALKI Utara-Selatan oleh IMO dan dunia Internasional, meski negara maritim besar belum mengakuinya, tetapi dasar tidak dibuatnya ALKI Timur - Barat oleh Indonesia yaitu belum disurvei, sampai kapankah kita akan bertahan dengan alibi itu, dan dasar hukum apakah yang akan kita gunakan untuk mempertahankan alibi kita (?), dari sisi kedaulatan dan keamanan nasional memang kita memegang teguh untuk tetap bertahan tidak dibuatkan ALKI Timur - Barat tapi secara hukum dan hubungan internasional belum lagi dikaitkan dengan komitmen awal delegasi Indonesia dengan negara-negara maritim saat sidang akhir IMO, sampai dimanakah dan sampai kapankah kita bertahan untuk mengambangkan realisasi ALKI Timur - Barat, ataukah kita tetap keukeuh tidak membuat ALKI Timur – Barat, sementara bangsa lain yang jelas militernya lebih kuat dengan arogan tidak mengindahkan ALKI yang telah dibuat dengan alasan bahwa mereka masih menganggap bahwa jalur yang dilewati adalah jalur internasional ?

Secara historis ALKI Timur – Barat sudah ada sejak jaman baheula dan sudah merupakan jalur internasional, dikhawatirkan apabila Indonesia bersikeras tetap mengambangkan status ALKI Timur – Barat atau bahkan mengatakan tidak, maka Indonesia dianggap tidak realistis karena menyalahi komitmen awalnya dan bisa dipastikan tidak diterima di dunia internasional dan hal ini sama halnya Indonesia membuka ALKI-ALKI lain yang liar tanpa pengaturan, sementara dengan adanya pengaturan maka Indonesia telah membuka jalur yang jelas dan mudah dikontrol .

Dengan tidak adanya ketetapan mengenai ALKI Timur – Barat di Laut Jawa maka yang menjadi persoalan adalah apakah kapal-kapal perang asing tersebut maka implikasinya adalah tidak boleh lewat perairan tersebut atau boleh lewat namun tetap berdasar prinsip innocent passage serta atau boleh lewat wilayah tersebut berdasarkan prinsip-prinsip ASLP

Dari ketiga alternatif tersebut diatas yang paling mungkin dilakukan adalah alternatif ketiga, tapi alternatif ini jelas kurang baik bagi Indonesia mengingat kapal-kapal militer asing akan susah ditebak dimana mereka akan lewat, selama bertahun-tahun Indonesia memperjuangkan diterimanya ALKI justru agar bisa melokalisasi tempat lewat kapal perang dan pesawat udara militer asing, agar mudah diawasi dan dikontrol.

Sisi positif ditetapkan ALKI T-B

Setiap suatu keputusan yang diambil pastilah akan terdapat efek positif maupun negatifnya, tetapi yang terpenting adalah bagaimana kita menempatkan kedaulatan bangsa ini diatas segalagalanya dengan mengindahkan aspek legalitas hukum baik nasional maupun internasional. Apabila ALKI Timur – Barat ditetapkan maka akan berimplikasi positif antara lain Indonesia dapat melokalisir dalam arti memberikan jalan bagi kapal asing yang melewati perairan kepulauan, sehingga bagi negara-negara maritim besar tidak sewenang-wenang melewati wilayah perairan kita sesuai kehendak mereka; Indonesia dapat melaksanakan klaim apabila terdapat kapal asing / kapal militer asing yang berlayar tidak sesuai dengan ketentuan; Paling tidak, Indonesia tidak menyalahi komitmen awal saat diterimanya ALKI Utara – Selatan; Indonesia mempunyai Bargaining Position dengan membuat ALKI Timur – Barat ini yaitu dengan mengajukan bantuan kepada pihak lain khususnya negara-negara maritim besar baik berupa kerjasam survei, hard ware peralatan surveillance, monitoring dan controlling serta berupa educational programme untuk peningkatan sumber daya pengawaknya;Harus mampu meyakinkan negara-negara maritim besar bahwa tuntutan ALKI Timur Barat adalah ALKI terakhir yang disediakan, dengan perundingan intensif yang tidak mengarah ke tuntutan jalur ALKI lain.

Sisi negatif ditetapkan ALKI Timur - Barat

Disamping sisi positif diatas terdapat pula sisi negatif yang perlu dicermati, antara lain perlu pengawasan yang extra ketat khususnya jalur yang berdekatan dengan obyek-obyek vital, rawan terhadap high tech intelligence, menyadari akan kelemahan teknologi kita terutama dalam bidang monitoring tanpa didukung perangkat teknologi yang moderen maka dengan mudah kapal militer asing melaksanakan kegiatan survei dan intelejen dengan mengatasnamakan lintas ASLP serta Jalur tersebut akan semakin ramai dilewati baik oleh kapal niaga maupun kapal militer asing

Demikian kajian singkat ini dibuat dengan kesimpulan bahwa sebenarnya ALKI dibuat bukanlah merupakan hadiah dari bangsa Indonesia kepada dunia internasional, dengan memberikan jalan bagi lalu lintas internasional melewati wilayah Indonesia, namun merupakan perwujudan dari hak Indonesia untuk melakukan pengaturan dan pengawasan dalam arti kata jika kita tidak mau terganggu maka jalur yang dilewati harus dilokalisir dengan ALKI.Ditinjau dari sisi historisnya ALKI Timur – Barat sebelum 1982 adalah merupakan jalur internasional sehingga disarankan searief mungkin kita harus pula mewadahi kepentingan internasional tanpa mengorbankan kepentingan dan kedaulatan bangsa, tentu saja dibarengi dengan deal dan bargain yang positif dengan negara-negara maritim besar yang sering melalui wilayah tersebut, disamping itu juga dilaksanakan penyempurnaan pada PP 37 / 2002 agar tidak terjadi perbedaan aturan dan pengertian khususnya dengan UNCLOS ’82

Wednesday, June 17, 2009

Ironi Illegal Fishing

Di pantura banyak petambak ikan meradang karena panennya gagal, maklum mereka adalah petani ikan tradisionil yang miskin teknologi dan kurang suntikan modal. Pemandangan yang lebih menyedihkan adalah raut muka para nelayan yang lesu selepas berlayar disepanjang pantai utara Pulau Jawa itu. Tak tampak kesibukan yang berarti dan wajah-wajah yang ceria menyambut kedatangan petualang-petualang laut ini. Adalah Rokhim Dahuri, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan yang menyatakan bahwa secara teknis, nelayan Indonesia memang ketinggalan di segala bidang. “Penurunan pendapatan nelayan umumnya terjadi akibat over-fishing pada sejumlah lokasi penangkapan (fishing ground) seperti di pantura Jawa, Selat Malaka, sebagian selat Bali dan selatan Sulawesi”, katanya. Sedangkan potensi besar di pesisir barat Sumatera, Laut China Selatan, perairan kepulauan Natuna, pesisir selatan Jawa, Laut Sulawesi, Teluk Tomini, Laut Maluku dan Samudera Pasifik. Tetapi untuk menjangkau daerah tersebut diperlukan kapal besar dengan teknologi maju yang jumlahnya tidak dimiliki nelayan Indonesia.

Tidak dapat dibantah, perairan yang mengelilingi Indonesia mengandung sumberdaya ikan yang tak terhingga. Untuk ikan saja, sangat beragam atau highly diversed yang sungguh bernilai ekonomis tinggi dimana terdapat sekitar 2511 spesies ikan dan turunannya yang hidup di lautan Indonesia (Fishbase, 2001). Kenyataan-kenyataan itu menjadikan lautan Indonesia bagai magnet yang menarik banyak pihak untuk datang dan mengadu untung. Ada yang beritikad baik, tetapi tidak sedikit pula yang berniat buruk. Praktek illegal l fishing, telah menimbulkan kerugian negara yang bernilai jutaan dollar AS.

Yang fantastis tentu saja potensi ikan di Laut Aru dan Laut Arafuru yang termasuk paling menggiurkan di dunia. Laut Arafura itu bagai gadis cantik yang masih alami sehingga selalu mengundang peminat dari berbagai penjuru. Tengok saja kapal-kapal ikan asing dari Thailand, Korea, Taiwan dan China yang beroperasi disana. Jenis kapal ikan tersebut termasuk super canggih dengan alat penangkapan yang sangat sensasional. Sebut saja pukat ikan (fish-net) yang prinsip kerjanya adalah jenis trawl yang sudah dimodifikasi ukuran mata jaring pada kantongnya, pemberat, dan gawang pembukanya, ada juga pukat tarik (gill-net ) yang bermil-mil panjangnya. Ikan hasil kurasan kapal penangkap (catcher) itu ujung-ujungnya akan dikumpulkan dan ditampung (transhipment) oleh kapal-kapal pengangkut (carrier) yang pola trayeknya sailing without destination (tramper).

Sistem kerja dan manajemen kapal yang popular disebut kapal tramper ini sangat canggih. Para aktor intelektualnya sudah mempelajari celah UU No 31 tahun 2004 mengenai ketentuan transfer ikan ditengah laut yang sepintas hanya berupa ancaman pelanggaran administrasi. Dengan berbagai upaya untuk melegalkan praktek tersebut mereka juga mengundang petugas pabean berlayar ketengah laut jauh sampai ke ZEEI Laut Arafura. Biasanya kapal-kapal catcher itu akan dikawal kapal tramper sebagai kapal induknya (motherboat) dan berdalih mereka adalah satu kesatuan armada. Padahal ini hanya akal-akal mereka saja karena kapal dengan alat tangkap fish-net kerjanya adalah tunggal dan bukan tipe pukat cincin (purse seine) yang perlu kapal-kapal pendukung. Kapasitas (fish hold capacity) ibunya kapal ikan ini sungguh mencengangkan, rata-rata 5000 metric ton. Peraturan sebenarnya membatasi kapal tramper ini hanya boleh transfer ikan di pelabuhan perikanan yang telah ditetapkan dalam SIKPI-nya (Surat Ijin Kapal Pengangkut Ikan ). Tetapi kapal tramper yang juga berfungsi sebagai kapal pabrik (factory ship) ini kerap langsung kembali berlayar menuju negara asalnya untuk menyuplai industri pengolahan ikan di sana.

Dari hasil penelusuran langsung ke fishing ground, tramper asing tersebut hampir sebagian besar telah melakukan praktek pemindahan ikan di tengah laut dan jarang yang check point ke pelabuhan muatnya. Dari data-data kapal yang ditangkap oleh kapal perang kita, kesalahan mereka sangat bervariasi antara lain transfer tanpa ijin, dokumen palsu, menangkap ikan dengan jaring terlarang, mengangkut jaring yang dilarang dan pelanggaran aturan pelayaran berupa tidak dilengkapi syarat dispensasi bendera kapal, tidak sahnya surat laut kapal, ABK tidak disijil dan pelanggaran kemudahan khusus keimigrasian serta tenaga kerja asing yang tidak memiliki ijin kerja.

Saat ini penyidik TNI AL secara konsisten telah menerapkan UU No 31 tahun 2004 dengan melaksanakan enforcement of law secara cepat dan tuntas serta dapat menimbulkan efek jera bagi para pelakunya. Dalam proses penyidikan di beberapa pangkalan TNI AL sesuai amanat UU telah menetapkan owner, agen dan operator kapal sebagai tersangka. Mereka inilah yang menjadi salah satu target baru illegal fishing disamping target-target lainnya. Hal ini dilakukan agar para pemilik tidak lagi berlindung dibalik badan dan mengorbankan para Nakhoda dan ABK kapal ikan. Penyidik TNI AL memang harus tunduk kepada otoritas yang mengatur perijinan. Meskipun selalu ditempatkan sebagai pemadam kebakaran dan disalahkan bila ada penyelesaian kasus yang belum tuntas, komitment TNI AL tetap tinggi untuk proaktif memberantas praktek illegal fishing ini.

Sungguh ironi karena Indonesia belum dapat memanfaatkan selisih seluruh jumlah tangkapan yang diperbolehkan (allowable catch) dengan jumlah kemampuan tangkap (capacity to harvest) alhasil Indonesia mau tidak mau harus mengakomodasinya dengan ijin berdasarkan persetujuan Internasional untuk dimanfaatkan oleh negara lain. Inilah pintu masuk bagi mengguritanya kapal-kapal asing yang beroperasi di perairan dan ZEE Indonesia. Namun sangat disayangkan Indonesia yang mempunyai potensi 82 milyar dollar AS dari sektor laut yang cukup melunasi utang luar negeri ini, pada akhirnya cuma jadi penonton pesta-pora para tamu yang menari-nari dirumah kita sendiri.

Dalam Fokus Kompas tanggal 28 Mei 2005 disebutkan bahwa tidak ada industri pangan di dunia ini yang begitu mengglobal seperti industri perikanan. Lebih dari 75 prosen hasil tangkapan ikan dunia dewasa ini masuk pasar internasional. Devisa dari ekspor produk perikanan secara global melampaui produk sektor manapun. Yang mengejutkan tercatatnya Thailand dan China sebagai eksportir produk ikan terbesar di dunia. Dari mana bahan baku ikan tersebut mereka peroleh sementara Teluk Siam dan zona perikanan di China sudah over-fishing. Hipotesis yang kemudian muncul adalah modus operandi kapal-kapal illegal, semi illegal ataupun spanyolan (separuh nyolong) itu untuk menjarah laut kita adalah dengan membuat sindikat jaringan kerjasama yang rapi sehingga sulit dibongkar antara lain pemalsuan dokumen-dokumen perijinan perikanan.

Freddy Numberi Menteri Perikanan ketika ditemui Forum Hukum di ruang kerjanya mengakui adanya sindikasi illegal fishing termasuk jaringan pemalsuan dokumen perikanan. Numbery dengan tegas menyatakan telah menyiapkan langkah-langkah strategis untuk menghentikan kenakalan mereka. “ Mulai September 2005 ini diharapkan tidak ada lagi beredar dokumen palsu, karena cukup mudah membedakannya dengan yang asli karena kita menggunakan bentuk atau format SPI dan sticker barcode yang baru” tandasnya.

Itulah setumpuk kenyataan pahit fenomena illegal fishing. Ini harus menjadi pekerjaan kita bersama yang sebenarnya termasuk cerita lama yang mungkin telah di daur ulang atau hanya berganti baju saja, namun tidak pernah sembuh penyakitnya. Yang pasti rakyat kita sampai detik ini belum juga dapat menggantungkan nasib baiknya kepada kekayaan sumber daya perikanan Indonesia yang melimpah ruah itu.

Bila kita sudah menyadari sukses Islandia dan Norwegia, yang menggantungkan nyawanya dari sektor perikanan dan mampu mencuatkan diri menjadi dua negara termakmur di dunia dengan pendapatan perkapita 35.000-40.000 dollar AS, lalu mengapa kita masih saja berleha-leha? Dengan mengoptimalkan kemampuan 4 juta nelayan Indonesia sebetulnya lebih dari cukup untuk meraih impian itu. Teknologi perkapalan dan alat tangkap kita yang masih tergolong rendah dan berskala kecil harus segera ditingkatkan. Dari sekitar 500.000 kapal ikan Indonesia hanya sekitar 1,5 prosen yang memiliki bobot di atas 30 grosston (GT). Kita juga harus segera menghapus ironi jumlah kapal perang yang dimiliki oleh TNI AL yang sekurang-kurangnya membutuhkan 500 KRI yang siap setiap waktu dikerahkan di seluruh perairan yurisdiksi nasional.


Naval Diplomacy


Sesuai dengan amanat konstitusi, Politik luar negeri RI (Polugri) senantiasa diabdikan pada upaya untuk mewujudkan kepentingan nasional seperti termaktub dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu “mewujudkan negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur”. Pelaksanaan Polugri berpijak pada landasan filosofis dan konstitusional, yaitu Pancasila dan UUD 1945, dengan karakter pendekatan yang bersifat Bebas-Aktif.

Dalam pelaksanaannya, Polugri dilaksanakan melalui instrumen diplomasi yang memiliki fleksibilitas kontekstual namun sekaligus dilandaskan pada keteguhan pendirian, dengan menginkorporasikan segenap stakeholders dan opsi diplomasi yang ada, atau dikenal dengan istilah strategi Total Diplomacy.

Dalam konteks Indonesia sebagai negara kepulauan, maka elemen proyeksi kehadiran dan kekuatan nasional Indonesia ke domain maritim yang melingkupinya, harus menjadi salah-satu dari komponen diplomasi nasionalnya, yang dalam implementasinya dilaksanakan oleh TNI Angkatan Laut sebagai core actor-nya.

Hal tersebut dimungkinkan karena secara konseptual, fungsi naval diplomacy merupakan bagian inheren dalam konsep universal Trinity of Naval Roles, yakni militer (peran pertahanan negara), constabulary (penegakan hukum), dan diplomacy. Dalam konteks ini, komponen peran diplomasi yang dimaksud adalah dalam bentuk naval diplomacy dengan berlandaskan atas karakter unik dari kekuatan laut itu sendiri yang bersifat fleksibel, dalam artian mampu merubah postur secara seketika (bahkan ketika underway) tanpa mengganggu pola penggelaran dan tempo operasi, memiliki mobilitas tinggi karena bergerak di media yang bebas (lautan). Disamping itu, angkatan laut memiliki kapasitas strategis dalam mempengaruhi jalannya peristiwa di daratan (influencing events ashore), bukan hanya dalam bentuk jangkauan daya tembak dan proyeksi kekuatan militer dari laut ke daratan, melainkan karena angkatan laut juga menguasai suatu domain yang menjadi media dan jalur komunikasi dari dan ke daratan, dimana lebih dari 90% total volume perdagangan dan urat nadi energi dunia dilangsungkan di atasnya. Oleh karena itu, kemampuan memproyeksikan kekuatan nasional ke laut guna melindungi wilayah dan kepentingan nasionalnya merupakan prakondisi yang wajib dipenuhi bagi tegaknya diplomasi nasional negara yang bersangkutan.

Dalam aspek kemampuan, kemampuan naval diplomacy suatu angkatan laut pada hakikatnya sangat ditentukan oleh tingkat kekuatan dalam aspek yang paling mendasar dari trinity of naval roles, yakni aspek militer. Hal ini disebabkan karena kemampuan pelaksanaan dua aspek lainnya, yakni penegakan hukum dan diplomasi, dimungkinkan (atau sebaliknya justru dibatasi) oleh operational readiness, combat value, dan strategic capabilty dari angkatan laut yang bersangkutan. Oleh karena itu, TNI-AL harus diperlengkapi dan diawaki secara memadai agar dapat menggelar kekuatan armada yang memenuhi persyaratan Balanced Fleet, yakni mampu beroperasi dalam seluruh spektrum naval operations, dalam suatu strategi pertahanan maritim yang sekurang-kurangnya bertaraf fleet in being untuk mampu melaksanakan tugas-tugas pengendalian laut (sea control), yang juga merupakan salah-satu bentuk dalam naval diplomacy yakni naval presence. Kondisi TNI-AL saat ini tengah berada dalam transisi, yakni baru saja beranjak memenuhi kriteria Balanced Fleet tersebut, dengan telah dan akan hadirnya beberapa kapal perang hasil pengadaan yang telah dilakukan oleh Indonesia, semisal Landing Platform Dock (LPD) KRI Makassar dari Korea Selatan pada bulan Mei 2007 lalu, dan akan hadirnya dua korvet kelas Sigma, KRI Diponegoro (PKR-365) dan KRI Hasanuddin (PKR-366) pada pertengahan tahun 2007 ini, serta persiapan pengadaan empat kapal selam serang konvensional (SSK) kelas Kilo dari Rusia yang saat ini tengah dalam tahap pendidikan dan latihan awak kapal.

POSISI, PERAN, DAN FUNGSI TNI-AL DALAM POLUGRI DI TINGKAT REGIONAL DAN INTERNASIONAL

Garis politik luar negeri RI membagi lingkungan strategi global ke dalam tiga lingkar konsentrik (concentric circles) berdasarkan kombinasi antara kriteria geostrategis dan kepentingan nasional RI. Lingkar konsentrik pertama yang juga merupakan pilar utama polugri adalah kawasan Asia Tenggara dengan ASEAN sebagai core pillar-nya. Lingkar konsentrik kedua, adalah rantai negara-negara kepulauan Pasifik yang diwadahi oleh organisasi Pacific Island Countries (PIF), serta negara-negara industri maju Timur Jauh seperti RRC, Jepang dan Korea Selatan, yang diwadahi dalam forum ASEAN+3. Termasuk pula dalam lingkar konsentrik kedua tersebut, kerangka dialog trilateral antara Indonesia, Australia, dan Timor Leste, yang dinamai Tripartite Consultation. Adapun pada lingkar konsentrik ketiga, Indonesia menempakan prioritas yang tinggi dalam hubungannya dengan kekuatan-kekuatan besar baik di benua Amerika maupun Eropa, khususnya dengan Amerika Serikat dan Uni Eropa. Berkenaan dengan ketiga lingkaran konsentrik tersebut, Indonesia memandang pentingnya prioritas penciptaan stabilitas dan perluasan cakupan pembangunan yang berorientasi kesejahteraan melalui kerjasama antar-bangsa yang yang didasarkan atas institusionalisasi integrasi regional.

Dalam kasus ASEAN sebagai core circle polugri, Indonesia merupakan salah-satu promotor gigih dalam upaya pencapaian institusionalisasi ASEAN ke arah transformasi ASEAN sebagai sebuah entitas regional yang rules-based, serta memiliki kapasitas penuh baik sebagai legal maupun political entity dalam berbagai dimensi, termasuk foreign affairs. Untuk itu, Indonesia memandang pentingnya realisasi Piagam ASEAN sebagai dasar dari pengokohan status ASEAN tersebut. Lebih lanjut lagi, dalam rangka mengukuhkan integrasi regional hingga ke seluruh lapisan masyarakat bangsa-bangsa di Asia Tenggara, Indonesia memandang perlunya pencantuman di dalam Piagam ASEAN tersebut, identitas ASEAN sebagai people-centered organization, yang terefleksikan melalui mekanisme dan struktur organisasi yang bersifat lebih dekat kepada rakyatnya (people centered), seraya di saat yang sama juga bersifat lebih institutionalized, well-structured, dan lebih profesional.

Sementara itu, pada lingkup yang lebih luas khususnya berkenaan dengan upaya integrasi dan kerjasama intra-kawasan yang merupakan kunci bagi pemeliharaan stabilitas regional di kawasan Asia-Pasifik, Indonesia memandang penting dilanjutkannya pengembangan institusi East Asia Community (EAC) dengan ASEAN sebagai driving force dan kerangka institusional utama di dalamnya, yang dibangun di atas tiga pilar utama, yakni ASEAN Political Community, ASEAN Socio-Cultural Community, dan ASEAN Security Community.

Berkenaan dengan wawasan polugri mengenai lingkungan strategi internasional tersebut di atas, posisi TNI-AL dengan karakter universal yang melekat di dalamnya berupa kemampuan dan kapasitas fungsi diplomasi memainkan peran yang sangat penting sebagai salah-satu instrumen pelaksana kebijakan luar negeri RI di berbagai lapis concentric circles tersebut. Pada lingkar inti ASEAN, TNI-AL berada di jajaran aktor-aktor utama dalam Confidence Building Measures (CBM) dan berbagai kerjasama keamanan maritim regional di kawasan Asia Tenggara, yang merupakan bagian integral dari arsitektur keamanan di kawasan, yang pada gilirannya juga menjadi bagian tak-terpisahkan dalam ASEAN Security Community.

Diantara bentuk-bentuk naval diplomacy yang dilaksanakan oleh TNI-AL di dalam lingkar konsentrik pertama tersebut diantaranya adalah melalui berbagai kegiatan patroli terkoordinasi bersama dengan negara-negara ASEAN semisal Patkor Malsindo (Malaysia-Singapura-Indonesia), Patkor Malindo (Malaysia-Indonesia), Patkor Optima (Operasi Tindakan Maritim Indonesia-Malaysia), dan Patkor Indosin (Indonesia-Singapura).

Adapun dalam lingkup lingkar konsentrik kedua, naval diplomacy TNI-AL dengan negara-negara di kawasan Asia Timur dilakukan misalnya melalui kerja-sama teknis pengamanan maritim di Selat Malaka dengan Pengawal Pantai dan Angkatan Bela Diri Maritim Jepang, serta penjajakan navy to navy talk diantara angkatan laut kedua negara. Untuk lingkar konsentrik ketiga, peranan naval diplomacy TNI-AL mengambil bentuk dalam berbagai kegiatan CBM, semisal dalam kegiatan Cooperation Afloat Readiness and Training (CARAT), yakni latihan kesiapan tempur tahunan dengan Armada Pasifik US Navy yang diselenggarakan secara rutin tiap tahun, dimulai sejak tahun 1995 hingga sekarang.

TANTANGAN KE DEPAN

Berkenaan dengan perluasan dan pengukuhan peran RI dalam kerangka kerjasama baik intra maupun inter-kawasan tersebut di atas, dibutuhkan pula dukungan dari aspek naval diplomacy sebagai salah-satu pilar penunjangnya. Oleh karena itu, diperlukan adanya peningkatan struktur dan postur kekuatan dan kemampuan TNI-AL, dari yang saat ini masuk dalam kategori Green Water Navy dengan kemampuan sebagai Adjacent Force Projection Navy (jatuh diantara Tier 5 dan 6), menjadi (sekurang-kurangnya) Medium Regional Force Projection Navy (Tier 4), dengan kemampuan proyeksi kekuatan secara optimal ke wilayah samudera terdekat, dan mampu men-sustain kehadiran dan operasinya di sana. Hal ini mutlak diperlukan dalam rangka melaksanakan tugas-tugas dukungan Polugri melalui berbagai bentuk naval diplomacy, seiring dengan perluasan peran RI di kawasan Asia-Pasifik yang sebagian besar terdiri atas mandala samudera.

Untuk itu, diperlukan dukungan dari segenap stakeholders nasional, dalam rangka membangun TNI-AL sebagai instrumen naval diplomacy yang besar, kuat, dan profesional, dalam rangka mengemban misi politik luar negeri RI yang dilandaskan pada cita-cita mewujudkan negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur melalui perlindungan secara menyeluruh atas segenap tumpah-darah Indonesia, guna turut menciptakan perdamaian dunia berdasarkan atas kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Jalesveva Jayamahe.